MAMPUKAH SEKTOR KESEHATAN INDONESIA BERKOMPETISI DALAM AJANG MASYARAKAT EKONOMI ASEAN ?

Hukum Internasional

MAMPUKAH SEKTOR KESEHATAN INDONESIA  BERKOMPETISI DALAM AJANG  MASYARAKAT EKONOMI ASEAN ? *

 

Arman Anwar **

I.     Pendahuluan

Sengaja judul tulisan ini dibuat dalam kalimat tanya bukanlah bermaksud untuk menimbulkan kesan pesimis atas kekhawatiran dan ketidakmampuan sektor kesehatan Indonesia baik di pusat maupun di daerah (provinsi maupun kabupaten/kota) dalam berkompetisi dengan negara-negara anggota ASEAN lain untuk dapat menangkap peluang keuntungan dari adanya integrasi ekonomi Asean. Melainkan maksud sesungguhnya adalah tersirat pesan optimis supaya semua pihak dan pemangku kepentingan disektor kesehatan, sedapat mungkin termotivasi untuk mempersiapkan diri berusaha menjadi bagian penting dari rantai produksi dan jasa kesehatan regional di kawasan ASEAN bahkan global sehingga Indonesia tidak pada posisi menjadi penonton saja atau hanya menjadi pasar semata. Tanggung jawab ini meskipun leading sektornya ada pada Kementerian Kesehatan di Jakarta atau Dinas-Dinas Kesehatan di daerah, namun bukanlah berarti menjadi urusan pemerintah pusat atau daerah semata tetapi menjadi tanggung jawab bersama seluruh komponen bangsa.

Dalam era masyarakat ekonomi ASEAN, persaingan perdagangan dan jasa termasuk disektor kesehatan akan semakin kompetitif dan hanya negera dengan  pemerintah daerahnya yang siap saja yang akan mampu berkompetisi dan meraup keuntungannya. Potensi keuntungan dapat berupa terciptanya lapangan kerja yang luas pada sarana-sarana pelayanan kesehatan, meningkatnya kualitas pelayanan kesehatan dan derajat kesehatan masyarakat dan mengurangi kemiskinan serta kesenjangan sosial ekonomi, Secara makro, imbas positifnya juga pada peningkatan pendapatan ekonomi rakyat dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi karena mendatangkan devisa yang besar bagi negara atau PAD bagi daerah, perluasan cakupan skala ekonomi, meningkatkan daya tarik sebagai tujuan bagi investor dan wisatawan, mengurangi biaya transaksi perdagangan, serta memperbaiki  fasilitas  perdagangan  dan  bisnis. Di  samping itu,  juga  akan memberikan kemudahan dan peningkatan akses pasar termasuk pasar jasa   kesehatan   

 

 

 

*        Seminar tentang “Peluang dan Tantangan Tenaga Medis Indonesia di Era Pasar Bebas ASEAN”, Diselenggarakan oleh Pusat Studi ASEAN dengan Pemda Kabupaten Maluku Tengah di Masohi, Kamis 28 Januari 2016

**  Doktor dalam bidang Hukum Kesehatan pada Fakultas Hukum Universitas Pattimura

intra  ASEAN   serta   meningkatkan  transparansi  dan mempercepat penyesuaian peraturan-peraturan dan standardisasi domestik. Intinya sumber-sumber dan distribusi kesehatan dan kesejahteraan akan lebih dinikmati oleh rakyat. Sebaliknya, negera dan pemerintah daerah yang tidak siap akan tergerus oleh kuatnya arus persaingan dan daya saing melawan berbagai negara dalam merebut pangsa pasar kesehatan dan tempat produksi berbagai obat, bahan obat dan alat kesehatan.

