STRATEGI PENATAAN RUANG GUNA PEMBANGUNAN EKONOMI DALAM RANGKA KETAHANAN NASIONAL
oleh : Kombes Pol Drs. Sam Budigusdian, MH
BAB I
PENDAHULUAN
1. Umum
Dalam mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, diperlukan kebijakan pembangunan nasional yang tepat. Ketepatan ini diukur dari pengembangan terhadap kesesuaian dan optimalisasi potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya fisik (buatan). Kebijakan pembangunan yang tidak bertumpu pada ketiga potensi sumberdaya tersebut akan sulit dikatakan sebagai pembangunan yang berkelanjutan. Tidak efektifnya pembangunan juga dapat dialami apabila aspek sumberdaya manusia sebagai bagian aspek sosial tidak diperhatikan. Nilai-nilai tradisi, kemampuan teknologi dan potensi sumberdaya manusia harus selaras dengan lajunya derap pembangunan.
Oleh karena itu, untuk mencapai pembangunan berkelanjutan yang bertumpu pada ketiga sumberdaya tersebut, penataan ruang dapat digunakan sebagai payung kebijakan pembangunan dan pengendalian dalam implementasinya. Sistem perencanaan pembangunan nasional dan perencanaan tata ruang sama-sama menekankan suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat melalui urutan pilihan (prioritas) secara berhirarki dengan memperhitungkan sumberdaya yang tersedia. Namun, perencanaan tata ruang memiliki fokus kepada aspek fisik spasial yang mencakup perencanaan struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang.
Proses perencanaan tata ruang dapat dijelaskan dengan pendekatan sistem yang melibatkan input, proses dan output. Input yang digunakan adalah keadaan fisik seperti kondisi alam dan geografis, sosial budaya seperti demografi sebaran penduduk, ekonomi seperti lokasi pusat kegiatan perdagangan yang ada maupun yang potensial dan aspek strategis nasional lainnya. Keseluruhan input ini diproses dengan menganalisis input tersebut secara integral baik kondisi saat ini maupun ke depan untuk masing-masing hirarki tata ruang Nasional, Provinsi maupun Kabupaten/Kota untuk menghasilkan output berupa Rencana Tata Ruang.
Rencana Tata Ruang merupakan bentuk intervensi agar terwujud alokasi ruang yang nyaman, produktif dan berkelanjutan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menciptakan keseimbangan tingkat perkembangan wilayah. Maka dengan berbasis penataan ruang, kebijakan pembangunan akan mewujudkan tercapainya pembangunan berkelanjutan yang memadukan pilar ekonomi, sosial budaya dan lingkungan.
2. Maksud dan Tujuan
Penyusunan Kertas Karya Kelompok (K3) ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang Kondisi Penataan Ruang Guna Pembangunan Ekonomi Dalam Rangka Ketahanan Nasional. Selain daripada itu, penyusunan K3 ini juga bertujuan untuk memberikan kontribusi berupa saran pemikiran kepada pihak-pihak yang berkepentingan guna merumuskan kebijakan lebih lanjut guna mengatasi berbagai penataan ruang pangan.
3. Metode dan Pendekatan
Pembahasan dalam penulisan K3 menggunakan metode analisis deskriptif, yaitu metode penggambaran hubungan berbagai fakta atau variabel, guna menghasilkan suatu kesimpulan dan rekomendasi kebijakan. Dalam hal metode berpikir, digunakan pendekatan deduktif, yaitu menguraikan filosofi dan paradigma (nasional) untuk menerangi analisis pada tataran empirik. Pembahasan dengan menggunakan pendekatan kesisteman, yaitu memandang permasalahan sebagai totalitas dari berbagai unsur atau sub-sistem dalam bingkai kemandirian bangsa.
4. Ruang Lingkup dan Tata Urut
Sesuai dengan judul yang dirumuskan, maka untuk membatasi ruang lingkup K3 ini, pembahasan atau analisis yang dilakukan hanya pada permasalahan kondisi strategi penataan ruang terhadap sentra pangan nasional guna pembangunan ekonomi dalam rangka ketahanan nasional.
Adapun sistematika penulisan K3 ini disusun sebagai berikut:
Bab I: Pendahuluan. Bab ini diuraikan secara singkat Latar Belakang, Maksud dan Tujuan Penulisan, Ruang Lingkup dan Tata Urut serta beberapa Pengertian yang terkait dengan judul penulisan.
Bab II: Landasan Pemikiran. Bab ini membahas dasar-dasar pemikiran yang digunakan sebagai landasan dalam menyusun makalah dan digunakan sebagai instrumental input dalam pemecahan persoalan berupa paradigma nasional yang meliputi Landasan ldiil Pancasila, Landasan UUD Negara RI 1945, Landasan Visional Wawasan Nusantara, dan Landasan Konsepsional Ketahanan Nasional dan Landasan Operasional peraturan perundang-undangan yang terkait serta teori atau tinjauan pustaka yang relevan.
Bab III: Kondisi Strategi Penataan Ruang Saat ini. Bab ini membahas tentang kondisi strategi penataan ruang saat ini, dan implikasinya terhadap ketahanan pangan dalam rangka ketahanan nasional, serta identifikasi permasalahan yang dihadapi.
Bab IV: Pengaruh Perkembangan Lingkungan Strategis. Bab ini membahas perkembangan lingkungan strategis yang mencakup Lingkungan Global, Lingkungan Regional, dan Lingkungan Nasional, berikut Peluang dan Kendala yang mempengaruhi strategi penataan ruang terhadap ketahanan pangan dalam rangka ketahanan nasional.
Bab V: Kondisi Strategi Penataan Ruang yang Diharapkan dan Kontribusinya. Bab ini membahas Implementasi Penataan Ruang yang diharapkan, dan kontribusinya terhadap pembangunan ekonomi dalam rangka Ketahanan Nasional, serta indikator keberhasilan.
Bab VI: Konsepsi Strategi Penataan Ruang Guna Pembangunan Ekonomi Dalam Rangka Kemandirian Bangsa. Pada Bab ini diuraikan konsepsi penataan ruang guna ketahanan pangan dalam rangka Ketahanan Nasional yang berisikan kebijakan yang ditempuh, strategi yang diterapkan dan upaya yang dilakukan.
Bab VII: Penutup. Bab ini menguraikan tentang kesimpulan yang diperoleh dari seluruh pembahasan tulisan, untuk selanjutnya dikemukakan kesimpulan dan saran yang dapat diberikan guna dapat merealisasikan strategi penataan ruang yang menunjang ketahanan pangan nasional.
5. Pengertian-pengertian
a. Startegi. Strategi adalah seni dalam memilih cara atau cara-cara untuk mencapai tujuan dengan menggunakan sarana yang tersedia.
b. Penataan Ruang. Menurut Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, sebagai berikut: Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang (Pasal 1 angka 5). Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang (Pasal 1 angka 6). Pengaturan penataan ruang adalah upaya pembentukan landasan hukum bagi Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam penataan ruang (Pasal 1 angka 9). Pelaksanaan penataan ruang adalah upaya pencapaian tujuan penataan ruang melalui pelaksanaan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang (Pasal 1 angka 10).
c. Pembangunan Ekonomi. Konsep lama memberikan pengertian Pembangunan ekonomi adalah suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang (Meier and Baldwin, 1964). Konsep baru dikemukakan oleh Michael P. Todaro (1983) bahwa pembangunan ekonomi adalah suatu proses multidimensional yang menyebabkan perubahan besar secara sosial dan ekonomi.
d. Ketahanan Pangan. Ketahanan pangan adalah suatu sistem yang terdiri dari subsistem ketersediaan, distribusi, dan konsumsi. Subsistem ketersediaan pangan berfungsi menjamin pasokan pangan untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, baik dari segi kuantitas, kualitas, keragaman dan keamanannya. Subsistem distribusi berfungsi mewujudkan sistem distribusi yang efektif dan efisien untuk menjamin agar seluruh rumah tangga dapat memperoleh pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup sepanjang waktu dengan harga yang terjangkau. Sedangkan subsistem konsumsi berfungsi mengarahkan agar pola pemanfaatan pangan secara nasional memenuhi kaidah mutu, keragaman, kandungan gizi, keamanan dan kehalalannya. Dalam pasal 1 ayat 17 UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.[1]
e. Ketahanan Nasional. Ketahanan Nasional adalah kondisi dinamis bangsa Indonesia, yang meliputi segenap aspek kehidupan nasional yang terintegrasi, berisi keuletan dan ketangguhan, yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional, dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan baik yang bersumber dari luar maupun dari dalam, untuk menjamin identitas, integritas kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan dalam mencapai tujuan nasional.[2]
BAB II
LANDASAN PEMIKIRAN
6. Umum
Lingkungan hidup Indonesia sebagai karunia dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat dan bangsa Indonesia merupakan ruang bagi kehidupan dalam segala aspek dan matranya sesuai dengan Wawasan Nusantara. Dalam rangka mendayagunakan sumberdaya alam untuk memajukan kesejahteraan umum seperti diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan untuk mencapai kebahagiaan hidup berdasarkan Pancasila, perlu dilaksanakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup berdasarkan kebijaksanaan nasional yang terpadu dan menyeluruh dengan memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini dan generasi masa depan.
Pemanfaatan ruang di dalam suatu kawasan atau wilayah dilakukan dan dilaksanakan dengan mengacu kepada rencana tata ruang. Menyikapi fenomena penataan ruang yang cenderung mengutamakan sisi ekonomi dibandingkan sisi ekologi, sosial kultural, dan perspektif jangka panjang dikarenakan kepentingan di bidang ekonomi lebih kuat, maka penataan ruang yang mencakup unsur ekonomi, sosial, dan lingkungan, harus bisa mengakomodasi ketiga elemen tersebut agar berjalan seimbang. Rencana tata ruang yang baik harus responsif terhadap kemajuan global serta tidak meninggalkan sosial budaya sebuah wilayah agar tercapai hakekat perencanaan, yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2008).
Rencana tata ruang pada hakekatnya menjadi arahan pemanfaatan ruang yang mengupayakan terwujudnya keserasian dan keselarasan pemanfaatan ruang untuk kawasan lindung dan budidaya. Pemanfaatan ruang yang senantiasa memperhatikan dan mengacu kepada rencana tata ruang dengan sendirinya akan dapat mewujudkan kelestarian lingkungan. Dengan demikian rencana tata ruang juga berfungsi sebagai pengendalian pemanfaatan ruang agar senantiasa mengindahkan aspek-aspek keselarasan dan kelestarian lingkungan hidup (Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2006).
