PENGELOLAAN PARKIR DI KOTA AMBON : ANTARA SUMBER PENDAPATAN DAERAH ATAU PELAYANAN PUBLIK

Hukum Tata Negara / Hukum Administrasi Negara

PENGELOLAAN PARKIR DI KOTA AMBON :

ANTARA SUMBER PENDAPATAN DAERAH ATAU PELAYANAN PUBLIK

 

Victor Juzuf Sedubun

 

 

Pertumbuhan penduduk dengan tingginya kebutuhan hidup yang lebih baik menuntut dipenuhinya berbagai sarana dan fasilitas yang mempercepat akses, baik ekonomi, sosial kemasyarakatan, budaya dan sebagainya. Realitas ini memungkinkan mobilisasi yang tinggi untuk memenuhi tuntutan hidup dengan fasilitas yang dimiliki, maka jalan sebagai utilitas publik merupakan pilar utamanya. Pembangunan jalan sebagai media transportasi darat tidak sebanding dengan pengguna jasa jalan, baik kendaraan maupun manusia. Pembangunan jalan dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat atas angkutan barang dan jasa (orang) yang aman, nyaman, dan berdaya guna. Namun penyelenggaraan jalan yang tidak baik akan mengakibatkan kemacetan yang salah satunya disebabkan oleh karena aktivitas pengelolaan parkiran. Fenomena kemacetan di Kota Ambon telah mencapai ambang yang meresahkan, karena akses publik melalui penggunaan jalan sudah tidak tertata malah menimbulkan pelayanan yang tidak optimal. Terlepas dari berbagai hal yang mengakibatkan kemacetan di Kota Ambon, namun fenomena pengelolaan parkir adalah fakta yuridis yang patut dianalisis.

 

Dalam tulisan ini yang disoroti adalah pengelolaan parkir di tepi jalan umum di Kota Ambon. Dengan adanya pengelolaan parkir, maka Pemerintah Kota Ambon menyediakan layanan jasa umum bagi masyarakat yang menggunakan tepi jalan umum sebagai areal berhentinya kendaraan untuk sesaat dengan ditinggalkan pengemudinya dan bukan pemberhentian selamanya tanpa ada batas waktu tertentu. Sebagai akibat pemberian jasa oleh Pemerintah Kota Ambon, maka bagi pengguna jasa dikenakan pungutan berupa retribusi yang diatur dalam Perda No. 8 Tahun 2003 tentang Retribusi Parkir di Tepi Jalan Umum. Pungutan retribusi parkir di tepi jalan umum merupakan pendapatan asli daerah bagi Pemerintah Kota Ambon, namun juga menimbulkan permasalahan hukum di dalamnya. Permasalahan hukum tersebut terkait dengan keabsahan pengelolaan parkir yang dikaji dari aspek kewenangan pengelolaan dan pungutan.

 

Dalam UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan, diatur bahwa penguasaan jalan ada pada negara dan karena itu telah dilakukan pembagian kewenangan penyelenggaraan jalan dengan tujuan mewujudkan ketertiban dan pelayanan jalan yang andal. Untuk status jalan umum dikelompokan dalam jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten, jalan kota, dan jalan desa. Pengelompokan jalan ini didasarkan pada kewenangan pemerintah dan pemerintah daerah terhadap jalan tersebut. Wewenang pengelolaan parkir diatur dalam PP No. 38 Tahun 2007 khususnya Lampiran G Bidang Perhubungan berkaitan dengan penentuan lokasi dan pengoperasian fasilitas parkir untuk umum di jalan kabupaten/kota. Berikutnya dalam UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, diatur bahwa penyediaan fasilitas parkir untuk umum hanya dapat diselenggarakan di luar Ruang Milik Jalan, sedangkan penyediaan fasilitas parkir di tempat tertentu di dalam Ruang Milik Jalan hanya pada jalan kabupaten/kota/desa. Ruang Milik Jalan dalam UU No. 38 Tahun 2004 meliputi Ruang Manfaat Jalan (badan jalan, saluran tepi jalan, dan ambang pengamannya) dan sejalur tanah tertentu di luar Ruang Manfaat Jalan.

 

Didasarkan pada peraturan perundang-undangan di atas, maka pengelolaan parkiran di jalan umum hanya dapat dilakukan pada status jalan yang merupakan kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Dalam hal ini fasilitas parkir dapat dilakukan di tepi jalan umum maupun badan jalan kabupaten/kota. Tentunya dengan kewenangan penyelenggaraan jalan pada status jalan kota, maka Pemerintah Kota Ambon akan memperoleh pendapatan asli daerah melalui Retribusi Parkir. Namun, fakta hukum bahwa status jalan di wilayah administratif Kota Ambon lebih dominan merupakan status jalan nasional dan jalan provinsi. Apalagi penyediaan fasilitas parkir dikelola pada status jalan nasional dan jalan provinsi.

 

Ini berarti penyediaan fasilitas parkir maupun pengelolaan parkir di Kota Ambon pada jalan-jalan yang merupakan status jalan nasional dan jalan provinsi oleh Pemerintah Kota Ambon c.q. Dinas Perhubungan merupakan tindakan yang tidak memiliki keabsahan secara hukum (onrechtmatigheid van bestuurhandelingen). Konsekuensi yuridis dengan adanya kebijakan ini maka seluruh aktivitas dan tindakan penyediaan fasilitas parkir adalah batal demi hukum, karena bertentangan dengan UU No. 22 Tahun 2009 dan PP No. 38 Tahun 2007.

 

Penyediaan fasilitas parkir di Kota Ambon saat ini didasarkan pada Perda No. 8 Tahun 2003 tentang Retribusi Parkir di Tepi Jalan Umum. Tentu saja perda tersebut secara hukum telah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya. Hal ini sesuai dengan asas preferensi hukum lex superior derogaat legi inferior, maka peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah kedudukannya. Malahan tindakan penyediaan lahan parkir dengan adanya pungutan oleh juru parkir – walaupun memiliki identitas resmi dari pemerintah, namun pungutan parkir dilakukan secara borongan dengan pihak ketiga. Tentu saja tindakan ini pun bertentangan dengan Perda No. 8 Tahun 2003 ini sendiri bahwa pemungutan retribusi tidak dapat diborongkan. Adanya tindakan Pemerintah Kota Ambon bekerja dengan pihak ketiga merupakan pemungutan yang diborongkan, karena kerjasama dilakukan melalui Surat Perjanjian Pemborongan (Kontrak). Di sinilah kompleksitas hukum mulai terjadi yang berakibat tidak sah dengan adanya kebijakan Pemerintah Kota Ambon melakukan tindakan penyediaan fasilitas parkir dan pengelolaannya. Apalagi kaitannya dengan UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, maka Pemerintah Kota Ambon telah melakukan tindakan yang tidak memenuhi kebutuhan pelayanan bagi masyarakat sesuai peraturan perundang-undangan.

 

 

Inilah gambaran kewenangan Pemerintah Kota Ambon yang diperhadapkan pada kepentingan ekonomi dengan bertambahnya pendapatan asli daerah ataukah harus melakukan segala sesuatu demi kepentingan publik. Besarnya pendapatan asli daerah akan memberikan kemampuan bagi daerah dalam menyelenggarakan otonomi, namun dengan mengabaikan kepentingan publik,  merupakan tindakan yang tidak memiliki keabsahan secara hukum.

Tinggalkan Balasan