Persaingan antar negara pasti memunculkan konflik ‘trade war’ (perang dagang), karena pada satu sisi ada negara-negara yang memiliki kemampuan mengelola layanan kesehatan yang prima dilengkapi dengan berbagai teknologi kedokteran yang canggih serta managemen korporasi rumah sakit yang dikelola dengan prinsip efesiensi yang tinggi karena didukung oleh sumber daya kesehatan yang berkualitas serta pelaku usaha bisnis farmasi dan peralatan medis yang kuat. Negara-negara yang kuat seperti ini akan mampu menangkap peluang pasar sektor kesehatan dan meluaskan basis produksi dan jasanya. Sementara di lain sisi, ada negara-negara yang memiliki pasar yang besar dengan tingkat konsumen jasa kesehatan yang potensial namun sumber daya kesehatan maupun pelaku usahanya yang masih lemah. Apabila pasar ini dieksploitasi maka dapat menjanjikan keuntungan yang besar bagi negara-negara yang kuat. Apalagi jika pemerintahnya tidak cerdas dalam mengatur regulasi dan hukum perdagangan internasional untuk memproteksi pasar sektor kesehatannya. Kenyatan ini sesuai dengan fakta bahwa ketimpangan di sektor kesehatan antara negara anggota ASEAN masih memprihatinkan, disparitas di sektor ini menyebabkan tingkat kesehatan masyarakat yang berbeda-beda pula disetiap negara anggota ASEAN. Oleh karena itu, tidak heran jika WHO, menyatakan bahwa hampir sepertiga dari kematian ibu dan anak secara global terjadi di negara pada kawasan Asia Tenggara. WHO memperkirakan bahwa sebanyak 37 juta kelahiran terjadi di Asia Tenggara setiap tahun, tetapi ironisnya total kematian ibu dan bayi baru lahir di wilayah ini diperkirakan mencapai 170.000-1.300.000 per tahun.

Jumlah kasus demam berdarah di Indonesia tercatat paling tinggi dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Pada tahun 2009, mencapai sekitar 150 ribu kasus. Angka ini tidak menurun hingga 2010. Data Kemenkes hingga pertengahan tahun 2013, kasus demam berdarah terjadi di 31 provinsi dengan penderita 48.905 orang, 376 di antaranya meninggal dunia. Sementara ditahun sebelumnya Kemenkes mencatat 90.245 penderita, dengan angka kematian mencapai 816 orang.

Angka kematian yang tinggi yang disebebkan penyakit di beberapa negara di kawasan ASEAN disebabkan karena kesenjangan ekonomi yang masih lebar antar negara-negara ASEAN. PDB per kapita Singapura misalnya, 35 kali lipat lebih besar dari Myanmar. Demikianpun layanan kesehatan yang lebih rendah pada beberapa negara ASEAN turut memperlebar jurang kesenjangan tersebut, faktor penyebabnya adalah alokasi anggaran kesehatan terbatas dan koordinasi sub-optimal penggunaan dana yang disediakan oleh donor rendah. Disamping itu, bila dibandingkan dengan persentase keterlibatan modal sektor swasta terhadap total anggaran kesehatan di beberapa negara anggota ASEAN cukup siknifikan, sehingga menunjukan indikator dengan efek yang sangat jelas yaitu terciptanya sektor kesehatan sebagai komoditas ekonomi yang berorientasi profit. Akhirnya biaya kesehatan menjadi mahal dan berakibat pada pelayanan kesehatan sulit diakses oleh masyarakat yang kurang mampu.

Selain itu, secara internal terdapat kesenjangan kemakmuran di dalam masing-masing Negara anggota ASEAN sendiri. Sebagai contoh di Indonesia saja, 40 orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan setara dengan 10% PDB Indonesia. Oleh sebab itu, menurut laporan dari Institute for Management Development (IMD) bahwa tingkat daya saing ekonomi Indonesia masih berada di bawah negara ASEAN lain, yakni berada di posisi 42. Sedangkan Filipina sukses mengungguli Indonesia di urutan 38. dan posisi tiga negara lain, seperti Singapura berada di peringkat 5, Malaysia 15, dan Thailand 27. Menyadari hal tersebut maka, hanya negara-negara Asean yang memiliki daya saing tinggi dengan menguasai pasar dan memiliki pelaku usaha yang kuat dan efisien serta tingkat kesejahteraan rakyat yang merata yang akan mendominasi era ini.

Jika pertanyaannya adalah bagaimanakah dengan Indonesia. Dalam konteks ASEAN Economic Community bisa jadi Indonesia tidak mendominasi malah menjadi obyek dominasi negara ASEAN lain bahkan dari mancanegara. Kalau demikan maka apa yang harus dilakukan. Untuk dapat memainkan peranan penting dalam masyarakat ekonomi ASEAN, diperlukan persiapan yang matang dengan memperhatikan peluang yang dimiliki dan tantangan yang dihadapi serta langkah strategi yang harus disiapkan. Hal ini merupakan tantangan besar yang harus dijawab.