7. Paradigma Nasional
a. Pancasila sebagai Landasan Idiil
Sebagai dasar negara sekaligus landasan idiil bagi bangsa Indonesia, Pancasila tidak hanya merupakan pedoman dasar bagi seluruh aktivitas berbangsa dan bernegara, tetapi juga mencerminkan visi dan cita-cita bangsa. Pembangunan demi kesejahteraan masyarakatnya tetap harus mengikuti landasan bernegara sesuai falsafah bangsa yaitu Pancasila, yang sekaligus harus dijadikan sebagai landasan idiil dalam upaya strategi penataan ruang guna pembangunan ekonomi dalam rangka meningkatkan ketahanan nasional. Karena setiap sila dalam Pancasila merupakan landasan utama bagi penyelenggaraan kegiatan pemerintahan dan Negara, termasuk strategi penataan ruang. Optimalisasi strategi penataan ruang guna pembangunan ekonomi harus senantiasi dilandasi dan mencerminkan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila dari Pancasila.
b. UUD Negara RI 1945 sebagai Landasan Konstitusional
Undang-Undang Dasar 1945 dijadikan landasan konstitusional dalam strategi penataan ruang guna pembangunan ekonomi dalam rangka ketahanan nasional. Konsep dasar hukum penataan ruang, tertuang di dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke 4 yang berbunyi: ”melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia…”
Selanjutnya dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 amandemen ke empat, berbunyi: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
c. Wawasan Nusantara sebagai Landasan Visional
Wawasan Nusantara (Wasantara) sebagai landasan visional memuat cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungannya yang serba beragam dan bernilai strategis dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa, serta kesatuan wilayah dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara untuk mencapai tujuan nasional. Mengacu pada perspektif Wasantara, maka strategi penataan ruang harus senantiasa dilandasi dengan Wasantara yang pengelolaannya disesuaikan dengan masing-masing karakteristik dan kelangsungan ekosistem lingkungan hidup, serta sejauh mungkin memperhatikan kepentingan masyarakat.
d. Ketahanan Nasional Sebagai Landasan Konsepsional
Secara konseptual Ketahanan Nasional Indonesia adalah kondisi dinamik bangsa Indonesia yang meliputi segenap aspek kehidupan nasional yang terintegrasi, berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman, dan hambatan baik yang datang dari luar maupun dalam untuk menjamin identitas, integritas, kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan mencapai tujuan nasionalnya.
Pada hakekatnya konsepsi Ketahanan Nasional merupakan konsepsi pengaturan dan penyelenggaraan ”keamanan dan kesejahteraan” yang seimbang, serasi dan selaras di seluruh aspek kehidupan nasional, yang dirinci dalam 8 (delapan) Gatra, berdasarkan Pancasila, UUD 1945 dan landasan visional Wasantara, dalam rangka pencapaian tujuan nasional. Konsepsi ketahanan nasional dalam peranannya sebagai pola dasar pembangunan nasional merupakan arah dan pedoman pelaksanaan pembangunan nasional secara terpadu yang meliputi segenap bidang, termasuk dalam strategi penataan ruang.
8. Peraturan Perundang-undangan
a. Undang-undang No. 5 Tahun 2010 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010 – 2014.
Dalam RPJMN 2010-2014 Buku II (Memperkuat Sinergi Antar Bidang) Bab IX tentang “Wilayah dan Tata Ruang” diuraikan bahwa penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan: (i) terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan, (ii) terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia, (iii) terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
Selain itu, penataan ruang juga harus berbasis mitigasi bencana sebagai upaya dalam meningkatkan keselamatan dan kenyamanan hidup dengan pengaturan zonasi yang baik. Dalam melaksanakan penyelenggaraan penataan ruang yang meliputi kegiatan pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang, perlu dilakukan penyusunan, sinkronisasi, dan sosialisasi peraturan perundang-undangan pelaksanaan serta berbagai pedoman teknisnya.
b. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Adapun tujuan penataan ruang menurut Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 adalah:
Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan: a) terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan; b) terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan c) terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
c. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 sebagai pedoman aturan dalam melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup untuk melestarikan dan mengembangkan kemampuan lingkungan hidup yang serasi, selaras, dan seimbang guna menunjang terlaksananya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. Penyelenggaraan pengelolaan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup harus didasarkan pada norma hukum dengan memperhatikan tingkat kesadaran masyarakat dan perkembangan lingkungan global serta perangkat hukum internasional yang berkaitan dengan lingkungan hidup.
d. Peraturan-peraturan Terkait
1) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 2000 Tentang Koordinasi Penataan Ruang Nasional Presiden Republik Indonesia.
2) Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang RTRWN.
3) Keputusan Mendagri No. 50 Tahun 2009 tentang Pedoman Koordinasi Penataan Ruang Daerah.
4) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 23/prt/m/2010 tentang Perubahan Peraturan Menteri No. 02/prt/m/2010 tentang Rencana Strategis Kementerian Pekerjaan Umum Tahun 2010-2014
5) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 15/Prt/M/2009 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi
6) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 16/Prt/M/2009 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten.
9. Landasan Teori
Konsep pengembangan wilayah di Indonesia lahir dari suatu yang menggabungkan dasar-dasar pemahaman teoritis dengan pengalaman-pengalaman praktis sebagai bentuk penerapannya yang bersifat dinamis. Dengan kata lain, konsep pengembangan wilayah di Indonesia merupakan penggabungan dari berbagai teori dan model yang senantiasa berkembang yang telah diujiterapkan dan kemudian dirumuskan kembali menjadi suatu pendekatan yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan pembangunan di Indonesia.[3]
Dalam sejarah perkembangan konsep pengembangan wilayah di Indonesia, terdapat beberapa landasan teori yang turut mewarnai keberadaannya. Pertama adalah Walter Isard sebagai pelopor Ilmu Wilayah yang mengkaji terjadinya hubungan sebab-akibat dari faktor-faktor utama pembentuk ruang wilayah, yakni faktor fisik, sosial-ekonomi, budaya. Kedua adalah Hirschmann (era 1950-an) yang memunculkan teori dan polarization effect dan trickling-down effect dengan argumen bahwa perkembangan suatu wilayah tidak terjadi secara bersamaan (unbalanced development).
Ketiga adalah Myrdal (era 1950-an) dengan teori yang menjelaskan hubungan antara wilayah maju dan wilayah belakangnya dengan menggunakan istilah backwash and spread effect. Keempat adalah Friedmann (era 1960-an) yang lebih menekankan pada pembentukan hirarki guna mempermudah pengembangan sistem pembangunan yang kemudian dikenal dengan teori pusat pertumbuhan. Terakhir adalah Douglass (era 1970-an) yang memperkenalkan lahirnya model keterkaitan desa – kota (rural – urban linkages) dalam pengembangan wilayah.
Keberadaan landasan teori dan konsep pengembangan wilayah di atas kemudian diperkaya dengan gagasan-gagasan yang lahir dari pemikiran cemerlang putra-putra bangsa. Diantaranya adalah Sutami (era 1970-an) dengan gagasan bahwa pembangunan infrastruktur yang intensif untuk mendukung pemanfaatan potensi sumberdaya alam akan mampu mempercepat pengembangan wilayah. Poernomosidhi (era transisi) memberikan kontribusi lahirnya konsep hirarki kota-kota dan hirarki prasarana jalan melalui Orde Kota.
Selanjutnya adalah Ruslan Diwiryo (era 1980-an) yang memperkenalkan konsep Pola dan Struktur ruang yang bahkan menjadi inspirasi utama bagi lahirnya UU Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang yang kemudian digantikan dengan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Pada periode 1980-an ini pula, lahir Strategi Nasional Pembangunan Perkotaan (SNPP) sebagai upaya untuk mewujudkan sistem kota-kota nasional yang efisien dalam konteks pengembangan wilayah nasional. Dalam Program perjalanannya SNPP ini pula menjadi cikal-bakal lahirnya konsep Pembangunan Prasarana Kota Terpadu (P3KT) sebagai upaya sistematis dan menyeluruh untuk mewujudkan fungsi dan peran kota yang diarahkan dalam SNPP.[4]
Pada era 90-an, konsep pengembangan wilayah mulai diarahkan untuk mengatasi kesenjangan wilayah, misal antara KTI dan KBI, antar kawasan dalam wilayah pulau, maupun antara kawasan perkotaan dan perdesaan. Perkembangan terakhir pada awal abad millennium, mengarahkan konsep pengembangan wilayah sebagai alat untuk mewujudkan integrasi NKRI.
Berdasarkan pemahaman teoritis dan pengalaman empiris di atas, maka secara konseptual pengertian pengembangan wilayah dapat dirumuskan sebagai rangkaian upaya untuk mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan berbagai sumberdaya, merekatkan dan menyeimbangkan pembangunan nasional dan kesatuan wilayah nasional, meningkatkan keserasian antar kawasan, keterpaduan antar sektor pembangunan melalui proses penataan ruang dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan yang berkelanjutan dalam wadah NKRI.
10. Tinjauan Pustaka
Startegi bermula dari pemikiran aspek militer, kemudian dikembangkan dan diterapkan pada aspek-aspek yang lain, seperti politik, ekonomi, dan budaya. Hakikat strategi adalah mengatur manufer dan tembakan atau gerakan dan tembakan. Strategi berasal dari kata Yunani kuno stratos yang berarti tentara. Rumusan hasil strategi merupakan hasil analisis antar komponenn strategi, komponen strategi terdiri dari komponen startegi yang bercirikan objektif yaitu means (sarana), ways (cara-cara), dan ends (tujuan) serta yang bercirikan subjektif meliputi charecters (watak) dan environments (lingkungan) sehingga strategi merupakan pilihan cara (ways) untuk mencapai tujuan dengan menggunakan sarana (means) yang tersedia. (Modul BS. Strategi, Lemhannas RI 2012).
Hardjowigeno (1999) dalam (Masri, 2008) mengemukakan bahwa: Tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang yang merupakan wadah kehidupan yang mencakup ruang daratan, ruang lautan, ruang udara, termasuk didalamnya tanah, air, udara, termasuk benda lainnya serta daya, keadaan sebagai suatu kesatuan wilayah tempat manusia dan makhluk hidup lainnya melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya.
Silalahi (1995) dalam (Masri, 2008) menyatakan bahwa kualitas tata ruang ditentukan oleh terwujudnya pemanfaatan ruang, sebagaimana yang dikemukakan bahwa: Pemanfaatan ruang memperhatikan (1) daya dukung lingkungan yaitu, jumlah penduduk dalam suatu wilayah yang masih dapat didukung oleh ketersediaan sumberdaya alam, dan penggunaan lahan sesuai dengan karakteristik tanah, (2) fungsi lingkungan, yaitu tertatanya tata air, tata udara, suaka alam, suaka budaya, (3) estetika lingkungan, yaitu terpeliharanya bentang alam, (4) lokasi, yaitu pemanfaatan ruang yang serasi antara fungsi lingkungan dengan kawasan lindung dan kawasan budidaya, (5) struktur, yaitu hirarki yang jelas dalam sistem perkotaan dan hubungan yang saling menunjang antar kota besar, kota menengah, dan kota kecil.
Hardjowigeno (1999) dalam (Masri, 2008) mengemukakan bahwa: Penataan ruang yang didasarkan pada karakteristik daya dukungnya serta didukung oleh teknologi yang sesuai, akan meningkatkan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan aspek politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan dan kelembagaan yang berarti juga meningkatkan kualitas tata ruang. Wujud struktur pemanfaatan ruang meliputi hirarkis pusat pelayanan seperti pusat kota, pusat lingkungan, pusat pemerintahan, prasarana jalan arteri jalan lokal, rancang bangun kota seperti ketinggian bangunan, jarak antar bangunan dan sebagainya. Wujud pola pemanfaatan ruang meliputi pola lokasi, sebaran pemukiman, tempat kerja, industri dan pertanian, serta pola penggunaan tanah pedesaan dan perkotaan.
