KONSEPSI PENINGKATAN KETERSEDIAAN BERAS DENGAN PERSPEKTIF WAWASAN NUSANTARA DAPAT MENINGKATKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL

Hukum Tata Negara / Hukum Administrasi Negara

KONSEPSI PENINGKATAN KETERSEDIAAN BERAS DENGAN PERSPEKTIF WAWASAN NUSANTARA DAPAT MENINGKATKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL

 

oleh : Zaedun, S.Sos

 

1.       Pendahuluan.

Ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup merupakan pilar utama bagi pembangunan nasional.    Menurut ahli pertanian Simatupang dan Syafaat, pada konteks pembangunan nasional, khususnya produktivitas pertanian pangan beras ada lima kriteria tentang ketersediaan pangan yang perlu dicermati yaitu (1) Strategis, esensial dan besar kontribusinya dalam mewujudkan sasaran dan tujuan pembangunan ekonomi nasional; (2) Tangguh, yang berarti pertanian sebagai sektor andalan harus memiliki keunggulan kompetitif, berbasis pada kemampuan domestik, kemandirian dan dapat menyesuaikan terhadap perubahan lingkungan stategis (sosial, ekonomi, politik, alam); (3) Artikulatif, yang artinya harus memiliki kemampuan sebagai dinamisator dan fasilitator bagi pertumbuhan sektor ekonomi lainnya; (4) Progresif, yang berarti pertanian dapat tumbuh secara berkelanjutan tanpa menimbulkan efek negatif terhadap kualitas lingkungan hidup; (5) Responsif, dalam arti mampu memberi respon yang cepat dan tepat terhadap setiap kebijakan pemerintah (Tulus Tambunan, 2003 : 122 ; Tati Nurmala dkk., 2012 : 95-96).   Kelima kriteria tersebut, bila dihadapkan dengan kondisi riil ketersediaan pangan dan besarnya tingkat ketergantungan terhadap impor pangan, jelas memerlukan pemikiran serius yang proporsional dan kontekstual.

 

Secara proporsional, pertanian memiliki arti penting dalam posisinya bersama dengan bidang dan sektor lain yang saling memiliki keterkaitan, ketergantungan dan sinergi dalam perannya guna mewujudkan kesejahteraan rakyat dan tersedianya pangan yang cukup.    Sebab kehidupan manusia selalu membutuhkan pangan.   Sedangkan peran pertanian secara kontekstual merupakan usaha, proses dan kebijakan untuk memberdayakan kemampuannya, memiliki daya saing, dan kinerja dalam meningkatkan kesejahteraan petani dan mengurangi kemiskinan, menciptakan kesempatan usaha dan kesempatan kerja, membangun ketahanan pangan, meningkatkan daya saing ekonomi Indonesia, melestarikan lingkungan dan membangun daerah (Tati Nurmala, Loc. Cit : 169-170).    

Mencermati pemahaman tersebut, jelas bahwa permasalahan pangan, budi daya pertanian, dan perangkatnya memerlukan keterpaduan dalam perumusan kebijaksanaan, pelaksanaan,  evaluasi dan sistem manajemen nasional yang diterapkan, karena bangsa Indonesia yang memiliki potensi besar dalam kaitannya dengan SKA, SDM dengan karakter geografis, demografi dan perkembangan ekonomi, sosial dan budaya pada dasarnya mengandalkan pertanian padi sebagai sektor ekonomi utama (Mubiar Purwasasmita, 2012 : 77).    Pada perkembangannya upaya untuk mencapai kemandirian guna memenuhi kebutuhan pangan nasional bukan hanya dipandang dari sisi kepentingan ekonomi semata tetapi perlu dihadapkan dengan konsep ketahanan pangan dan wawasan nusantara sebagai bagian yang mendasar bagi ketahanan nasional yang harus dilindungi. 

          Konsep dasar wilayah Indonesia merupakan negara kepulauan yang telah disahkan melalui Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957.   Deklarasi tersebut memiliki nilai sangat strategis bagi bangsa Indonesia, karena telah melahirkan konsep Wawasan Nusantara yang menyatukan wilayah Indonesia.   Dilandasi cara pandang bahwa Laut Nusantara bukan lagi sebagai pemisah, akan tetapi sebagai pemersatu bangsa Indonesia yang disikapi sebagai wilayah kedaulatan mutlak Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka masyarakat, bangsa dan wilayah Indonesia harus dilihat sebagai satu kesatuan yang harus dibangun dan dicukupi kebutuhan dasarnya, baik sandang, pangan dan papan.    Mengenai kebutuhan pangan, maka yang paling mendesak harus dipenuhi adalah ketersediaan beras dalam mendukung kelangsungan hidup masyarakat dan bangsa Indonesia.

