MENATA ULANG PENEGAKAN HUKUM PEMILU DAN PEMILUKADA

Hukum Tata Negara / Hukum Administrasi Negara

MENATA ULANG PENEGAKAN HUKUM PEMILU DAN PEMILUKADA[1]

Oleh : Jantje Tjiptabudy

ABSTRAK

Pemilu dan Pemilukada  sebagai perwujudan pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan dalam suatu sistem demokrasi langsung tentunya harus sesuai dengan prinsip dan konsep pemilu.

            Sehubungan dengan hal tersebut penyelenggaraan Pemilu dan Pemilukada haruslah berpatokan pada 4 (empat) unsur konsep Pemilu yaitu : (1) sebagai sarana kedaulatan rakyat, (2) dilaksanakan secara LUBERdanJURDIL, (3) dilaksanakan dalam Negara Kesatuan RI, dan (4) berlandaskan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945.

            Dalam proses penegakan hukum Pemilu dan Pemilukada yang meliputi berbagai aspek hukum yaitu tata Negara, administrasi Negara, pidana dan  perdata menyebabkan penanganannyapun melibatkan beberapa lembaga peradilan yaitu Mahkamah Konstitusi, Pengadilan Tata Usaha Negara dan Peradilan umum. Hal ini menyebabkan dapat terjadi putusan satu lembaga peradilan bertentangan dengan putusan lembaga peradilan lain atau dapat terjadi juga putusan suatu lembaga peradilan  misalnya putusan MK tentang penggelembungan suara yang melibatkan penyelenggara Pemilu yang jelas juga merupakan tindak pidana pemilu tidak terproses secara pidana.

Dari gambaran tersebut memperlihatkan  betapa rumitnya penegakan hukum dalam proses pemilu dan pemilukada. Dilain sisi lembaga pengawas Pemilu yaitu Bawaslu dan jajarannya tidak lebih dari tukang pos yang tugasnya dalam penegakan hukum pemilu dan Pemilukada  meneruskan kasus yang mengandung unsur pidana ke polisi dan pelanggaran administrasi ke KPU. Hal ini menambah rumit penegakan hukum dalam Pemilu dan Pemilukada.

Dalam rangka memperbaiki dan menata ulang penegakan hukum Pemilu dan Pemilukada dimasa mendatang perlu dipikirkan pembentukan peradilan khusus Pemilu dan Pemilukada yang  menangani semua pelanggaran pemilu baik itu pelanggaran pidana, pelanggaran administrasi serta sengketa TUN. Selain itu Bawaslu  perlu diberi kewenangan lebih dalam penegakan hukum.

Kata Kunci : Penegakan Hukum Pemilu

A.     Pendahuluan

Salah satu sayarat pokok demokrasi adalah adanya sistem pemilihan umum yang jujur dan adil (free and fair elections). Pemilu jujur dan adil dapat dicapai apabila tersedia perangkat hukum yang mengatur proses pelaksanaan pemilu; sekaligus melindungi para penyelenggara, kandidat, pemilih, pemantau, dan warga negara pada umumnya dari ketakutan, intimidasi, kekerasan, penyuapan, penipuan, dan berbagai praktik curang lainnya yang akan mempengaruhi hasil pemilu. Oleh karena itu, pemilu yang jujur dan adil membutuhkan peraturan perundang-undangan pemilu beserta aparat yang bertugas menegakkan peraturan perundang-undangan pemilu tersebut.

Meskipun demikian, setiap kali pemilu dilaksanakan selalu saja muncul isu tentang lemahnya penegakan hukum pemilu. Isu ini berangkat dari kenyataan betapa banyak pelanggaran administrasi dan tindak pidana pemilu yang tidak ditangani sampai tuntas. Selain itu, peraturan perundangan-undangan yang ada juga belum mengatur tentang keberatan atas keputusan penyelenggara pemilu. Memang Mahkamah Konstitusi punya kewenangan untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilu (yang ditetapkan penyelenggara pemilu, dalam hal ini KPU), tetapi bagaimana dengan keberatan atas masalah lain (di luar hasil pemilu) yang juga diputuskan oleh penyelenggara pemilu? Banyaknya kasus pelanggaran administrasi pemilu dan tindak pidana pemilu, serta banyaknya kasus keberatan atas keputusan penyelenggara pemilu; di satu sisi, mendorong munculnya protes-protes yang bisa berujung kekerasan, di sisi lain, juga mengurangi legitimasi hasil pemilu.