Hardjowigeno (1999) dalam (Masri, 2008) mengemukakan bahwa tingkat pemanfaatan ruang itu berbeda-beda, apabila tidak ditata secara baik dapat mendorong ketidakseimbangan pembangunan antar wilayah dan ketidaklestarian lingkungan serta konflik pemanfaatan ruang. Penetapan peraturan zonasi dipertegas dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 Pasal 36 yaitu: (1) Peraturan zonasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 35 disusun sebagai pedoman pengendalian pemanfaatan ruang. (2) Peraturan zonasi disusun berdasarkan rencana rinci tata ruang untuk setiap zona pemanfaatan ruang. (3) Peraturan zonasi ditetapkan dengan: a. peraturan pemerintah untuk arahan peraturan zonasi sistem nasional; b. peraturan daerah propinsi untuk arahan peraturan zonasi sistem propinsi; c. peraturan daerah kabupaten/kota untuk peraturan zonasi.
Peraturan zonasi merupakan ketentuan yang mengatur pemanfaatan ruang dan unsur-unsur pengendalian yang disusun untuk setiap zona peruntukan sesuai dengan rencana rinci tata ruang. Peraturan zonasi berisi ketentuan yang harus, boleh, dan tidak boleh dilaksanakan pada zona pemanfaatan ruang yang dapat terdiri dari atas ketentuan tentang amplop ruang (koefisien dasar hijau, koefisien dasar bangunan, koefisien lantai bangunan, dan garis sempadan bangunan), penyediaan sarana dan prasarana, serta ketentuan lain yang dibutuhkan untuk mewujudkan ruang yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan.
BAB III
KONDISI STRATEGI PENATAAN RUANG SAAT INI
DAN PERMASALAHAN YANG DIHADAPI
11. Umum
Kesenjangan pembangunan perkotaan dan perdesaan sudah menjadi masalah umum yang dihadapi masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan. Masyarakat desa merasa bahwa pertumbuhan ekonomi di perkotaan lebih menjanjikan dibanding pekerjaan pertanian di desa. Akibatnya, kawasan perdesaan minim SDM sedang kawasan perkotaan semakin sempit dan padat. Tingginya tingkat urbanisasi merupakan salah satu tantangan utama dalam pembangunan perkotaan saat ini. Pada tahun 2025 diperkirakan 67,5 % dari jumlah penduduk Indonesia akan bermukim di perkotaan (Proyeksi Penduduk Indonesia 2005-2025, 2008). Tingkat urbanisasi di beberapa provinsi terutama provinsi di Jawa dan Bali bahkan sudah lebih tinggi dibandingkan tingkat urbanisasi Indonesia. Tingkat urbanisasi di empat provinsi di Jawa pada tahun 2025 sudah di atas 80 %, yaitu di DKI Jakarta, Jawa Barat, DI Yogyakarta, dan Banten. Tingginya perpindahan penduduk ke kota menyebabkan memadatnya penduduk dan kegiatan di kota, meluasnya wilayah permukiman ke kawasan pinggiran kota, serta terbentuknya kota-kota baru. Dalam satu dekade terakhir telah terbentuk 34 kota otonom baru di Indonesia.
Disamping itu, perilaku urbanisasi pun mempengaruhi kebutuhan permukiman yang semakin lama semakin marak dibangun. Akibatnya, ruang terbuka hijau dan lahan pertanian untuk produksi bahan pangan berkurang karena konversi lahan menjadi permukiman dan lapangan kerja non pertanian. Data statistik penggunaan lahan pertanian di Indonesia tahun 2003 menunjukkan bahwa potensi sumberdaya lahan pertanian di indonesia adalah seluar 70,70 juta ha. Luas lahan yang digunakan untuk usaha pertanian mencapai 53,71 juta ha, sedangkan yang digunakan bukan untuk usaha pertanian mencapai16,89 juta ha. Berdasarkan data kondisi penggunaan lahan ini menunjukkan bahwa ketersediaan lahan potensial untuk perluasan areal tanaman pangan sudah tidak ada (potensi ekstensifikasi negatif) karena sudah digunakan untuk tegalan, perkebunan dan sebagian lagi berupa lahan terlantar (Rustiadi & Arsyad, 2008).
Konversi lahan pertanian terutama lahan sawah tidak hanya menyebabkan kapasitas produksi pangan turun, tetapi merupakan salah satu bentuk kerugian investasi, degradasi agroekosistem, degradasi tradisi dan budaya pertanian, dan merupakan salah satu sebab semakin sempitnya luas garapan usahatani serta turunnya kesejahteraan petani sehingga kegiatan usaha tani yang dilakukan petani tidak dapat menjamin tingkat kehidupan yang layak baginya. Hal ini akan menyebabkan rawan pangan bagi masyarakat Indonesia, cepat atau lambat, akibat semakin terkikisnya lahan pertanian.
12. Kondisi Penataan Ruang Saat Ini
a. Belum berfungsinya secara optimal penataan ruang kawasan sentra produksi pangan (agropolitan) dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan nasional
Pemerintah telah membuat Pedoman kawasan sentra produksi pangan (agropolitan) sebagai suatu upaya untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan dan penataan ruang pertanian di pedesaan. Pengelolaan ruang kawasan sentra produksi pangan nasional dan daerah merupakan arahan kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang bagi peruntukan pertanian tanaman pangan. Namun demikian, penataan ruang tersebut belum optimal dirasakan fungsinya terutama dalam rangka menunjang ketahanan pangan nasional. Hal ini terjadi karena implementasi penataan ruang seringkali dipandang sebagai wujud peta buta. Harusnya informasi yang terkandung dalam strategi penataan ruang dapat menjadi batu pijakan bagi perencanaan pembangunan antar sektor perekonomian.
b. Adanya perbedaaan kepentingan antar sektor dalam penataan ruang terkait dengan tata guna lahan dalam mewujudkan ketahanan pangan
Dalam tata ruang yang terjadi saat ini seringkali terjadi konflik kepentingan antar-sektor. Seperti konflik yang sering terjadi di bidang pertambangan dengan persoalan lingkungan hidup, lahan pertanian, kehutanan, prasarana wilayah, hingga konflik dengan masyarakat lokal. Konflik yang terjadi lebih banyak disebabkan karena perencanaan penataan ruang yang tidak tepat.
c. Terjadinya penyimpangan pemanfaatan ruang dari ketentuan dan norma yang seharusnya ditegakkan
Pemanfaatan ruang masih dihadapkan pada berbagai penyimpangan dari ketentuan dan norma yang seharusnya ditegakkan. Penyebabnya adalah inkonsistensi kebijakan terhadap rencana tata ruang. Suatu wilayah yang sudah direncanakan sebagai wilayah peruntukan sebagai lahan pertanian seringkali dikorbankan demi mendapatkan pemasukan devisa. Padahal sektor pertanian merupakan leading sektor dalam menunjang ketahanan pangan nasional.
Ketidakselarasan pemanfaatan ruang antara manusia dengan alam maupun antara kepentingan ekonomi dengan pelestarian lingkungan, telah berdampak pada berbagai fenomena bencana (water-related disaster) seperti banjir, longsor dan kekeringan. Hal ini pada dasarnya merupakan indikasi yang kuat terjadinya penyimpangan dalam pemanfaatan ruang, antara kepentingan ekonomi dengan pelestarian lingkungan.
d. Lemahnya penegakan hukum dalam implementasi RTRW dalam mewujudkan ketahanan pangan
Konversi lahan yang terus terjadi saat ini merupakan realitas lemahnya penegakan hukum dalam pengimplementasian RTRW yang telah ditetapkan. Kekurangmampuan menahan diri dari keinginan membela kepentingan masing-masing secara berlebihan seringkali menafikan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah. Seringkali pula, Pemerintah daerah pun kerap memberikan ijin penggunaan lahan seperti dari kawasan lindung menjadi kawasan budidaya guna meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Masalah lain dalam pengendalian alih fungsi tanah pertanian adalah belum adanya peraturan perundangan yang secara khusus mencegah alih fungsi tanah pertanian. Untuk itu diperlukan penetapan tanah pertanian yang dilindungi. Saat ini, proses administrasi pertanahan untuk tanah pertanian mengacu pada arahan peruntukan dalam RTRW, dengan memberikan persyaratan penggunaan dan pemanfaatan tanah (PP Nomor 16 tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah).
13. Implikasi Strategi Penataan Ruang Terhadap Pembangunan Ekonomi dan Ketahanan Nasional
a. Implikasi Strategi Penataan Ruang Terhadap Pembangunan Ekonomi
Pada umumnya, suatu ruang tertentu dapat digunakan untuk berbagai alternatif kegiatan, seperti pemukiman, industri, pertanian dan sebagainya. Apabila suatu kegiatan tertentu telah dilakukan di suatu ruang tertentu, pada waktu yang sama tidak dapat dilakukan suatu kegiatan lain. Karena itu, dapat terjadi persaingan. Bahkan, terjadi konflik dalam pemanfaatan ruang antara berbagai macam kegiatan, yang dapat menghambat kelancaran kegiatan itu. Hak guna usaha, misalnya kegiatan pertanian, yang terdapat dalam suatu ruang dapat terjadi tumpang tindih dengan kegiatan pertambangan berdasarkan hak kuasa pertambangan.
Di samping itu, suatu kegiatan dapat mengganggu atau merugikan kegiatan lain yang berada di dekatnya, seperti pengaruh kebisingan, asap tebal dan debu pada tempat kediaman/pemukiman. Bahkan, suatu kegiatan wilayah meskipun jaraknya cukup jauh, misalnya pengaruh industri di hulu sungai terhadap pemukiman atau penggundulan hutan terhadap pemukiman di bawahnya karena erosi dan menurunnya air bawah tanah.
Dengan strategi penataan ruang maka akan terjadi keserasian antar sektor dengan kebutuhan ruang untuk kepentingan sektor lainnya. Sehingga fokus pembangunan ekonomi seiring dengan pembangunan ketahanan pangan dapat terwujud melalui strategi penatan ruang yang tepat. Karena strategi penataan ruang berimplikasi terhadap pemenuhan target ketahanan pangan yang direncanakan dalam pembangunan ekonomi nasional.
b. Implikasi Strategi Penataan Ruang Terhadap Ketahanan Nasional
Kemampuan mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman, dan hambatan baik yang datang dari luar maupun dari dalam merupakan bagian dari ketahanan nasional. Oleh sebab itu, berangkat dari kondisi strategi penataan ruang yang menunjang ketahanan pangan dalam pembangunan ekonomi saat ini dengan segala permasalahannya, maka akan berimplikasi pada ketahanan nasional.
Strategi penataan ruang dalam pembangunan ekonomi harus mampu menjadi bagian dari Pembangunan nasional, yang bertujuan untuk dapat mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur yang merata, materiil dan spiritual dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu berkedaulatan rakyat dalam suasana peri kehidupan bangsa yang aman, tentram, bersahabat, tertib, dan damai.
Strategi penataan ruang secara yang tidak integratif dan inkonsisten dengan dukungan regulasi yang parsial pula berdampak pada ketahanan nasional. Karena strategi penataan ruang yang direncanakan dengan baik akan bisa memprediksi kemungkinan-kemungkinan di masa datang dalam konteks ketahanan pangan yang akan terjadi. Sebaliknya strategi penataan ruang yang sarat dengan kepentingan sesaat dan tidak komprehensif maka akan menimbulkan berbagai dampak jangka panjang, seperti kerusakan lingkungan, kerawanan pangan yang pada akhirnya melemahkan ketahanan nasional.
14. Permasalahan Yang Dihadapi
Pokok permasalahan dihadapi adalah sebagai berikut :
a. Belum berfungsinya secara optimal penataan ruang kawasan sentra produksi pangan (agropolitan) dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan nasional;
b. Adanya perbedaaan kepentingan antar sektor dalam penataan ruang terkait dengan tata guna lahan dalam mewujudkan ketahanan pangan;
c. Terjadinya penyimpangan pemanfaatan ruang dari ketentuan dan norma yang seharusnya ditegakkan;
d. Lemahnya penegakan hukum dalam implementasi RTRW dalam mewujudkan ketahanan pangan.