Sebagai negara yang memiliki wilayah daratan untuk membudidayakan tanaman padi, selayaknya Indonesia mampu menjadi produsen guna memperkuat ketahanan pangan khususnya pada kecukupan dan ketersediaan beras bagi stok nasional dan internasional.   Bukan sebagai konsumen atau  pengimpor pangan terbesar, karena tidak berdaya dalam memproduksi beras bagi pemenuhan kebutuhannya.    

Fenomena ini sungguh kontradiktif karena secara geografis Indonesia memiliki potensi wilayah yang mendukung untuk meningkatkan ketersediaan beras, sedangkan dari aspek demografi, penduduk Indonesia mayoritas adalah petani yang mampu diberdayakan untuk mewujudkan ketersediaan beras bagi ketahanan pangan nasional.    Selanjutnya dengan pendekatan ekonomi dan sosial maka diharapkan sektor pertanian khususnya budi daya tanaman padi dapat menampung jumlah tenaga kerja guna menekan angka pengangguran dan mensejahterakan tingkat perekonomian masyarakat.

2.       Inti Tulisan.

          Konsep ketahanan pangan di Indonesia tertuang pada Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan padal 1 ayat 17 berbunyi “ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau”.     Klausul pada pasal tersebut jelas bahwa ketahanan pangan adalah suatu kondisi dimana setiap individu dan rumah tangga memiliki akses secara fisik, ekonomi, dan ketersediaan pangan yang cukup dan aman, serta pemenuhan kebutuhan pangan terjangkau oleh masyarakat merupakan amanat yang harus diwujudkan.     

Sebagai bangsa yang besar dengan keunggulan SKA, bila dilihat dari konsepsi Wawasan Nusantara maka Indonesia memiliki berbagai potensi alam yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, dengan tanah yang subur merupakan suatu karunia ilahi yang harus disukuri dengan mengoptimalkan dan melestarikan alam sebagai modal pembangunan bangsa.

Wawasan Nusantara sebagai cara pandang bangsa Indonesia terhadap rakyat, bangsa dan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang meliputi darat, laut dan udara sebagai satu kesatuan politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan.    Mengingat bentuk dan letak geografis Indonesia yang merupakan suatu wilayah lautan dengan pulau-pulau di dalamnya, memiliki letak equatorial beserta segala sifat dan corak khasnya, maka implementasi nyata dari Wawasan Nusantara merupakan kepentingan pertahanan keamanan negara yang harus ditegakkan.   

Realisasi penghayatan dan pengisian Wawasan Nusantara pada satu pihak untuk menjamin keutuhan wilayah nasional dan melindungi SKA beserta pengelolanya, sedangkan pada pihak lain dapat menunjukkan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.    Atas dasar itu seluruh potensi pertahanan keamanan negara harus sedini mungkin ditata dan diatur menjadi suatu kekuatan yang utuh dan menyeluruh, termasuk dalam penyiapan ketahanan pangan nasional khususnya dalam meningkatkan ketersediaan beras. a.       Wawasan Nusantara dan Ketahanan Pangan Nasional.

Ketahanan pangan tidak hanya mencakup pengertian ketersediaan pangan yang cukup, tetapi juga kemampuan untuk mengakses pangan dan tidak terjadi ketergantungan pangan pada pihak manapun.  Sehubungan dengan hal itu, petani di Indonesia memiliki peran strategis dalam mewujudkan ketahanan pangan, karena petani adalah produsen pangan dan sekaligus konsumen yang sebagian dikategorikan sebagai kelompok miskin, yang rentan dengan krisis pangan dan ekonomi (Tulus Tambunan, 2003 : 145).    

Menyikapi kondisi riil ini, petani harus memiliki kemampuan produktivitas pangan khususnya beras sekaligus memiliki pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan sehingga memiliki ketersediaan beras dalam mendukung ketahanan pangan Nasional dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Konsep ketahanan pangan nasional pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan memberi penekanan pada akses setiap Rumah Tangga terhadap pangan yang cukup, bermutu dan harganya terjangkau, meskipun rata-rata Rumah Tangga belum berarti mampu menjamin akses yang sama terhadap pangan karena di dalam Rumah Tangga ada relasi kuasa.   

Implikasi kebijakan dari konsep ini adalah bahwa pemerintah, disatu pihak berkewajiban menjamin kecukupan pangan dalam arti jumlah dengan mutu yang baik serta stabilitas harga, dan dipihak lain harus meningkatkan pendapatan masyarakat, khususnya dari golongan pendapatan rendah. (Tulus Tambunan, Loc. Cit : 175).