 

II.   Sekilas Tentang Masyarakat Ekonomi Asean

Dalam Piagam ASEAN atau ASEAN Charter, terdapat tiga pilar masyarakat   ASEAN (ASEAN Community) yaitu  ASEAN Political-Security Community, ASEAN Socio-Cultural Community dan ASEAN Economic Community. Piagam ASEAN ini diadopsi pada tanggal 20 Nopember 2007 di Singapura. Indonesia telah meratifikasi Piagam ASEAN dengan Undang-undang Nomor 38 Tahun 2008 

Khusus tentang ASEAN Economic Community, cetak birunya telah ditetapkan oleh kepala pemerintahan ASEAN dalam Declaration of the ASEAN Economic Community Blueprint sejak tanggal 20 Nopember 2007 di Singapura dan telah diberlakukan pada beberapa hari lalu tepatnya tanggal 31 Desember 2015 sehingga secara resmi negara-negara yang tergabung dalam ASEAN, termasuk Indonesia telah memasuki era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau ASEAN Economic Community. MEA divisikan oleh para pemimpin negara-negara ASEAN sebagai daerah perdagangan bebas barang dan jasa, investasi, tenaga kerja  trampil dan aliran modal. Oleh karena itu, karakteristik MEA adalah menjadikan ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi regional (single market and production base), kawasan yang memiliki daya saing tinggi (highly competitive region) dan  pembangunan ekonomi di kawasan yang merata (region of equitable economic development) serta integrasi  perekonomian kawasan dengan perekonomian global(integration into the global economy).Dengan demikian MEA bisa dikatakan seperti hendak mereplikasi atau mencontohi keberadaan Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) atau European Economic Community. Dibandingkan dengan MEE, MEA dapat dikatakan terlambat karena MEE telah dibentuk sejak tahun 1957 berdasarkan perjanjian yang disebut sebagai Treaty Establishing the European Economic Community atau Treaty of Rome dan telah bertransformasi pada tahun 1993 menjadi Uni Eropa (UE) atau European. Meskipun terlambat, MEA diharapkan dapat mengejar ketertinggalannya untuk menciptakan kemajuan, serta kesetaraan kesejahteraan di seluruh masyarakat negara-negara anggota ASEAN. Untuk mencapai tujuan tersebut maka terdapat 12 sektor prioritas yaitu tujuh sektor barang terdiri dari industri pertanian, peralatan elektonik, otomotif, perikanan, industri berbasis karet, industri berbasis kayu, dan tekstil, dan lima sektor jasa yaitu transportasi udara, pelayanan kesehatan, pariwisata, logistik, dan industri teknologi informasi atau lebih dikenal dengan e-ASEAN.

Indonesia telah berkomitmen untuk memajukan kerjasama ASEAN, termasuk dalam mewujudkan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Pasar Indonesia akan terbuka bagi pelaku usaha asing dan produk atau jasanya, demikian juga sebaliknya. Presiden RI Joko Widodo dalam pidatonya di KTT ke-25 ASEAN di Nay Pyi Taw, Myanmar, menyatakan bahwa prioritas teratas Indonesia adalah meningkatkan angka pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 7 persen, sesuai target ekonomi pemerintah Indonesia. Untuk menuju capaian tersebut maka dalam menghadapi MEA, Indonesia akan memperkuat infrastruktur dan membangun konektivitas maritim  Indonesia, namun seperti negara berdaulat manapun, Indonesia juga harus memastikan kepentingan nasionalnya tidak dirugikan.

 

III.    Model Perdagangan Jasa Disektor Kesehatan pada Kawasan ASEAN

Perdagangan jasa kesehatan di ASEAN meliputi empat mode of supply. meliputi cross-border supply, consumption abroad, commercial presence, dan movement of natural persons. Pertama, cross-border supply merupakan pasokan jasa lintas batas. Contohnya, layanan telemedicine atau pengobatan jarak jauh oleh dokter Singapura bagi pasien Indonesia yang berdomisili di Indonesia, dan sebaliknya. Sementara pada mode kedua, consumption abroad berarti  konsumen domestik pergi ke luar negeri untuk membeli jasa kesehatan. Contohnya, pasien Indonesia pergi berobat ke RS di Singapura, atau sebaliknya. Sedangkan mode ketiga adalah commercial presence, yaitu penyedia jasa kesehatan luar negeri memberikan jasa kesehatannya kepada konsumen di dalam negeri. Contohnya adalah rumah sakit di Singapura yang mendirikan cabang rumah sakitnya di Indonesia, atau sebaliknya. Kemudian yang keempat yaitu movement of natural persons berarti tenaga kerja asing yang menyediakan jasa keahlian tertentu datang ke negara konsumen. Umpamanya, dokter spesialis Singapura yang berpraktik kedokteran di Indonesia, atau sebaliknya.