BAB IV
PENGARUH PERKEMBANGAN LINGKUNGAN STRATEGIS
17. Umum
Secara geografis, letak Indonesia yang berada di antara dua benua dan dua samudera sangat strategis, baik bagi kepentingan nasional maupun internasional. Secara ekosistem, kondisi alamiah Indonesia sangat khas karena posisinya yang berada di dekat khatulistiwa dengan cuaca, musim, dan iklim tropis, yang merupakan aset atau sumberdaya yang sangat besar bagi bangsa Indonesia. Di samping keberadaan yang bernilai sangat strategis tersebut, Indonesia berada pula pada kawasan rawan bencana, yang secara alamiah dapat mengancam keselamatan bangsa. Dengan keberadaan tersebut, penyelenggaraan penataan ruang wilayah nasional harus dilakukan secara komprehensif, holistik, terkoordinasi, terpadu terpadu, efektif, dan efisien dengan memperhatikan faktor politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, dan kelestarian lingkungan hidup.
Di saat negara maju berusaha melakukan berbagai usaha menekan laju degradasi lingkungan, justru keadaannya terbalik dengan apa yang terjadi di negara berkembang. Transisi demografi yang terjadi di dunia ketiga menyebabkan terjadinya urbanisasi secara besar-besaran. Fenomena tersebut dapat ditemukan di kota-kota besar di Asia Tenggara. Jumlah penduduk yang sangat berbeda jauh antara kota besar dengan kota kecil. Keadaan ini dikenal dengan istilah primate city. Namun jumlah penduduk yang besar ini tidak mampu didukung oleh lingkungan yang menopangnya.
Keadaan tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan guna lahan di perkotaan. mereka yang tidak mampu membeli lahan di pusat kota mulai mendirikan bangunan di kawasan-kawasan yang berfungsi sebagai kawasan lindung, seperti bantaran sungai, hutan kota, rawa, dan lain-lain. Sehingga para pakar lingkungan di negara maju menilai bahwa penurunan daya dukung lingkungan yang terjadi di dunia disebabkan oleh fenomena kemiskinan yang tidak kunjung berakhir di negara berkembang.
18. Perkembangan Lingkungan Global
Dalam naskah lembaga tentang Perkembangan lingkungan strategis tahun 2012 yang disusun oleh Tim Pengkaji Lemhannas RI mengemukakan ada 6 (enam) perkembangan dan kecenderungan dalam lingkungan global, yaitu 1) pengaruh global amerika serikat; 2) perekonomian global; 3) pasar bebas; 4) masalah energi; 5) pemanasan global (global warming); dan 6) terorisme.
Globalisasi menyangkut kerjasama tapi juga persaingan, ketergantungan dan juga kebebasan bergerak (seperti perdagangan bebas) antar negara. Meskipun interkoneksi global dapat terjadi dari tempat mana pun, interkoneksi yang paling utama akan melewati semua kota hingga ke pelosok pedesaan terpencil sekalipun. Perkembangan lingkungan global serta aspirasi internasional akan makin mempengaruhi usaha pengelolaan lingkungan hidup Indonesia, yang dijalankan melalui sistem perencanaan penataan ruangnya. Perkembangan global dewasa ini membawa indikasi bahwa masa depan dunia berada pada bayang-bayang suramnya lingkungan hidup. Pemanasan global adalah refleksi dari perkembangan teknologi yang tidak sinkron dengan kepedulian manusia terhadap lingkungan hidup pada tataran moral dan etika.
Globalisasi dan kemajuan teknologi informasi telah menjadikan wilayah kedaulatan suatu negara menjadi lebih abstrak, sehingga mudah ditembus oleh pelaku atau aktor internasional, hampir dipastikan mengandung resiko ancaman. Apalagi Amerika Serikat telah mendominasi hubungan internasional yang mempunyai kemampuan dan keunggulan global, ini akan berdampak kepada penataan ruang Indonesia yang memiliki kondisi georafis, luas wilayah, jumlah penduduk serta sumberdaya yang besar.
Penataan ruang mengisyaratkan fenomena perubahan lingkungan global, nasional maupun regional yang sangat dinamis sehingga dalam kurun waktu lima tahun diduga ada kemungkinan rencana tata ruang sudah tidak mampu mengakomodir perubahan kebutuhan ruangnya. Perkembangan permasalahan global telah memberikan pengaruh pada berbagai kajian penataan ruang nasional yang dibuat dan diimplementasikan. Penataan ruang bertujuan sebagai upaya pemerataan pembangunan dan pertumbuhan, serta penyelarasan aspirasi pembangunan provinsi dan kabupaten/kota, dengan memperhatikan daya tampung dan daya dukung lingkungan hidup.
19. Perkembangan Lingkungan Regional
Kawasan Asia Tenggara yang bersinggungan empat faktor seperti: peran dan dominasi Amerika Serikat di kawasan Asia Pasifik. Jepang selaku mitra keamanan strategis AS dilindungi melalui kebijakan ekonomi dengan sasarannya adalah kesepakatan WTO dalam memperebutkan keunggulan ekonomi, disusul oleh Cina yang mampu sebagai penyeimbang kekuatan ekonomi Jepang. Kecenderungan regionalism dan integrasi ekonomi di kawasan sangat erat hubungannya dengan globalisasi ekonomi dunia, seperti terbentuknya APEC, AFTA dan lain-lain.
Dalam konteks penataan ruang di Indonesia faktor regional sangat berpengaruh. Karena perencanaan penataan ruang akan disesuaikan dengan kondisi lingkungannya. Seperti wilayah perbatasan yang harus diperhatikan dengan serius karena menyangkut hubungan antar negara. Oleh karena itu, dalam aspek perencanaannya dalam lingkup regional Asean, strategi penataan ruang didekatkan dengan program kerjasama antar negara. Kondisi geografis yang berdekatan dengan negara tetangga memberikan peluang yang besar bagi terlaksananya suatu kerjasama yang saling menguntungkan, misalnya melalui pelaksanaan Kerjasama Ekonomi Sub-Regional (KESR) seperti Brunei-Indonesia-Malaysia-Phillipines East ASEAN Growth Area (BIMP-EAGA), Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT), dan Australia-Indonesia Development Area (AIDA), serta kerjasama perbatasan seperti Forum Sosial Ekonomi Malaysia-Indonesia (SOSEK MALINDO).
20. Perkembangan Lingkungan Nasional
a. Geografi
Indonesia, sebagai negara kepulauan yang terdiri dari 17.506 pulau yang letaknya tersebar di seluruh wilayah nusantara. Indonesia juga memiliki laut dengan luas lebih kurang 5,8 juta km2 dengan garis pantai sepanjang 81.000 km, dengan potensi sumberdaya, terutama sumberdaya perikanan laut yang cukup besar, baik dari segi kuantitas maupun diversitas. Daratan Indonesia dengan luas 1,9 juta kilometer persegi, terbagi atas 17 ribu pulau. Luas lautan mencapai 5,8 juta kilometer persegi, termasuk zona ekonomi eksklusif. Ibukota negara dan hampir semua ibukota provinsi berada di wilayah pantai dan 65 %penduduk tinggal di wilayah pesisir dengan panjang pantai total sekitar 81 ribu kilometer. Posisi Indonesia semacam ini merupakan kekuatan untuk mengembangkan ketahanan pangan yang tidak hanya berorientasi pada daratan berupa perkebunan, pertanian dan peternakan, namun juga perikanan yang lebih menjajikan. Oleh karena itu, ekonomi dunia adalah ekonomi maritim yang mulai bergeser dari Atlantik ke Pasifik, suatu kawasan yang menjadi perebutan negara-negara maju dalam mencari sumber komoditi dan pasar yang perlu dipertimbangkan dalam hal penataan ruang yang merujuk pada geografis Indonesia tersebut.
b. Demografi
Jumlah dan laju pertumbuhan penduduk ini sangat erat kaitannya dengan aspek geografis ternasuk kepadatan dan penyebarannya. Jumlah penduduk Indonesia saat ini diperkirakan sudah mencapai sekitar 244.775.796 jiwa lebih yang tersebar di seluruh wilayah, dengan pluralitas etnik dan bahasa yang diperkirakan mencapai 300 etnik dan 350 bahasa. Hal ini akan membawa implikasi terhadap pola kehidupan dan sumber kehidupan penduduk. Tantangan dalam pengendalian kuantitas dan laju pertumbuhan penduduk adalah menciptakan penduduk usia produktif lebih besar dari penduduk usia non-produktif. Timpangnya persebaran dan kurang terarahnya mobilitas penduduk terkait erat dengan ketidakseimbangan persebaran sumber daya alam dan hasil pembangunan termasuk dalam bidang tata ruang. Hal ini tentunya perlu strategi penataan ruang dalam konteks pemerataan penduduk di penjuru wilayah Indonesia.
c. Sumber Kekayaan Alam (SKA)
Sumber kekayaan alam yang ada di wilayah daratan maupun lautan sangat kaya di Indonesia. SKA Indonesia sangat beragam dan melimpah dan bukan hanya di darat, namun juga di lautan, bahkan lebih besar. Kekayaan alam yang dimiliki itulah yang seharusnya dijadikan sumber untuk menciptakan kesejahteraan umum bagi seluruh rakyatnya. Sumber kekayaan alam itu juga yang seharusnya dijadikan bargaining power untuk menempatkan diri sejajar dengan negara-negara lain di dunia, termasuk negara maju sekalipun. Kepentingan nasional adalah ”power.” Tidak banyak negara yang memiliki sumber kekayaan alam seperti Indonesia, sehingga keberadaannya diperhitungkan dalam percaturan dunia. Terkaitan dengan ketidakberesan pengelolaan sumber kekayaan alam, semuanya membawa muatan tuntutan distribusi yang adil, pengelolaan produksi terkait dengan penataan ruang termasuk melalui upaya yang justru melanggar ketentuan hukum yang berlaku seperti alih fungsi lahan dan konversi lahan yang kurang tepat dan sejenisnya
d. Ideologi
Pancasila sebagai suatu ideologi bersifat terbuka dimaksudkan bahwa ideologi Pancasila adalah bersifat aktual, dinamis, antisipatif dan senantiasa mampu menyesuaikan dengan perkembangan zaman, yang memiliki dimensi dimensi idealis, dimensi normatif dan dimensi realitas. Pancasila sebagai ideologi dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, pada era reformasi saat ini kurang mendapat perhatian, bahkan terdapat kecenderungan ditinggalkan. Dalam konteks strategi penataan ruang, keadaan pembangunan di Indonesia yang tidak merata, ini mengindikasikan jika ideologi Pancasila tidak mengkristal dalam penerapan pembangunan di Indonesia. Pancasila sebagai ideologi harus ditampilkan dalam wajah ideologi pembangunan guna penataan ruang yang lebih baik di masa datang.
e. Politik
Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Dalam konteks strategi penataan ruang, politik sangat berpengaruh besar. Sebagai contoh, peristiwa banjir yang terjadi di Jakarta, dipandang sebagai kegagalan politik tata ruang dalam menjaga dan melindungi fungsi ekosistem lingkungan. Selain itu, kegagalan politik tata ruang karena hambatan institusional dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan di bidang penataan ruang.