Untuk mengatasi masalah-masalah penegakan hukum pemilu tersebut, materi peraturan perundang-undangan pemilu harus dilengkapi, diperjelas, dan dipertegas. Yang tak kalah penting adalahmemperkuat lembaga-lembaga penegak hukum pemilu agar mampu bekerja secara efektif. Terkait dengan penyelenggara pemilu misalnya, apakah KPU/KPUD sudah menjalankan fungsinya selaku pemberi sanksi pelanggaran administrasi? Apakah struktur dan organisasi manajemen KPU/KPUD cukup efektif untuk menangani kasus pelanggaran administrasi pemilu? Dalam hal penanganan tindak pidana pemilu, pertanyaannya adalah sejauh mana efektivitas peran dan fungsi polisi, jaksa, dan hakim? Apakah prosedur penanganantindak pidana pemilu dapat dengan mudah dilaksanakan oleh ketigainstitusi tersebut? Lalu, bagaimana dengan posisi pengawas pemilu yang tugasnya hanya sebagai perantara dalam penanganan pelanggaran administrasi dan tindak pidana pemilu? Haruskah lembaga itu dipertahankan, fakta menunjukkan hampir tidak ada kasus sengketa dalam penyelenggaraan pemilu yang menjadi tugas pengawas pemilu untuk menyelesaikannya? Bagaimana jika lembaga itu dihilangkan (karena pertimbangan efektivitas penanganan kasus dan efisiensi anggaran) sehingga kasus pelangggaran administrasi langsung ditangani oleh KPU dan kasus tindak pidana langsung ditangani polisi, jaksa, dan hakim? Lalu apakah diperlukan peradilan khusus pemilu atau setidaknya hakim khusus pemilu yang bertugas menyelesaikan keberatan atas keputusan penyelenggara pemilu? Atau, keberatan atas keputusan penyelenggara pemilu cukup diajukan di peradilan tata usaha negara? Dan, bagaimana juga agar putusan Mahkamah Konstitusi tentang perselisihan hasil pemilu sejalan dengan putusan lembaga peradilan yang lain? [2]

kajian ini memetakan kembali masalah penegakan hukum pemilu dan selanjutnya merumuskan sistem penegakan hukum pemilu yang ideal, yakni sistem yang tidak menyalahi standar pemilu demokratis, namun tetap sesuai dengan kondisi Indonesia. Selain itu, kajian ini memberikan sejumlah rekomendasi kebijakan tentang bagaimana membangun sistem penegakan hukum pemilu yang ideal yang bisa mulai dilakukan pada Pemilu 2018.

           

B.     Lembaga Penegakan Hukum Pemilu

Sebagaimana diketahui bahwa Pemilu dilakukan melalui beberapa tahapan utama, dan kemungkinan terjadinya sengketa atau pelanggaran sangat mungkin terjadi di dalam setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu. Kemungkinan tersebut bisa disebabkan oleh kecurangan (fraud), kekhilafan (mistake), maupun strategi pemenangan pemilu yang tidak melanggar hukum tetapi menurunkan kepercayaan publik (non-fraudulent misconduct). [3]  

Oleh karena itu dalam pelaksanaan Pemilu maka peradilan yang berwenang memeriksa dan memutuskan sengketa pemilu haruslah juga siap mengadili sengketa atau pelanggaran Pemilu. Hal ini juga didasari oleh perkembangan fungsi peradilan yang tidak selalu hanya untuk memberikan putusan terhadap suatu sengketa, tetapi putusan pengadilan juga dapat membentuk prinsip dan ketentuan hukum yang harus dijalankan dalam penyelenggaraan Pemilu. Oleh karena itu Eric Barent  [4]  menyatakan, peran peradilan tidak hanya menyelesaikan sengketa biasa tetapi juga harus memastikan terlaksananya prinsip-prinsip pemilu sehingga dapat diselamatkan dari upaya penyalahgunaan dan pelanggaran sistem pemilihan.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD telah ditetapkan sebagai aturan main pelaksanaan Pemilu. Di dalam Undang-Undang ini, ketentuan yang mengatur tentang penyelesaian sengketa dan pelanggaran Pemilu ditangani oleh 3 (tiga) lembaga Peradilan yaitu Pengadilan umum, Pengadilan Tata Usaha Negara dan Mahkamah Konstitusi.

Peradilan pertama yang menangani sengketa dan pelanggaran Pemilu adalah pengadilan negeri yang memiliki kewenangan memeriksa, mengadili dan mumutuskan tindak pidana Pemilu dan gugatan perdata berkaitan dengan Pemilu seperti tuntutan ganti rugi.

Peradilan kedua yang menangani sengketa dan pelanggaran Pemilu adalah Pengadilan Tata Usaha Negara yang memiliki kewenangan memeriksa, mengadili dan memutuskan sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha Negara pemilu antara peserta Pemilu dengan Komisi Pemilihan Umum sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Komisi Pemilihan Umum.

Peradilan ketiga yang menangani sengketa Pemilu adalah Mahkamah Konstitusi. Kewenangan mahkamah Konstitusi adalah memeriksa, mengadili, dan memutuskan perselisihan hasil Pemilu sebagai perselisihan antara Komisi Pemiklihan Umum dengan peserta pemilu, mengenai penetapan perolehan suara hasil pemilu yang dapat mempengaruhi perolehan suara peserta Pemilu.  

Selain ketiga lembaga peradilan yang disebut di atas, maka sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum memberikan kewenangan kepada pengawas pemilu untuk menangani sengketa dalam penyelenggaraan Pemilu. tapi fakta menunjukkan hampir tidak ada kasus sengketa dalam penyelenggaraan pemilu yang menjadi tugas pengawas pemilu untuk menyelesaikannya.

 

C.      Posisi  Bawaslu dan Jajarannya Dalam Penegakan Hukum Pemilu

            Pemilu dan Pemilukada  yang dijalankan tanpa mekanisme dan iklim pengawasan yang bebas dan mandiri akan menjadi Pemilu sekedar sebagai agenda demokrasi yang dipenuhi kecurangan. Dalam situasi yang demikian, Pemilu dan Pemilukada telah kehilangan kejujuran. Oleh karena itu pemerintah yang dihasilkan dari proses demikian akan memiliki legitimasi yang rendah. Berangkat dari pemahaman itulah yang menempatkan pengawasan Pemilu sebagai “kebutuhan dasar” (basic an objective needs) dari setiap Pemilu yang digelar, baik secara nasional maupun secara local di tiap daerah dalam Pemilukada.

