MODEL PERADILAN ADAT PADA NEGERI-NEGERI ISLAM DI PULAU AMBON DAN PULAU-PULAU LEASE

Hukum Keperdataan

 

MODEL PERADILAN ADAT  PADA NEGERI-NEGERI ISLAM

 DI PULAU AMBON DAN PULAU-PULAU LEASE[1])

 

Arman Anwar

Fakultas Hukum Universitas Pattimura Ambon

 

arman_1170@yahoo.com.au

 

 

ABSTRAK

Fakta empiris menunjukan bahwa proses penyelesaian sengketa pada masyarakat adat di Maluku pada umumnya diselesaikan melalui mekanisme sistem peradilan adat. Aktualitas peran peradilan adat ini, tidak terkecuali juga terdapat pada negeri-negeri Islam di Pulau Ambon dan Pulau-Pulau Lease. Mekanisme peradilan adat pada negeri-negeri Islam tersebut memiliki kekhasan tersendiri karena walaupun dipengaruhi oleh hukum adat tetapi masih tetap dijiwai oleh ajaran Islam. Melalui penelitian dengan menggunakan metode Social Legal Research, ditemukan bahwa, pranata adat di negeri-negeri Islam ini penuh dengan dinamika dan memiliki keunggulan komparatif berkat eksistensi dan kompetensi otoritas adat pada peradilan adat dimaksud. Aksesibilitas dan fleksibilitas serta cepat dan tanpa biaya dalam penanganan perkara maupun putusannya yang bersifat win-win solution ternyata mampu memenuhi rasa keadilan bagi pencari keadilan. Hal ini merupakan lebenstraum (sumber-sumber kehidupan, baik secara simbolis dan maupun realis) bagi masyarakat persekutuan hukum adat di negeri-negeri Islam dimaksud. Diharapkan pranata adat ini dapat diberdayakan dengan tepat sehingga bisa membantu mengurangi beban kerja peradilan formal yang koheren dengan kebijakan reformasi lembaga peradilan Indonesia sesuai dengan blue print Mahkamah Agung RI. Selain itu, dapat memberikan kontribusi yang konstruktif secara teoritis pada disiplin ilmu hukum karena merupakan pengetahuan penting dalam memahami segi sosiologis hukum masyarakat adat kepulauan dalam upaya menjaga harmonisasi sosial dan sebagai modalitas sosial bagi masyarakat di negeri-negeri Islam sehingga dapat memberikan out put berupa terciptanya peningkatan kualitas hidup yang Islami.

Kata kunci: Masyarakat adat, Peradilan adat, Negeri Islam, Harmonisasi sosial, dan Kualitas hidup Islami

 

 

PENDAHULAN

Indonesia adalah negara yang pluralis. Pluralitas masyarakat Indonesia. dapat dilihat dari banyak suku bangsa di Indonesia (Liem, 2009). Terdapat lebih dari 300 suku bangsa yang masing-masing memiliki bahasa dan identitas kultural yang berbeda-beda (Geertz, 1981).

Selain pluralitas suku, pluralitas agama juga terdapat di Indonesia. Sementara pada dimensi vertikal, tercipta pula polarisasi sosial, politik dan ekonomi.  Pluralisme suku, dan agama, jika dipengaruhi polarisasi sosial, ekonomi dan politik yang tidak seimbang sangat berpotensi menjadi pemicu munculnya isu sensitif seperti ketidakpuasan, frustrasi, dan sinisme yang dapat terakomulasi menjadi kerusuhan massal. Data dari tahun 1995 – 1997, tercatat telah terjadi 20 kasus kerusuhan massal di Indonesia yang bernuansa SARA dengan korban jiwa dan materi yang besar (Mas’oed, dkk, 2000). Diikuti kasus kerusuhan Ketapang 1998, kerusuhan Poso Sulawesi Tengah 1998, dan kerusuhan Maluku 1999. Pada tahun 2008 kembali terjadi 1.136 insiden kerusuhan, mengakibatkan 112 orang meninggal dunia dan 1.736 orang luka-luka (Djailani, 2001).