f. Ekonomi
Ekonomi sangat erat kaitannya dalam aspek strategi penataan ruang. Karena setiap perencanaan tata ruang pasti akan mempertimbangkan aspek ekonomi di dalamnya. Konsep penataan ruang melalui pengembangan kawasan sentra produksi pangan (agropolitan) terdiri dari kota pertanian dan desa-desa sentra produksi pertanian yang ada disekitarnya, dengan batasan yang tidak ditentukan oleh batasan administratif pemerintahan, tetapi lebih ditentukan dengan memperhatikan skala ekonomi kawasan yang ada. Namun persoalannya kemudian muncul tatkala penataan ruang karena kepentingan ekonomi, menafikan aspek lainnya, seperti lingkungan hidup dan sosial budaya. Pembangunan ekonomi memang merupakan prasyarat menuju kesejehteraan, namun pengabaian terhadap aspek lingkungan hidup misalnya, hanya akan memberikan manfaat jangka pendek, sehingga pembangunan berkelanjutan dalam jangka panjang sulit tercapai, karena pembangunan berkelanjutan haruslah berdimensi lingkungan.
g. Sosial Budaya
Aspek sosial budaya perlu ditekankan di sini karena seringkali menghadapi globalisasi diinterpretasikan hanya dalam konteks ekonomi, jarang dalam aspek sosial budaya. Penyusunan strategi penataan ruang harus memperhatikan kondisi sosial budaya saat ini dalam gempuran gelombang globalisasi yang sedang berlangsung. Pemerintah dalam kerangka regulasi yang telah dikeluarkan dalam strategi penataan ruang harus terbangun konsepsi strateginya dengan betul-betul mempertimbangkan aspek sosial budaya. Karena aspek sosial budaya adalah warna yang muncul baik sebagai input maupun out put perencanaan penataan ruang menuju perubahan sosial budaya yang lebih baik, tangguh, dan bercirikan ke-Indonesia-an.
h. Pertahanan Keamanan
Wilayah Indonesia, yang terdiri dari pulau-pulau besar dan kecil yang tersebar dari sabang hingga merauke adalah modal pembangunan yang disusun dalan strategi penataan ruang dengan pertimbangan aspek pertahanan dan keamanan negara yang tangguh. Pertahanan ditujukan untuk mewujudkan kedaulatan negara dan bangsa Indonesia agar tidak diganggu oleh bangsa lain. Dalam konteks penataan ruang, daerah-daerah atau pulau-pulau yang termasuk pada wilayah NKRI harus dipandang juga sebagai satu kesatuan wilayah yang utuh. Berkaitan dengan persoalan di wilayah perbatasan dengan negara lain optimalisasi peran TNI dapat ditingkatkan terutama dalam menjaga sumberdaya pangan hasil perairan laut, sedangkan berkaitan dengan gangguan keamanaan terutama tindak pidana dalam penyalahgunaan pemanfaatan ruang, peran Polri lebih dapat ditingkatkan.
19. Peluang dan Kendala
a. Peluang
1) Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai 17.508 pulau. Terletak antara dua benua yaitu benua Asia dan Australia/Oceania. Posisi strategis ini mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kebudayaan, sosial, politik, dan ekonomi. Lima pulau besar di Indonesia adalah : Sumatera dengan luas 473.606 km persegi, Jawa dengan luas 132.107 km persegi, Kalimantan (pulau terbesar ketiga di dunia) dengan luas 539.460 km persegi, Sulawesi dengan luas 189.216 km persegi, dan Papua dengan luas 421.981 km persegi. Kesemuanyan adalah modal bagi perencanaan pembangunan menuju Indonesia yang sejahtera, aman dan damai.
2) Kondisi kekayaan sumberdaya alam yang dimiliki Indonesia, seperti, kawasan hutan tropis, sumberdaya kelautan, dan sumberdaya energi dan sumberdaya pertanian yang besar. Dengan kondisi ini Indonesia diakui sebagai pusat keanekaragaman hayati dan merupakan sumberdaya keanekaragaman hayati yang kaya dan menakjubkan, serta pada umumnya mencakup ekosistem, spesies dan genetik, baik flora, fauna, maupun jasad renik (microorganism), yang perlu dijamin keberadaan dan keberlanjutannya bagi kehidupan manusia, baik di Indonesia maupun di negara lain.
3) Adanya dukungan dan kerjasama internasional dalam mewujudkan pembangunan berdasarkan asas pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang lestari.
4) Potensi keragaman sosial budaya berdasarkan budaya kearifan lokal merupakan pertimbangan utama yang dapat digunakan dalam upaya pemeliharaan sumberdaya alam dan peningkatan pengelolaan sumberdaya pertanian menuju ketahanan pangan berdasarkan aspek lokal. Adanya sistem perencanaan pembangunan yang telah dikeluarkan sebagai wadah utama dalam pengimplementasian strategi penataan ruang menurut situasi dan kondisi tiap-tiap wilayah di Indonesia. Hal ini dapat dipandang juga sebagai adanya kemauan politik pemerintah dalam menjalankan pembangunan menuju Indonesia yang sejahtera, aman dan damai.
b. Kendala
1) Luas wilayah dan sebaran penduduk yang tidak merata dapat akibat kebijakan yang belum terintegrasi dalam pengelolaan pembangunan. Luas wilayah tanpa dukungan sarana dan prasarana juga dapat berakibat pada tidak sampainya informasi pembangunan secara merata.
2) Persoalan sinkronisasi antar regulasi dan lembaga berkaitan perencanaan tata ruang nasional yang seringkali tumpang tindih. Hal ini berakibatkan pada terhambatnya pencapaian pembangunan yang ideal.
3) Kurang sumberdaya manusia yang terampil dan memiliki etos kerja yang tinggi dalam pemerintah daerah khususnya dalam pengimplementasian perencanaan yang telah disusun secara nasional.
4) Belum optimalnya penggunaan aspek keragaman sosial budaya berdasarkan budaya kearifan lokal sebagai pertimbangan dalam upaya pemeliharaan sumberdaya alam dan meningkatkan pengelolaan sumberdaya pertanian menuju ketahanan pangan berdasarkan aspek lokal.
5) Masih terhambatnya sosialisasi dan koordinasi antar instansi hingga pemerintah daerah dikarenakan adanya ego sektoral dan daerah dalam memandang pelaksanaan strategi penataan ruang dalam lingkup pembangunan nasional yang dijabarkan menurut instansi dan daerah masing-masing.
BAB V
KONDISI STRATEGI PENATAAN RUANG YANG DIHARAPKAN
DAN KONTRIBUSINYA TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI DAN KETAHANAN NASIONAL
20. Umum
Ketahanan pangan adalah masalah yang sangat serius bagi sebuah negara. Dengan jumlah penduduk yang terus bertambah, pemerintah menargetkan surplus beras sebanyak 10 juta ton pada tahun 2014. Akan tetapi, meski Indonesia selalu dikenal sebagai negara agraris, ternyata untuk mencapai target ini bukanlah hal mudah. Lahan pertanian yang semakin sempit akibat alih fungsi lahan hanya salah satu kendalanya. Di sisi lain, di banyak daerah di Indonesia, bahkan di daerah permukiman pun sering ditemukan lahan-lahan terlantar yang tak dimanfaatkan oleh pemiliknya. Maka, demi terwujudnya ketahanan pangan di Indonesia, pemerintah harus melakukan terobosan-terobosan untuk memaksimalkan sektor pertanian.
Beberapa hal yang menjadi permasalahan sektor pertanian terkait dengan pertanahan adalah terbatasnya sumberdaya tanah yang cocok untuk kegiatan pertanian, sempitnya tanah pertanian per kapita (900 m2/kapita), makin banyaknya petani gurem (lebih dari 0,5 Ha per keluarga), tidak amannya status penguasaan tanah (land tenure), dan cepatnya konversi tanah pertanian menjadi non pertanian.
Selain itu faktor penyebab alih fungsi tanah pertanian adalah peningkatan jumlah penduduk dan taraf kehidupan, lokasi tanah pertanian banyak diminati untuk kegiatan non pertanian, menurunnya nilai ekonomi sektor pertanian, fragmentasi tanah pertanian, kepentingan pembangunan wilayah yang seringkali mengorbankan sektor pertanian, dan lemahnya peraturan dan penegakan hukum.
Oleh karena itu, dalam rangka memanfaatkan potensi sumberdaya alam yang ada khususnya yang terkait dengan pengembangan pertanian dalam arti luas maka diupayakan suatu pendekatan melalui konsepsi pengelolaan ruang kawasan sentra produksi pangan nasional dan daerah (agropolitan). Hal tersebut perlu dilakukan agar para pelaku pembangunan dapat memanfaatkan lahan yang ada untuk berbagai kegiatan yang berbasis kepada pertanian. Konsepsi mengenai agropolitan dalam penataan ruang lebih diarahkan kepada bagaimana memberikan arahan pengelolaan tata ruang suatu wilayah agropolitan, khususnya kawasan sentra produksi pangan nasional dan daerah.
Program pengembangan kawasan sentra produksi pangan (agropolitan) adalah pembangunan ekonomi berbasis pertanian yang dilaksanakan dengan jalan mensinergikan berbagai potensi yang ada, yang utuh dan menyeluruh, yang berdaya saing, berbasis kerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi, yang digerakkan oleh masyarakat dan difasilitasi oleh pemerintah. Pengelolaan ruang dimaknakan sebagai kegiatan pengaturan, pengendalian, pengawasan, evaluasi, penertiban dan peninjauan kembali atas pemanfaatan ruang kawasan sentra produksi pangan (agropolitan).
21. Kondisi Strategi Penataan Ruang Yang Diharapkan
a. Optimalnya fungsi pemanfaatan penataan ruang melalui kawasan sentra produksi pangan (Agropolitan).
Optimalisasi fungsi pemanfaatan lahan dalam kawasan sentra produksi pangan sehingga pengelolaan penataan ruang dalam pemanfaatan lahan dan sumber daya alam dan ekonomi, menunjang ketahanan pangan nasional.
b. Padunya kepentingan antar sektor dalam penataan ruang terkait dengan tata guna lahan dalam mewujudkan ketahanan pangan.
Keterpaduan antar sektor dalam tata guna lahan pertanian selanjutnya mampu meningkatkan kerjasama antar instansi pemerintah maupun stakeholder dalam penataan ruang yang selaras, sikron dan padu terhadap berbagai rencana dan program lintas sektoral dalam menunjang ketahanan pangan dan pembangunan ekonomi secara menyeluruh.
c. Konsistensi Kebijakan dan terkendalinya pemanfaatan ruang dari ketentuan dan norma yang telah ditetapkan.
Rencana tata ruang merupakan instrumen penting bagi pemerintah, sehingga penetapan rencana harus mendapat kesepakatan dan pengesahan oleh lembaga legislatif sebagai wakil rakyat dan dukungan masyarakat. Namun kesepakatan tersebut sebagaimana dituangkan dalam kebijakan pemerintah harusnya mampu diimplementasikan secara konsisten.
d. Meningkatnya upaya-upaya penegakan hukum dalam pemanfaatan ruang sesuai fungsinya.
Berbagai aturan tata guna lahan maupun instrumen pemanfaatan ruang, merupakan produk hukum yang harus dipatuhi semua pihak. Seharusnya rencana tata ruang yang secara legal mempunyai kekuatan mengikat untuk dipatuhi baik oleh masyarakat maupun pemerintah sendiri, sehingga diharapkan proses pemanfaatan ruang dapat diimplementasikan sesuai peruntukannya.
