Aktifitas Penginderaan Jauh melalui Satelit di Indonesia dan Pengaturannya Dalam Hukum Ruang Angkasa

Hukum Internasional

Aktifitas Penginderaan Jauh melalui Satelit di Indonesia dan Pengaturannya Dalam Hukum Ruang Angkasa[1]

 

Sejarah penerbangan melukiskan cita-cita perjuangan, pengorbanan dan kemenangan manusia untuk menaklukkan angkasa raya. Orang yang pertama kali di dalam sejarah melahirkan angan-angan untuk terbang menjadi suatu usaha yang nyata ialah Archytas dari Tarente, seorang murid serta pengikut ahli filsafat Pytagoras. Archytas pada tahun 400 sebelum Masehi sudah membuat burung merpati dari kayu yang dapat terbang. Pesawat macam apakah yang terpasang di dalam ciptaannya itu hingga kini tidak diketahui orang.[1]

Berawal dari adanya penerbangan dan perkembangan teknologi tinggi di bidang penerbangan dewasa ini, manusia sudah dapat menciptakan alat-alat yang dapat melintasi udara menuju ruang angkasa (roket) yang dapat membawa satelit untuk di letakkan pada obitnya di luar angkasa.

Penginderaan jauh adalah pengamatan muka bumi yang dilakukan dari ruang angkasa dengan menggunakan gelombang elektromaknetik tanpa menyentuh langsung objek yang diamati. Jauh sebelum adanya penginderaan jauh melalui satelit (remote sensing by satelit), penginderaan jauh telah dilakukan. Penginderaan jauh semula dilakukan secara konvensional dengan memakai sarana pesawat udara. Penginderaan jauh secara konvensional terdapat banyak kelemahan, karena jangka waktu penerbangan sangat terbatas, apalagi dengan ketinggian tertentu data yang diperoleh kurang akurat apabila tertutup awan tebal. Dengan penemuan teknologi penginderaan jauh melalui satelit kelemahan-kelemahan penginderaan secara konvensional dapat diatasi. Data yang diperoleh dengan mempergunakan satelit lebih luas jangkauannya dan dapat dipasang sepanjang masa.[2]

Dari lokasi yang tinggi di ruang angkasa, satelit penginderaan jauh dengan mudah dapat mengamati suatu wilayah di bumi selama 24 jam secara terus menerus. Sebagai perbandingan daya pandang dari pesawat udara terbang pada ketinggian 10.000m hanya 300 km. Daya pandang dari satelit orbit rendah  (tinggi 150 km) dapat mengamati sekitar 44% muka bumi sedangkan dari orbit geosynchronous (tinggi 35.000km) 70% muka bumi secara sesaat setiap waktu dapat diamati. Data satelit penginderaan jauh sangat membantu kegiatan inventarisasi sumber daya alam, exploitasi mineral minyak dan gas bumi, pemantauan hutan, gunung api dan bencana alam lainnya, pemecahan masalah lingkungan dan perencanaan pembangunan.

Data mengenai wilayah Indonesia dapat diperoleh dari berbagai sumber, khususnya dari luar negeri. Berbagai instansi pemerintah, seperti Bakosurtanal, LAPAN, BPPT, Depatemen Pekerjaan Umum, Departemen kehutanan, LIPPI juga menghimpun data sumber daya alam Indonesia termasuk citra satelitnya. Data yang dikumpulkan melalui stasiun bumi yang ada di Indonesia dan sebahagian lagi diperoleh dari stasiun-stasiun bumi yang berada di Thailand, Swedia, Prancis, Amerika Serikat dan India dengan harga yang cukup berfariasi.[3]

Berkaitan dengan perolehan data pengoperasian satelit penginderaan jauh, terdapat perbedaan kepentingan antara negara-negara maju pemilik teknologi penginderaan jauh dengan negara-negara berkembang sebagai pemilik sumberdaya alam yang menjadi objek penginderaan. Perbedaan kepentingan negara-negara mendorong terciptanya perbedaan persepsi hukum.

