Pecahan satelit jatuh? siapa yang bertanggungjawab

Hukum Internasional

Pecahan satelit jatuh? siapa yang bertanggungjawab[1]

 

Adanya berita-berita melalui media tv Indonesia mengenai jatuhnya pecahan satelit (debris) dari ruang angkasa membuat kita menanti-nanti kebenaran berita tersebut dan berharap semoga tidak jatuh di wilayah Indonesia. Kemungkinan lain bisa terjadi yakni bahwa pecahan pesawat ruang angkasa tersebut bisa saja sebelum jatuh sampai ke bumi telah hangus ketika memasuki atmosfir. Harapan yang terakhir inilah yang apabila benar dapat melegakan semua warga penduduk dunia.

 

Jatuhnya benda-benda dari angkasa baik benda angkasa sendiri (misalnya mateor) maupun benda angkasa buatan manusia (satelit) dan bagaimana penanganannya secara hukum diatur dalam Liability Convention 1972, yakni suatu konfensi internasional yang mengatur tentang tanggungjawab terhadap kegiatan-kegiatan ruang angkasa.

Pasal II Liability Convention 1972 menyatakan bahwa : ” A launching state shall be absolutely liable to pay compensation for damage by its space object on the surface of the earth or to aircraft in flight.” 
Dari pengertian diatas jelaslah bahwa yang bertanggungjawab terhadap kegiatan ruang angkasa baik di bumi maupun kegiatan yang dilakukan di ruang angkasa adalah negara peluncur, sayangnya Liability Convention 1972 sendiri tidak secara rinci menjelaskan pengertian “launching state“. 

Sebagaimana yang diketahui bahwa kegiatan ruang angkasa sangat khas sifatnya karena kegiatan ini melintasi 3 dimensi ruang yakni, dimensi darat, dimensi udara dan dimensi ruang angkasa. Dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan ruang angkasa, terutama kegiatan peluncuran pesawat ruang angkasa sering melibatkan lebih dari satu negara sehingga berkaitan dengan pertanggungjawaban kerugian atas kegiatan ruang angkasa dapat mengalami kendala apabila kegiatan tersebut melibatkan lebih dari satu negara. Ini berkaitan dengan negara mana yang harus bertanggungjawab atas kegiatan tersebut dan berapa besar kompensasi yang harus diberikan masing-masing negara terhadap kerugian/kerusakan yang ditimbulkan.

Untuk mengetahui kategori dari suatu negara peluncur dapat dilihat dalam Moon Agreement 1975. Perjanjian ini menyebutkan bahwa launching state terdiri dari: negara yang wilayahnya digunakan untuk meluncurkan satelit, negara yang memiliki satelit dan negara yang melakukan peluncuran satelit
 

Kerugian maupun kerusakan yang terjadi akibat jatuhnya debris dari ruang angkasa harus dipertanggungjawabkan secara internasional oleh negara peluncur, kerugian tersebut meliputi kerugian-kerugian yang terjadi di permukaan bumi, seperti kerugian pada lingkungan alam, harta benda, individu, badan hukum, pusat-pusat kegiatan vital lainnya, juga terhadap pesawat ruang angkasa dan pesawat udara milik negara lain yang sedang mengadakan penerbangan.

 

Berkaitan dengan sistem tanggungjawab atas kerusakan maupun kerugian yang di alami, apabila kerugian tersebut di timbulkan di permukaan bumi, digunakan sistem tanggungjawab absolute liability. Ini dimaksudkan untuk melindungi kepentingan yang tidak berkaitan dengan kegiatan di ruang angkasa, akan tetapi apabila kerugian yang timbul karena menimpa benda angkasa yang lain, maka prinsip tanggungjawab yang di gunakan adalah liability based on fault.

Beberapa hari ini banyak berita tentang akan jatuhnya satelit ke bumi dari ruang angkasa, menurut suatu lembaga penelitian Amerika bahwa satelit dari ruang angkasa tersebut diperkirakan akan jatuh pada hari Jumat tanggal 23 September 2011. Salah satu televisi swasta di Indonesia menyiarkan bahwa satelit tersebut akan jatuh sehari sesudah atau sehari sebelum tanggal 23 September 2011 hal ini dapat terjadi terkait dengan keadaan atmosfir bumi.

 

Sesungguhnya benda ruang angkasa yang jatuh ke bumi tersebut tidak dapat dikatakan sebagai satelit, tetapi benda yang jatuh dari ruang angkasa adalah debris yakni pecahan-pecahan benda ruang angkasa buatan yang sudah tidak berfungsi, misalnya pecahan satelit yang telah lama berada di ruang angkasa, dan pecahan-pecahan stasiun ruang angkasa atau wahana ruang angkasa yang telah berada lama di ruang angkasa pada waktu lebih dari 30-40 tahun dan sudah tidak berfungsi lagi.

 

Berpacunya negara-negara adidaya pemilik teknologi tinggi dalam kagiatan ruang angkasa menyebabkan banyak sekali kegiatan-kegiatan peluncuran satelit ke ruang angkasa, hal ini tidak dapat dicegah karena ilmu dan teknologi ruang angkasa berkembang demikian pesat.

Kegiatan peluncuran pesawat ke ruang angkasa yang dulunya dilakukan di darat sekarang dapat dilakukan dari laut dan dengan meningkatnya teknologi ruang angkasa dewasa ini, peluncuran pesawat ruang angkasa juga dapat dilakukan melalui udara.

Kegitan peluncuran pesawat ruang angkasa lebih banyak membawa muatan satelit, ini disebabkan karena satelit sangat perperan besar dalam aktivitas manusia modern di berbagai bidang, yaitu bidang komunikasi, pertahanan dan keamanan, dan satelit-satelit sumberdaya alam yang sangat membantu terhadap pembangunan berbagai negara di dunia.

 

Berkaitan dengan jatuhnya debris dari ruang angkasa ke bumi dapat menyebabkan kerugian bagi manusia maupun benda-benda yang ada di bumi, kerugian tersebut bukan karena masih adanya reaksi nuklir dari benda tersebut, tetapi yang dapat membahayakan serta merugikan objek bumi adalah adanya akibat benturan dari benda-benda tersebut pada objek yang ada di bumi, misalnya benda yang jatuh tersebut menimpa bangunan, rumah, atau manusia yang membawa kematian pada manusia, siapakah yang harus mempertanggungjawabkan kerugian-kerugian tersebut?

 

Hukum Internasionallah yang dapat menjawab pertanyaan diatas, karena dalam hukum internasional, kegiatan-kegiatan terkait dengan ruang angkasa telah di atur dengan berbagai konvensi internasional. Khusus mengenai tanggungjawab terhadap kegiatan-kegiatan ruang angkasa, diatur dalam Liability Convention 1972. 



[1] Diakses dari http://irmahalimahhanafi.blogspot.com/2011/09/pecahan-satelit-jatuh-siapa-yang.html

Tinggalkan Balasan