22. Kontribusi Terhadap Pembangunan Ekonomi dan Ketahanan Nasional
a. Kontribusi Terhadap Pembangunan Ekonomi
Tarik-menarik kepentingan telah banyak mengubah fungsi lahan. Lahan pertanian menghadapi permasalahan konversi lahan subur pertanian dan degradasi lahan yang kian massif. Sementara, keberlanjutan lahan subur yang ada tidak terjamin dan pencetakan lahan sawah baru pun relatif kecil. Oleh karena itu diperlukan keberpihakan terhadap lahan pertanian dalam penataan ruang. Keberpihakan tersebut akan menopang ketahanan pangan yang memberikan kontribusi dalam pembangunan ekonomi.
Ketersediaan lahan dalam usaha pertanian merupakan conditio sine-quanon (syarat mutlak) untuk mewujudkan peran sektor pertanian yang berkelanjutan (sustainable agriculture), terutama dalam mewujudkan ketahanan pangan secara nasional. Hal ini menyebabkan lahan pertanian menjadi faktor produksi pertanian yang utama dan unik karena sulit digantikan dalam sebuah proses usaha pertanian. Secara filosofis, lahan memang memiliki peran dan fungsi sentral bagi masyarakat Indonesia yang bercorak agraris. Ini karena di samping memiliki nilai ekonomis, lahan juga memiliki nilai sosial, bahkan religius. Sektor pertanian mempunyai peran yang strategis dalam pembangunan ekonomi nasional.
b. Kontribusi Terhadap Ketahanan Nasional
Sebagaimana diketahui bahwa penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang, dimana hal ini telah diatur dalam UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang ditetapkan dan diberlakukan. Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan berlandaskan Ketahanan Nasional dengan: (a) terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan. (b) terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan dengan memperhatikan sumberdaya manusia. (c) terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang. Dalam konteks ini sangat jelas bahwa strategi penataan ruang mempunyai hubungan strategis dan dialogis dengan ketahanan nasional.
23. Indikator Keberhasilan
Indikator keberhasilan penerapan strategi penataan ruang guna pembangunan ekonomi dalam rangka ketahanan nasional adalah sebagai berikut:
a. Munculnya berbagai kawasan-kawasan yang direncanakan berdasarkan strategi penataan ruang sesuai kaidah.
b. Masuknya investasi sektor swasta baik PMA maupun PMDN ke kawasan pengembangan yang telah direncanakan.
c. Munculnya paradigma yang kuat di jajaran departemen teknis terkait dan pemerintah daerah, dimana dalam pengembangan sebuah kawasan akan selau merujuk pada RTRWN, RTRW, peraturan dan pedoman terkait.
d. Pedoman pengelolaan ruang sentra produksi pangan nasional dan daerah tersosialisasi dengan baik kepada semua pihak yang berkepentingan.
e. Tidak terjadi konversi lahan pertanian maupun lahan konservasi alam yang menyalahi ketentuan RTRWN dan RTRW secara signifikan yang berkaitan dengan rencana pengembangan kawasan ruang sentra produksi pangan di suatu wilayah.
f. Tidak terjadi benturan/konflik dan kesimpangsiuran di tataran teknis atas model pengelolaan ruang dan kawasan suatu wilayah.
BAB VI
KONSEPSI STRATEGI PENATAAN RUANG GUNA PEMBANGUNAN EKONOMI DALAM RANGKA KETAHANAN NASIONAL
24. Umum
Ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merupakan negara kepulauan berciri Nusantara, baik sebagai kesatuan wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi, maupun sebagai sumberdaya, perlu ditingkatkan upaya pengelolaannya secara bijaksana, berdaya guna, dan berhasil guna dengan berpedoman pada kaidah penataan ruang sehingga kualitas ruang wilayah nasional dapat terjaga keberlanjutannya demi terwujudnya kesejahteraan umum dan keadilan sosial sesuai dengan landasan konstitusional UUD 1945.
Sebagaimana yang tertuang dalam UUD 1945, bahwa pemanfaatan sumberdaya alam bagi kesejahteraan masyarakat bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dalam arah pembangunan RPJP 2005-2025, juga telah disusun capaian-capaian yang diharapkan dalam pembangunan jangka menengah. Adapun rencana pembangunan jangka menengah kedua (2010-2014) sebagaimana dimuat dalam RPJP, ditujukan untuk:
a) Lebih memantapkan penataan pembangunan Indonesia dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia termasuk mengembangkan kemampuan ilmu dan teknologi, serta menguatkan daya saing perekonomian.
b) Terciptanya kondisi aman dan damai di berbagai daerah Indonesia, meningkatnya kemampuan dasar pertahanan dan keamanan negara yang ditandai dengan peningkatan kemampuan postur dan struktur pertahanan negara, serta peningkatan kemampuan lembaga keamanan negara.
c) Meningkatnya kesadaran dan penegakan hukum, tercapainya konsolidasi penegakan supremasi hukum, dan penegakan hak asasi manusia, serta kelanjutan penataan sistem hukum nasional.
d) Membaiknya pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah, serta kuatnya peran masyarakat sipil dan partai politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
e) Meningkatnya keberhasilan diplomasi Indonesia dalam forum internasional dalam upaya pemeliharaan keamanan nasional, integritas wilayah, dan pengamanan kekayaan sumber daya alam nasional.
f) Meningkatnya pelayanan publik yang berkualitas, lebih murah, cepat, transparan dan akuntabel yang ditandai dengan terpenuhinya standar pelayanan minimum di semua tingkatan pemerintah.
g) Meningkatnya kesejahteraan rakyat yang ditunjukkan dengan berbagai indikator.
h) Meningkatnya daya saing perekonomian melalui penguatan industri manufaktur sejalan dengan penguatan pembangunan pertanian dan peningkatan pembangunan kelautan dan sumberdaya alam lainnya dengan mendorong pemberdayaan ekonomi rakyat dan lingkungan strategis.
i) Percepatan pembangunan infrastruktur dengan lebih meningkatkan kinerja pemerintah dan kerja sama dengan dunia usaha dalam iklim investasi yang kondusif.
j) Pengembangan sumberdaya air, pengembangan permukiman yang berwawasan lingkungan, serta perumahan yang sehat dan murah.
k) Peningkatan pemanfaatan energi terbarukan, khususnya bioenergi, panas bumi, tenaga air, tenaga angin, dan tenaga surya untuk kelistrikan.
l) Pengembangan industri kelautan yang meliputi perhubungan laut, industri maritim, perikanan, wisata bahari, energi dan sumber daya mineral secara sinergi, optimal, dan berkelanjutan.
m) Berkembangnya pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup melalui penguatan kelembagaan dan peningkatan kesadaran masyarakat yang ditandai dengan berkembangnya proses rehabilitasi dan konservasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang disertai penguatan partisipasi aktif masyarakat.
n) Terpeliharanya keanekaragaman hayati dan kekhasan sumberdaya alam tropis lainnya yang dimanfaatkan untuk mewujudkan nilai tambah, daya saing bangsa, serta modal pembangunan nasional pada masa yang akan datang.
o) Meningkatnya kapasitas kelembagaan dan kapasitas antisipatif dalam penanggulangan bencana di setiap tingkatan pemerintahan, serta terlaksananya pembangunan kelautan sebagai gerakan yang didukung oleh semua sektor.
p) Meningkatnya kualitas perencanaan tata ruang serta konsistensi pemanfaatan ruang dengan mengintegrasikannya ke dalam dokumen perencanaan pembangunan terkait dengan penegakan peraturan dalam rangka pengendalian pemanfaatan ruang.
Oleh karena itu, konsepsi kebijakan dalam menjaga kesinambungan pembangunan haruslah mengindahkan arah pembangunan nasional di atas. Sehingga dengan serangkaian materi yang dipaparkan pada bab-bab sebelumnya, menemukan model penyelesaian yang tepat dalam momentum pembangunan nasional.
Perkembangan situasi dan kondisi nasional dan internasional menuntut penegakan prinsip keterpaduan, keberlanjutan, demokrasi, kepastian hukum, dan keadilan dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang yang baik sesuai dengan landasan idiil Pancasila. Untuk memperkukuh Ketahanan Nasional dan sejalan dengan kebijakan otonomi daerah yang memberikan kewenangan semakin besar kepada pemerintah daerah dalam penyelenggaraan penataan ruang, maka kewenangan tersebut perlu diatur demi menjaga keserasian dan keterpaduan antar daerah dan antara pusat dan daerah agar tidak menimbulkan kesenjangan antar daerah.
Kebijakan nasional penataan ruang secara formal ditetapkan dengan diundangkannya UU Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, yang kemudian diperbaharui dengan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Kebijakan tersebut ditujukan untuk mewujudkan kualitas tata ruang nasional yang semakin baik, yang oleh undang-undang dinyatakan dengan kriteria aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan. Namun, setelah lebih dari 25 tahun diberlakukannya kebijakan tersebut, kualitas tata ruang masih belum memenuhi harapan. Bahkan cenderung sebaliknya, justru yang belakangan ini sedang berlangsung adalah indikasi dengan penurunan kualitas dan daya dukung lingkungan. Pencemaran dan kerusakan lingkungan bahkan makin terlihat secara kasat mata baik di kawasan perkotaan maupun di kawasan perdesaan.
Dengan diberlakukannya kebijakan nasional penataan ruang tersebut, maka tidak ada lagi tata ruang wilayah yang tidak direncanakan. Tata ruang menjadi produk dari rangkaian proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Oleh karena itu, penegasan sanksi atas pelanggaran tata ruang sebagaimana diatur dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, menuntut proses perencanaan tata ruang harus diselenggarakan dengan baik agar penyimpangan pemanfaatan ruang bukan disebabkan oleh rendahnya kualitas rencana tata ruang wilayah.
25. Kebijakan
Perencanaan pembangunan dilaksanakan secara sektoral maupun dengan secara terpadu dalam satu wilayah. Proses pembangunan daerah yang digerakkan oleh pengembangan ekonomi daerah umumnya diawali dengan pengembangan pusat-pusat pertumbuhan baik yang bersifat lokal, dan berkembang ke skala regional maupun nasional dan internasional, melalui tahapan-tahapan yang dimulai dengan pusat pertumbuhan lokal, pengembangan klaster komoditas/industri sampai akhirnya terjadi proses aglomerasi di satu wilayah, yang selanjutnya memberikan efek pengganda bagi perkembangan daerah sekitarnya.
Sebagai bagian dari tahapan pengembangan tersebut, beberapa upaya pengembangan pusat-pusat pertumbuhan wilayah lokal dalam kerangka pengembangan keterkaitan desa-kota telah dilakukan, baik dengan membangun pusat pertumbuhan lokal yang baru maupun dengan mengembangkan pusat pertumbuhan lokal yang telah ada, melalui pengembangan kawasan sentra produksi pangan (agropolitan), kawasan industri berbasis kompetensi inti industri daerah, dan juga dilakukan melalui pengembangan kawasan transmigrasi dengan skema Kota Terpadu Mandiri. Kawasan strategis ekonomi yang dibangun di berbagai wilayah potensial di Indonesia diharapkan dapat menggerakkan pertumbuhan ekonomi di wilayah sekitarnya, dan membentuk keterkaitan dengan daerah sekitarnya dalam suatu keterpaduan sistem ekonomi wilayah.