Perdagangan jasa di ASEAN diatur dalam perjanjian ASEAN Framework Agreement on Service (AFAS) yang disepakati oleh para Menteri Ekonomi ASEAN di Bangkok, Thailand,  pada 15 Desember 1995. Secara garis besar, AFAS mengatur antara lain: Pertama, menghapus secara nyata hambatan perdagangan jasa untuk 5 sektor prioritas integrasi (Priority Integration Sectors/PIS), salah satunya yaitu sektor kesehatan. Kedua, mendorong adanya kemajuan liberalisasi sektor jasa dalam setiap putaran perundingan melalui bertambahnya jumlah sub sektor baru yang diliberalisasi. Putaran perundingan dilakukan setiap 2 tahun sekali sejak 2008. Ketiga, memfasilitasi arus bebas jasa melalui pengaturan saling pengakuan kompetensi (Mutual Recognition Arrangements / MRAs) delapan jenis profesi untuk memudahkan pergerakan tenaga kerja profesional di ASEAN.

Mutual Recognition Arrangement (MRA) adalah kesepakatan yang mengatur tentang natural person pada Mode 4. MRA ditujukan untuk memfasilitasi mobilisasi natural person di ASEAN sehingga bisa bekerja di salah satu negara ASEAN. Hal ini memerlukan keseragaman dan kesepahaman terkait syarat dan prosedur perizinan (licencing requirementsand procedures), kualifikasi prasyarat dan prosedur (qualification requirements and procedures), dan standar teknis (technical standard) yang berlaku dimasing-masing negara ASEAN. Namun, upaya penyeragaman (harmonisasi) perdagangan jasa tidaklah mudah. Ini, karena menyangkut pengaturan kualitas/kompetensi manusia dan perbedaan antar negara terkait sistem pendidikan, pelatihan, pengalaman. Sehingga solusi yang diambil adalah saling pengakuan (mutual recognition) kompetensi natural person antar negara, supaya praktisi kesehatan profesional dapat melakukan praktek di negara lain seperti di negaranya sendiri.

Di ASEAN terdapat 3 MRA untuk jasa kesehatan, yang telah ditandatangani oleh para Menteri Perdagangan ASEAN, yaitu: ASEAN MRA on Nursing Services, tanggal 8 Desember 2006 di Cebu, Filipina; ASEAN MRA on Medical Practitioners, tanggal 26 Februari 2009 di Cha-am, Thailand; dan ASEAN MRA on Dental Practitioners, tanggal 26 Februari 2009 di Cha-am, Thailand. Jadi berdasarkan kesepakatan ini maka contohnya bagi seorang dokter gigi dari salah satu negara ASEAN hanya dapat mengajukan registrasi untuk berpraktik di Indonesia, jika memiliki kualifikasi yang diakui oleh PDRA (Professional Dental Regulatory Authority) dari negara asalnya, dan PDRA dari Indonesia (host country). Tak hanya itu, untuk dapat berpraktik di host country, dokter gigi tersebut setidaknya harus sudah berpraktik minimal 5 tahun berturut-turut di negara asalnya serta mematuhi proses pendidikan berkelanjutan (Continuing Professional Development) yang berlaku di negara tersebut. Selain itu, dokter gigi tersebut juga harus dinyatakan bebas dari segala bentuk pelanggaran profesional atau pelanggaran etika oleh PDRA dari negara asalnya, baik di tingkat lokal maupun internasional, yang berkaitan dengan praktik dokter di negara asalnya dan di negara lain (dalam batas pengetahuan PDRA di negara tersebut). Selain itu, yang bersangkutan juga tidak boleh sedang tersangkut masalah hukum di negara asalnya maupun di negara lain.

Di Indonesia, Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) merupakan lembaga resmi yang berperan menjadi PDRA. KKI memiliki fungsi pengaturan, pengesahan, penetapan, serta pembinaan dokter dan dokter gigi yang menjalankan praktik kedokteran, dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan medis di Indonesia. Pada tahun 2009, KKI telah menerbitkan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia No. 157/KKI/PER/XII/2009 tentang Tata Cara Registrasi Dokter dan Dokter Gigi Warga Negara ASEAN yang Akan Melakukan Praktik Kedokteran di Indonesia. Peraturan ini juga mengharuskan adanya surat rekomendasi dari PDGI cabang setempat di lokasi yang akan dijadikan tempatnya berpraktik. Selain itu, peraturan ini juga mensyaratkan adanya program adaptasi, sebagai kegiatan pembelajaran dan pengajaran bagi dokter dan dokter gigi Warga Negara Indonesia atau Warga Negara Asing lulusan luar negeri untuk penyesuaian kompetensi yang diperoleh selama mengikuti pendidikan dan sikap serta perilaku yang sesuai sosiobudaya masyarakat, terkait dengan kondisi dan masalah kesehatan, agar dapat melakukan praktik kedokteran di Indonesia.

