1. Pendahuluan.
a. Umum.
Perjalanan Bangsa Indonesia dalam menapaki kehidupan berbangsa dan bernegara sejak dikumandangkannya kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 hingga kini telah banyak mengalami berbagai perubahan. Pembenahan diiringi laju pembangunan di berbagai sektor terus dilakukan. Penggalangan hubungan antar negara dan pemerintahan juga terus berlanjut.
Dalam menapaki kehidupan berbangsa dan bernegara, Indonesia telah banyak diakui sebagai negara berkembang yang terus tumbuh. Namun, dalam perjalanannya, bangsa Indonesia telah banyak menghadapi cobaan dan terpaan dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara yang cukup keras. Ancaman dan tantangan tersebut tentu harus dijawab dengan sikap nasionalisme yang baik, agar NKRI bukan hanya tetap utuh dengan integritas nasional yang terjaga, demi keberlanjutan sistem pembangunan nasional yang telah dicanangkan, melainkan nasionalisme itu justru harus semakin ditingkatkan.
Sebagai negara kepulauan, wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri dari pulau-pulau besar dan ribuan pulau kecil serta lautan yang sangat luas. Secara geografis, NKRI membentang di garis khatulistiwa dan terletak diantara dua benua dan dua samudera yang memiliki nilai sangat strategis dalam Hubungan Internasional. Ditambah lagi dengan kekayaan sumber kekayaan alamnya (SKA) yang melimpah. Belum lagi dengan keragaman etnis, budaya, dan bahasa.
Keberagaman sumber kekayaan alam (SKA) secara tidak langsung berkaitan juga dengan munculnya keberagaman bahan untuk kebutuhan pangan. Di Indonesia, selain bahan pokok beras, masih banyak bahan pangan lainnya, seperti jagung, singkong, ubi, kentang dan sagu. Sebagai upaya diversifikasi pangan, jenis bahan pangan selain beras dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan sebagai upaya memenuhi kebutuhan pangan secara berlanjut dan mudah didapat.
Namun sayang, upaya ini masih belum dapat mencapai hasil maksimal, karena beras terlanjur menjadi bahan pokok kebutuhan pangan yang dominan. Sementara itu, lahan persawahan semakin banyak tergerus untuk keperluan tempat tinggal dan pabrik-pabrik. Sebagai negara yang pernah mengalami surplus beras pada era 1980an, Indonesia kini malah menjadi negara pengimpor beras. Bahan pangan secara strategis merupakan salah satu isu dalam segmen Ketahanan Nasional, karena merupakan hal vital yang sangat dibutuhkan. Oleh karena itu, ketersediaan dan keterjangkauannya harus menjadi perhatian serius pemerintah serta seluruh komponen bangsa Indonesia.
Di sisi lain, gerusan globalisasi dan perdagangan bebas yang melanda Indonesia telah membuka peluang masuknya berbagai macam bahan pangan impor, sehingga menjadikan bahan pangan lokal menjadi tersingkir. Kondisinya sangat ironis, karena saat ini bahkan bukan hanya beras yang diimpor, melainkan juga ikan impor—padahal, notabene Indonesia memiliki wilaya laut yang sangat luas, dengan SKA ikan yang berlimpah—telah masuk ke Indonesia. Dari perspektif nasionalisme, hal ini merupakan salah satu kemunduran rasa nasionalisme terhadap keberadaan bahan pangan lokal.
b. Maksud dan tujuan.
Maksud penulisan essay ini adalah untuk menganalisis dan membuktikan bahwa dengan etos nasionalisme yang baik maka akan dapat mewujudkan terciptanya ketahanan pangan nasional. Sedangkan tujuannya adalah untuk memberikan sumbangan pemikiran kepada lembaga atau pihak terkait dalam kaitan etos nasionalisme yang dapat mewujudkan terciptanya ketahanan pangan nasional.
c. Ruang lingkup dan tata urut.