Dalam era otonomi sekarang ini diperlukan perubahan pola pikir pendekatan penataan ruang. Pola pikir pendekatan penataan ruang yang memandang masyarakat sebagai obyek peraturan yang homogen, perlu diubah dengan memandang masyarakat sebagai subyek peraturan dengan keanekaragaman perilaku. Pendekatan baru dalam penataan ruang ini menuntut pemerintah berperan dalam menggali dan mengembangkan visi secara bersama antara Pemerintah dan kelompok masyarakat di daerah dalam merumuskan wajah ruang di masa depan, standar kualitas ruang, dan aktivitas yang diinginkan atau dilarang pada suatu kawasan yang direncanakan (Haeruman, 2004:2).
Penataan ruang merupakan suatu tahapan dari proses pengembangan wilayah yang terdiri dari perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian ruang. Dalam rangka mewujudkan masyarakat makmur yang bertempat tinggal di ruang yang nyaman dan lestari, penyelenggaraan pembangunan wilayah yang berbasis penataan ruang merupakan suatu keharusan. Upaya tersebut akan efektif dan efisien apabila prosesnya dilakukan secara terpadu dengan seluruh pelaku pembangunan (stakeholder) di wilayah setempat. Hal tersebut sejalan dengan semangat yang tumbuh dalam era otonomi daerah yang mengedepankan Pemerintah Pusat sebagai fasilitator dengan mendorong peningkatan pelayanan publik dan pengembangan kreatifitas serta pelibatan masyarakat dan juga aparatur pemerintahan di daerah. Dengan demikian kebiasaan ‘menginstruksikan’ masyarakat untuk berperan serta dalam pembangunan, khususnya dalam pemanfaatan ruang, bisa dihindari bersama.
Begitupula dengan strategi penataan ruang, maka harus memahami lebih dulu potensi masyarakat yang dimiliki dan potensi sumberdaya alamnya. Penggalian potensi ini dilakukan melalui inventarisasi potensi secara menyeluruh dengan melibatkan peran berbagai (seluruh) pihak yang berkepentingan (stakeholders). Peran Pemerintah, sebagaimana cita-cita pemerintah yang bermaksud menciptakan masyarakat adil dan makmur, mengembangkan pengelolaan sumberdaya alam secara adil dan berkelanjutan, transparan, dan bertanggungjawab. Pemerintah dapat menjadi fasilitator dan membuat kebijakan yang menjembatani antara pihak ketiga dan masyarakat dengan cara memaksimumkan pelayanan.
Peran masyarakat, pengalaman menunjukkan bahwa untuk mewujudkan tuntutan pembangunan secara adil dan berkelanjutan senantiasa menghadapi tantangan dan kendala yang terkait dengan hak dan kewajiban masyarakat dalam aspek perencanaan tata ruang nasional. Melalui adanya kejelasan hak dan kewajiban pada masyarakat akan menumbuhkan suasana yang aspiratif dan partisipatif yang menempatkan masyarakat sebagai basis implementasi tata ruang. Dengan keterlibatan masyarakat secara sadar akan berperan dan berfungsi dalam strategi penataan ruang sehingga menjamin berkembangnya kapasitas dan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang lebih baik guna mewujudkan ketahanan pangan.
Secara umum suatu rencana tata ruang memuat : rencana pola kawasan lindung nasional, budi budaya provinsi, strategis nasional, dan jaringan prasarana utama. Kesemua aspek penataan ruang tersebut juga sebagai indikasi program pembangunan jangka menengah lima tahunan, yang juga memuat indikasi arahan zonasi, perijinan, insentif/disinsentif, lokasi investasi dan sanksi. Proses perencanaan tata ruang dapat dijelaskan dengan pendekatan sistem yang melibatkan input, proses dan output. Input yang digunakan adalah keadaan fisik seperti kondisi alam dan geografis, sosial budaya seperti demografi sebaran penduduk, ekonomi seperti lokasi pusat kegiatan perdagangan yang ada maupun yang potensial dan aspek strategis nasional lainnya. Keseluruhan input ini diproses dengan menganalisis input tersebut secara integral baik kondisi saat ini maupun ke depan untuk masing-masing hirarki tata ruang Nasional, Provinsi maupun Kabupaten/Kota untuk menghasilkan output berupa Rencana Tata Ruang.
Penataan ruang merupakan proses perencanaan ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Oleh karenanya dalam proses penataan ruang, tidak terbatas pada proses perencanaan saja. Tetapi, meliputi aspek pemanfaatan yang merupakan wujud operasional rencana tata ruang serta proses pengendalian pemanfaatan ruang. Proses pengendalian pemanfaatan memiliki mekanisme pengawasan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan tujuan penataan ruang wilayah.
Rencana Tata Ruang merupakan bentuk intervensi agar terwujud alokasi ruang yang nyaman, produktif dan berkelanjutan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menciptakan keseimbangan tingkat perkembangan wilayah. Maka dengan berbasis penataan ruang, kebijakan pembangunan akan mewujudkan tercapainya pembangunan berkelanjutan yang memadukan pilar ekonomi, sosial budaya dan lingkungan.
Oleh karena itu, sebagaimana pula telah diuraikan dalam penulisan bab-bab sebelumnya, maka kebijakan yang disusun adalah “Mengoptimalkan strategi penataan ruang untuk pembangunan ekonomi menuju ketahanan pangan dalam rangka memantapkan ketahanan nasional yang tangguh.” Kebijakan tersebut selanjutnya menjadi arah dan pedoman dalam merumuskan berbagai strategi dan upaya.
26. Strategi
a. Strategi I, Optimalisasi fungsi penataan ruang dalam tata guna lahan guna mewujudkan ketahanan pangan nasional.
Strategi pertama difokuskan pada peningkatan atau mengoptimalkan fungsi pemanfaatan ruang melalui konsep kawasan sentra produksi pangan (Agropolitan).Strategi ini pun sebenarnya merupakan pemantapan dan peningkatan dari berbagai program kebijakan yang telah ditetapkan Pemerintah. Dengan memperhatikan renstra 2010-2014 (baik yang dikeluarkan Oleh Kementan maupun Kemen PU), banyak disebutkan kata “melanjutkan, memantapkan, memperkuat dan meningkatkan", maka di dalam renstra tersebut menyebutkan kembali program-program yang sudah ada sebelumnya dan di lanjutkan dengan program recycle. Hal tersebut menandakan bahwa program sebelumnya belum spnuhnya terlaksana dengan baik sehingga terjadi pengulangan program-program pada tahap berikutnya.
b. Strategi II, Memadukan kepentingan antar sektor dalam rangka menyelaraskan dan mensikronkan berbagai rencana dan program antar sektor dalam mewujudkan ketahanan pangan.
Strategi kedua difokuskan pada pengelolaan sumberdaya alam yang beraneka ragam perlu dilakukan secara terkoordinasi dan terpadu dengan sumberdaya lainnya dalam pola pembangunan yang berkelanjutan dengan mengembangkan tata ruang yang humanopolis, yaitu tata ruang yang mengutamakan kepentingan masyarakat dan menciptakan lingkungan yang asri berdasar wawasan nusantara dan ketahanan nasional. Tantangan untuk menekan laju konversi lahan pertanian ke depan adalah bagaimana melindungi keberadaan lahan pertanian melalui perencanaan dan pengendalian tata ruang; meningkatkan program, rehabilitasi dan ekstensifikasi lahan; meningkatkan produktivitas dan efisiensi usaha pertanian serta pengendalian pertumbuhan penduduk.
c. Strategi III, Konsistensi Kebijakan dan pengendalian penataan ruang dari ketentuan dan Norma, Standar, dan Prosedur yang telah ditetapkan dalam rangka meningkatkan kemampuan daerah guna meningkatkan ketahanan pangan nasional.
Strategi ketiga difokuskan pada perlunya komitmen pemerintah dan stakeholders terkait yang dituangkan dalam berbagai peraturan dan kebijakan yang telah ditetapkan, agar senantiasa ditaati dan dijalankan sebagaimana mestinya. Hal tersebut selain untuk menjaga sinergi program kebijakan lintas sektor, juga bahwa rumusan-rumusan penataan ruang yang telah dituangkan dalam program kebijakan pemerintah Pusat maupun Daerah yang dibarengi dengan penyertaan anggaran yang tidak sedikit jumlahnya, menjadi efektif dan terlaksana dengan baik sehingga pembangunan berkelanjutan sesuai arah yang ditetapkan. Adapun pengendalian alih fungsi tanah pertanian dilakukan secara sistematis, berjenjang dan berkelanjutan perlu menjadi perhatian semua pihak.
d. Strategi IV: Meningkatkan penegakan hukum dalam implementasi RTRW yang menunjang ketahanan pangan nasional.
Strategi keempat difokuskan pada upaya meningkatkan penegakan hukum dalam penyimpangan pemanfaatan tata guna lahan terutama lahan produktif penunjang pangan. Penegakan hukum dengan memperhatikan antara lain: peraturan perundang-undangan tentang pengendalian tanah pertanian produktif, penetapan zonasi perlindungan tanah pertanian abadi berikut kebijakan pengelolaannya dan implementasi peraturan dan zonasi perlindungan tanah pertanian dalam RTRW Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota, sebagai acuan pengarahan lokasi pembangunan, perizinan dan administrasi pertanahan.
27. Upaya
Agar strategi pokok yang telah ditetapkan dapat terlaksana sebagaimana yang diharapkan, diperlukan upaya-upaya sebagai berikut :
a. Strategi I, Optimalisasi fungsi penataan ruang dalam tata guna lahan guna mewujudkan ketahanan pangan nasional. Upaya yang dilakukan, antara lain:
1) Pemda menetapkan zonasi tanah-tanah pertanian berkelanjutan. Penetapan Kawasan Pangan Berkelanjutan dengan insentif bagi pemilik tanah setempat.
2) Pemda mengembangkan prinsip hemat lahan untuk industri, perumahan dan perdagangan (misalnya rusun).
3) Pemda mengembangkan kualitas SDM Stakeholders pembangunan dalam pengelolaan kawasan sentra produksi pangan (agropolitan).
4) BKTRN, BKPRD memantapkan portal sistem informasi penataan ruang.
5) BKPRD dan Pemda meningkatkan pemahaman dan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang, antara lain melalui kegiatan sosialisasi, pembentukan dan pembinaan kelompok masyarakat peduli tata ruang, intensifikasi penayangan iklan layanan masyarakat, dan sebagainya.
b. Strategi II, Memadukan kepentingan antar sektor dalam rangka menyelaraskan dan mensikronkan berbagai rencana dan program antar sektor dalam mewujudkan ketahanan pangan. Upaya yang dilakukan, antara lain:
1) Ditjen Penataan Ruang dan Dinas Tata Ruang Provinsi dan Kabupaten/ Kota menselaraskan dan mensikronkan kebijakan pemanfaatan lahan dengan Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN) dan Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) maupun dengan Dewan Ketahanan Pangan Nasional (DKPN) dan Dewan Ketahanan Pangan Daerah (DKPD) serta dengan Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL) dan Badan Pertanahan Nasional.
2) Pemda memadukan kebijakan penataan ruang lintas sektoral dengan menerbitkan surat penggunaan lahan dalam kawasan sentra produksi pangan (agropolitan) berdasarkan Keputusan-keputusan menteri terkait sebagai pedoman instrumen yuridis.
3) BKTRN dan DKPN mengeluarkan kebijakan bersama dengan ditandatangani oleh kementerian terkait (Bappenas, Keuangan, PU, Pertanian, Kehutanan, Energi, Pertanahan, dan Lingkungan Hidup) tentang penggunaan lahan produksi pangan pada suatu kawasan tertentu tidak boleh dikonversi selain untuk penggunaan lahan produksi pangan.