IV.    Memetakan  Tantangan Menggapai Peluang

Untuk dapat bersaing dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA,) Indonesia perlu memahami tantangan yang dihadapinya. Beberapa tantangan bidang kesehatan yang dihadapi Indonesia antara lain adalah kesiapan infrastruktur bidang kesehatan yang masih minim sehingga mempengaruhi daya saing. Data terbaru dari the Global Competitiveness Report 2013/2014 dari World Economic Forum (WEF), daya saing Indonesia berada pada peringkat ke-38 dunia. Sementara itu kualitas infrastruktur Indonesia pada posisi ke-82 dari 148 negara, dan diperingkat ke-5 diantara negara anggota ASEAN. Gambaran peringkat ini menunjukkan bahwa infrastruktur masih lemah.

Jumlah tenaga medis di Indonesia juga masih jauh dari ideal. Indonesia kekurangan dokter umum, sejak 2007 hingga 2010 sebanyak 26.000 lebih, dokter spesialis 8.000 lebih, dokter gigi 14.000 lebih, perawat 63.000 lebih, dan bidan 97.000 lebih. Karena itu, rasio dokter di Indonesia masih satu berbanding 5.000 penduduk. Jika dibandingkan dengan Malaysia, rasio dokter di Malaysia satu berbanding 700 jiwa. sehingga pasien-pasien disana bisa terlayani dengan baik. Kekurangan dokter dan kebutuhan dokter spesialis masih sulit terpenuhi karena baru sedikit perguruan tinggi kedokteran yang membuka program spesialis.Adanya kesenjangan pelayanan kesehatan, persebaran dokter di Indonesia yang tidak merata, apalagi dokter spesialis, merupakan kendala yang sulit diatasi. Database Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI),menunjukkan jumlah dokter spesialis anak di Jakarta pada tahun 2005 tercatat 443 (rasio 5,29 SpA per 100.000 penduduk), sedangkan di Papua hanya 7 (0,32 SpA per 100.000 penduduk). Ketiadaan fasilitas pelayanan kesehatan yang memadai dan sumberdaya kesehatan yang terbatas dan berkualitas rendah  menyebabkan dalam setahun hampir 1 juta orang Indonesia berobat ke luar negeri dengan uang yang dibelanjakan ke luar negeri untuk kepentingan berobat mencapai angka Rp 20 triliun.

Tantangan lainnya adalah peraturan domestik yang belum rinci dan harmonis, pengaturan fasilitas layanan kesehatan yang belum mendetail, dan masih adanya jenis pelayanan kesehatan yang belum dikembangkan, seperti insinyur kesehatan, dokter terbang dan kedokteran telemedicine. Untuk meningkatkan akses terhadap pengetahuan kesehatan dunia  dan layanan telemedicine, tentu dibutuhkan aturan regulasinya namun penyiapan aturan regulasi tentang telemedicine di Indonesia dapat dikatakan terlambat. Berbeda dengan Malaysia, India atau Amerika Serikat yang telah memiliki undang-undang telemedicine. Indonesia baru sebatas mengaturnya dalam Keputusan Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia melalui Surat Keputusan Direktur Nomor: HK.02.03/V/0209/2013 Tanggal 31 Januari 2013 Tentang Pelaksanaan Pilot Project Telemedicine dan Penunjukan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Telemedicine Bidang Teleradiologi dan Telekardiologi.

Terkait liberalisasi bidang jasa kesehatan di ASEAN, harmonisasi kebijakannya masih dalam proses penjajakan, khususnya dari sisi bisnis kesehatan seperti prasyarat mendirikan rumah sakit, pembukaan klinik, penggunaan alat kesehatan, dan pembahasan soal penyamaan kurikulum pendidikan kedokteran. Bila saatnya nanti disepakati maka mau tak mau Indonesia juga harus siap mengantipasinya.