Ruang lingkup dalam penulisan essay ini hanya dibatasi pada pembahasan mengenai Etos Nasionalisme yang dihubungkan dengan upaya Mewujudkan Terciptanya Ketahanan Pangan Nasional, dengan tata urut sebagai berikut:
1. Pendahuluan.
2. Etos nasionalisme dan faktor-faktor yang mempengaruhi.
3. Hubungan etos nasionalisme dengan ketahanan pangan.
4. Kesimpulan.
d. Pengertian-pengertian.
1) Etos berasal dari bahasa Yunani (ethos) yang berarti sikap, kepribadian, watak, karakter, serta keyakinan atas sesuatu. Sikap ini tidak saja dimiliki oleh individu, tetapi juga oleh kelompok, bahkan masyarakat. Etos dibentuk oleh berbagai kebiasaan, pengaruh budaya, serta sistem nilai yang diyakini. Dari kata Etos ini, dikenal pula kata etika, etiket yang hampir mendekati pada pengertian akhlak atau nilai-nilai yang berkaitan dengan baik dan buruk (moral), sehingga dalam etos tersebut terkandung gairah atau semangat yang amat kuat untuk mengerjakan sesuatu secara optimal, lebih baik dan bahkan berupaya untuk mencapai kualitas kinerja yang sesempurna mungkin. Dalam etos tersebut, ada semacam semangat untuk menyempurnakan segala sesuatu dan menghindari segala kerusakan (fasad), sehingga setiap pekerjaannya diarahkan untuk mengurangi, bahkan menghilangkan sama sekali, cacat dari hasil pekerjaanya (no single defect). Dalam literatur lain juga disebutkan, bahwa etos berarti ciri, sifat atau kebiasaan, adat istiadat, atau juga kecenderungan moral, pandangan hidup yang dimiliki oleh seseorang, suatu golongan atau suatu bangsa (Mochtar Buchori, 1994).
2) Nasionalisme berasal dari kata ‘nation’ (Inggris) yang berarti bangsa. Ada beberapa tokoh yang mengemukakan pengertian nasionalisme. Pertama, menurut Ernest Renan: Nasionalisme adalah kehendak untuk bersatu dan bernegara. Kedua, menurut Otto Bauer: Nasionalisme adalah suatu persatuan perangai atau karakter yang timbul karena perasaan senasib. Ketiga, menurut Hans Kohn: Nasionalisme secara fundamental timbul dari adanya National Counciousness. Dengan perkataan lain, nasionalisme adalah formalisasi (bentuk) dan rasionalisasi dari kesadaran nasional berbangsa dan bernegara sendiri. Kesadaran nasional inilah yang membentuk nation dalam arti politik, yaitu negara nasional. Jadi, nasionalisme menurut Hans Kohn adalah suatu paham yang menempatkan kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara dan bangsa. Keempat, menurut L. Stoddard: Nasionalisme adalah suatu kepercayaan yang dimiliki oleh sebagian terbesar individu dimana mereka menyatakan rasa kebangsaan sebagai perasaan memiliki secara bersama di dalam suatu bangsa. Kelima, menurut Hertz: ada empat unsur nasionalisme, yaitu: a) Hasrat untuk mencapai kesatuan; b) Hasrat untuk mencapai kemerdekaan; c) Hasrat untuk mencapai keaslian; d) Hasrat untuk mencapai kehormatan bangsa. Dari definisi itu tampak bahwa negara dan bangsa adalah sekelompok manusia yang: a) memiliki cita-cita bersama yang mengikat warga negara menjadi satu kesatuan; b) memiliki sejarah hidup bersama sehingga tercipta rasa senasib sepenanggungan; c) memiliki adat, budaya, dan kebiasaan yang sama sebagai akibat pengalaman hidup bersama; d) menempati suatu wilayah tertentu yang merupakan kesatuan wilayah; dan e) terorganisir dalam suatu pemerintahan yang berdaulat sehingga mereka terikat dalam suatu masyarakat hukum. Selanjutnya keenam, menurut Louis Sneyder: Nasionalisme adalah hasil dari perpaduan faktor-faktor politik, ekonomi, sosial, dan intelektual.