            Sehubungan dengan itu, maka potensi untuk terjadinya praktek-praktek kecurangan maupun pelanggaran dalam Pemilu untuk sementara digantungkan kepada lembagan pengawasa pemilu, dimana Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) menjadi tumpuannya. Oleh karena itu, sampai  sampai pada titik ini. Institusi pengawasa Pemilu masih diharapkan atau lebih tepatnya masih diandalkan sebagai instrument Pemilu yang berasaskan langsung, umum, bebas, rahasia, serta jujur dan adil (Luber dan Jurdil) dalam penyelenggaraan Pemilu.

            Dalam konteks ini apabila kita melihat tugas, wewenang dan Kewajiban Bawaslu/Bawaslu Provinsi,  Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan serta Panwaslu lapangan  sebagaimana termuat dalam pasal 73 s.d 82  Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.

            Dalam Pasal 73 disebutkan tugas dan wewenang Bawaslu adalah :

(1)  Bawaslu menyusun tata laksana kerja pengawasan tahapan penyelenggaraan Pemilu sebagai pedoman kerja bagi pengawas Pemilu di setiap tingkatan.

(2)  Bawaslu bertugas mengawasi penyelenggaraan Pemilu dalam rangka pencegahan dan penindakan pelanggaran untuk terwujudnya Pemilu yang demokratis.

(3)  Tugas Bawaslu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi :

a.       Mengawasi persiapan penyelenggaraan Pemilu ;

b.      Mengawasi pelaksanaan tahapan penyelenggaraan Pemilu;

c.       Mengelola, memelihara, dan merawat arsip/dokumen serta melaksanakan penyusutannya berdasarkan jadwal retensi arsip yang disusun oleh Bawaslu dan ANRI;

d.      Memantau pelaksanaan tindak lanjut penanganan pelanggaran pidana Pemilu oleh instansi yang berwenang;

e.       Mengawasi atas pelaksanaan putusan pelanggaran Pemilu;

f.        Evaluasi pengawasan Pemilu;

g.       Menyusun laporan hasil pengawasan penyelenggaraan Pemilu; dan

h.      Melaksanakan tugas lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4)  Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Bawaslu berwenang :

a.       Menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Pemilu;

b.      Menerima laporan adanya dugaan pelanggaran administrasi Pemilu dan mengkaji laporan dan temuan, serta merekomendasikannya kepada berwenang;

c.       Menyelesaikan sengketa Pemilu;

d.      Membentuk Bawaslu Provinsi;

e.       Mengangkat dan meberhentikan anggota Bawaslu Provonsi; dan

f.        Melaksanakan wewenang lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

(5)  Tata cara dan mekanisme penyelesaian pelanggaran administrasi Pemilu dan sengketa Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dan huruf c diatur dalam undang-undang yang mengatur Pemilu.

Sedangkan tugas dan wewenang Bawaslu Provinsi sebagaimana termuat dalam Pasal 75 sebagai berikut :

(1)  Tugas dan wewenang Bawaslu Provinsi adalah :

a.       Mengawasi tahapan penyelenggaraan Pemilu di wilayah provinsi.

b.      Mengelola, memelihara, dan merawat arsip/dokumen serta melaksanakan penyusutannya berdasarkan jadwal retensi arsip yang disusun oleh Bawaslu Provinsi dan lembaga kearsipan Provinsi berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Bawaslu dan ANRI;

c.       Menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan mengenai Pemilu;

d.      Menyampaikan temuan dan laporan kepada KPU Provinsi untuk ditindaklanjuti;

e.       Meneruskan temuan dan laporan yang bukan menjadi kewenangannya kepada instansi yang berwenang;

f.        Menyampaikan laporan kepada Bawaslu sebagai dasar untuk mengeluarkan rekomendasi Bawaslu yang berkaitan dengan adanya dugaan tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan Pemilu oleh Penyelenggara Pemilu di tingkat Provinsi;

g.       Mengawasi pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi Bawaslu tentang pengenaan sanksi kepada anggota KPU Provinsi, sekretaris dan pegawai sekretariat KPU Provinsi yang terbukti melakukan tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan Pemilu yang sedang berlangsung ;

h.      Mengawasi pelaksanaan sosialisasi penyelenggaraan Pemilu; dan

i.         Melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diberikan oleh undang-undang.

(2)  Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bawaslu Provinsi dapat :

a.       Memberikan rekomendasi kepada KPU untuk menonaktifkan sementara dan/atau mengenakan sanksi administrasi atas pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f; dan

b.      Memberikan rekomendasi kepada yang berwenang atas temuan dan laporan terhadap tindakan yang mengandung unsure pidana Pemilu.

khususnya dalam penegakan hukum maka maka sebenarnya Bawaslu dan jajarannya hanya mempunyai beberapa tugas dan wewenang utama yaitu :

a.       Mengawasi tahapan menyelenggaraan Pemilu;

b.      Menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan mengenai Pemilu;

c.       Menyampaikan temuan dan laporan kepada KPU untuk ditindak lanjuti;

d.      Meneruskan temuan dan laporan yang bukan menjadi kewenangannya kepada instansi yang berwenang

Keberadaan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai lembaga yang ditunjuk secara resmi untuk mengawasi berlangsungnya berbagai tahapan Pemilu diharapkan dapat mendorong pelaksanaan tahapan Pemilu berjalan dengan baik. Tetapi dalam pelaksanaan tugasnya terlihat dengan jelas keberadaan lembaga pengawas pemilu pada umumnya belum ideal sebagaimana yang diharapkan.  