Sejak tahun 2008, Indonesia telah mengalami, 1.136 insiden kekerasan, dengan rata-rata 3 insiden perhari. Kekerasan tersebut adalah penghakiman massa 338 insiden (30%), Tawuran 240 insiden (21%), Konflik politik 180 insiden (16%), Konflik Sumber Daya Alam 109 (10%), Pengeroyokan 47 insiden (4%), Konflik Agama/Etnis 28 insiden (2%), lain-lain 56 insiden (5%). Insiden tersebut mengakibatkan 112 orang meninggal dunia dan 1.736 orang luka-luka. Sehingga Global Peace Index pada tahun 2009 menyatakan bahwa Indonesia berada pada tingkat kekerasan kriminal yang tertinggi yakni skor 4 dari 5 (Wisudo, 2010)

Dalam sistem hukum di Indonesia, penyelesaian perkara diatas maupun perkara-perkara lainnya dapat berujung sampai di Mahkamah Agung. Dalam hal penanganan perkara di peradilan formal, Ketua Mahkamah Agung mengatakan bahwa pada akhir tahun 2007 saja, populasi perkara yang beredar di Mahkamah Agung, telah mencapai 20.319 perkara yang terdiri dari Perkara Aktif sebanyak 13.525 perkara (67%) dan perkara yang usianya diatas 2 tahun sebanyak 6.794 perkara (33%). (Laporan Tahunan MA:2007)..

Dalam upaya mengatasi hal tersebut dan mengurangi semakin bertumpuknya perkara di Mahkamah Agung maka dibuatkanlah Kebijakan reformasi peradilan sejak tahun 2003 yang tertuang dalam cetak biru (blue print) Mahkamah Agung. Kebijakan tersebut selain bertujuan untuk melakukan pembaharuan dalam strategi produktifitas penanganan perkara pada Mahkamah Agung dan jajarannya, tetapi juga bertujuan sebagai upaya penyadaran masyarakat untuk menjadikan lembaga peradilan formal sebagai jalan paling akhir yang ditempuh ketika hendak menyelesaikan suatu silang sengketa.

Sistem peradilan informal rechtsgemeenschap sebagai pranata hukum di tingkat lokal, jika dapat diberdayakan diharapkan menjadi solusi terbaik sebagai salah satu mekanisme penyelesaian sengeketa alternatif, yang mengutamakan cara-cara menyelesaikan secara damai dan musyawarah sehingga tidak perlu harus selalu ke peradilan formal.

 Dengan masuknya pengaruh dari luar maka berbagai pranata hukum setempat yang terpengaruhi oleh munculnya keadaan yang baru harus diantisipasi kemungkinan pergeseran itu dengan memperhatikan hukum dan adat istiadat setempat. Disinilah hukum dapat dilihat sebagai sarana transformasi struktur dan budaya masyarakat.( Hartono, 1991)

 

METODE PENELITIAN

1.    Spesifikasi Penelitian

Makalah ini merupakan hasil penelitian sosial tentang hukum yang  dilakukan dengan metode “Social Legal Research”. Social Legal Research adalah penelitian hukum yang menempatkan hukum sebagai gejala sosial, Penelitian ini dikaitkan dengan masalah sosial dengan menitikberatkan perilaku individu atau masyarakat dalam kaitannya dengan hukum              (Marzuki, 2010).

2.      Materi Penelitian

Mengingat yang diteliti dalam penelitian ini adalah hukum adat maka penelitin ini merupakan penelitian sosial tentang hukum adat.  Oleh karena itu, topik penelitan yang menjadi kajian dalam makalah ini adalah tentang efektifitas hukum adat, kepatuhan terhadap aturan hukum adat dan peran lembaga atau institusi hukum adat dalam hal ini peradilan adat atau peradilan informal dalam penegakan hukum adat serta pengaruh aturan hukum adat terhadap masalah sosial tertentu atau sebaliknya, pengaruh masalah sosial tertentu terhadap aturan hukum adat.

3.      Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada Negeri-Negeri Islam yang masih memegang teguh adat istiadat dan hukum adat yang penuh dengan dinamika ke-Islaman-nya dalam persekutuan masyarakat hukum adat (Rechtsgemeenschap) di Pulau Ambon dan Pulau-pulau Lease, Kepulauan Maluku. Negeri-Negeri Islam yang ada di Pulau Ambon dan Pulau-Pulau Lease yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah Negeri Batumerah, Negeri Laha dan Negeri Tulehu yang terdapat di Pulau Ambon. Sedangkan di Pulau-pulau Lease adalah Negeri Kabaw.  