Makna nasionalisme secara politis merupakan manifestasi kesadaran nasional yang mengandung cita-cita dan pendorong bagi suatu bangsa, baik untuk merebut kemerdekaan atau mengenyahkan penjajahan, maupun sebagai pendorong untuk membangun diri dan lingkungan masyarakat, bangsa dan negaranya. Jadi, nasionalisme dapat diartikan: pertama, dalam arti sempit nasionalisme adalah suatu sikap yang meninggikan bangsanya sendiri, sekaligus tidak menghargai bangsa lain sebagaimana mestinya. Sikap seperti ini jelas mencerai-beraikan bangsa yang satu dengan bangsa yang lain. Keadaan seperti ini sering disebut chauvinisme. Kedua, dalam arti luas, nasionalisme merupakan pandangan tentang rasa cinta yang wajar terhadap bangsa dan negara, dan sekaligus menghormati bangsa lain.
3) Ketahanan Pangan merupakan suatu sistem yang terdiri dari subsistem ketersediaan, distribusi, dan konsumsi. Subsistem ketersediaan pangan berfungsi menjamin pasokan pangan untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, baik dari segi kuantitas, kualitas, keragaman dan keamanannya. Subsistem distribusi berfungsi mewujudkan sistem distribusi yang efektif dan efisien untuk menjamin agar seluruh rumah tangga dapat memperoleh pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup sepanjang waktu dengan harga yang terjangkau. Sedangkan subsistem konsumsi berfungsi mengarahkan agar pola pemanfaatan pangan secara nasional memenuhi kaidah mutu, keragaman, kandungan gizi, keamanan dan kehalalannya.
2. Etos nasionalisme dan faktor-faktor yang mempengaruhi.
Berdasarkan pengertian di atas, etos nasionalisme dapat diartikan sebagai sikap, kepribadian, watak, karakter, serta keyakinan atas kesadaran nasional yang mengandung keinginan dan pendorong bagi suatu bangsa, baik untuk merebut kemerdekaan atau mengenyahkan penjajahan maupun sebagai pendorong untuk membangun dirinya maupun lingkungan masyarakat, bangsa dan negaranya. Dalam kata nasionalisme itu sendiri sebetulnya sudah mencerminkan etos. Karena dalam etos maupun nasionalisme sama-sama terkandung makna, keinginan, hasrat, keyakinan dan tekad. Sehingga bisa dikatakan etos nasionalisme dengan nasionalisme mempunyai pengertian yang tidak jauh berbeda.
Secara umum, bangkitnya nasionalisme Indonesia didorong oleh faktor internal dan eksternal. Faktor-faktor internal yang menyebabkan lahir dan berkembangnya nasionalisme Indonesia adalah sebagai berikut: pertama, kejayaan bangsa Indonesia sebelum kedatangan bangsa Barat. Sebelum kedatangan bangsa Barat, di wilayah Nusantara sudah berdiri kerajaan-kerajaan besar, seperti Sriwijaya, Majapahit, Pajang dan Mataram. Kejayaan masa lampau itu menjadi sumber inspirasi untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan. Kedua, penderitaan rakyat akibat politik drainage (pengerukan kekayaan). Politik drainage itu mencapai puncaknya ketika diterapkan sistem Tanam Paksa yang dilanjutkan dengan sistem ekonomi liberal pada jaman penjajahan Belanda. Ketiga, adanya diskriminasi rasial. Diskriminasi merupakan hal menonjol yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda dalam kehidupan sosial pada awal abad ke-20. Dalam bidang pemerintahan, tidak semua jabatan tersedia bagi kaum pribumi. Keempat, munculnya golongan terpelajar. Pada awal ke-20, pendidikan mendapatkan perhatian yang lebih baik dari pemerintah kolonial. Hal itu sejalan dengan diterapkannya Politik Etis (Etische Politiek). Melalui penguasaan bahasa asing yang diajarkan di sekolah-sekolah modern, mereka dapat mempelajari berbagai ide dan paham-paham baru yang berkembang di Barat, seperti ide tentang HAM, liberalisme, nasionalisme, dan demokrasi.
Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi muncul dan lahirnya nasionalisme Indonesia antara lain sebagai berikut: pertama, kemenangan Jepang terhadap Rusia (1904-1905). Kemenangan Jepang dalam Perang Rusia-Jepang telah berhasil mengguncangkan dunia. Kemenangan Jepang tersebut berhasil menggugah kesadaran bangsa-bangsa Asia dan Afrika untuk melawan penjajahan bangsa-bangsa kulit putih. Kedua, kebangkitan nasionalisme negara-negara Asia-Afrika. Kebangkitan nasional bangsa-bangsa Asia-Afrika memberikan dorongan kuat bagi bangsa Indonesia untuk bangkit melawan penindasan pemerintahan kolonial. Revolusi Tiongkok (1911) dan pembentukan partai Kuomintang oleh Sun Yan Set yang berhasil menjadikan China sebagai negara merdeka pada tahun (1912). Ketiga, masuknya paham-paham baru. Paham-paham baru seperti liberalisme, demokrasi dan nasionalisme muncul setelah terjadinya Revolusi Amerika dan Revolusi Perancis. Hubungan antara Asia dan Eropa menyebabkan paham-paham itu menyebar dari Eropa ke Asia, hingga ke Indonesia.
Indonesia memiliki Pancasila sebagai dasar negara. Pada prinsipnya nasionalisme Pancasila adalah pandangan atau paham kecintaan manusia Indonesia terhadap bangsa dan tanah airnya yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila. Prinsip nasionalisme bangsa Indonesia dilandasi dengan nilai-nilai Pancasila yang diarahkan agar bangsa Indonesia senantiasa: menempatkan persatuan–kesatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau kepentingan golongan; menunjukkan sikap rela berkorban demi kepentingan bangsa dan negara; bangga sebagai bangsa Indonesia dan bertanah air Indonesia dan tidak rendah diri; mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban antara sesama manusia dan sesama bangsa; menumbuhkan sikap saling mencintai sesama manusia; mengembangkan sikap tenggang rasa; tidak semena-mena terhadap orang lain; gemar melakukan kegiatan kemanusiaan; senantiasa menjunjung tinggi nilai kemanusiaan; berani membela kebenaran dan keadilan; merasa bahwa bangsa Indonesia merupakan bagian dari seluruh umat manusia. Dan terakhir, menganggap pentingnya sikap saling menghormati dan bekerja sama dengan bangsa lain.
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat nasionalisme yang tertanam di masyarakat Indonesia. Pertama, faktor ekonomi. Pada tahun 1997, dunia dilanda krisis moneter menjalar dari Mexico, berlanjut hingga ke Asia seperti Jepang, Korea, Thailand, Malaysia dan Indonesia. Negara-negara di Asia seperti Jepang, Korea, Thailand, dan Malaysia cepat keluar dari krisis, karena negara-negara itu dasar perekonomiannya kuat dan mempunyai upaya yang kuat serta etos kerja yang tinggi ingin cepat-cepat keluar dari krisis. Akan tetapi, krisis moneter ini amat membuat Indonesia terpuruk. Kemiskinan, pengangguran, fundamental perekonomian yang lemah, krisis politik, krisis kekuasaan, bahkan krisis kepercayaan hingga yang paling parah adalah krisis nasionalisme. Tingkat kemiskinan yang tinggi dan pengangguran dimana-mana membuat rasa bangga terhadap bangsa Indonesia memudar. Rasa percaya pun ikut hilang, dan timbulnya berbagai macam kecurigaan yang berlebihan ikut memperburuk dan memperumit masalah bangsa ini. Keterkaitan rendahnya rasa nasionalisme dengan ekonomi dapat dilihat dari indikator, bahwa orang miskin tidak mungkin diharapkan akan memikirkan apa yang bisa diberikan kepada bangsa dan negara ini, karena mereka sudah kerepotan mengurus kehidupan sehari-hari. Jadi, kesejahteraan masyarakat yang lebih baik akan dapat menumbuhkan kesadaran akan rasa nasionalisme yang lebih tinggi pula.