            Persoalan utama pengawasan pemilu adalah penegakan hukum namun walaupun secara resmi ditunjuk undang-undang, akan tetapi secara kelembagaan. Bawaslu dan Panwaslu seringkali ditempatkan dalam posisi serba dilematis. Di satu sisi, ekspektasi masyarakat sangat besar terhadap peran lembaga ini dalam mengawal berbagai tahapan Pemilu. Namun, di sisi lain, keterbatasan kewenangan yang dimiliki membuat lembaga pengawas tidak dapat berfungsi sebagaimana yang diharapkan. Selain itu, masyarakat juga harus memahami bahwa bawaslu ataupun Panwaslu bukanlah penyidik seperti polisi atau jaksa, maka ketika terjadi pelanggaran atau tindak pidana pemilu, lembaga ini hanya bisa melaporkan dan memberi rekomendasi semata.

Secara logis dapat dikatakan bahwa Bawaslu dan jajarannya dalam melakukan penegakan hukum sebenarnya tidak memiliki kewenangan apa-apa, dimana Bawaslu dan jajarannya tidak lebih dari tukang pos yang tugasnya dalam penegakan hukum Pemilu dan Pemilukada hanya meneruskan kasus yang mengandung unsur pidana ke polisi dan pelanggaran administrasi ke KPU.  Dalam kondisi yang demikian maka penegakan hukum

 

D.     Menata Ulang Sistem Penegakan Hukum Pemilu.

Penegakan Pelanggaran Pemilu/Pemilukada tidaklah lepas dari sistem hukum Pemilu yang diputuskan oleh pembuat undang-undang secara keseluruhan. Sistem hukum tersebut juga tidak bisa dipisahkan dengan sistem politik dan sistem social yang hidup dalam sebuah Negara.  Dalam hal ini hal yang penting adalah bahwa menata sistem penegakan hukum Pemilu/Pemilukada sebenarnya tidak sekedar proses legislasi pembentukan undang-undang melainkan juga merupakan proses evaluasi terhadap sistem penegakan hukum Pemilu/Pemilukada.

Friedman [5], menyatakan bahwa sistem hukum terdiri dari substansi hukum (legal substance), struktur hukum (legal structure) dan budaya hukum (legal cultut). Sinergistas bekerjanya ketiga komponen hukum tersebutj, diharapkan membuat proses Pemilu/Pemilukada semakin baik, agar tidak ada lagi “pembiaran” proses pelanggaran yang terjadi dalam Pemilu/Pemilukada yang menciderai asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Sehubungan dengan itu maka sistem penegakan hukum dalam undang-undang harus lebih responsive memberi ruang penyelesaian yang memadai baik itu administrasi maupun pidana, berupa pengintegrasian sistem peradilan pidana, sistem peradilan administrasi Negara serta peradilan terhadap sengketa Pemilu/Pemilukada oleh Mahkamah Konstitusi.

Sejalan dengan hal tersebut maka sistem penegakan hukum dalam penanganan pelanggaran Pemilu/Pemilukada oleh lembaga peradilan perlu dirumuskan sistem penegakan hukum sebagai berikut :

Mekanisme diperadilan Tata Usaha Negara perlu diatur mekanisme khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 9 A Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang secara tegas menyebutkan : “Di lingkungan peradilan tata usaha Negara dapat dibentuk  pengadilan khusus yang diatur dengan undang-undang. Pada pengadilan khusus dapat diangkat hakim ad hoc untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara yang membutuhkan keahlian dan pengalaman dalam bidang tertentu dan dalam jangka waktu tertentu”.

Penetapan mekanisme khusus ini penting karena biasanya sengketa tata usaha Negara berlangsung untuk tenggang waktu yang lama dimana pelaksanaan Pemilu/Pemilukada sudah selesai tetapi belum ada putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersifat tetap. Hal ini juga terkait dengan Surat Edaran Mahkamah Agung nomor 7 Tahun 2010 Tentang Petunjuk Teknis Sengketa Mengenai Pemilihan Kepala Daerah sebagai berikut :

Keputusan-keputusan yang belum atau tidak merupakan hasil pemilihan umum dapat digolongkan sebagai keputusan di bidang urusan pemerintahan, dan oleh karenanya sepanjang keputusan tersebut memenuhi criteria Pasal 1 butir 3 undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, maka tetap menjadi kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara untuk memeriksa dan mengadilinya. Hal ini disebabkan karena keputusan tersebut berada di luar jangkauan perkecualian sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 2 huruf g Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Keputusan-keputusan yang berisi mengenai hasil pemilihan umum adalah pengecualian yang dimaksud oleh Pasal 2 huruf g Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara…..”