4.      Teknik Pengumpulan Data.

Pengumpulan data dilakukan dengan teknik:

a.       Pengamatan secara langsung pada lokasi penelitian

b.      Wawancara yaitu dilakukan dengan bertatap muka langsung dengan responden guna menggali informasi yang tidak tampak atau fenomena/gejala yang tampak.

c.       Dokumentasi, dilakukan untuk memperoleh data tertulis, baik tentang putusan-putusan peradilan adat, penerbitan dan publikasi lainnya untuk mendukung data yang telah diperoleh melalui pengamatan langsung dan wawancara

 

5.      Teknik Pengolahan Data dan Analisis Data

Data yang terkumpul kemudian dilakukan pengorganisasian dan pengklasifikasian sesuai dengan rumusan masalah, tujuan penelitian dan sistematika penyusunan hasil penelitian. Setelah semua bahan hukum diorganisasi dan diklasifikasi kemudian dilakukan analisis dan atau  interpretasi, Analisa yang dipakai adalah analisa kualitatif empirik yaitu dengan memperhatikan fakta-fakta maupun data-data lapangan. Melalui cara ini diharapkan permasalahan dalam penelitian ini bisa dikaji dan dipecahkan jawabannya.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

1.      DESKRIPSI SINGKAT LOKASI PENELITIAN

Negeri-Negeri Islam di Pulau Ambon dan Pulau-Pulau Lease diperkirakan telah ada sejak tahun 1100 hingga 1817. Digunakan terminologi Negeri Islam karena negeri-negeri tersebut menurut sejarah asal usulnya telah memeluk Islam pada abad XIV dan hingga sekarang penduduknya mayoritas beragama Islam. Sistem pemerintahan dan hukum adatnyapun memiliki karakteristik tersendiri jika dibandingkan dengan negeri-negeri lainnya yang nonmuslim karena pengaruh ajaran Islam yang cukup kuat seperti dikenalnya Dewan Guru dalam sistem pemerintahan negeri di Kabaw atau Dewan Adat Negeri di Negeri Batumerah maupun di Negeri Laha serta Saniri Negeri di Negeri Tulehu yang fungsinya kurang lebih sama dengan Dewan Syuro atau ahl halli wa al–aqdli dalam sistem pemerintahan Islam. Demikianpun hukum adatnya relatif sangat dipengaruhi oleh ajaran Islam misalnya Hukum Adat Kaul di Negeri Tulehu, Hukum Adat Dati di Negeri Batumerah atau Hukum Adat Ma’uri Lapia Hatae serta Hukum Adat Molo di Negeri Kabaw.    

2.      TUGAS DAN KEDUDUKAN RAJA SEBAGAI PEMANGKU OTORITAS ADAT

Masyarakat adat di Maluku adalah masyarakat yang dikenal karena adat dan budayanya yang kuat. Adat istiadat masyarakat Maluku dapat terlihat dari adanya persekutuan hukum adat (Rechtsgemeenschap) yang tetap hidup dan diakui sebagai pranata dalam masyarakat. Sehingga selain ada wilayah administrasi pemerintahan formal, juga terdapat wilayah pemerintahan adat.

Van Vallenhoven dalam bukunya yang berjudul Het Adatrechts van Nederlands Indie deel I, 1906-1918, membagi wilayah hukum adat Indonesia atas 19 (sembilan belas) lingkungan hukum adat (adatrechtskringen). Adapun  Maluku, oleh Van Vallenhoven dimasukan kedalam lingkungan hukum adat yang ke 13 yang melingkupi Pulau Buru, Pulau Ambon, Hitu, Banda, Kepulauan Uliasar, Saparua, Seram, Kepulauan Kei, Kepulauan Aru dan Kisar (Bushar Muhammad, 2002).  

            Lebih daripada itu, masyarakat Maluku juga dikenal sebagai masyarakat yang religius artinya masyarakat Maluku adalah masyarakat yang menjalani kehidupan dengan mematuhi segala hukum agama dan negara Indonesia. Dengan demikian masyarakat Maluku yang religius tercermin pada kehidupan individu yang saling tenggang rasa dan saling hormat menghormati dalam suatu masyarakat yang memiliki keragaman, suku bangsa, budaya, agama dan latar belakang kehidupan. Melalui model kerjasama “tiga batu tungku” dan “masohi”, dibangun pemerintahan negeri berasaskan kerjasama antara Raja, Tokoh Adat dan Tokoh Agama, hal ini sekaligus sebagai ciri kehidupan masyarakat adat di Maluku yang senantiasa memegang teguh kebersihan rohani, kesopanan dalam perbuatan dan kebersamaan yang ramah. (RPJMD Provinsi Maluku 2008-2013, 2009: VI-4)

Pada Masing-masing wilayah lingkungan hukum adat terdapat persekutuan hukum adat atau Rechtsgemeenschap yang dipimpin oleh seorang Raja. Sosok Raja pada Negeri-Negeri Islam kurang lebih sama fungsinya dengan sosok seorang khalifah dalam kepemimpinan Islam. Semuanya merupakan aset kekayaan budaya daerah, meskipun pada bebarapa negeri mulai terkesan mengalami degradasi termasuk di negeri-negeri Islam.