Kedua, faktor budaya. Budaya merupakan salah satu faktor utama yang ikut menentukan rasa nasionalisme suatu bangsa. Sejak masa awal kemerdekaan, para tokoh pergerakan nasional sudah menyepakati, bahwa Budaya Nasional Indonesia adalah puncak dari perpaduan berbagai kebudayaan daerah dan ratusan etnik yang tersebar di kepulauan Nusantara. Lalu, pada zaman modern ini, manakala batas-batas fisik suatu bangsa dengan bangsa lain telah semakin memudar, muncul ancaman penetrasi budaya asing, khususnya Barat, yang belum tentu sesuai dengan nilai-nilai budaya nasional kita. Potensi konflik kebudayaan pun meningkat.
Kebudayaan bermacam-macam suku bangsa di Indonesia itu sendiri telah mengandung banyak perbedaan—selain banyak pula persamaannya—sehingga berpotensi menimbulkan konflik internal. Rangkaian konflik antar etnik telah mewarnai sejarah kehidupan bangsa Indonesia modern, sehingga menodai rasa nasionalisme sebagai bangsa Indonesia. Jadi jelas, bahwa faktor ekonomi dan budaya ikut menentukan derajat rasa nasionalisme bangsa Indonesia saat ini. Jika nasionalisme kita rendah, akan merupakan liabilitity bagi bangsa Indonesia. Sebaliknya, nasionalisme yang tinggi akan merupakan aset nasional yang sangat berharga.
Nasionalisme suatu bangsa akan berhadapan (vis-á-vis) dengan nasionalisme bangsa lain. Sebagai contoh, klaim atas batik, reog Ponorogo, dan lag-lagu oleh Malaysia, dan bahkan konflik perbatasan Indonesia dan Malaysia, telah menimbulkan rasa persatuan dan nasionalisme. Bangsa Indonesia pasti tidak mau kebudayaan aslinya hilang begitu saja menjadi milik bangsa lain. Rasa tersebut timbul dari perasaan senasib untuk memiliki bangsa Indonesia ini. Akan tetapi, jika rasa itu tidak diimbangi dengan penghormatan terhadap bangsa dan negara lain maka akan menimbulkan chauvinisme, yaitu pandangan yang mengagungkan bangsa dan negara sendiri tanpa menghormati bangsa dan negara lainnya.
Nasionalisme dapat ditingkatkan melalui pembenahan di berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti pembenahan sistem perekonomian dan kepolitikan serta penegakan hukum yang baik. Tanpa pembenahan seluruh sektor kehidupan bangsa Indonesia, rasa nasionalisme dapat saja terkikis.
3. Hubungan etos nasionalisme dengan ketahanan pangan.
Situasi ketahanan pangan di Indonesia masih lemah. Hal ini ditunjukkan antara lain oleh: (a) jumlah penduduk rawan pangan (tingkat konsumsi < 90% dari rekomendasi 2.000 kkal/kap/hari) dan sangat rawan pangan (tingkat konsumsi <70 % dari rekomendasi) masih cukup besar, yaitu masing-masing 36,85 juta dan 15,48 juta jiwa untuk tahun 2002; (b) anak-anak balita kurang gizi masih cukup besar, yaitu 5,02 juta dan 5,12 juta jiwa untuk tahun 2002 dan 2003 (Ali Khomsan, 2003).
Menurut Bustanul Arifin (2005) ketahanan pangan merupakan tantangan yang mendapatkan prioritas untuk mencapai kesejahteraan bangsa pada abad milenium ini. Apabila melihat Penjelasan PP 68/2002 tersebut, upaya mewujudkan ketahanan pangan nasional harus bertumpu pada sumberdaya pangan lokal yang mengandung keragaman antar daerah. Sejak tahun 1798 Thomas Malthus sudah memberi peringatan bahwa jumlah manusia akan meningkat secara eksponensial (menuruti deret ukur), sedangkan usaha pertambahan persediaan pangan hanya dapat meningkat secara aritmatika (menuruti deret hitung). Dalam perjalanan sejarah dapat dicatat berbagai peristiwa kelaparan lokal yang kadang-kadang meluas menjadi kelaparan nasional yang sangat parah di berbagai negara. Permasalahan di atas adalah ciri sebuah negara yang belum mandiri dalam hal ketahanan pangan (Nasoetion, 2008).
