SEKRETARIS JENDERAL PBB DALAM PEMELIHARAAN PERDAMAIAN INTERNASIONAL (KONFLIK KONGO)

Hukum Internasional

SEKRETARIS JENDERAL PBB DALAM PEMELIHARAAN PERDAMAIAN INTERNASIONAL

(KONFLIK KONGO)

 

Oleh : Irma Hanafi

 

Saling membutuhkan antara bangsa-bangsa di berbagai lapangan kehidupan mengakibatkan timbulnya hubungan yang tetap dan terus menerus antara bangsa-bangsa, mengakibatkan pula timbulnya kepentingan untuk memelihara dan mengatur hubungan demikian. Karena kebutuhan antara bangsa timbal balik sifatnya, maka kepentingan untuk memelihara dan mengatur hubungan-hubungan yang bermanfaat demikian merupakan suatu kepentingan bersama.[1]

Hukum internasional adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan azas-azas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas  antara negara dengan negara, negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau subjek hukum bukan negara satu sama lain.[2]

Ketentuan hukum internasional berkenaan dengan hak-hak, kewajiban-kewajiban dan kepentingan negara-negara, merupakan ketentuan yang harus ditaati negara-negara, dan dalam hal yang sama traktat-traktat dapat membebankan kewajiban yang disetujui sendiri untuk dilaksanakan oleh negara-negara penandatangan. Akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa tidak ada badan–badan atau person-person, baik orang maupun badan hukum lain, yang dapat tercakup dalam penguasaan atau kelimpahan hukum internasional.[3]

Walaupun kenyataan menunjukkan bahwa negara merupakan subjek hukum internasional yang utama, negara dewasa ini tidak merupakan satu-satunya subjek hukum internasional. Ini disebabkan oleh berbagai perubahan yang telah terjadi dalam masyarakat internasional dari abad keabad dan merupakan pencerminan masyarakat internasional dewasa ini.[4]

Perkembangan organisasi internasional, merupakan sebuah jawaban atas kebutuhan nyata yang timbul dari pergaulan internasional dibandingkan karena pertimbangan filosofi atau idiologi mengenai gagasan pemerintah dunia. Pertumbuhan pergaulan internasional, dalam arti perkembangan hubungan-hubungan antara rakyat yang beragam, merupakan suatu ciri konstan dari peradaban yang matang, kemajuan dalam bidang komunikasi ditambah dengan hasrat untuk berdagang demi menciptakan suatu tingkat hubungan yang  akhirnya memerlukan pengaturan melalui cara-cara kelembagaan.[5]

Kedudukan organisasi internasional sebagai subjek hukum internasional tidak diragukan lagi, walau pada mulanya belum ada kepastian mengenai hal ini. Organisasi internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan organisasi lain misalnya Organisasi Buruh Internasional (ILO) mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang ditetapkan dalam konvensi-konvensi internasional yang merupakan anggaran dasar. Berdasarkan kenyataan ini dapat dikatakan bahwa PBB dan Organisasi Internasional semacamnya merupakan subjek hukum internasional, menurut hukum internasional yang bersumber pada konvensi-konvensi internasional.[6]

Dalam kehidupan manusia masyarakat internasional ditandai oleh dua factor, yaitu adanya kerjasama dan hidup berdampingan secara damai dan adanya sengketa antar masyarakat internasional. Sengketa antar anggota masyarakat internasional beraneka macam sebabnya, antara lain disebabkan karena alasan politik, strategi militer, ekonomi ataupun idiologi atau perpaduan antara kepentingan-kepentingan tersebut. Sikap bermusuhan yang dimulai karena adanya perbedaan pendapat dapat berakar pada masalah yang jauh lebih kompleks dan mempunyai riwayat historis yang panjang, seringkali menjadi sebab timbulnya sengketa. Tidak mustahil bila sengketa antar negara tersebut kemudian menjurus pada sengketa bersenjata karena salah satu dari negara yangbersengketa tidak mau berdamai, tidak mau diajak berdialog ataupun menolak setiap tawaran penyelesaian sengketa secara damai.[7]

Peran hukum internasional dalam menyelesaikan sengketa internasional adalah memberikan cara bagaimana para pihak yang bersengketa menyelesaikan sengketanya menurut hukum internasional. Hukum internasional mengenal dua cara penyelesaian yaitu cara penyelesaian secara damai dan perang.[8]

