BHINEKA TUNGGAL IKA DALAM BINGKAI NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

Hukum Tata Negara / Hukum Administrasi Negara

 

BHINEKA TUNGGAL IKA DALAM BINGKAI NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA  ( Tinjauan Hukum terhadap Hak Masyarakat Adat Indonesia)

 

 

A. PENDAHULUAN

a. Latarbelakang

            Indonesia adalah Negara dengan masyarakat majemuk yang sejak dulu menyadari bahwa dengan kemajemukannya dipersatukan dalam Landasan Ideologi Pancasila dimana  memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika yaitu  “berbeda-beda tetapi tetap satu”, yang berarti bahwa meskipun berbeda agama, suku, ras dan golongan namun merupakan satu kesatuan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pancasila merupakan Landasan Idiil bangsa Indonesia, falsafat dan pandangan hidup bangsa. Oleh karenanya harus menjadi landasan pijak dalam kehidupan bernegara tanpa tendensi ataupun pemahaman dan pemikiran sempit yang mengarahkan kita pada ego suku dan agama yang berimbas pada disintegrasi bangsa. Selain itu Indonesia juga merupakan Negara hukum, dimana hukum menjadi panglima setiap gerak langkah kita dalam Negara ini. Dan Negara merupakan penjamin hak agar masyarakat merasa terlindungi untuk melaksanakan haknya dalam bingkai kemajemukan atau pluralisme.  Pluralisme sendiri ada sejak Negara ini belum disebut Indonesia, dan atas perjuangan bangsa Indonesia kemerdekaan yang di capai oleh bangsa ini, diletakan dasar oleh founding fathers kita dengan melandaskan pada Pancasila, dimana mereka sadar bahwa pluralisme telah ada dan menjadi bagian dari bangsa dan dengan adanya pluralisme ini ada kesadaran untuk menjadi satu. 

Pluralisme sendiri memiliki beberapa perspektif: sosial, budaya maupun politik. Dalam perspektif sosial, pluralisme menangkal dominasi dan hegemoni kelompok atau aliran keagamaan, serta menegasikan pemusatan kekuatan sosial pada satu kelompok atau aliran. Sedangkan perspektif pluralisme budaya mencegah hilangnya satu aliran karena dilenyapkan oleh aliran keagamaan arus utama yang hegemonis, dan di sisi lain menangkal arogansi aliran keagamaan arus utama yang seringkali tergoda atau secara historis-empiris melakukan pelecehan dan penindasan aliran atau agama lain. Sementara pluralisme politik dapat menjadi dasar bagi jaminan kebebasan untuk berkeyakinan dan berekspresi tanpa rasa takut akan ancaman kekerasan, karena adanya lembaga pengelola konflik kepentingan antaraliran keagamaan.(Eli Susanti :2011).

 

b. Permasalahan

Dalam sejarah panjang perjalanan bangsa Indonesia, agama lokal atau kepercayaan asli masyarakat setempat, budaya dan masyarakat adat yang telah berakar sejak ribuan tahun yang lalu berkali-kali mengalami ancaman terkait dengan eksistensi kebendaannya baik dalam pelaksanaan ritual budayanya maupun dalam hal perampasan hak-hak ulayatnya, serta menganut keyakinannya. Sehingga permasalahannya adalah “ Bagaimana Implementasi Bhineka Tunggal Ika dalam Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia”

 

 

B. BAHAN DAN METODE

Untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini, sesuai dengan substansi permasalahan hukum yang dikaji maka penelitian ini dirancang sebagai suatu penelitian yang bersifat ”Normatif”, yakni suatu penelitian yang terutama mengkaji ketentuan-ketentuan hukum positif maupun asas-asas hukum umum (Philipus M. Hadjon : 1997 : 20). Selain itu penelitian hukum normative ini, juga digunakan untuk mengindentifikasikan konsep atau gagasan dan asas-asas hukum dalam menelaah dan mengkaji secara mendalam mengenai prinsip keadilan dalam penguasaan dan pengeloaan pesisir dan laut masyarakat adat sebagaimana diamanatkan dalam tujuan Negara hukum Indonesia.

Agar dapat memperoleh kebenaran ilmiah yang di harapkan, maka dalam penelitian ini dipergunakan beberapa pendekatan, yaitu conceptual approach (pendekatan konseptual) dan statute approach (pendekatan perundang-undangan) dan Historical Approach (pendekatan historis).