Pada pasal 27 ayat 2 UUD 1945 berbunyi “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Klausul ini konsekuensinya berarti pekerjaan yang ditekuni harus mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat, sebagai tujuan substantif bahwa pekerjaan merupakan salah satu solusi untuk mencapai penghidupan yang layak.   Sehubungan dengan hal itu, masyarakat perlu diberdayakan sesuai dengan kemampuannya, baik ekonomi, finansial, keterampilan, dan tak terkecuali dengan berbagai kemampuan sosial-kultural seperti tekad untuk maju, etos kerja produktif, memiliki prakarsa, kreatif dan inovatif (Sri Edi Swasono, 2010 : 77).

Pada keberadaannya, Nusantara dipahami sebagai konsep kewilayahan nasional dengan penekanan bahwa wilayah negara Indonesia terdiri dari pulau-pulau yang tersebar di khatulistiwa, yang dihubungkan oleh laut.    Sedangkan Wawasan Nusantara adalah konsep politik bangsa Indonesia yang memandang Indonesia sebagai satu kesatuan wilayah, meliputi tanah (darat), air (laut) termasuk dasar laut dan tanah di bawahnya dan udara di atasnya secara tidak terpisahkan, yang menyatukan bangsa dan negara secara utuh menyeluruh mencakup segenap bidang kehidupan nasional yang meliputi aspek politik, ekonomi, sosial budaya, dan

4

pertahanan keamanan.

Berdasarkan data sejarah, Kebangkitan Nasional yang dirintis dengan berdirinya Budi Utomo pada 20 Mei 1908 merupakan awal tumbuhnya semangat kebangsaan, yang dipertegas dengan Sumpah Pemuda 1928 dengan ikrar satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa Indonesia yang mencapai titik kulminasi pada Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945 merupakan tonggak lahirnya Wawasan Nusantara (Nugroho Notosusanto, 1984 : 89 ; Rudini, 1992 : 29).

Konsepsi Wawasan Nusantara dalam peningkatan Ketahanan Pangan Nasional adalah cara pandang bangsa Indonesia sebagai satu kesatuan yang secara geografis, demografis dan sosial memiliki kemampuan untuk membangun kemandirian pangan nasional sebagai perwujudan dari ketahanan pangan nasional.    Adapun unsur-unsur dasar Wasantara yaitu wadah, isi, dan tata laku.   Pada wadah dan isi Wasantara itu, tampak adanya bidang-bidang usaha untuk mencapai kesatuan dan keserasian dalam mewujudkan peningkatan ketahanan pangan nasional, yang meliputi :

1)       Satu kesatuan wilayah yaitu wilayah Indonesia.

2)       Satu kesatuan pertahanan keamanan yaitu Hankam Indonesia.

3)       Satu kesatuan ekonomi yaitu ekonomi Indonesia.

4)       Satu kesatuan budaya yaitu budaya Indonesia.           

5)       Satu kesatuan bangsa yaitu bangsa Indonesia.

Berdasarkan pemahaman tersebut, jelaslah bahwa Wawasan Nusantara adalah pengejawantahan dari falsafah Pancasila dan UUD 1945 dalam wadah negara Republik Indonesia.   Kelengkapan dan keutuhan pelaksanaan Wasantara dalam meningkatkan ketahanan pangan nasional akan terwujud dalam terselenggaranya ketahanan nasional Indonesia yang senantiasa harus ditingkatkan sesuai dengan tuntutan perkembangan bangsa Indonesia.   Ketahanan pangan nasional itu akan dapat meningkat jika ada pembangunan pertanian yang meningkat, dalam "koridor" Wasantara.    Wasantara dan ketahanan pangan nasional terhimpun dalam  geostrategi Indonesia yang diwujudkan melalui konsep Ketahanan Nasional dan bertumpu pada perwujudan kesatuan Ipoleksosbudhankam.   

Pengertian ketahanan nasional adalah kondisi dinamis suatu bangsa, meliputi seluruh aspek kehidupan nasional yang terintegrasi, berisi keuletan, dan ketangguhan serta mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi segala tantangan, ancaman, hambatan, serta gangguan dari luar maupun dari dalam, langsung maupun tidak langsung membahayakan integrasi, identitas, kelangsungan hidup bangsa dan negara, serta perjuangan mengejar tujuan nasionalnya.