Sebagal upaya merevitalisasl nilai-nilai budaya daerah sekaligus sebagai penjabaran Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka pada tahun 2004 telah disusun Perda tentang Negeri Sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam wilayah pemerintahan Provinsi Maluku dengan tujuan dapat dijadikan sebagai rnodal sosial yang dapat dirnanfaatkan bagi kepentingan pembangunan daerah yang  berbasis potensi lokal. Perda ini telah diterapkan pada tahun 2005. (RPJMD Provinsi Maluku 2008-2013, 2009: II-6)

            Dengan berlakunya Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Penetapan kembali negeri sebagai kesatuan masyarakat hukum adat dalam wilayah pemerintah Provinsi Maluku (lembaran Daerah Provinsi Maluku Tahun 2005 Nomor 14), maka kini pemerintah daerah Maluku telah memiliki karakteristik tersendiri karena sistem penyelenggaraan pemerintahannya telah dikembalikan menurut adat istiadat dan hukum adat.

            Berpedoman pada Perda payung diatas maka pemerintah kota Ambon dan beberapa pemerintah kabupaten dalam lingkup pemerintah Provinsi Maluku, telah pula menetapkan Peraturan Daerah Kota dan Kabupaten tentang Negeri. Salah satunya adalah Peraturan Daerah Kota Ambon Nomor 3 Tahun 2008 tentang Negeri Kota Ambon. Serta Peraturan Daerah Kota Ambon Nomor 13 Tahun 2008 Tata Cara Pencalonan, Pemilihan, Pengangkatan dan Pelantikan serta Pemberhentian Raja. 

Tugas dan kedudukan Raja di dalam masyarakat adat sangat penting dan strategis. Oleh kerana itu, berdasarkan Perda Kota Ambon No. 3 Tahun 2008 tentang Negeri di Kota Ambon maka tugas seorang Raja sangat luas yakni mencakup:

1)      Menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarkat negeri

2)      Membina kehidupan masyarakat negeri

3)      Membina dan mengembangkan perekonomian negeri

4)      Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat negeri

5)      Mendamaikan perselisihan hukum adat di negeri

6)      Memutuskan persengketaan hukum adat di negeri

7)      Memelihara dan melesatarikan adat istiadat dan hukum adat yang hidup di negeri

8)      Mengamankan kekayaan negeri

9)      Mengembangkan kemandirian masyarakat.

            Selain diatur tugas seorang Raja, juga diatur tentang kedudukan Raja yaitu sebagai:

1)      Pimpinan penyelengaraan pemerintahan negeri berdasarkan keputusan yang ditetapkan bersama Saniri Negeri Lengkap,

2)      Mengajukan Rancangan Peraturan Negeri,

3)      Merencanakan, menyusun dan mengajukan Rancangan APBNegeri untuk dibahas bersama Saniri Negeri Lengkap dan ditetapkan menjadi Peraturan Negeri

4)      Menetapkan peraturan negeri yang telah mendapat persetujuan bersama Saniri Negeri Lengkap

5)      Mewakili negeri didalam dan di luar pengadilan dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk itu

6)       Merencanakan dan menyusun program pembangunan negeri dan

7)      Menetapkan pemanfaatan kekayaan alam yang ada dalam petuanan (Petuanan adalah daerah yang meliputi daratan dan lautan yang berdasarkan hukum adat berada dibawah penguasaan negeri sebagai hak ulayat )

            Saniri Negeri Lengkap adalah badan legislatif negeri yang terdiri dari wakil-wakil soa, kepala adat, tua-tua negeri, kepala tukang, kewang, serta unsur-unsur lain yang bertugas membatu kepala pemerintahan negeri membentuk peraturan negeri serta melakukan fungsi pengawasan. Lembaga ini mempunyai kedudukan dan tugas administrasi yang dipimpin oleh Raja dalam fungsi legislatif, seperti membuat peraturan dan menentukan kebijakan pemerintah yang ditetapkan melalui paripurna Saniri Negeri Lengkap.

Pada Negeri Islam seperti Negeri Kabaw, Raja tidak merangkap sebagai pimpinan Saniri Negeri Lengkap. Di negeri ini, Saniri Negeri Lengkap dipimpin oleh seorang tokoh masyarakat yang dipandang sangat berpengaruh. Selain itu dalam struktur pemerintahan negeri juga terdapat Dewan Guru (Samasuru Lima) yang berfungsi sebagai lembaga musyawarah semacam Dewan Syuro atau ahl halli wa al–aqdli.