Pendekatan konseptual terkait dengan konsep atau pengertian hukum. Pendekatan perundang-undangan adalah kajian terhadap berbagai peraturan perundang-undangan terkait dengan pokok masalah penelitian.

 

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

a. Pluralisme Budaya dan Agama di Indonesia

Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang terkenal dengan kemajemukannya terdiri dari berbagai suku bangsa dan hidup bersama dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dibungkus semangat Bhineka Tunggal Ika. Dalam kemajemukan tersebut dikaitkan dengan modernisasi dan kemajuan jaman, maka menimbulkan dua sisi mata uang yang berbeda dalam hal mengikuti alur modernisasi dan kemajuan jaman. Disatu sisi terjadi perubahan sosial yang oleh sebagian masyarakat di Indonesia dapat dimanfaatkan sehingga membawa kemajuan dan disisi lain menimbulkan ketertinggalan dan keterpencilan pada kelompok masyarakat lain yang disebabkan oleh faktor keterikatan kultur/adat, agama maupun lokasi, mereka inilah yang di sebut masyarakat hukum adat, yang hidup terpencil, dengan budaya dan agama yang mereka anut. Namun akibat perkembangan, masyarakat adat menjadi tersingkir karena dianggap primitive dan tertinggal dan butuh sentuhan lain agar mereka menjadi tidak tertinggal. Padahal Negara kita adalah Negara hukum dimana konstitusi memberikan jaminan agar setiap warga masyarakat di lindungi berserta haknya. Pengakuan yang sama juga diberikan kepada masyarakat hukum adat dimana hak mereka juga di lindungi oleh konstitusi. Jadi kewajiban negaralah untuk memberikan pengakuan dan  perlindungan bagi Masyarakat Hukum Adat untuk tetap hidup dalam ketertinggalan dan keterbelakangan, sepanjang hal tersebut merupakan adat-istiadat yang dipegang teguh.

Ancaman lain adalah adanya kecenderungan negara untuk tidak mengakui bahwa telah menghilangkan budaya-budaya atau aliran-aliran kepercayaan lokal, yang dapat dilihat dengan diakuinya 6 agama-agama yang notabene bukan berasal dari masyarakat Indonesia. Hal lain yang menjadi anacaman serius bagi keberadaan masyarakat adat adalah kepentingan global yang didorong oleh korporasi-korporasi raksasa melalui sebuah skenario liberalisasi untuk menguasai sumberdaya alam Indonesia yang mana sangat meminggirkan hak ulayat masyarakat adat yang notabene adalah adalah pemilik sah sumber daya alam tersebut jauh sebelum Indonesia dicetuskan pada tanggal 17 Agustus 1945 (http://bissu-anbti.blogspot.com/2008/08/komunitas-bissu-di-tengah-kemajemukan.html).

Berbicara mengenai Masyarakat tidak akan terlepas dari Budaya yang dipengaruhi agama yang mereka anut atau juga sebaliknya agama yang mempengaruhi budaya yang mereka miliki. Sepanjang perjalanan sejarah peradaban kita Indonesia, kehidupan budaya berbanding terbalik kehidupan agama masyarakatnya. Misalnya saja kehidupan kerajaan Sriwijaya dan Majapahit dipengaruhi oleh agama Hindu, sehingga budaya yang berkembangpun budaya Hindu, begitupun kehidupan kerajaan Islam di Indonesia.  

 

b. Bhineka Tunggal Ika dan Pluralisme dalam Perspektif hukum dan Perundang-undangan Di Indonesia

Adanya kemajemukan sistem budaya telah diakui sebagaimana tercermin dalam semboyan "Bhinneka Tunggal Ika". Kata Bhineka Tunggal Ika diadopsi sebagai salah satu upaya untuk memayungi keanekaragaman yang ada serta strategi untuk mempersatukan berbagai kelompok etnik yang ada dalam suatu ikatan yang berorientasi ke masa depan. Paham “berbeda-beda namun tetap satu” dalam kenyataannya hanya indah untuk didengar dan diucapkan, namun amat sulit untuk diwujudkan, sebab secara konseptual paham tersebut sudah membawa suatu kontradiksi. Idealnya ketunggal-ikaan tidak boleh mematikan kebhinekaan. (Budiman, 1999, 5-9 dalam  Magdalia Alfian : 2010).

Yang menjadi persoalan adalah bagaiman konsep tersebut dapat diterjemahkan dalam praktek kehidupan berbangsa dan bernegara yang nyata, terutama dalam pengejawantahan pengertian “ketunggal-ikaan” yang tidak mematikan “kebhinekaan” serta mencegah terjadinya satu unsur kebhinekaan yang mendominasi kehidupan bangsa dan negara.