Konsepsi ketahanan nasional adalah keseimbangan dan keserasian dalam kehidupan sosial, yang melingkupi seluruh aspek kehidupan secara utuh dan menyeluruh, berlandaskan falsafah bangsa, ideologi negara, konstitusi dan wawasan nasional dengan metode Astagatra.   Sedangkan sifat ketahanan nasional adalah suatu bangsa yang memiliki sifat sebagai berikut:

1)       Manunggal, yaitu sifat integratif yang diartikan terwujudnya kesatuan dan perpaduan yang seimbang serasi, dan selaras dengan seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.

2)       Mawas ke dalam, yaitu ketahanan nasional yang diarahkan pada diri bangsa dan negara itu sendiri.

3)       Kewibawaan, yaitu ketahanan nasional sebagai hasil pandangan yang bersifat menunggal dapat mewujudkan kewibawaan nasional.

4)       Dinamis, yaitu kondisi tingkat ketahanan nasional suatu negara yang tidak tetap.

5)       Menitikberatkan konstitusi dan saling menghargai.

 

Berdasarkan pengertian konsepsi ketahan nasional, maka seluruh aspek kehidupan nasional yang diperinci dengan sistem Astagatra, terdiri dari Trigatra (tiga aspek alamiah), dan Panca Gatra (lima aspek sosial).   Pada kaitan dengan Wasantara secara keseluruhan, telah terangkum dalam ideologi bangsa Indonesia yaitu Pancasila.    

Cara pandang bangsa terhadap bangsanya sendiri menjadi modal dasar bagi peningkatan ekonomi Indonesia khususnya dibidang ketahanan pangan nasional.  Menurut Mubyarto, dijelaskan bahwa ciri-ciri sistem Ekonomi Pancasila salah satunya adalah prioritas kebijakan ekonomi dalam menciptakan perekonomian nasional yang tangguh, yang berarti nasionalisme menjiwai tiap-tiap kebijaksanaan ekonomi (Mubyarto, 1981 : 78).

Mencermati pendapat tersebut, pada konteks peningkatan ketahanan pangan nasional, maka Indonesia harus mandiri dalam bidang pangan.    Bangsa Indonesia harus memandang diri dan kemampuannya sebagai satu kesatuan yang dapat menjelma menjadi satu kekuatan yang tangguh dalam mewujudkan kemandirian bangsa dengan memanfaatkan secara sungguh-sungguh ketersediaan alam Indonesia untuk diberdayakan dalam mendukung ketahanan pangan nasional.

Konsep peningkatan ketahanan pangan tersebut dapat diterapkan untuk menyatakan situasi pangan pada berbagai tingkatan yaitu tingkat global, regional, nasional, dan tingkat rumah tangga serta individu yang merupakan suatu rangkaian sistem hirarkis.     Konsep ketahanan pangan sangat luas dan beragam serta merupakan permasalahan yang kompleks.   Bagi Indonesia, peningkatan ketahanan pangan masih sebatas konsepsi yang masih sulit untuk diterapkan oleh pengambil kebijakan. 

Permasalahan ketahanan pangan sampai saat ini masih terus terjadi dan mencakup empat aspek : (1) Aspek produksi dan ketersediaan pangan. bagi seluruh penduduk dan setiap rumah tangga.     Permasalahan aspek produksi diawali dengan ketidak cukupan produksi bahan pangan untuk memenuhi kebutuhan penduduk.  Hal ini disebabkan oleh laju pertumbuhan produksi pangan yang relatif lebih lambat dari pertumbuhan permintaannya.   Permasalahan ini akan berpengaruh pada ketersediaan bahan pangan.   

Ketersediaan bahan pangan bagi penduduk akan semakin terbatas akibat kesenjangan yang terjadi antara produksi dan permintaan.   Selama ini, permasalahan ini dapat diatasi dengan impor bahan pangan tersebut.   Namun, sampai kapan bangsa ini akan mengimpor bahan pangan dari luar ? Karena hal ini tidak akan membuat bangsa ini berkembang.   Sebaliknya akan mengancam stabilitas ketahanan pangan di Indonesia dan juga mengancam produk dalam negeri, (2) Aspek distribusi pangan dari daerah sentra produksi ke konsumen di suatu wilayah memerlukan suatu proses pengangkutan bahan pangan dari suatu tempat ke tempat lain, biasanya dari produsen ke konsumen,[1] (3)  Aspek konsumsi,  yang dapat mengancam ketahanan pangan negara, karena produksi beras Indonesia dari tahun ke tahun yang menurun tidak diimbangi dengan tingkat konsumsi masyarakat yang terus meningkat.   Walaupun selama ini keadaan bisa teratasi dengan mengimpor beras, suatu saat pasti akan mengalami krisis,[2] (4) Aspek kemiskinan, yang menjadi penyebab utamanya permasalahan ketahanan pangan di Indonesia.