Pada Negeri Batumerah dan Negeri Laha, juga dikenal lembaga musyawarah semacam itu atau dalam pranata adat setempat disebut dengan Dewan Adat Negeri. Selain berfungsi sebagai lembaga musyawarah untuk menetapkan calon Raja. Juga berfungsi sebagai lembaga musyawarah untuk menyelesaikan kasus-kasus sengketa tertentu bilamana terkait dengan hukum adat dan kelangsungan negeri adatnya di masa yang akan datang, atau berkaitan dengan pengambilan keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Hal itu biasanya terjadi bilamana Raja merasa bahwa keputusan yang akan diambilnya membawa implikasi resiko dan tanggung jawab yang besar dikemudian hari. Karena itu pengambilan keputusan diserahkan pada Dewan Adat Negeri.

Pada Negeri Tulehu terdapat lembaga Saniri Negeri yang fungsinya kurang lebih juga sama dengan Dewan Syuro atau ahl halli wa al–aqdli dengan kompetensi yang sama seperti pada dua negeri diatas yakni sebagai lembaga musyawarah untuk menetapkan calon Raja dan untuk menyelesaikan persoalan yang berat ketika Raja sendiri tidak sanggup untuk mengambil keputusan.   

Di Negeri Tulehu pernah diselenggarakan Sidang Adat Saniri Negeri yang melibatkan semua masyarakat negeri ketika Negeri Tulehu bersengketa dengan Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah. Ketika itu Bupati Maluku Tengah mengeluarkan Keputusan Bupati tentang Pembubaran atau Pembekukan Badan Saniri Negeri Tulehu karena Saniri Negeri Tulehu “dianggap” melakukan pemilihan Raja tanpa berpedoman pada Perda Maluku Tengah tentang Pencalonan, Pemilihan, Pelantikan dan Pemberhentian Raja. Atas kasus tersebut Raja meminta digelar Sidang Adat Saniri Besar Negeri Tulehu pada tanggal 1 Maret 2011 yang kemudian menghasilkan tiga keputusan yakni: Pertama, Apabila Bupati Maluku Tengah memasuki wilayah Negeri Tulehu maka harus ditangkap dan dihukum Mati. Kedua, Menangkap dan Menghukum Mati Camat Kecamatan Salahutu Kabupaten Maluku Tengah. Dan Ketiga memberikan hak tersebut kepada seluruh anak Negeri Tulehu untuk melaksanakan eksekusi putusan ini.  Keputusan Raja dan Saniri Negeri Tulehu mendapat reaksi keras dari Pemerintah Daerah Provinsi Maluku. Gubernur kemudian meminta kepada Raja Negeri Tulehu beserta Saniri Negeri Tulehu  agar  menghormati Keputusan Bupati dan berharap masyarakat dan pimpinan Negeri Tulehu mendengar apa yang menjadi keinginan pemerintah, tetapi respon Raja justru sebaliknya berharap pemerintahlah yang harus mau mendengar apa kata rakyatnya. Raja meminta kepada pemerintah daerah agar menghormati pranata-pranata adat serta nilai-nilai adat Negeri Tulehu yang merupakan kearifan lokal Negerinya. Ketegasan, kewibawaan dan memegang prinsip adalah bagian dari nilai-nilai kepemimpinan dalam Islam  (Wawancara Raja Negeri Tulehu: John Saleh Ohurella, Sp, di Kantor Negeri Tulehu pada Senin 14  Agustus 2012, Jam 14.00-16.00 Wit).

 

3        HUKUM ADAT YANG DIJIWAI OLEH KONSEP AJARAN ISLAM

Penyelesaian sengketa di peradilan adat pada tingkat lokal menerapkan aturan hukum yang didasarkan pada tradisi lisan secara turun temurun yang merupakan kolaborasi antara gagasan perdamaian, keadilan dan keharmonisan serta keseimbangan dengan alam tempat mereka hdup. Aturan tersebut sudah menjadi bagian dari hukum positif yang berlaku dalam komunitas masyarakat adat sejak lama dan telah hidup serta dihormati sebagai bentuk kearifan lokal Negeri-Negeri Islam.