Konstitusi dan pemikiran para pendiri bangsa jelas menegaskan bahwa sosok nasionalisme Indonesia bersendikan humanisme, bukan nasionalisme sempit. Nasionalisme Indonesia berlandaskan prinsip berdikari yang bukan berwujud autarki seperti Myanmar, atau xenophobia seperti Venezuela. Berdikari tidak berarti seluruh kebutuhan produksi sendiri dengan mengesampingkan spesialisasi dan pembagian kerja internasional sebagai prinsip universal. Melainkan, semangat mendayagunakan segala potensi nasional bagi sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, memajukan kesejahteraan umum, bukan untuk kepentingan orang seorang.[1]
Sumber kekayaan alam (SKA) harus dikelola secara optimal untuk menghasilkan nilai tambah yang tinggi dengan menciptakan sinergi satu sama lain. Kondisi pada saat ini, masing-masing sektor berjalan sendiri-sendiri, bahkan “saling bunuh.” Banyak kegiatan ekonomi terganggu karena kekurangan gas, industri mebel kekurangan kayu dan rotan, industri cokelat dan pengolahan ikan banyak yang telah tutup karena kekurangan bahan baku. Setelah 67 tahun merdeka, nasionalisme Indonesia bukan bertambah kuat, tetapi justru terus terkikis. Di bidang pangan Indonesia malah kian terseok-seok. Hampir seluruh kebutuhan pangan pokok masih diimpor. Pencanangan revitalisasi pertanian secara ironis justru diwarnai oleh penutupan pabrik pupuk karena tidak mendapat pasokan gas.[2]
Maraknya pangan impor dan berbagai pangan merk asing yang masuk telah menggusur banyak makanan asli Indonesia. Ditambah lagi adanya perilaku para pedagang dan pembuat penganan nakal yang memasukkan bahan-bahan kimia berbahaya sehingga justru menambah buruk citra dan membahayakan konsumen. Hal ini dapat dihindari, jika akar etos nasionalisme dapat ditumbuh-kembangkan dalam jiwa setiap insan Indonesia. Modal keberagaman pangan yang tersedia seharusnya dapat diolah dan dikembangkan melalui citra nasionalisme yang baik, kokoh dan dinamis, sehingga muncul ketangguhan dan keuletan untuk bersaing dengan produk-produk bangsa lain yang masuk ke Indonesia.
Apa yang terjadi di Indonesia cukup mengkawatirkan. Sebagai contoh, peningkatan pendapatan masyarakat di Indonesia ternyata lebih banyak mendorong ke belanja pangan berbahan baku terigu dengan elastisitas pengeluaran pangan berkisar antara 0.44-0.84%. Artinya, untuk setiap peningkatan pendapatan 1%, minimal 0.44% dibelanjakan untuk pangan yang dibuat dari terigu (Fabiosa, 2006). Hal ini menandakan, bahwa para pengusaha di pasar global telah berhasil mengubah budaya pangan orang Indonesia dengan berbagai cara, sehingga makanan tradisional sudah terancam oleh jenis makanan yang bahan bakunya diimpor dan dengan jenis pangan olahan yang berbeda pula dengan kebiasaan sebelumnya. Kita tidak menyadari atau bahkan tidak memikirkan cukup serius, bahwa kalau fenomena ini terus berkembang di kalangan masyarakat Indonesia, maka pada akhirnya nanti negeri kita hanya akan menjadi tujuan pemasaran dari sisa-sisa makanan dari luar negeri, mengingat pangan sifatnya adalah residual market.
Memang benar, bahwa Indonesia tidak bisa menghindari kecenderungan globalisasi dan perdagangan bebas yang telah mendunia, sehingga bila tanpa dibarengi dengan etos nasionalisme yang kuat dan kokoh, maka Indonesia tidak akan mampu melampauinya dengan baik. Padahal, dengan etos nasionalisme yang membumi di dalam setiap insan masyarakat, akan dapat menjadi tameng bagi apapun bahan dan produk luar yang masuk ke Indonesia, karena di dalam jiwa setiap insan tadi telah ada rasa nasionalisme yang kuat guna menjaga keutuhan dan keberlangsungan keberagaman sumberdaya pangan nasional yang ada. Dengan berbagai iklan dan pemberian diskon yang super murah pun, berbagai produk pangan luar tidak akan mampu mengoyang rasa asli Indonesia.