Pada awal Indonesia merdeka melalui konstitusi (UUD 1945) dinyatakan bahwa Republik Indonesia adalah negara terdiri dari kumpulan-kumpulan komunitas masyarakat hukum adat, seperti nagari, dusun, marga dan lain-lain. Ini berarti NKRI pada awal kemerdekaannya mengakui keberadaan masyarakat hukum adat dengan konsep pengakuan murni. Tetapi pada perkembangannya konsep pengakuan murni berubah menjadi pengakuan bersyarat-berlapis yang tercermin dalam produk-produk hukum yang terkait dengan Masyarakat Hukum Adat dan hak-hak serta wilayahnya yang bersifat tradisional, ini terlihat bahwa rasio pemikiran yang berkembang di Indonesia adalah kepentingan negara diatas segala-galanya. Dan yang menjadi titik krisis adalah UUD 1945 Hasil Amandemen Kedua, pada pasal 18B menganut konsep pengakuan berlapis-bersyarat, yang menurut saya adalah pengakuan setengah hati yang  berakibat bahwa Masyarakat Hukum Adat telah kehilangan pelindung (protector) dalam norma dasar negara dan produk hukum yang salah menafsirkan konsep pengakuan dalam UUD 1945 sebelum Amandemen menjadi memiliki dasar pembenaran untuk terus berlaku, dan yang memprihatinkan adalah rasio berfikir bangsa indonesia yang menempatkan posisi Masyarakat Hukum Adat pada posisi yang di ’terpencilkan“. Padahal kita ketahui bahwa kebijakan yang dikembangkan oleh pemerintah Orde Baru tersebut bertujuan untuk memberikan landasan juridis yang hanya bersifat formalitas bagi setiap tindakan sewenang-wenang pemerintah dengan jalan penyeragaman  dengan Undang-undang nomor 5 Tahun 1979. Hal ini mengakibatkan hilangnya struktur dan tatanan adat sehingga dengan mudah sumberdaya alam masyarakat adat eksploitasi hak-hak sosio-kultural Masyarakat Hukum Adat. Yang dilakukan pemerintah saat itu adalah dengan tujuan merampas hak-hak dan lahan Masyarakat Hukum Adat dengan dalih untuk kepentingan negara padahal didalamnya terdapat tendensi kepentingan ekonomi individual atau kelompok penguasa saat itu. Yang secara keseluruhan tindakan-tindakan tersebut merupakan tindakan yang merupakan pelecehan terhadap HAM Masyarakat Hukum Adat.

            Seharusnya pada era reformasi dimana penegakan hukum merupakan syarat mutlak bagi sebuah negara demokrasi seperti Indonesia, Penyelenggaraan pembangunan tidak lagi harus dilakukan dengan mempergunakan pendekatan kebutuhan, namun harus mempergunakan pendekatan hak asasi manusia. Tujuan dibentuknya negara ini adalah untuk mencapai Indonesia Merdeka, sehingga rakyatnya menjadi adil dan makmur. Namun sudah lebih dari 60 tahun negara ini merdeka justru rakyat tidak merasa merdeka dan bebas untuk menjalankan segala haknya meskipun kewajibannya di tuntut untuk dilaksanakan. Negara ini sudah melewati fase dimana kebutuhan akan sebuah bangunan pasar menjadi hal yang urgen atausekolah merupakan sebuah hal yang urgen, karena sudah banyak alternatif yang dibangun selama kurun waktu kemerdekaan. Namun yang penting disini adalah bagaimana masyarakat menjadi sejahtera bukan cuma sejahtera dalam bidang ekonomi di satu sisi namun sejahtera di semua sisi. Baik itu ekonomi, politik, bahkan keamanan. Yang diartikan sini juga bukan keamanan fisik saja tetapi juga kemanan bathin. Proses peneyeragaman adat budaya pada masa orde baru telah menyebabkan banyak persoalan sehingga  hukum tidak lagi memberikan perlindungan lewat peraturan perundang-undangannya, namun sebaliknya melahirkan konflik. Banyak masyarakat adat yang tergusur akibat kebijakan pemerintah dengan dalih kepentingan negara. Bagi masyarakat adat yang merasa memiliki hak, dan mengangap tidak adil tentu akan bereaksi, sehingga menimbulkan konflik. Kasus kerusuhan di Papua, di Paperu Maluku merupakan sedikit dari bukti konflik akibat kebijakan pemerintah lewat peraturan perundang-undangannya. Belum lagi terhadap agama yang dianut oleh masyarakat adat tesebut. Agama Kaharingan di Kalimantan misalnya merasa terusik dengan kejadian yang menimpa masyarakat Ahmadiah yang dianggap sesat, akan sangat dilematis apabila hal ini juga menyebar luas bagi agama-agama suku lainnya yang ada di negara ini dengan justifikasi bahwa hanya 6 agama yang dianut oleh negara kita Indonesia. Padahal pasal 29 UUD 1945  jelas memberikan jaminan bagi setiap warga negara untuk beribadah menurut agama dan keyakinannya. Itu berarti bahwa tidak ada seorangpun boleh merampas hak orang lain, atau menentukan bahwa apa yang diyakini orang lain adalah salah, karena yang berhak menilai itu adalah Tuhan sendiri.