Mencermati permasalahan tersebut, ada beberapa solusi yang dapat dilakukan agar memiliki ketahanan pangan yang tangguh.   Diantara solusi tersebut

7

ialah diversifikasi pangan.[3]  Selanjutnya mendukung secara nyata kegiatan peningkatan pendapatan daerah asal, melalui kegiatan pertanian berbasis sumber daya lokal.    Kegiatan ini dapat mengikuti permodelan klaster, yang dalam penerapannya memerlukan integrasi melibatkan sejumlah besar kelompok petani di beberapa wilayah sekaligus, dengan proses hulu-hilir rantai produksi makanan, dan dukungan teknologi yang efektif dan efisien.   

Hal ini merupakan tugas dari akademisi untuk melakukan penelitian dan menjembatani dengan teknologi sehingga dapat diterapkan pada skala industri.   Model kelompok industri tersebut meliputi : (1) Pengembangan SDM partner industry, (2) Persiapan penanaman modal untuk inisiasi konstruksi dan produksi, (3) Pengembangan berbagai produk pangan yang dapat di proses secara komersial dan dijual ke pasaran, (4) Penerapan konsultasi dan pengawasan penanganan komoditas dan keamanan produk bagi petani sehingga dapat memenuhi kualitas standar yang diterapkan oleh industri, (5) Pengembangan dan penerapan operasi prosedur standar dari pabrik pemasaran produksi, (6) Pemberdayaan klaster.[4]    Selanjutnya teknologi berperan penting dalam inovasi produk sehingga dapat memiliki nilai tambah guna meningkatkan pendapatan para petani melalui komoditi tertentu yang dijual kepada pihak industri guna meningkatkan kesejahteraan (Achmad Suryana, 209 : 1-2 ; Gatra, 2012 No.27 : 10-14).

Sedangkan yang bertindak sebagai stakeholder yaitu Badan Usaha Milik Petani, yang berfungsi sebagai : (1) Peran Kelompok petani guna mengupayakan konservasi penanaman tanaman lokal berdasar pada sistem bercocok tanam yang baik (good agriculture practices) untuk menghasilkan komoditas lokal yang dapat memenuhi standar kualitas, (2) Pemerintah Daerah guna mengkoordinasi fasilitas dan program inventarisasi untuk rotasi tanaman dan supervisi petani, bekerjasama dengan pihak akademisi untuk meningkatkan produktivitas, pihak industri dan mendukung modal KUD, sesuai pasal 21 UU Otonomi Daerah 2004, (3) Peranan Industri,[5] (4)  Peran  Akademisi.   

Kegiatan peningkatan pendapatan melalui pengembangan kelompok industri diharapkan dapat bermanfaat untuk memperkuat ketahanan pangan dalam jangka panjang, guna (1) meningkatkan nilai tambah dari komoditi local, (2) menyediakan komoditi lokal yang memiliki potensi secara komersial, (3) mendorong pengembangan desa melalui kegiatan peningkatan pendapatan berdasar pada pertanian local, (4) mendukung ketahanan pangan dalam jangka panjang, (5) memberikan solusi terhadap permasalahan pengangguran dan kemiskinan terutama pada masyarakat pedesaan.   Melalui diversifikasi pangan dan kegiatan peningkatan pendapatan berbasis sumber daya lokal diharapkan dapat memperkuat ketahanan pangan di Indonesia dalam waktu jangka panjang. (http:// nugrohogalih : 2009).

b.       Peningkatan Ketersediaan Beras.

Dalam perspektif Wasantara, bumi Indonesia memang dikenal sangat subur, namun kesuburan itu menjadi kontradiktif jika tidak dimanfaatkan secara baik oleh masyarakat.   Pasal 33 UUD 1945 (Amandemen ke Empat) menjelaskan bahwa tanah, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk kesejahteraan masyarakat.    

Sehubungan dengan klausul tersebut, peningkatan ketersediaan beras tidak terlepas dari peranan petani, karena kesejahteraan petani pangan yang relatif rendah dan menurun sangat menentukan prospek ketahanan pangan nasional.  Kesejahteraan tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor dan keterbatasan yaitu : (1) Sebagian petani miskin karena tidak memiliki faktor produktif kecuali tenaga kerjanya, SDM rendah, pendidikan minim dan kemiskinan yang struktural, (2) Luas lahan petani semakin sempit dan mendapat tekanan untuk terus terkonversi, rata-rata hanya memiliki tanah kurang dari 1/3 hektar, sehingga tidak dapat di gunakan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari apalagi untuk peningkatan produksi beras, (3) Terbatasnya akses terhadap modal, baik penyediaan pupuk atau benih, (4) Terbatasnya akses terhadap informasi dan teknologi sehingga berpengaruh pada hasil produksi yang terbatas, tidak bisa maksimal, (5) Infrastruktur produksi (air, listrik, jalan, telekomunikasi) tidak memadai, (6)  Struktur pasar yang tidak adil dan melemahkan petani, (7)  Kelemahan petani yang berpengaruh pada peningkatan produksi beras (Tati Nurmala, 2012 : 153-154).

c.       Analisis Masalah.