Di peradilan adat Negeri Tulehu terdapat suatu aturan hukum adat yang disebut “Hukum Kaul” yakni suatu prosesi upacara pengucapan sumpah. Upacara ini dipimpin oleh Raja dan Imam mesjid dengan menghadirkan kedua belah pihak yang bersengketa untuk mengucapkan sumpah. Lafad sumpah yang harus diucapkan adalah sebagai berikut: “Kalo memang benar ose punya maka biarlah ini menjadi surga bagi ose namun jika bukan ose punya maka akang akan menjadi neraka bagi ose.” Lafad sumpah ini diucapkan oleh kedua pihak yang bersengketa secara bergantian. Makna sumpah yang diucapkan itu adalah bahwa apabila obyek senggeta (dalam kasus perdata) tersebut adalah betul kepunyaan pihak penggugat maka pihak penggugat menuntut kepada Allah untuk memberikan keadilan dengan cara menghukum terguggat. Demikian juga sebaliknya. Begitupun dalam kasus pidana yaitu apabila pelaku merasa tidak melakukan tindak pidana sebagaimana yang dituduhkan kepadanya maka akan dilakukan kaul. Biasanya setelah prosesi ini selesai kemudian diakhiri dengan pemotongan hewan qurban sebagai simbol bahwa pihak yang bersalah telah siap menerima konsekwensinya berupa apapun baik bencana atau kutukan bahkan kematian sekalipun dari Allah. 

Nilai dan besarnya hewan yang akan diqurbankan tergantung pada besar kecilnya nilai obyek sengketa atau berat ringannya suatu perkara. Apabila perkaranya memiliki nilai obyek sengketa/perkara yang besar/mahal maka yang diqurbankan adalah satu ekor sapi namun apabila obyek perkaranya lebih kecil atau hanya perkara ringan, maka berturut turut hewan qurbannya adalah kambing, ayam hingga yang paling kecil adalah burung merpati. (Wawancara Raja Negeri Tulehu: John Saleh Ohurella, Sp, di Kantor Negeri Tulehu pada Senin 14  Agustus 2012, Jam 14.00-16.00 Wit).

Prosesi ritual pengucapan sumpah seperti ini sangat dipengaruhi oleh konsep ajaran Islam yakni sumpah Li’an. Akibat atau konsekwensi yang diterima oleh pihak yang bersalah biasanya dalam waktu yang tidak lama berselang, diterima melalui bentuk penderitaan/kesialan atau menderita suatu penyakit tertentu hingga menyebabkan kematian secara terus menerus sampai beberapa generasi didalam keturunannya, hal ini diyakini sebagai keadilan dari Tuhan.

Begitu juga keyakinan dari masyarakat Negeri Batumerah ketika terjadi kasus sengketa tanah dati antara dati Lisaholet dan dati Nurlete. (tanah dati adalah tanah ulayat yang dikuasai oleh marga-marga tertentu didalam suatu Negeri adat) Kedua dati tersebut akhirnya menyepakati penyelesaian kasus mereka dengan cara melakukan sumpah di mesjid. (Wawancara  Plt. Raja Negeri  Batumerah; M.Saleh Kiat,S.Sos di Kantor  Negeri Batumerah  pada Kamis, 09 Agustus 2012, jam  09.00-11.00 Wit)     

Meskipun konsekwensi yang diterima terkadang sulit untuk bisa diterima dengan akal sehat. Namun masyarakat meyakini bahwa itu adalah hukum yang paling adil. Contoh lainnya adalah prosesi penyelesaian sengketa tanah antar masyarakat adat dengan menggunakan hukum adat Molo (menyelam) seperti di Negeri Kabaw.  

Hukum adat ini terbilang sangat tidak rasional sebab kedua belah pihak yang bersengketa, menyelesaiakan perkaranya dengan cara melakukan penyelaman dilaut yang telah ditentukan. Biasanya dilaksanakan pada hari jumat. Mereka akan menyelam secara bersamaan dengan membawa sebungkah batu tanpa menggunakan alat bantu pernafasan. Prosesinya dipimpin oleh Raja dan diawali dengan doa dari Imam. Setelah itu, para pihak melakukan penyelaman. Pihak yang paling lama menyelam maka dianggap sebagai pihak yang memenangkan perkara dan diputuskan sebagai pemilik sah atas tanah yang disengketakan tersebut.

Meskipun hukum adat semacam ini sangat tidak rasional, tetapi masyarakat Negeri Kabaw percaya bahwa Allah akan memberikan keadilannya. Melalui cara dimaksud, orang atau pihak yang bersengketa apabila dia berada pada posisi yang benar maka menurut mereka, Allah akan menidurkannya diatas batu yang dibawanya sehingga dia akan berada dalam waktu yang cukup lama di dalam laut. Sebaliknya pihak yang berada pada posisi yang salah meskipun dia adalah seorang penyelam yang ahli dan terkenal hebat dalam penyelaman maka dia ketika berada di dalam laut akan diberikan oleh Allah, perasaan yang cemas dan takut sehingga dia akan cepat-cepat untuk muncul kepermukaan laut.