Hukum internasional telah menetapkan kewajiban minimum kepada semua negara (anggota PBB) untuk menyelesaikan sengketa internasional secara damai. Hal ini juga tercantum dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa yang memberikan kewajiban kepada negara-negara anggotanya dan kepada negara-negara lain yang bukan anggota PBB untuk menyelesaikan setiap persengketaan internasional secara damai sedemikian rupa sehingga tidak membahayakan perdamain dan keamanan internasional serta keadilan. Negara-negara anggota PBB juga tidak dibiarkan untuk menggunakan kekerasan terhadap keutuhan wilayah dan kemerdekaan politik sesuatu negara atau dengan cara apapun yang tidak sesuai dengan tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Sepanjang sejarah, PBB sering diminta untuk mencegah situasi yang berbahaya agar tidak berkembang menjadi peperangan, untuk membujuk pihak-pihak yang bertikai menggunakan meja perundingan dan bukan senjata, dan membantu memulihkan perdamaian apabila timbul konflik.[9] Ketentuan ini tersurat dalam pasal 1, 2, dan 33 Piagam PBB. Adanya kewajiban bahwa negara-negara harus menyelesaikan sengketanya dengan cara-cara  damai sedemikian rupa sehingga perdamaian dan keamanan internasional tidak terancam.[10] 

Piagam PBB pasal 1 memuat tujuan PBB, antara lain memelihara perdamaian dan keamanan internasional dan untuk tujuan itu mengadakan tindakan bersama yang tepat untuk mencegah dan melenyapkan ancaman bagi perdamaian dan meniadakan tindakan penyerangan ataupun tindakan lainnya yang mengganggu perdamaian, dan akan menyelesaikannya dengan jalan damai, dan sesuai dengan azas-azas keadilan dan hukum internasional, mengatur atau menyelesaikan pertikaian-pertikaian internasional atau keadaan-keadaan yang dapat mengganggu perdamaian.

Piagam PBB pasal 2 ayat 3, meyatakan bahwa setiap anggota dalam perhubungan internasional , akan menghindarkan dirinya dari ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap keutuhan wilayahnya atau kemerdekaan politik suatu negara, atau dengan cara apapun yang bertentangan dengan tujuan-tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

 Sekjen Sebagai Salah Satu Organ Utama PBB

Kegagalan Liga Bangsa-Bangsa mencegah Perang Dunia ke-2 tidak melenyapkan keyakinan, seperti yang sering dikemukakan, bahwa hanya oleh suatu bentuk organisasi negara-negara dapat tercapai suatu sistem keamanan kolektif yang dapat melindungi masyarakat internasional dari bencana perang. Negara-negara sekutu , pada tahun 1941, menamakannya “The United Nations” dan pada tahun 1943 Deklarasi Moskow mengakui “perlunya mendirikan suatu organisasi internasional public yang dapat bekerja dalam waktu segera, yang didasarkan atas prinsip persamaan kedaulatan dari seluruh negara yang cinta damai, besar maupun kecil, untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional”. Formulasi suatu rencana pasti bagi sebuah organisasi diperbaharui dalam beberapa tahap, di Teheran tahun 1943, di Dumbarton Oaks tahun 1944, di Yalta tahun 1945 dan akhirnya dalam Konferensi San Fransisco tahun 1945 dimana 50 pemerintah, dengan dasar proposal Dumbarton Oaks yang dipersiapkan oleh empat negara sponsor, bersama-sama menyusun Charter Perserikatan Bangsa-Bangsa.[11]

Menurut Piagamnya maka Perserikatan Bangsa-Bangsa terdiri atas beberapa badan yang terpenting sebagai tersebut di bawah ini :

  1. Majelis Umum (General Assembly)
  2. Dewan Keamanan (Security Council)
  3. Dewan Ekonomi dan Sosial (Economic and Social council)
  4. Dewan Perwalian (Trusteeship Council)
  5. Mahkamah Pengadilan Internasional (International Court of Justice).
  6. Sekretariat.[12]

“The secretariat shall comprise a Secretary-General and such staff as the Organization may require. The Secretary-General shall be appointed by the General Assembly upon the recommendation of the Security Council. He shall be the chief administrative officer of the Organization” Pasal 97 Piagam PBB. (Sekertariat terdiri dari Sekertaris Jenderal dan suatu Staf sebagai yang dikehendaki oleh organisasi Sekretaris Jenderal diangkat oleh Majelis Umum atas anjuran Dewan Keamanan. Ia menjadi kepala tata usaha Organisasi.) 