4) BKTRN dan DKPN mendorong pengembangan kelembagaan masyarakat dan swasta di bidang Penataan Ruang terutama lahan peruntukan pangan. Dengan adanya proses pelibatan masyarakat mulai dari tahap perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang akan muncul suatu sistem evaluasi dari kegiatan penataan ruang yang telah dilakukan dan menjadi masukan bagi proses penataan ruang selanjutnya. Sehingga partisipasi aktif masyarakat meningkat yang disebabkan program penataan ruang yang disusun sesuai dengan aspirasinya.
c. Strategi III, Konsistensi Kebijakan dan pengendalian penataan ruang dari ketentuan dan Norma, Standar, dan Prosedur yang telah ditetapkan dalam rangka meningkatkan kemampuan daerah guna meningkatkan ketahanan pangan nasional. Upaya yang dilakukan, antara lain:
1) Kementerian Keuangan mengalokasikan dana dekonsentrasi untuk merangsang Pemda melindungi tanah pertanian, terutama produksi pangan.
2) Kepala daerah mengembangkan kebijakan-kebijakan pendukung instrumen sesuai pedoman kawasan sentra produksi pangan yang diterbitkan oleh Kementerian PU (Dirjen Penataan Ruang).
3) BKTRD menyiapkan dan mensosialisasikan Norma, Standar, Prosedur dan Manual (NSPM) untuk percepatan desentralisasi bidang pengembangan wilayah melalui penataan ruang daerah terutama dalam penguatan kawasan sentra produksi pangan;
4) Pemda mensosialisasikan Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota kepada masyarakat melalui public campaign. Sehingga masyarakat menjadi paham dan dapat berpartisipasi dalam pemanfaatan ruang tersebut.
5) Dalam hal pengendalian konversi lahan, Pemda membuat instrumen yuridis berupa Perda-perda yang mengikat dan perizinan lokasi terhadap pemanfaatan lahan pertanian produksi pangan.
d. Strategi IV: Meningkatkan penegakan hukum dalam implementasi RTRW yang menunjang ketahanan pangan nasional. Upaya yang dilakukan, antara lain:
1) Kepala Daerah membentuk Komisi Pengendali Tanah Sawah tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota.
2) Institusi CJS mendorong upaya penerapan sanksi yang tegas dan konsisten atas setiap pelanggaran terhadap penyimpangan pemanfaatan RTRW.
3) Polri (Polda) ikut dalam setiap proses penyusunan kebijakan pemanfaatan RTRW di daerah, sehingga dapat melakukan kegiatan peremtif, preventif maupun gakkum dalam penyimpangan pemanfaatan RTRW di daerah.
4) Polri (Polda) memberikan sumbangsih saran kebijakan menyangkut situasi kamtibmas dalam penyusunan kebijakan tata ruang wilayah di daerah.
5) Pemda meningkatkan sosialisasi berbagai peraturan daerah dan pedoman pemanfaatan lahan kepada pengusaha dan masyarakat.
BAB VII
PENUTUP
28. Kesimpulan
Dari uraian dan analisis yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan beberapa hal berikut:
a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasioanal merupakan pedoman spasial pelaksanaan pembangunan. Dengan demikian, Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional harus memuat kebijakan dan strategi pengelolaan kawasan yang ramah lingkungan. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional merupakan pedoman yang harus dipatuhi baik oleh Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi maupun Kabupaten dan Kota. Rencana tata ruang dan wilayah yang sudah ditetapkan harus ditindaklanjuti dengan tindakan nyata dari segenap pemangku kepentingan. Penyelenggaraan penataan ruang wilayah nasional harus dilakukan secara komprehensif, holistik, terkoordinasi, terpadu, efektif, dan efisien dengan memperhatikan faktor politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, dan kelestarian lingkungan hidup.
b. Berangkat dari berbagai permasalahan dalam strategi penataan ruang yang mendukung ketahanan pangan guna pembangunan ekonomi dalam rangka ketahanan nasional, maka kondisi yang diharapkan mencakup, yaitu: 1) Optimalnya fungsi pemanfaatan penataan ruang melalui kawasan sentra produksi pangan (Agropolitan); 2) Padunya kepentingan antar sektor dalam penataan ruang terkait dengan tata guna lahan dalam mewujudkan ketahanan pangan; 3) Konsistensi Kebijakan dan terkendalinya pemanfaatan ruang dari ketentuan dan norma yang telah ditetapkan; dan 4) Meningkatnya upaya-upaya penegakan hukum dalam pemanfaatan ruang sesuai fungsinya.
c. Berdasarkan kondisi saat ini dan kondisi yang diharapkan maka konsepsi kebijakan yang ditempuh yaitu: “Mengoptimalkan strategi penataan ruang untuk pembangunan ekonomi menuju ketahanan pangan dalam rangka memantapkan ketahanan nasional yang tangguh,” melalui : 1) Optimalisasi fungsi penataan ruang dalam tata guna lahan guna mewujudkan ketahanan pangan nasional; 2) Memadukan kepentingan antar sektor dalam rangka menyelaraskan dan mensikronkan berbagai rencana dan program antar sektor dalam mewujudkan ketahanan pangan; 3) Konsistensi Kebijakan dan pengendalian penataan ruang dari ketentuan dan Norma, Standar, dan Prosedur yang telah ditetapkan dalam rangka meningkatkan kemampuan daerah guna meningkatkan ketahanan pangan nasional; dan 4) Meningkatkan pengendalian dan penegakan hukum dalam implementasi RTRW yang menunjang ketahanan pangan nasional.
29. Saran
a. Pembagian wewenang antara Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan penataan ruang untuk memberikan kejelasan tugas dan tanggung jawab masing-masing tingkat pemerintahan dalam mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan;
b. Penetapan kawasan di daerah kabupaten/kota di suatu propinsi sebagai kawasan sentra produksi pangan (agropolitan) harus berdasarkan suatu studi kelayakan dengan mempertimbangkan kelayakan ekonomis, teknis sosial budaya dan lingkungan hidup, serta ditetapkan pemerintah daerah bersama masyarakat yang disetujui oleh DPRD dan mengacu pada pedoman dan surat keputusan Gubernur.
c. Reformasi birokrasi memperioritaskan perubahan kultur birokrasi sehingga melahirkan paradigma baru di jajaran departemen teknis terkait dan pemerintah daerah dalam meningkatkan pembangunan ekonomi daerah yang berkelanjutan, begitupula dalam pengembangan kawasan sentra produksi pangan (agropolitan), akan selalu merujuk pada RTRWN, RTRW, peraturan dan pedoman terkait.
[1] Telah dimuat dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 68 Tahun 2002 Tentang Ketahanan Pangan, Pasal 1 Ayat (1). Lihat pula definisi yang dimuat dalam FAO, 1996.
[2] Modul Ketahanan Nasional, Lemhannas RI Tahun 2012.
[3] Makalah Pengembangan Wilayah Dan Penataan Ruang Di Indonesia: Tinjauan Teoritis Dan Praktis, Direktur Jenderal Penataan Ruang Departemen Permukiman Dan Prasarana Wilayah, Studium General Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta, 1 September 2003.
[4] Ibid.
DAFTAR PUSTAKA
Andreas Faludi, Bas Waterhout, The Making of the European Spatial Development Perspective. London: Routledge, 2002.
Baba Barus. Bahan Paparan “Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Terlantar”, Direktur Riset dan Pelatihan P4W, LPPM IPB.
Baldwin, Meier. Economic Development Theory, History, Policy. John Wiley and Sons, 1964.
Budihardjo, E dan H. Sudanti. Kota Berwawasan Lingkungan. Bandung: Penerbit Alumni, 1993.
Dardak. A. Hermanto. ”Revitalisasi Penataan Ruang Untuk Mewujudkan Ruang Nusantara yang Nyaman, Produktif, dan Berkelanjutan, dalam Pattimura.” Luthfi (editor), Penataan Ruang Untuk Kesejahteraan Masyarakat: Khazanah Pemikiran Para Pakar, Birokrat, dan Praktisi. Jakarta: LSKPI Press, 2005.
Dharma, Agus. Sustainable Compact Cities sebagai Alternatif Kota Hemat Energi. Seminar Nasional “Arsitektur dan Penghematan Energi. Jurusan Arsitektur Universita Gunadharma. Depok. 5 September 2005.
Direktorat jenderal Penataan Ruang – Depkimpraswil, Kebijakan, Strategi dan Program Ditjen Penataan Ruang, BPSDM, Jakarta, 2003.
Direktorat Jenderal Penataan Ruang. Metropolitan di Indonesia: Kenyataan dan Tantangan dalam Penataan Ruang. Jakarta: Direktur Jenderal Penataan Ruang, 2008.
_________________. “Pedoman kawasan sentra produksi pangan (agropolitan). Jakarta: Kementerian PU. 2007
_________________. “Pedoman Kriteria Teknis Kawasan Budi Daya. Modul Terapan. Jakarta: Kementerian PU. 2007
Direktorat Penatagunaan Tanah Badan Pertanahan Nasional. Bahan Paparan “Kebijakan Pertahanan dalam Ketahanan Pangan”, Oktober 2011.
Djakapermana, Ruchyat Deni. Pengembangan Wilayah Berkelanjutan Berbasis Penataan Ruang. Materi mata kuliah PL4010 Kapita Selekta – PS Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK ITB Kampus ITB – Bandung, 21 November 2008.
Gilbert, Alan dan Gugler, Josef. Urbanisasi dan Kemiskinan. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1996.
Hauhton, Graham and Hunter, Colin. Sustainable Cities. Regional Studies Association. London: 1994.
Kusumaatmadja, Sarwono. “Pembangunan Berkelanjutan Untuk Mengatasi Kemiskinan dan Pengembangan Sikap Masyarakat Terhadap Produk Ramah Lingkungan.”
Rajiyowiryono. Hardoyo, Kebijakan Strategis Pengelolaan Sumberdaya Alam Daerah Rawan Bencana, Makalah disampaikan dalam Lokakarya Revitalisasi Tata Ruang Dalam Rangka Pengendalian Bencana Longsor dan Banjir, Kementerian Negara ingkungan Hidup, Yogyakarta, 28 Februari – 1 Maret 2006.
Richard H. Williams, European union spatial policy and planning, London Chapman 1996.
Setiadi, Hafid. Pembangunan Wilayah : Gagasan Ruang Ekologis dan Pembangunan Berkelanjutan. Seminar Nasional “Pembangunan Wilayah Berwawasan Lingkungan” di Balai Senat Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 27 Oktober 2007.
Tim Koordinasi Pemantapan Luas Sawah, Kementerian Kehutanan. Bahan Paparan “Sinkronisasi Luas Baku Sawah untuk Mendukung Surplus Beras 10 Juta ton tahun 2014.
Widodo, Makmur. KTT Dunia Pembangunan Berkelanjutan 2002 Peluang dan Tantangan Bagi Indonesia Baru. Sosialisasi Persiapan World Summit on Sustainable Development, Yogyakarta, 8 September 2001.
Xenos, Peter. Demographic Forces Shaping Youth Populations in Asian Cities. Comparative Urban Studies Project : Youth, Poverty, and Conflict in Southeast Asian Cities. Woodrow Wilson International Center for Scholar. Washington, D. C.: 2004.
Todaro, Michael P. Economics for Development World: An Introduction to Principles Problem and Policies for Development. New York: Longman, 1983.