Khusus terhadap kasus-kasus pidana, umumnya Negeri-Negeri Islam menyerahkan penyelesaiannya kepada pihak kepolisian. Namun terlepas dari itu masyarakat Kabaw juga mempercayai bahwa Allah akan memberikan keadilannya meskipun si terpidana telah menjalani hukumannya menurut hukum pidana. Contoh kasus seperti ini adalah dalam kasus pembunuhan yang dilakukan oleh seorang adik terhadap kakaknya. Kronologis peristiwanya yaitu ada seorang adik yang melakukan pembunuhan terhadap kakaknya sendiri ketika kakaknya tersebut sedang dalam keadaan tertidur dengan cara ditikam tepat dibagian jantung. Kasus ini bermula dari meninggalnya seorang anak dari pelaku. Kemudian pelaku termakan fitnah yang mengatakan bahwa kakaknya tersebut memiliki ilmu hitam (semacam santet) sehingga dialah yang menyebabkan anak pelaku itu meninggal. Akhirnya pelaku menghabisi nyawa kakaknya sendiri. Pelaku kemudian diadili di pengadilan Negeri dan menjalani hukuman penjara selama enam tahun di Lembaga Pemasyarakatan  Saparua.

Ketika kasus ini ditangani oleh kepolisian, Kelurga korban secara diam-diam menempuh pencarian keadilan melalui peradilan adat. Raja memerintahkan kepada keluarga korban untuk mengambil sehelai kain kafan dari mayat pada saat penguburan jenasah dan melilitkannya dilengan sambil berdoa kepada Allah dengan doa sebagai beriku, “Bahwa hamba menuntut kepada Allah kalau memang benar korban tidak bersalah maka perlihatkanlah keadilan itu dengan mengambil nyawa orang yang telah membunuh korban. Nyawa dibalas dengan nyawa”. Akhirnya Allah mengabulkan doa ini dan memperlihatkan keadilanNYA itu, yaitu pada waktu pelaku telah menyelesaikan masa hukumannya dan kembali pulang ke Negeri Kabaw, tak berselang berapa lama kemudian pelaku sakit dan meninggal dunia dalam keadaan bagian dadanya mengelurkan darah persis di tempat seperti pada tempat dia menikam kakaknya. Ketika selesai dikebumikan, kuburannyapun mengelurkan bau dan dipenuhi belatung.      

Begitulah cara masyarakat Negeri Kabaw menyelesaikan masalah yaitu dengan tenang-tenang tidak perlu ribut-ribut dan semuanya dipasrahkan hanya kepada Allah semata dengan meyakini sepenuhnya tanpa ada keraguan sedikitpun akan kekuasaan Allah dan keadilanNYA.  Hukum adat ini disebut “Ma’uri Lapia Hatae”. (Wawancara Raja Negeri Kabaw: Zainuddin Karapesina di  Rumah Raja pada hari Jumat 05 Oktober 2012 pada jam 09.00-13.00 Wit).

 

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1.      Struktur Pemerintahan Negeri pada Negeri-Negeri Islam di Pulau Ambon dan Pulau-Pulau Lease sangat dipengaruhi oleh konsep ajaran Islam yang ditandai dengan adanya Raja yang berfungsi seperti seorang khalifah. Selain itu juga terdapat Lembaga Musyawarah seperti Dewan Guru (Samasuru Lima), Dewan Adat atau Saniri Negeri yang fungsinya sedikit banyaknya sama dengan Dewan Syuro atau ahl halli wa al–aqdli.

2.      Terbuka pilihan yang luas bagi masyarakat adat di Negeri-Negeri Islam untuk mengakses keadilan melalui peradilan formal, namun mereka lebih cendrung memilih mengakses keadilan melalui lembaga peradilan adat di negerinya dalam menyelesaian sengketa diantara mereka.

3.      Peradilan adat pada Negeri-Negeri Islam meskipun menerapkan hukum adatnya masing-masing namun hukum-hukum adat tersebut dengan segala dinamikanya, masih tetap dijiwai oleh konsep ajaran Islam.