Sekertariat terdiri dari staf internasional yang bertugas di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, melaksanakan rupa-rupa pekerjaan sehari-hari Organisasi PBB. Melayani badan-badan lain PBB dan mengelola program dan kebijaksanaan yang telah mereka tentukan. Yang mengepalai Sekertariat adalah Sekertaris Jenderal yang diangkat oleh Majelis Umum berdasarkan rekomendasi Dewan Keamanan dengan masa jabatan lima tahun.

Sekertaris Jenderal digambarkan oleh Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai kepala administrasi organisasi. Sebagai diplomat dan aktivis, penganjur dan juru damai, Sekertaris Jenderal berdiri di depan masyarakat internasional sebagai lambang utama Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tugasnya menuntut semangat yang kuat, kepekaan dan imajinasi, ditambah lagi dengan rasa optimisme yang kuat. Satu keyakinan bahwa gagasan-gagasan yang tercantum di dalam Piagam bisa dijadikan kenyataan.

Pekerjaan Sekertaris Jenderal mengandung sifat ketegangan yang kreatif yang secara langsung berakar pada definisi Piagam mengenai tugasnya. Piagam memberikan kekuasaan padanya untuk meminta perhatian Dewan Keamanan mengenai masalah apa saja yang menurut pandangannya, mengancam perdamaian dan keamanan internasional. Juga diminta untuk menjalankan fungsi lain sebagaimana yang dipercayakan kepadanya oleh Dewan Keamanan, Majelis Umum, dan badan utama Perserikatan Bangsa-Bangsa yang lain. Sekertais Jenderal berfungsi baik sebagai juru bicara masyarakat internasional maupun sebagai abdi Negara Anggota. Penugasan yang luas ini memberikan mandat yang luar biasa bagi Sekertaris Jenderal untuk bertindak.

Dikalangan masyarakat umum, Sekertaris Jenderal sangat dikenal dalam memanfaatkan kedudukan dan sifatnya yang tidak memihak yang dikenal dengan “jasa-jasa baik” Sekertaris Jenderal demi kepentingan diplomasi pencegahan. Ini merupakan langkah yang dimbil secara langsung oleh Sekertaris Jenderal atau staf seniornya secara terbuka atau tidak untuk mencegah muncul, memuncak dan menyebarkan pertikaian internasional. Sebagaimana yang tampak dari peristiwa dan krisis yang terjadi di seluruh dunia, kata-kata dan perbuatan Sekertaris Jenderal bisa memiliki dampak yang mendasar.

Pekerjaan Sekertaris Jenderal juga menyebabkan dia terlibat dalam konsultasi rutin dengan para pimpinan dunia dan individu-individu, hadir dalam siding-sidang dari berbagai badan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan mengadakan perjalanan ke seluruh dunia sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan pengertian global mengenai peranan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam masalah internasional. Setiap tahun Sekertaris jenderal mengeluarkan laporan tahunan yang banyak ditunggu-tunggu dimana ia mengemukakan penilaian mengenai pekerjaan Organisasi dan mengemukakan pandangannya mengenai jenjang prioritas untuk masa datang.

Boutros Boutros-Ghali pada tahun 1992, berdasarkan permintaan Dewan Keamanan menyusun “An agenda for Peace” (suatu agenda untuk perdamaian) yang berisi usul mengenai pengawasan perdamaian dan pembangunan perdamaian yang efektif dalam era pasca perang dingin. Prakarsa-prakarsa serupa diharapkan muncul dari  pada Sekertaris jenderal di masa datang.[13]

Fakta-Fakta Hukum Konflik Kongo

 Republik Kongo (Leopoldville), bekas jajahan Belgia yang sekarang bernama Republik Zaire, merdeka pada tanggal 30 Juni 1960. Kekacauan pecah beberapa hari kemudian.[14] Tentara Kongo berontak menentang atasan mereka yang berkebangsaan Belgia. Rasa panik meluas dikalangan orang-orang Belgia yang masih bermukim di Kongo sebagai pegawai sipil pemeriksaan atau sebagai pengusaha. Pemerintah Belgia memerintahkan pasukan-pasukan mereka yang masih ada di Kongo untuk segera mengambil tindakan dengan dibantu oleh pasukan para komando yang didatangkan dari Eropa.[15]