Peningkatan ketersediaan beras dalam meningkatkan ketahanan pangan nasional pada hakekatnya adalah pemberdayaan masyarakat, yang berarti meningkatkan kemandirian dan kapasitas masyarakat untuk berperan aktif dalam mewujudkan ketersediaan, distribusi dan konsumsi pangan dari waktu ke waktu.   Masyarakat yang terlibat dalam peningkatan ketersediaan beras dalam meningkatkan ketahanan pangan meliputi produsen, pengusaha, konsumen, aparatur pemerintah, perguruan tinggi, dan LSM.   

Mengingat luasnya substansi dan banyaknya pelaku yang terlibat dalam pengembangan sistem ketahanan pangan, maka kerja sama yang sinergis dan terarah antar institusi dan komponen masyarakat sangat diperlukan.    Pemantapan ketahanan pangan hanya dapat diwujudkan melalui suatu kerja sama yang kolektif dari seluruh pihak yang terkait (stakeholders), khususnya masyarakat produsen (petani), pengolah, pemasar, konsumen pangan dan pemerintah.

Pengadaan pangan bagi bangsa Indonesia hingga saat ini memang masih mengkhawatirkan.   Padahal, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan  telah memberikan arahan bagaimana kita harus mencapai ketahanan pangan bagi bangsa Indonesia.  Arah pengembangan ketersediaan beras dalam meningkatkan ketahanan pangan berawal dari rumah tangga, masyarakat, daerah dan kemandirian nasional bukan mengikuti proses sebaliknya.

Proses pemberdayaan tersebut tidak lagi menganut pola serapan, tetapi didesentralisasikan sesuai potensi dan keragaman sumber daya wilayah.  Bila ditinjau dari aspek Wasantara maka sesungguhnya Indonesia memiliki beraneka ragam sumber daya makanan yang dapat dimodifikasi untuk mendukung kebutuhan keluarga.   Setiap keluarga tidak harus mengkonsumsi beras setiap hari namun dapat diselingi dengan umbi-umbian, jagung, maupun jenis makanan lainnya yang dapat menopang gizi keluarga. 

Merubah cara pandang bangsa Indonesia seperti ini perlu dilakukan secara terencana dalam memahami kondisi bangsanya dihadapkan tantangan dan perubahan zaman, yang menuntut bangsa Indonesia untuk menyadari pentingnya wawasan kebangsaan dalam mewujudkan peningkatan ketersediaan beras bagi kepentingan ketahanan pangan nasional.    Sikap menumbuh kembangkan rasa cinta kepada hasil produk yang dikelola bangsa sendiri merupakan gambaran dari konsep pemahaman terhadap makna wawasan nusantara.   

Kaitannya dengan mendukung peningkatan beras dalam perspektif wawasan nusantara maka kita dapat belajar dari beberapa desa yang tersebar di Maluku, Papua dan Nusa Tenggara Timur yang menjadikan beras sebagai makanan yang dikonsumsi pada hari-hari tertentu seperti Hari Jumat dan acara adat atau acara tertentu lainnya.   Pola konsumsi keluarga terhadap beras tersebut sangat berpengaruh terhadap peningkatan ketersediaan beras bagi kepentingan ketahanan pangan Nasional.       

Dalam konteks inilah maka membangun kemandirian pangan pada tingkat rumah tangga perlu ditempuh dengan membangun kemampuan (daya beli) rumah tangga tersebut untuk memperoleh pangan (dari produksi sendiri ataupun dari pasar) yang cukup, bergizi, aman dan halal, dengan tidak bertumpu kepada satu jenis produksi pangan tertentu seperti beras dalam menjalani kehidupan yang sehat dan produktif.   Dengan demikian kemampuan menghasilkan sendiri bahan pangan yang variatif dapat mendorong peningkatan pendapatan (daya beli) secara berkelanjutan.(http://www.nabble.com/-sastra-pembebasan–Ketahanan-Pangan,-Potensi-Pertanian-Terabaikan).     

d.       Rekomendasi Kebijakan.