Hal ini membuka ruang bagi para pihak sebagai peserta  untuk menggugat KPU  di Pengadilan tata usaha Negara apabila dirasakan bahwa putusan KPU tersebut melanggar atau bertentangan dengan asas-asas pemilu yang menimbulkan kerugian.   dimungkinkan tindakan tersebut karena dalam konteks hukum administrasi Negara,  sejak terbitnya keputusan pejabat Negara (dalam hal ini KPU) maka berdasarkan hukum sejak itu pula telah terbuka hak bagi siapapun yang merasa dirugikan akibat diterbitkan keputusan tersebut untuk melakukan gugatan pembatalan kepada lembaga peradilan Tata Usaha Negara. Dalam ketentuan Pasal 2 huruf g Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, secara implicit mengatur bahwa Keputusan Penyelenggara Pemilu/Pemilukada, kecuali masalah sengketa Hasil Pemilihan dapat diajukan gugatan kepada Peradilan Tata Usaha Negara.

Kewenanangan Mahkamah Konstitusi dalam mengadili perselisihan tentang hasil Pemilu didasarkan pada ketentuan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 yang menyatakan :

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat  pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”

Berdasarkan konstruksi awal kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi, dapatlah dikatakan bahwa Mahkamah Konstitusi bukan merupakan Mahkamah Pemilu dan juga bukan mahkamah banding terhdap putusan pelanggaran Pemilu yang telah diputus oleh badan peradilan umum maupun pengawas pemilu. Kewenangan Mahkamah Konstitusi  berkenan dengan kekeliruan penghitungan suara yang ditetapkan secara nasional, sepanjang memengaruhi terpilihnya calon atau pasangan calon, atau memengaruhi perolehan kursi partai politik. Perkara pelanggaran Pemilu yang bersifat pidana merupakan kewenangan badan peradilan umum dan pelanggaran administrasi menjadi kewenangan penyelenggara Pemilu.

Dalam perkembangannya, kewenangan memutus PHPU di Mahkamah Konstitusi tidak sekedar terkait penentuan angka-angka hasil Pemilu yang diperoleh peserta Pemilu, melainkan juga terkait dengan kualitas pelaksanaan Pemilu. Perkembangan tersebut dimulai dari pertimbangan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nlomor 062/PHPU-B-II/2004.

Pertimbangan hukum tersebut menjelaskan bahwa MK bukan hanya sebagai lembaga peradilan banding atau kasasi dari berbagai sengketa yang terkait Pemilu yang sudah disediakan mekanisme penyelesaiannya dalam bentuk sectoral and local legal remidies (penyelesaian hukum local dan sektoral) yang terkait pidana Pemilu dan sengketa administrasi Pemilu semata. MK dalam hal sengketa Pemilu merupakan lembaga peradilan pada tingkat pertama dan terakhir mengenai PHPU, sehingga memang berkaitan dengan hal yang bersifat kuantitatif, yaitu selain menyelesaikan sengketa terkait dengan angka signifikan hasil akhir Pemilu, Mahkamah juga mengadili konstitusionalitas pelaksanaan Pemilu. Berdasarkan pertimbangan tersebut, MK menyatakan bahwa terkait dengan perkara yang bersifat melanggar kualitas Pemilu akan menjadi perhatian (concern)Mahkamah hanya apabila prinsip-prinsip Pemilu yang ditentukan dalam Pasal 22E ayat (1) dan ayat (5) UUD 1945 dilanggar  [6] 

MK dalam Putusan Nomor 62/PHPU-B-II/2004 juga menyatakan bahwa Mahkamah sebagai pengawal konstitusi berkewajiban menjaga agar kualitatif Pemilu berlangsung sesuai dengan prinsip-prinsip yang telah digariskan oleh Pasal 22E ayat (1) dan ayat (5) UUD 1945 yang intinya menentukan Pemilu dilaksanakan  secara langsung, umum, bebas, rahasi, jujur dan adil. Ini sebabnya dalam bebetrapa putusan MK terdapat perintah kepada penyelenggara Pemilu untuk melaksanakan penghitungan ulang atau bahkan Pemilu ulang apabila Mahkamah berpendapat asas-asas tersebut telah dilanggar. [7]

Menurut Mustafa Lutfi [8] sebagai “pengawal” konstitusi kewenangan yang dimiliki Mahkamah Konstitusi dapat diperluas sesuai dengan garis ketentuan UUD 1945, demi terwujudnya Negara hukum demokratis. Karena untuk menjadi “pengawal’ konstitusi kewenangan yang dimiliki harus bersifat flesibel, sebagaimana masalah ketatanegaraan yang senantiasa mengalami dinamisasi sedangkan undang-undang yang menjadi dasar yuridiksi kewenangan Mahkamah Konstitusi sudah tidak dapat diterima. Dengan demikian diperlukan perubahan undang-undang agar derajat konstitusional putusan yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi tidak diragukan oleh publik.

Mekanisme penegakan hukum pidana Pemilu/Pemilukada haruslah memenuhi prinsip demokrasi, maka setiap putusan hakim harus selalu memenuhi paling tidak 3 (tiga) perspektif penting diantaranya : perpektif hukum pidana materi, perspektif hukum pidana formil dan perspektif pelaksanaan pemidanaan. [9]

Pertama, perspektif pidana materil berisikan tingkah laku yang diancam dengan pidana, siapa yang dapat dipidana dan berbagai macam pidana yang dapat dijatuhkan. Dengan perkataan lain hukum pidana materil berisikan norma dan sanksi hukum pidana serta ketentuan-ketentuan umum yang membatasi, memperluas atau menjelaskan norma dan pidana tersebut.