Terlepas dari pemikiran tersebut pemerintah diharapkan tegas untuk menegakan hukum dengan tidak ada standar ganda dalam pelaksanaannya. Dan dalam membuat kebijakan berupa perundang-undangan  pemerintah harus sudah mengintrodusir nilai-nilai HAM yang menjunjung tinggi pembebasan terhadap pluralisme, kekhasan dan keunikan yang dimiliki oleh Masyarakat Hukum Adat atau pun masyarakat lain dengan budaya dan kekhasannya..

 

c. Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia

            Sebelum Pancasila dirumuskan dan disahkan sebagai Dasar Filsafat Negara nilai-nilainya  telah ada pada bangsa Indonesia yang merupakan pandangan hidup yaitu berupa nilai-nilai adat istiadat  serta nilai-nilai kausa materialis Pancasila. Dengan demikian anatara Pancasila dengan bangsa Indonesia tidak dapat dipisahkan sehingga Pancasila adalah Jati Diri bangsa Indonesia. Setelah bangsa Indonesia mendirikan Negara maka oleh pembentuk Negara,  Pancasila disahkan menjadi dasar Negara Republik Indonesia. Sebagai suatu bangsa dan Negara, Indonesia memiliki cita-cita yang dianggap paling sesuai dan benar sehingga segala cita-cita, gagasab-gagasan, ide-ide tertuang dalam Pancasila. Maka dalam pengertian inilah Pancasila berkedudukan sebagai Ideologi Bangsa dan Negara Indonesia dan sekaligus sebagai Asas Persatuan dan Kesatuan bangsa dan Negara Indonesia. Dengan demikian Pancasila sebagai dasar filsafat Negara, secara objektif diangkat dari pandangan hidup yang sekaligus juga sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia yang telah ada dalam sejarah bangsa sendiri.  Pandangan hidup dan filsafat hidup ini sendiri merupakan kristalisasi nilai-nilai yang diyakini kebenarannya oleh bangsa Indonesia yang menimbulkan tekad bagi dirinya untuk mewujudkannya dalam sikap tingkah laku dan perbuatannya. Pandangan hidup dan filsafat hidup itu merupakan motor penggerak bagi tindakan dan perbuatan dalam mencapai tujuannya. Nilai-nilai Pancasila ini telah tercermin dalam khasanah adat istiadat, serta kehidupan keagamaannya.  Ketika pendiri Negara Indonesia menyiapkan berdirinya Negara Indonesia merdeka, mereka sadar sepenuhnya untuk menjawab suatu pertanyaan yang fundamental, “ diatas dasar apakah negara Indonesia didirikan”. Dengan jawaban yang mengandung makna hidup bagi bangsa Indonesia sendiri yang merupakan perwujudan dan pengejawantahan nilai-nilai yang dimiliki, diyakini, dihayati kebenarannya oleh masyarakat sepanjang masa dalam sejarah perkembangan dan pertumbuhan bangsa sejak lahir.

            Nilai-nilai ini sebagai buah hasil pikiran-pikiran dan gagasan-gagasan dasar bangsa Indonesia tentang kehidupan yang dianggap baik. Mereka menciptakan tata nilai yang mendukung tata kehidupan social dan tata kehidupan kerohanian bangsa yang memberikan corak, watak dan cirri masyarakat dan bangsa Indonesia yang membedakannya dengan masyarakat atau bangsa lain.