Pada tanggal 12 Juli 1960, Pemerintah Kongo meminta bantuan militer Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk melindungi Kongo dari Agresi luar. Dua hari kemudian Dewan Keamanan meminta Belgia menarik pasukannya dan memberikan wewenang Sekertaris Jenderal untuk memberikan bantuan militer yang diperlukan oleh Pemerintah Kongo, sampai pasukan keamanan nasional, menurut pandangan pemerintah, maupun menjalankan tugasnya.

Kurang dari 48 jam, kontingen-kontingen Pasukan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang disumbangkan oleh beberapa negara diantaranya Asia dan Afrika, mulai berdatangan di Kongo. Pada saat yang bersamaan ahli-ahli sipil Perserikatan Bangsa-Bangsa datang ke negara tersebut untuk menjamin tetap berjalannya pelayanan masyarakat yang esensial.

Selama empat tahun, tugas Operasi Perserikatan Bangsa-Bangsa di Kongo (ONUC) adalah:

  • membantu pemerintah Kongo memulihkan dan mempertahankan kebebasan politik dan keutuhan wilayah negeri itu
  • mempertahankan hukum dan ketertiban
  • melaksanakan program bantuan teknis yang luas dan berjangka panjang.

Untuk memenuhi tugas tersebut, dibentuk satu tim yang sangat besar. Yang berada di ujung tombaknya adalah pasukan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang terdiri dari sekitar 20.000 perwira militer maupun sipil. Perintah Dewan Keamanan untuk pasukan tersebut diperkuat pada awal 1961 setelah terbunuhnya bekas Perdana Menteri Patrice Lumamba di Katanga. Pasukan tersebut bertugas untuk melindungi Kongo dari intervensi luar, terutama dengan mengevakuasikan tentara bayaran dan penasehat asing dari Katanga, dan mencegah pertempuran dan perang saudara dengan kekerasan sebagai pilihan terakhir.

            Setelah Parlemen bersidang kembali bulan Agustus 1961, dengan bantuan Perserikatan Bangsa-Bangsa, maka masalah utama adalah upaya memisahkan diri dari Katanga, yang dipimpin dan memperoleh dana dari unsur-unsur luar. Pada bulan September dan Desember 1961, pasukan pemberontak yang dipimpin oleh tentara bayaran asing bertempur dengan Pasukan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Peristiwa itu berulang lagi pada bulan Desember 1962. Sekertaris Jenderal Dag Hammarskjold meninggal 17 September 1961 dalam kecelakaan pesawat terbang dalam perjalanan menuju Ndola (di negara yang sekarang bernama Zambia), dimana perundingan untuk mengakhiri permusuhan akan dilangsungkan.

            Bulan Februari 1963, setelah Katanga diintegrasikan kembali ke Kongo, pemulangan Pasukan Perserikatan Bangsa-Bangsa dimulai, dengan tujuan untuk menghentikan kegiatannya pada akhir tahun itu. Berdasarkan permintaan Pemerintah Kongo Majelis Umum mengizinkan tetap tinggalnya sejumlah kecil pasukan di sana selama enam bulan. Pasukan tersebut sepenuhnya mengundurkan diri 30 Juni 1964.

            Walaupun tugas militer Perserikatan Bangsa-Bangsa telah berakhir, bantuan sipil terus berjalan dan merupakan bantuan tunggal sebesar yang pernah dilaksanakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dan badan-badannya. Pada puncak Program tersebut berjalan, sekitar 2.000 ahli bekerja di Kongo.[16]

Peranan Sekjen PBB Dalam Konflik Kongo

Pasal 1 Piagam PBB memuat tujuan dari organisasi dunia ini yaitu antara lain memelihara perdamaian dan keamanan internasional dan untuk tujuan itu mengadakan tindakan bersama yang tepat untuk mencegah dan melenyapkan ancaman bagi perdamaian dan meniadakan tindakan penyerangan ataupun tindakan lainnya yang mengganggu perdamaian, dan akan menyelesaikannya dengan jalan damai, dan sesuai dengan azas-azas keadilan dan hukum internasional, mengatur atau menyelesaikan pertikaian-pertikaian internasional atau keadaan-keadaan yang dapat mengganggu perdamaian.