Kedua, perspektif pidana formil (hukum pidana ajektif) atau lazim pula disebut dengan hukum acara pidana, yang bisa diartikan seluruh peraturan yang memuat cara-cara Negara dalam menggunakan haknya untuk melaksanakan penegakan hukum pidana yang berimplikasi terhadap penerapan sanksi bagi para pelanggar hukumj pidana materil.

Ketiga, perspektif pelaksanaan pidana atau pemidanaan tidak dapat dipisahkan dari sistem peradilan pidana (criminal justice system). Dalam Pasal 270 KUHAP Jaksalah yang melaksanakan putusan pengadilan. Bagaimana caranya jaksa melaksanakan keputusan tersebut diatur dalam peraturan pelaksanaan KUHAP. Atau dengan kata lain Jaksa yang tidak menjadi penuntut umum untuk suatu perkara boleh melaksanakan keputusan pengadilan.

Dalam rangka penataan penegakan hukum Pemilu/Pemilukada maka kedepan perlu tindak pidana Pemilu dibagi dalam 2 (dua) kategori yaitu tindak pidana pelanggaran dan tindak pidana kejahatan. Dengan mekanisme hukum acara yang juga acara pemeriksaan singkat dan acara pemeriksaan biasa. Khusus untuk tindak pidana pemilu maka peradilannya permanen yang berada di tingkat Pengadilan Tinggi dengan keputusan yang berisifat final and binding. Selain itu jaksanya adalah jaksa khusus yang ditempatkan di pengawas pemilu yang tugasnya melakukan penuntutan langsung terhadap hasil penyidikan Polisi khusus Pemilu yang juga ditempatkan di pengawas pemilu.

Demi efektivitas penyelidikan dan penyidikan perkara tindak pidana pemilu, sebaiknya dibentuk unit khusus polisi yang dilatih menangani tindak pidana pemilu. Sebab, penanganan tindak pidana pemilu, selain membutuhkan pengetahuan umum mengenai tindak pidana, juga perlu pengetahuan khusus karena pemilu merupakan proses politik di mana berbagai modus tindak pidana pemilu sangat tersamar atau sangat rumit, misalnya politik uang yang dilakukan dengan modus sumbangan, santunan, hadiah lomba, potongan harga, kenaikan gaji, atau kecurangan dalam melaporkan perolehan dana kampanye. Diharapkan juga dibentuk unit khusus jaksa yang menangani perkara pidana pemilu. Pertimbangannya, sebagaimana dalam proses penyidikan, jaksa untuk perkara pidana pemilu juga perlu pembekalan pengetahuan seputar pemilu.

Perkara tindak pidana pemilu bermuara di pengadilan yang akan menyelesaikan perkara tersebut sesuai waktu yang ditentukan. Di sini juga diharapkan ada hakim khusus yang menangani tindak pidana pemilu karena dalam memberikan pertimbangan dan putusan menyangkut tindak pidana pemilu dibutuhkan pengetahuan yang luas mengenai hukum dan proses pemilu. Jauh-jauh hari diharapakan hakim sudah mempelajari hukum dan proses pemilu serta kasus-kasus tindak pidana pemilu yang pernah ada sebelumnya. Memang pada Pemilu 1999 maupun Pemilu 2004 sudah ada surat dari MA agar setiap pengadilan menetapkan hakim-hakim yang akan menyidangkan perkara pidana pemilu. Namun hal itu perlu diikuti pembekalan yang mendalam mengenai hukum dan proses pemilu serta penyelesaian tindak pidana pemilu, buat para hakim yang telah ditetapkan untuk menyidangkan perkara pidana pemilu. Untuk meningkatkan efektivitas penyelesaian tindak pidana pemilu, butuh keterpaduan dalam sistem peradilan pidana. Seluruh komponen dalam sistem ini – selain menguasai pengetahuan dan skill hukum pada umumnya – mesti menguasai hukum dan proses pemilu. Dengan demikian komponen yang bekerja dalam sistem peradilan pidana khusus untuk menangani tindak pidana pemilu ini adalah: pertama, polisi (yakni tim khusus yang menangani tindak pidana pemilu); kedua, jaksa (yakni tim khusus yang menangani tindak pidana pemilu; dan ketiga, pengadilan (yakni hakim-hakim khusus yang menangani tindak pidana pemilu).

Dengan adanya polisi khusus Pemilu dan Jaksa khusus Pemilu yang ditempatkan oleh kedua instansi tersebut pada lembaga pengawas Pemilu maka penyelidikan, penyidikan maupun penuntutan langsung dilakukan oleh badan pengawas Pemilu tanpa harus berkordinasi dengan kepolisian maupun kejaksaan, sehingga penyelesaian kasus lebih efektif dan optimal.

Kordinasi cukup antara pengawas pemilu dengan Mahkamah Konstitusi jika ada permohonan PHPU. Jika ada indikasi tindak pidana maka kasus PHPU tersebut dikembalikan dan diselesaikan lebih dahulu aspek pidananya sebelum diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi.