Program pemerintah dalam kaitannya dengan pembangunan ketersediaan beras dalam mendukung ketahanan pangan masih belum bisa memenuhi kebutuhan masyarakat pada umumnya.    Pembangunan ketahanan pangan yang ada masih bersifat pada tataran makro, sedangkan pada tataran mikro, tingkat unit masyarakat terkecil masih terkesan terabaikan.  

Beberapa upaya pemberdayaan untuk meningkatkan kemandirian masyarakat khususnya pemberdayaan petani yaitu : (1) Pemberdayaan untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing, melalui kerjasama dengan penyuluh dan peneliti.   Teknologi yang dikembangkan harus berdasarkan spesifik lokasi yang mempunyai keunggulan sesuai dengan ekosistem setempat dan memanfaatkan input yang tersedia di lokasi serta memperhatikan keseimbangan lingkungan, (2) Penyediaan fasilitas tidak terbatas pada sarana produksi, tetapi dengan sarana pengembangan agribisnis lain yang diperlukan seperti informasi pasar, peningkatan akses terhadap pasar, permodalan serta pengembangan kerjasama kemitraan dengan lembaga usaha lain, (3)  Revitalitasasi kelembagaan dan sistem ketahanan pangan masyarakat melalui pengembangan lumbung pangan (Budiman Hutabarat, 2009: 18 ; Hetifah Sumarto, 2009 : 7).  

Berdasarkan pendekatan sistem pangan, maka strategi peningkatan ketahanan pangan dapat ditempuh melalui kebijakan di setiap subsistemnya yaitu : (1) Konsumsi pangan, kebijakan peningkatan pendapatan dan daya beli masyarakat ditempuh dengan strategi penciptaan lapang kerja baru dengan program subsidi langsung tunai (SLT) bagi rakyat yang miskin, kebijakan diversifikasi pangan, perbaikan gizi, dan mutu pangan, (2) Kebijakan intensifikasi pertanian padi karena padi merupakan komoditi yang berimplikasi politis, melalui strategi teknologi, ekonomi, rekayasa sosial, dan nilai tambah yang diterapkan dalam praktek produksi serta kebijakan ekstensifikasi melalui pembangunan lahan-lahan pertanian baru untuk produksi pangan, baik berupa lahan kering maupun lahan basah (sawah) yang dikaitkan dengan kegiatan transmigrasi.    Dalam subsektor hortikultura, ditempuh strategi pengembangan sentra produksi buah-buahan unggulan yang dikaitkan dengan pembangunan kebun induknya.    

Kebijakan rehabilitasi pertanian ditempuh dengan rehabilitasi jaringan irigasi, kebun bibit dengan rekayasa sistem pertanian terpadu yang melibatkan usaha tani tanaman, ternak, dan atau ikan secara komplementer dan sinergis, sesuai dengan kondisi agroklimat lahannya, (3) Kebijakan pengelolaan cadangan pangan dan stabilisasi harga pangan dijalankan khususnya untuk komoditi beras dengan penerapan strategi pengendalian ekspor dan impor dan persediaan beras cadangan yang aman untuk ketahanan pangan.

Mencermati populasi penduduk Indonesia saat ini mencapai 216 juta jiwa dengan angka pertumbuhan 1.7 % per tahun, maka fenomena itu mengindikasikan esarnya pangan yang harus tersedia.   Kebutuhan besar jika tidak diimbangi dengan peningkatan produksi pangan justru menjadi masalah laten, karena laju peningkatan produksi di dalam negeri terus menurun.   Menyikapi situasi pangan yang telah menjadi isu strategis yang terus bergejolak, jika tidak ada upaya untuk meningkatkan produksi pangan akan menimbulkan krisis pangan karena kesenjangan yang sangat lebar antara kebutuhan dan ketersediaan pangan, yang nantinya akan mengarah kepada terganggunya konsepsi Wasantara yang mengusung konsep satu kesatuan dalam wadah NKRI.

 

 

3.       Penutup.    

Berdasarkan kondisi riil, Indonesia sebagai negara agraris yang mengandalkan pertanian sebagai tumpuan kehidupan bagi sebagian besar penduduknya belum mampu memenuhi kebutuhan pangan standar nasional indonesia, hal tersebut dikarenakan tidak adanya manajemen serta peran yang serius pemerintah terhadap persoalan pangan indonesia. Dampak tersebut berakibat negatif bagi pasar di indonesia. ternyata saat ini berada dalam situasi kritis karena lemah pada produktivitas pangan dalam negeri dan mengandalkan pada impor pangan untuk mencukupi kebutuhan nasional.   