            Menyangkut konflik di Kongo terdapat beberapa organ perlengkapan Perserikatan Bagsa-Bangsa yang berperan dalam menyelesaikan konflik di Kongo, diantaranya Dewan Keamanan, pasal 24 Piagam, bahwa untuk menjamin agar Perserikatan Bangsa-Bangsa dapat menjalankan tindakannya dengan lancar dan sempurna maka anggota-anggotanya memberikan tanggungjawab utama kepada Dewan Keamanan untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional dan mennyetujui agar supaya Dewan Keamanan dalam menjalankan kewajibannya dibawah tanggungjawab ini dan bertindak atas nama mereka.

            Permintaan Pemerintah Kongo atas bantuan militer Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk melindungi Kongo dari Agresi diatur dalam pasal 35 ayat 1 Piagam bahwa, Setiap anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa dapat meminta perhatian Dewan Keamanan atau Majelis Umum mengenai setiap pertikaian atau keadaan yang bersifat seperti yang dikemukakan pasal 34. (Dewan Keamanan dapat menyelididki setiap pertikaian yang dapat menimbulkan pertentangan internasional, untuk menentukan apakah berlangsungnya pertikaian atau keadaan itu dapat membahayakan terpeliharanya perdamaian serta keamanan internasional).

            Dikalangan masyarakat umum, Sekertaris Jenderal sangat dikenal dalam pemanfaatkan kedudukan dan sifatnya yang tidak memihak, yang dikenal dengan jasa-jasa baik Sekertaris Jenderal, demi kepentingan diplomasi pencegahan.[17]

            Menyangkut Konflik Kongo, Sekjen PBB pada saat itu Hammarskjold, menguraikan suatu rencana komprehensif pembentukan pasukan pemeliharaan perdamaian yang terdiri dari pasukan-pasukan negara-negara yang dianggap tidak mempunyai kepentingan untuk membantu mengembalikan hukum dan peraturan serta tidak campur tangan dengan urusan-urusan dalam negara itu.[18] (Pasal 99 Piagam menjelaskan sebagai berikut: Sekertaris Jenderal dapat meminta Dewan Keamanan mengenai sesuatu hal yang menurut pendapatnya dapat membahayakan terpeliharanya perdamaian dan keamanan internasional). Sekertaris Jenderal memiliki pengaruh yang besar atas keputusan yang diambil terhadap instruksi-instruksi yang diberikan padanya.[19]

            Ketentuan pasal 99 Piagam merupakan hak inisiatif Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa yang jarang dilakukan dengan pertimbangan yang sama yaitu tidak ingin merongrong kewibawaan Dewan yang memang mempunyai tanggungjawab utama terhadap pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional. [20]

            Kegiatan-kegiatan berikutnya di Kongo menyusuri jalur yang berliku dan kadang-kadang bertentangan, melewati pertikaian-pertikaian politik intern maupun ekstern, defisit anggaran belanja, dan kemunduran arah bagi Sekertaris Jenderal. Hammarskjold mencoba menggunakan Dewan Keamanan sebagai sebagai alat untuk memperoleh petunjuk politik dalam situasi-situasi yang berubah. Prosedur ini berjalan dengan baik hanya beberapa minggu saja hingga pada saat kebijaksanaan Amerika Serikat dan Uni Soviet  menjadi terpecah setelah Soviet memilih untuk mendukung Perdana Menteri Patrice Lumamba secara langsung tanpa melalui PBB. Pemisahan dari Propinsi Katanga lebih mempersulit lagi masalah untuk mendapat petunjuk-petunjuk politik dari Dewan Keamanan. Setelah Lumumba terbunuh pada tahun 1961, Dewan Keamanan dipaksa untuk mengadakan persetujuan dan bahkan memberi instruksi kepada Hammarskjold untuk melangkah lebih jauh dengan menggunakan kekuatan untuk mencegah perang saudara di Kongo. Tetapi sebelum kebijaksanaan baru ini diuji Hammarskjold tewas dalam misi penengahannya ketika menuju ke Katanga (1961).