Berkaitan dengan penegakan hukum dalam pelanggaran administrasi, maka kedepan perlu dipikirkan dengan memberikan ruang yang besar terhadap penguatan kelembagaan dan kewenangan Pengawas Pemilu, dengan demikian maka diharapkan peran Pengawas Pemilu menjadi wasit yang dapat diandalkan khususnya dalam menyelesaikan berbagai permasalahan pemilu/pemiluksdsa melalui optimalisasi pelaksanaan kewenangan yang bertanggungjawab dan mampu membangun sinergitas antar lembaga pemilu yang ada, serta menghindari arogansi internal organisasi yang dapat menimbulkan konflik antar lembaga Pemilu.

Adalah sangatlah rancu jika Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 menempatkan kedua lembaga yaitu Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu sebagai penyelenggara pemilihan umum dengan spesifikasi Komisi Pemilihan Umum sebagai pelaksana dan Badan Pengawas Pemilu sebagai pengawas atau wasit. Tetapi undang-undang tidak memberi kewenangan yang cukup kepada sang wasit (Badan Pengawas Pemilu serta jajarannya) untuk melaksanakan tugas pengawasannya. Kewenangan untuk menjatuhkan sanksi administrasi malah diberikan kepada Komisi Pemilihan Umum dan tindak pidana Pemilu diberikan kepada instansi penegak hukum lainnya.

Apabila kita melihat kebelakang, dalam proses pengawasan terhadap upaya penegakan hukum maka akan tergambar sebagai berikut :

Untuk kasus pelanggaran administrasi, pada Pemilu legislatif 2004, Panwas menerima laporan/temuan sebesar 8.946 kasus yang diteruskan ke KPU 8.013 kasus, dan yang berhasil ditangani KPU adalah 2.822 kasus [10]. Dari data yang disajikan  di atas, tampak bahwa kasus-kasus pelanggaran administrasi yang diteruskan pengawas pemilu ke KPU (yang merupakan pemberi sanksi administrasi) ternyata sebagian besar tidak diselesaikan. Tidak adanya mekanisme dan prosedur penyelesaian kasus pelanggaran administrasi tersebut membuat KPU merasa tidak berkewajiban menyelesaikan kasus pelanggaran administrasi yang direkomendasikan pengawas pemilu.

Untuk pelanggaran tindak pidana Pemilu Legislatif tahun 2004 memperlihatkan kasus yang masuk ke meja Panwas sebesar 2.413 kasus, yang berhasil dilimpahkan ke penyidik 2.153 kasus, yang diteruskan ke kejaksaan 1.253 kasus,  ke pengadilan tinggal 1065 kasus, dan yang terakhir vonis sebesar 1.022 kasus [11]. Bandingkan dengan pelanggaran tindfak pidana Pemilu Legislatif 2009 memperlihatkan bahwa kasus yang masuk hanya 635 kasus dan yang di vonis pengadilan Cuma 103 kasus [12].

Kenapa hal ini bisa terjadi ? menurut penulis persoalan lebih terletak pada personil Panwas. Pada tahun 2004 ada 1 orang polisi dan 1 orang jaksa yang menjadi anggota Panwas, sedangkan Panwas Tahun 2009 dan seterusnya sudah tidak ada lagi polisi dan jaksa sebagai anggota Panwas. Sedangkan pada tahun 2009 rendahnya penerusan kasus tindak pidana Pemilu disebabkan karena kurang optimalnya penanganan kasus pelanggaran pidana Pemilu dari pengawas ke kepolisian, dari kepolisian ke kejaksaan, dan dari kejaksaan ke pengadilan tidak tercapai. Kurang optimal disebabkan oleh dua hal utama yaitu : (1) koordinasi Panwas Pemilu dengan dengan kepolisian belum berjalan dengan baik; serta (2) masih lemahnya sebagian anggota Panwas yang bertugas meneruskan kasus.

 Keberadaan aparat penegak hukum (polisi dan jaksa) tentu saja sangat berpengaruh terhadap kinerja Panwas. Oleh karena itu keberadaan polisi dan jaksa di Panwas sangat dibutuhkan bukan sebagai anggota Panwas tetapi sebagai tim penyidik tindak pidana Pemilu dan sebagai penuntut tindak pidana Pemilu.

Untuk ke depan dan dalam rangka pembenahan pengawas pemilu maka perlu adanya langkah-langkah strategis sebagai berikut : (1) Lembaga pengawas pemilu memiliki peran dan posisi yang strategis. Oleh karena itu, keberadaan pengawas ini bukan sekedar pelengkap dari kebutuhan kelembagaan penyelenggaraan Pemilu, namun lembaga pengawas pemilu haruslah diposisikan sebagai pengemban tanggung jawab atas semua proses dan hasil pemilu, sehingga fungsi pengawasan pada akhirnya akan efektif dan efisien. Pengawas pemilu dibentuk dengan harapan agar pelaksanaan tahapan-tahapan Pemilu berjalan sesuai dengan peraturan dan jadwal. Fungsi pengawasan mestinya melekat atau berjalan seiring pengawas pemilu beriring artinya  penanganan pelanggaran administrasi diserahkan ke pengawas pemilu untuk menanganinya dan berhak menjatuhkan sanksi administrasi demikian juga terhadap penanganan pelanggaran tindak pidana pemilu ditangani oleh polisi maupun jaksa yang dipersiapkan untuk itu yang berada di kantor pengawas pemilu.                     