Harapan yang dapat diraih Indonesa, masih memberikan peluang yang terbuka luas. Untuk meraihnya, Indonesia perlu meningkatkan standar kompetensi tenaga kerja dokter di Indonesia, sambil berupaya mengejar keseragaman kompetensi bersama di antara negara-negara ASEAN. Selain itu perlunya melakukan evaluasi rutin standar kompetensi yang sudah dibuat untuk bisa mengikuti perkembangan standar kompetensi di negara lain. Peningkatan jumlah dokter melalui penambahan institusi pendidikan kedokteran, juga dibutuhkan. Begitu pula pemerataan distribusi dokter dan intitusi kedokteran yang selama ini bertumpuk di Pulau Jawa perlu didistrubusikan secara merata ke daerah. Selain itu, infrastruktur pendukung dalam hal ini teknologi kedokteran dan institusi pendidikan kedokteran yang memadai juga harus diperkuat. Lalu, terkait dengan praktik dokter asing, pemerintah perlu memikirkan untuk menggunakan celah dalam MRA untuk memposisikan dokter Indonesia menjadi lebih kompetitif dibandingkan dokter negara ASEAN lainnya. Pemerintah daerah juga harus dapat berperan lebih aktif dalam mempersiapkan prasarana kesehatan dan sumber daya kesehatan di daerah baik dari sisi kuantitas maupun kualitas serta menciptakan kondisi yang aman dan kondusif bagi iklim investasi, mengingat Indonesia merupakan negara tujuan investor ASEAN dimana proporsi investasi negara ASEAN di Indonesia mencapai 43% dari proporsi investasi negara-negara ASEAN di ASEAN yang hanya sebesar 15%. Apalagi kondisi perekonomian Indonesia dan ASEAN lagi terus meningkat di saat negara lain mengalami perlambatan. Fakta membuktikan bahwa saat ini, kawasan ASEAN telah menjadi fokus utama dari aliran investasi dunia.

Potensi sumber daya alam yang melimpah menyebabkan Indonesia memiliki biodiversity (keanekaragaman hayati) yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan baku obat. Oleh karena itu, dibidang farmasi. Indonesia dapat merebut pasar ekspor dan peluang berinvestasi dibidang ini. Indonesia berpeluang menjadi negara pengekspor, dimana nilai ekspor Indonesia ke intra-ASEAN hanya 18-19% sedangkan ke luar ASEAN berkisar 80-82% dari total ekspornya. Masih terbuka peluang yang lebar untuk meningkatkan ekspor ke intra-ASEAN agar berimbang dengan laju peningkatan impor dari intra-ASEAN. Apalagi dengan adanya liberalisasi perdagangan barang ASEAN dapat menjamin kelancaran arus barang Indonesia untuk pasokan bahan baku maupun bahan jadi di kawasan ASEAN karena hambatan tarif dan non-tarif sudah tidak ada lagi. Kondisi pasar demikian akan mendorong pihak produsen dan pelaku usaha dalam negeri lainnya untuk memproduksi dan pendistribusikan barang yang berkualitas secara efisien sehingga mampu bersaing dengan produk-produk dari negara lain.

Bonus demografi harus dimanfaatkan oleh Indonesia. Jumlah penduduk yang terbesar di kawasan (40% dari total penduduk ASEAN) menjadikan Indonesia sebagai negara dengan ekonomi yang produktif, dinamis dan karenanya kedepan dapat memimpin pasar ASEAN melalui pemanfaatan kesempatan penguasaan pasar dan investasi. Perbandingan jumlah penduduk produktif Indonesia dengan negara-negara ASEAN lain adalah 38:100, yang artinya bahwa setiap 100 penduduk ASEAN, 38 adalah warga negara Indonesia. diharapkan dengan jumlah penduduk yang produktif menjadi keunggulan tersendiri bagi Indonesia sehingga mampu menopang pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan perkapita penduduk Indonesia.

 

V.       Penutup

 

Kekurangan dan kelemahan adalah suatu keniscayaan namun Indonesia harus tetap memiliki kepercayaan yang tinggi (high confidence) untuk menghadapi MEA dengan memimpin dan mampu bekerjasama dalam ASEAN. Upaya intensif dan masif perlu dilakukan Pemerintah dengan melakukan sosialisasi tentang MEA, pengalokasian anggaran kesehatan yang memadai untuk meningkatkan soft skill, hard skill dan kesejahteran tenaga medis, koordinasi yang baik antara pemerintah pusat dan daerah, serta melakukan transformasi cetak biru MEA ke dalam hukum nasional, semuanya harus teraksekselerasi secara dinamis dan harmonis karena bernilai strategis terhadap daya saing Indonesia disektor kesehatan dalam ajang kompetisi masyarakat ekonomi ASEAN.