  1. Fleksibilitas peran aktor otoritas adat dalam sisitem peradilan informal yang terkadang bertindak sebagai orang tua, penasehat, mediator dan hakim yang netral dalam menyelesaikan konflik horisontal antar warga adalah keunggulan komparatif yang inheren dengan semangat reformasi lembaga peradilan di Indonesia yaitu dengan mengutamakan cara-cara menyelesaikan secara damai dan musyawarah. Selain itu, Sikap pemimpin yang tegas, berwibawa dan memegang prinsip ketika menyelesaikan konflik vertikal  adalah bagian dari konsep kepemimpinan dalam Islam,  yang terbukti mampu menghadapi ancaman konflik dari luar  

5.      Mengakui hanya Allah, Tuhan semata dan hanya Allah Hakim Yang Maha Adil serta memasrahkan diri hanya kepadaNYA dengan tanpa sedikitpun ada keraguan kepada kekuasaan, kebesaran dan keadilanNYA adalah wujud kristalisasi iman seorang muslim yang dipraktekan dalam mekanisme penyelesaian sengketa secara tenang, tidak ribut-ribut dan tidak sesumbar dalam pelampiasan dendam kesumat adalah bentuk sikap pengendalian diri dan kepasrahan kepada Allah. Sikap ini, terbukti mampu memberikan rasa keadilan, terjaganya  harmonisasi sosial dan menjadi modalitas sosial pada Negeri-Negeri Islam dalam upaya menciptakan peningkatan kualitas hidup yang Islami.

 

 

 Saran

  1. Perlunya konsolidasi dan dukungan kebijakan pemerintah daerah melalui rencana kerja strategi pembangunan, yang lebih apresiatif terhadap akses hukum dan keadilan bagi masyarakat adat secara jelas, konkrit dan nyata khususnya pada Negeri-Negeri Islam, termasuk penyusunan anggaran yang pro pada peradilan adat karena selama ini aktor peradilan adat tidak digaji dan lembaganya tidak pernah dibina dan diberdayakan oleh pemerintah. 
  2. Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah Maluku seyogyanya perlu dibuat Peraturan Daerah yang mengatur tentang Pengakuan secara tegas tentang kedudukan dan keberadaan peradilan adat pada Negeri-Negeri Islam yang sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya namun tetap dalam koridor sistem hukum nasional Indonesia
  3. Disarankan kepada pemerintah daerah dan semua pihak yang berkepentingan untuk dapat melanjutkan penelitian ini dalam ruang lingkup yang lebih luas dalam rangka menggali dan memberdayakan hukum adat yang dijiwai oleh konsep-konsep ajaran Islam guna dapat memperkaya khasanah hukum Indonesia dengan segala pluralitas hukum yang hidup di Indonesia sebagi bagian dari sumber hukum nasional Indonesia.

 

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Djailani, Abdul Qadir,  2001, Agama dan Separatisme, Yayasan PIMAM, Jakarta,

Geertz, Hildren, 1981, Indonesia Cultural and Cummunities, telah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia  dengan judul Aneka Budaya dan Komunitas di Indonesia, Yayasan ilmu-ilmu social, Jakarta.

Hartono, C.F.G. Sunaryati, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung.

Liem, Tjong Tiat, 2009, Ethnicity and Modernization in Indonesia Education: A Comparative Study of Pre-Independence and Post Independence Periods, Dalam Nasikun, Sistem Sosial Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta

Mas’oed, Mohtar dkk (ed), 2000, Kekerasan Kolektif Kondisi dan Pemicu, P3PK UGM, Yogyakarta, 

Marzuki, Peter Mahmud, 2010, Penelitian Hukum, Kencana Renada Media group, Jakarta

Muhammad, Bushar, 2002, Asas-Asas Hukum Adat Suatu Pengantar, Pradnya Paramita, Jakarta..

Riyanto, B, 2004, Pengaturan Hutan Adat di Indonesia Sebuah Tinjauan Hukum Terhadap  UU No. 4 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Bogor, Lembaga Pengkajian Hukum Kehutanan dan Lingkungan.

Ter Haar Bzn, B,. 1981, Asas-Asas Dan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta,

Wisudo, Bambang, 2010, Bertaruh Nyawa Merajut Damai Kisah Gerakan Peringatan Dini Konflik di Ambon, Yayasan Tifa, Jakarta,

 

                                                                                                                                               

 
   

 



[1])  Makalah dalam seminar nasional berupa diseminasi hasil-hasil penelitian dengan tema “Menuju Masyarakat Yang Madani dan Lestari” yang diselenggarakan oleh Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Islam Indonesia (DPPM UII), Yogyakarta, Selasa 18 Desember 2012,

 

Tinggalkan Balasan