Sebagai salah satu bagian dari kegiatan rung angkasa, kegiatan satelit penginderaan jauh harus sesuai dangan ketentuan-ketentuan hukum internasional, terutama hukum ruang angkasa. Namun ternyata perangkat hukum internasional ini masih belum memadai bahkan dapat dikatakan masih vakum dalam kaitan dengan kegiatan penginderaan jauh melalui satelit. Padahal satelit penginderaan jauh termasuk salah satu penerapan teknologi ruang angkasa yang sangat peka di tinjau dari segi kepantingan nasional negara-negara kerena sifatnya yang tidak mengenal batas negara (trans-border), menyangkut data dan informasi yang bernilai strategis baik dari aspek pertahanan dan keamanan maupun kesejahteraan dan menyangkut masalah-masalah fundamental dari segi prinsip kedaulatan negara.[4]

Pengoperasian satelit penginderaan jauh telah lama dijadikan bahan perundingan UNCOPUOS (National Committee on the Peaceful Uses of Outer Space) yang berusaha keras menciptakan suatu perangkat perjanjian internasional. Akan tetapi kuatnya pendirian beberapa negara terutama negara-negara berkembang agar perjanjian tentang penginderaan jauh yang menggunakan satelit di ruang angkasa hendaknya harus dapat menjamin hak-hak negara yang berada di bawahnya (subjacent states). Hak-hak ini meliputi pemanfaatan hasil penginderaan jauh, juga di dalam pelaksanaannya prinsip kedaulatan negara tetap harus dipegang teguh dan penuh penghargaan terhadap satu dan lainnya, misalnya cara pemberitahuan atau izin terlebih dahulu dari negara yang diindra.

Pertentangan pendapat yang kemudian antara blok barat yang berpegang teguh kepada apa yang disebutfreedom of information dan tidak menghendaki pengkaitannya dengan soal kedaulatan negara, sementara negara-negara blok timur dan negara-negara berkembang menekan perlunya aspek kedaulatan suatu negara diperhatikan. Juga bahwa informasi atas sumber-sumber alam tidak begitu saja dapat di sebarluaskan secara bebas tanpa izin negara yang diindra.[5]

Negara-negara maju berpendapat bahwa kegiatan penginderaan jauh tidak melanggar prinsip kedaulatan dalam hukum internasional (sovereignty principle). Alasannya adalah bahwa meskipun objek yang diindera terletak di dalam wilayah nasional negara lain, tetapi tempat penginderaan (ratione locis) adalah di luar wilayah kedaulatan negara manapun.

Negara-negara berkembang berpendirian bahwa prinsip kedaulatan mencakup pula hak esklusif setiap negara atas kekayaan alamnya. Sesuai dengan resolusi Majelis Umum PBB No. 1803 (XVII) tanggal 14 Desember 1962 dan resolusi-resolusi lainnya yang sejenis baik yang mendahului ataupun yang menyusulinya, setiap negara dinyatakan mempunyai kedaulatan yang penuh dan bersifat permanen atas kekayaan alamnya. Kedaulatan sedemikian mencakup pula informasi mengenai sumber alam tersebut dan penentuannya (disposition). Oleh karena itu menurut negara-negara berkembang harus ada ijin terlebih dulu (prior consent) dari negara yang berdaulat atas sumber alam bila suatu negara akan merekam dan menyebarkan informasi mengenai sumber alam tersebut, karena hal itu menyangkut masalah prinsip kedaulatan yang harus dihormati dalam tatanan hukum internasional.[6]

Indonesia sebagai negara yang banyak memiliki kekayaan sumberdaya alam harus dapat melakukan perlindungan terhadap sumber-sumber kekayaan alamnya tersebut dari kegiatan-kegiatan peginderaan jauh negara maju yang dapat merugikan bangsa dan negara.



[1] R.J. Salatun, Sedjarah Penerbangan, Penerbit Kebangsaan Pustaka Rakyat, Jakarta, 1950, h 9.

[2] K. maratono, Hukum Udara dan Hukum Ruang Angkasa, penerbit Alumni, Bandung, 1987, h. 473.

[3] Indroyono Soesilo, Teknologi PenginderaanJarak Jauh di Indonesia, Penerbit CV Buana, Jakarta, 1994, h 64-67

[4] Yasidi Hambali, SH, LLM, Hukum dan Politik Kedirgantaraan, Penerbit PT Pradnya Paramita, Jakarta, 1994, h. 95.

[5] Prof. Dr. Priyatna Abdurrasyid, SH, Hukum Antariksa Nasional (Penempatan Urgensinya), Penerbit CV. Rajawali Jakarta, 1989, h. 2-4.

[6] Yasidi Hambali, 1994, Op.Cit, h 99.

 



[1] Diakses dari http://irmahalimahhanafi.blogspot.com/2012/11/aktifitas-penginderaan-jauh-melalui.html