            U Than menggantikan Hammarskjold, Sekertaris Jenderal yang baru ini dianggap mempunyai sikap yang bijaksana oleh negara-negara anggota. Ia mencoba membuat perundingan-perundingan untuk menyelesaikan pemisahan diri di Kongo. Dukungan U Than kepada pemerintah Leopoldville akhirnya mengarah kepada publikasi suatu rencana yang bersifat paksaan dalam perutusan dengan Katanga dan menggunakan pasukan PBB untuk menjernihkan garis-garis komunikasinya sendiri dan untuk menjatuhkan pemerintahan yang ingin menimbulkan diri.

            Dengan bersatunya negara Kongo sebahagian besar dari tugas Sekertaris Jenderal dalam bidang keamanan telah selesai.[21]

 

DAFTAR PUSTAKA

  1. Ali Sastroamidjojo, Pengantar Hukum Internasional, Bhratara Jakarta, 1971.
  2. D.W. Bowett. Q.C. LL.D, Hukum Organisasi Internasional, (Terjemahan     Bambang Iriana Djajaatmadja), Sinar Grafika, 1991.
  3. Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika Bandung, 2004.
  4. James Barros, PBB Dulu, Kini dan Esok (Terjemahan D.H. Gulo), Bumi Aksara Jakarta, 1984.
  5. J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional Edisi Ke Sepuluh, Grafika Jakarta, 2001.
  6. Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Binacipta Bandung, 1978.
  7. Mochtar Kusumaatmadja dan Eti R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Alumni Bandung, 2003.
  8. Pengetahuan Dasar Mengenai Perserikatan Bangsa-Bangsa, Kantor Penerangan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
  9. Sri Setianingsih Suwardi, Penyelesaian Sengketa Internasional, UI-Press Jakarta, 2006.

Sumaryo Suryokusumo, Studi Kasus Hukum Organisasi Internasional, Tatanusa Jakarta, 2007.



[1] Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Penerbit Binacipta, Bandung, 1978, hlm 12.

[2] Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Op.Cit, hlm 3

[3] J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional Edisi ke Sepuluh, Penerbit Grafika, Jakarta, 2001, hlm 77.

[4] Mochtar Kusumaatmadja, Etty R Agoes, Pengantar Hukum Internasionl, Penerbit  Alumni, Bandung, 2003, hlm 95.

[5] D.W. Bowett Q. C. LL. D, Hukum Organisasi Internasional, Terjemahan Bambang Iriana Djajaatmadja, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 1991, hlm 1

[6] Mochtar Kusumaatmadja, Op.cit, hlm 95

[7] Sri Setianingsih Suwardi, Penyelesaian Sengketa Internasional, Penerbit  UI-Press, Jakarta, 2006, hlm 1.

[8] Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Penerbit Sinar Grafika, Bandung, 2004, hlm 1.

[9]Pengetahuan Dasar Mengenai Perserikatan Bangsa-Bangsa, Kantor, Penerangan Perserikatan Bangsa-Bangsa, hlm 33.

[10] Huala Adolf, Op.cit hlm 11

[11] D.W. Bowett Q.C. LL. D, Hukum Organisasi Internasional, Op.cit, hlm 30

[12]  Ali Sastroamidjojo, Pengantar Hukum Internasional, Penerbit Bhratara, Jakarta, 1971, hlm 116

[13]Pengetahuan Dasar Mengenai Perserikatan Bangsa-Bangsa, Op. cit, hlm 22-24.

[14]Pengetahuan Dasar Mengenai Perserikatan Bangsa-Bangsa, Op.cit, hlm 50

[15]James Barros, PBB Dulu, Kini dan Esok, terjemahan D.H Gulo, Penerbit Bumi Aksara, Jakarta, 1984, hlm 143

[16]Pengetahuan Dasar Mengenai Perserikatan Bangsa-Bangsa, Op.cit hlm 50 – 52.

[17]Pengetahuan Dasar mengenai Perserikatan Bangsa-Bangsa, Op.cit, hlm 23

[18]James Barros, Op.cit, hlm 143

[19]Ibid, hlm 146

[20]Sumaryo Suryokusumo, Studi Kasus Hukum Internasional, Penerbit Tatanusa, Jakarta, 2007, hlm 275

[21]James Barros, Op.cit, hlm 144 – 145

Tinggalkan Balasan