 

E.      Penutup.

Penegakan hukum dalam menangani pelanggaran maupun sengketa Pemilu tidaklah berjalan dengan baik, padahal penegakan hukum Pemilu adalah sangat kompleks karena  dalam proses penegakan hukum Pemilu dan Pemilukada yang meliputi berbagai aspek hukum yaitu tata Negara, administrasi Negara, pidana dan  perdata menyebabkan penanganannyapun melibatkan beberapa lembaga peradilan yaitu Mahkamah Konstitusi, Pengadilan Tata Usaha Negara dan Peradilan umum. Hal ini menyebabkan dapat terjadi putusan satu lembaga peradilan bertentangan dengan putusan lembaga peradilan lain atau dapat terjadi juga putusan suatu lembaga peradilan  misalnya putusan MK tentang penggelembungan suara yang melibatkan penyelenggara Pemilu yang jelas juga merupakan tindak pidana pemilu tidak terproses secara pidana.

Dari gambaran tersebut memperlihatkan  betapa rumitnya penegakan hukum dalam proses pemilu dan pemilukada. Dilain sisi lembaga pengawas Pemilu yaitu Bawaslu dan jajarannya tidak lebih dari tukang pos yang tugasnya dalam penegakan hukum pemilu dan Pemilukada  meneruskan kasus yang mengandung unsur pidana ke polisi dan pelanggaran administrasi ke KPU. Hal ini menambah rumit penegakan hukum dalam Pemilu dan Pemilukada.

Dalam rangka memperbaiki dan menata ulang penegakan hukum Pemilu dan Pemilukada dimasa mendatang perlu dipikirkan pembentukan peradilan khusus Pemilu dan Pemilukada atau paling tidak adanya peradilan terpadu  yang  menangani  pelanggaran pemilu baik itu pelanggaran pidana, pelanggaran administrasi serta sengketa TUN. Selain itu Bawaslu dan jajarannya  perlu diberi kewenangan lebih dalam penegakan hukum dalam arti Bawaslu dan jajarannya diberi kewenangan untuk menjatuhkan sanksi administrasi serta perlu adanya aparat kepolisian dan kejaksaan yang bertugas khusus di pengawas pemilu dalam rangka melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap kasus pelanggaran pemilu.

 

Daftar Pustaka

Gaffar, Janedjri M., 2013. Politik Hukum Pemilu, cetakan kedua, Jakarta:  Konstitusi Press.

Gaffar, Janedjri M., 2013. Demokrasi dan Pemilu di Indonesia, cetakan pertama, Jakarta:  Konstitusi Press.

Indonesia, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.

Lutfi, Mustafa, 2010. Hukum Sengketa Pemilukada di Indonesia- gagasan perluasan kewenangan konstitusinal Mahkamah Konstitusi, cetakan Pertama, Yogyakarta: UII Press.

Mulyadi, Dedi,2013. Perbandingan Tindak Pidana Pemilu Legislatif – dalam perspektif hukum di Indonesia, cetakan Kesatu, Bandung : Refika Aditama.

Santoso, Topo, 2006. Penegakan Hukum Pemilu – praktik Pemilu 2004, kajian Pemilu 2009-2014, Jakarta : Perludem-US AID-DRSP.

Sardini, Nur Hidayat, 2011. Restorasi Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia, cetakan Pertama, Yogyakarta : Fajar Media Press

Sahdan, Gregorius dkk, 2008. Politik Pilkada-tantangan merawat demokrasi, Yogyakarta: IPD-Konrad Adenauer Stiftung.

Wibowo, Arif, 2013. Menata ulang Sistem Penyelesaian dan Pelanggaran Pemilukada, dalam buku : Demokrasi Lokal-evaluasi Pemilukada di Indonesia,  cetakan kedua, Jakarta : Konstitusi Press.



[1] Disampaikan dalam Kegiatan Konferensi Hukum Tata Negara dan Muhammad Yamin Award, 29 Mei-1 Juni 2014, Kota Sawahlunto, Sumatera Barat

[2]  Topo Santoso, Penegakan Hukum Pemilu – praktik Pemilu 2004, Kajian Pemilu 2009-2014 (Jakarta : PerludemUS-AID, DRSP), hlm. 5

[3]  Janedjri M. Gaffar, Politik Hukum Pemilu, (Jakarta : Konstitusi Press, 2013), hlm. 77.

[4]  Ibid, hlm. 78.

[5]  Arif Wibowo, Menata Ulang Sistem Penyelesaian Sengketa dan Pelanggaran Pemilukada- dlm buku Demokrasi local, (Jakarta, Konstitusi Press, 2013) hlm. 117.

[6]   Janedjri M. Gaffar, Demokrasi dan Pemilu di Indonesia, (Jakarta : Konstitusi Press, 2013) hlm. 175

[7]  Ibid, hlm. 176

[8]  Mustafa Lutfi, Hukum Sengketa Pemilukada di Indonesia ( Yogyakarta : UII, 2010) hlm. 113

[9] Dedi Mulyadi, Perbandingan Tindak Pidana Pemilu Legislatif – dalam perspektif hukum di Indonesia, Cetakan Kesatu, (Bandung : PT Refika Aditama, 2013), hlm. 276.

[10]     Nur Hidayat Sardini,  Restorasi Penyelenggaraan Pemiludi Indonesis,  (Yogyakarta : Fajar Media Press, 2011), hlm. 233.

[11]    Ibid, hlm. 233.

[12]   Nur Hidayat Sardini,Loc. Cit,  hlm. 182 – 186

Tinggalkan Balasan