Ancaman dan tantangan ketahanan pangan selama ini perlu disikapi dengan pemikiran dan langkah konkrit guna mewujudkan kemandirian pangan, khususnya ketersediaan beras dengan mengoptimalkan SKA dan SDM yang ada dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri.    Sebagai upaya komprehensif untuk memahami konsepsi peningkatan ketersediaan beras dalam perspektif Wawasan Nusantara dapat mendorong peningkatan ketahanan pangan dalam wadah satu NKRI.   

Dihadapkan pada dinamika perkembangan yang multi kompleks, maka pemahaman  Wawasan Nusantara oleh seluruh komponen bangsa diharapkan dapat menjadi pisau analisa untuk memecahkan masalah pangan sebagai bagian dari konsep ketahanan nasional.

 


[1]           Ada empat akar permasalahan pada distribusi pangan : yaitu dukungan infrastruktur, kurangnya dukungan akses terhadap pembangunan sarana jalan, jembatan; sarana transportasi; sistem transportasi, yang kurang efektif dan efisien; masalah keamanan dan pungutan liar yang mempengaruhi beban biaya transportasi.

[2]           Pola konsumsi terhadap pangan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu tingkat pengetahuan masyarakat terhadap pangan dan tingkat pendapatan masyarakat.

[3]           Diversifikasi pangan adalah suatu proses pemanfaatan dan pengembangan suatu bahan pangan sehingga penyediaannya semakin beragam. Latar belakang pengupayaan diversifikasi pangan adalah melihat potensi negara dari perspektif Wasantara yang sangat besar dalam sumber daya hayati. Indonesia memiliki berbagai macam sumber bahan pangan hayati terutama yang berbasis karbohidrat. Setiap daerah di Indonesia memiliki karakteristik bahan pangan lokal yang berbeda dengan daerah lain. Diversifikasi pangan juga merupakan solusi untuk mengatasi ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap satu jenis bahan pangan yakni beras.

[4]           Kluster merupakan kumpulan kelompok petani, yang mana satu kelompok petani merupakan satu industri kecil bekerja sama untuk memproses bahan tertentu dan mengubahnya menjadi bahan setengah jadi untuk siap dipasok ke industri.

[5]           Guna menyiapkan manajemen, rencana strategis industri, tranfer teknologi, pemasaran dan kerja sama industri.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Hutabarat, Budiman, 2009, “Kebangkitan Pertanian Nasional : Meretas Jebakan Globalisasi dan Liberalisasi Perdagangan”, dalam “Kumpulan Jurnal Ilmiah Pengembangan Inovasi Pertanian”  3  (1), Bogor,  Pusat  Analisa  Sosial  Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, 18-37.

Mubyarto , “Moral Ekonomi Pancasila”, Majalah Prisma Tahun 1981.

Nurmala, Tati dkk., 2012, Pengantar Ilmu Pertanian, Yogyakarta : Graha Ilmu.

Notosusanto, Nugroho, Ed., dkk,1984, ”Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI”, Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Pokja Wawasan Nusantara, 2012, Modul Wawasan Nusantara dan Geopolitik, Lemhannas RI.

Purwasasmita, Mubiar dan Sutaryat, Ali, 2012, “Padi Sri Organik Indonesia”, Jakarta: Penebar Swadaya.

Rudini, 1992, “Wawasan Nusantara Indonesia Menghadapi Globalisasi Dunia”,    Jakarta : Pusat Kajian Kebudayaan Universitas Bung Hatta.

Sumarto, Hetifah Sj., “Inovasi, Partisipasi dan Good Governance, 20 Prakarsa Inovatif dan Partisipatif di Indonesia, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Suryana, Achmad, 2009, “Menelisik Ketahanan Pangan, Kebijakan Pangan, dan Swasembada Beras””, dalam “Kumpulan Jurnal Ilmiah Pengembangan Inovasi Pertanian” 3 (1), Bogor, Pusat Analisa Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, 1-16.

Swasono, Sri Edi, 2010, “Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan Sosial”, PerkumpulanPrakarsa.

Tambunan, Tulus T.H., 2003, “Perkembangan Sektor Pertanian di Indonesia”,    Jakarta : Ghalia Indonesia.

Sumber Hukum :

 

Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan.

Undang-Undang Dasar 1945 dan Amandemen UUD 1945.

 

Sumber Internet :                                                                               

http://nugrohogalih.wordpress.com/2009/02/06/meningkatkan-ketahanan-pangan-indonesia-berbasis-sumber-daya-lokal/ [ 23 April 2012]               

http://www.nabble.com/-sastra-pembebasan–Ketahanan-Pangan,-Potensi-Pertanian-Terabaikan-td11169388.html [2 januari 2009]

 

Tinggalkan Balasan