            Bangsa Indonesia sejak dahulu kala merupakan bangsa religius dalam pengertian bangsa yang percaya terhadap Tuhan penciptanya. Hal ini terbukti dengan adanya berbagai kepercayaan dan agama-agama yang ada di Indonesia antara kira-kira Tahun 2000 SM zaman Neoliticum dan Megaliticum. Antara lain berupa “Menhir” yaitu sejenis tiang atau tugu dari batu, kubur batu, punden berundak-undak yang ditemukan di Pasemah pegunungan antara wilayah Palembang dan Jambi, di daerah Besuki Jawa Timur, Cepu, Cirebon, Bali dan Sulawesi. Menhir adalah tiang batu yang didirikan sebagai ungpan manusia atas dhat yang tertinggi, hyang Tunggal artinya yang Maha Esa yaitu Tuhan. (Kaelan : 2002 : 46 – 48).  Cita-cita kesatuan tercermin dalam berbagai ungkapan dalam bahasa-bahasa daerah di seluruh nusantara sebagai budaya bangsa, seperti pengertian-pengertian atau ungkapan-ungkapan ”tanah air” sebagai ekspresi pengertian persatuan antara tanah dan air, kesatuan wilayah yang terdiri atas pulau-pulau, lautan dan udara : “tanah tumpah darah”yang mengungkapkan persatuan antara manusia dan alam sekitarnya antara bumi dan orang disekitarnya : Bhineka tunggal Ika” yang mengungkapkan cita-cita kemanusiaan dan persatuan sekaligus, yang juga bersumber dari sejarah bangsa Indonesia dengan adanya kerajaan yang dapat digolongkan bersifat nasional yaitu Sriwijaya dan Majapahit.

            Berpangkal tolak dari struktur sosial dan struktur kerohanian asli bangsa Indonesia, serta diilhami ole ide-ide besar dunia, maka pendiri Negara kita yang terhimpun dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan terutama dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), memurnikan dan memadatkan nilai-nilai yang dimiliki, diyakini, dan di hayati kebenarannya oleh bangsa Indonesia menjadi Pancasila yang rumusannya tertuang dalam UUD 1945, sebagai ideologi Negara, pandangan hidup bangsa, Dasar Negara, dan sumber dari segala sumber hukum di Indonesia.

            Sebagai ideologi bangsa, nilai-nilai dan cita-cita bangsa yang terkandung dalam Pancasila tidak dipaksakan dari luar, melainkan digali dan diambil dari kekayaan rohani moral dan budaya masyarakat Indonesia sendiri, dan bukan keyakinan ideologis sekelompok orang, melainkan hasil musyawarah dan konsensus dari masyarakat. Oleh karena itu Pancasila merupakan ideologi terbuka, karena digali dan ditemukan dalam masyarakat itu sendiri dan tidak diciptakan oleh Negara. Dan Pancasila adalah milik seluruh rakyat Indonesia, karena masyarakat Indonesia menemukan kepribadiannya di dalam Pancasila itu sendiri sebagai ideologinya.

            Jadi dalam pelaksanaan ketatanageraan kita Indonesia semua unsur harus melaksanakan dan melandaskan segala pergerakannya diatas Pancasila tanpa terkecuali. Toleransi atas umat beragama adalah amanat dari Pancasila. Kebebasan dalam berbudaya adalah amanat dari Pancasila. Karena kemajemukan dalam Bingaki Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah kristalisasi dari nilai-nilai Pancasila dengan semboyannya Bhineka Tunggal Ika yang artinya berbeda tetapi tetap satu. Dan itu harus di tegakan dalam Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

 

D. Penutup

            Sejarah perjalan Panjang Bangsa Indonesia sehingga menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, bukan sejarah yang mudah. Penuh Pengorbanan darah dan air mata. Kemerdekaan yang sekarang di raih oleh bangsa ini, haruslah berdasarkan landasan yang paling fundamental oleh Negara Ini. Penolakan terhadap pluralisme atau keberagaman bangsa dalam bentuk penindasan dan pelakuan sewenang-wenang terhadap adat dan budaya masyarakat adat serta agama dan kepercayaan warga Negara  adalah perbuatan yang tidak dapat ditolerir oleh siapapun juga. Perlakuan Negara dengan berbagai perangkat hukumnya dengan tidak tegas berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 pun merupakan masalah. Untuk itu ditegakannya kembali Pancasila secara murni dan konsekwen seperti sejarah awal lahirnya Pancasila harus di tegakan. Agar Negara ini tidak seperti uni soviet ataupun sejarah Negara-negara Balkan.

 

* Di presentasikan Pada Seminar Multikulturalisme,  Fakultas Psikologi, Universitas Muria, KUDUS

Tinggalkan Balasan