4. Kesimpulan.
Nasionalisme seringkali hanya diartikan sebagai paham politik. Memang benar bila nasionalisme adalah paham politik negara, sebagaimana tercantum dalam Pancasila, Tetapi implikasi dari paham ini sangat luas. Negara-negara lain yang berhasil dalam pembangunannya dapat dipastikan memiliki rasa nasionalisme yang kuat. Hal ini bukan hanya berlaku di Timur seperti China, Jepang dan Korea Selatan, tetapi juga terjadi di Barat. Pertanian mereka kuat karena rasa nasionalismenya yang kuat. Karena itu ketahanan pangan mereka juga kuat sekali. Begitu pula sebaliknya, karena ketahanan pangan mereka kuat, maka nasionalisme mereka pun kuat pula.
Persoalan pangan perlu ditempatkan sebagai persoalan negara dimana negara harus bisa dan kuat memberikan jaminan bagi seluruh rakyat agar dapat memperoleh kebutuhan pangannya. Ketahanan pangan merupakan dimensi primer dari ketahanan nasional. Karena itu ketahanan pangan menjadi mutlak dalam mewujudkan kedaulatan negara secara utuh dan penuh. Dalam mewujudkan ketahanan pangan menurut pemahaman ini, maka nasionalisme menjadi fondasi dalam penyelenggaraan negara yang implementasinya menempatkan ketahanan pangan sebagai prioritas, yaitu hal-hal lain yang mengancam harus dibasmi dan hal-hal lain yang berada di bawahnya harus ditunda pelaksanaannya apabila hal tersebut bertentangan dengan tujuan ketahanan pangan.
Upaya untuk mewujudkan swasembada pangan atau kemandirian pangan sudah lama dilaksanakan. Namun demikian, kekhawatiran bahwa ketahanan pangan akan mengganggu kedaulatan negara masih berkembang. Karena itu perlu dilakukan reinterpretasi dan penyempurnaan dari pola-pola yang dibangun selama ini, mulai dari paradigma, teori dan konsepsi, hingga program-program kegiatan pada tataran implementasi.
Tidak ada cara lain untuk membangun ketahanan pangan Indonesia, kecuali dengan melakukan revolusi kesadaran dan diikuti oleh gerakan nasional untuk menjadi ”pohon jati,” yang mampu hidup baik dan kuat dengan kualitas kayu istimewa, walaupun berada di tanah yang gersang dan keras. Inilah perubahan budaya ketahanan pangan yang harus diciptakan dengan landasan kokohnya nasionalisme. Nasionalisme baru Indonesia harus mampu memperkokoh ketahanan pangan Jika tidak, niscaya gelombang globalisasi akan menghempaskan Indonesia. Jika sudah demikian, jangan serta merta menumpahkan segala kesalahan pada globalisasi. Karena masih sangat besar ruang gerak untuk menyiasati keadaan, menepis sisi-sisi buruk dari globalisasi seraya pada waktu bersamaan memetik sisi-sisi positifnya.
Akhir dari perjalanan nasionalisme Indonesia ialah tatkala telah berhasil mewujudkan kebahagiaan (happiness) bagi seluruh rakyat. Modal fisik (kekayaan alam dan modal fisik lainnya) semata sudah barang tentu tak akan membawa pada kebahagiaan hakiki. Modal manusia harus pula dipacu. Kuncinya ialah menghasilkan manusia yang berpendidikan, sehat, dan inovatif.
Daftar Pustaka
Arifin, Bustanul. Pembangunan Pertanian: Paradigma Kebijakan dan Strategi Revitalisasi. Jakarta: PT Grasindo, 2005.
Budiman Hutabarat. Kebangkitan Pertanian Nasional: Meretas Jebakan Globalisasi dan Liberalisasi Perdagangan. Vol. 3 No. 1 Th. 2010. p 18-37. Majalah Pengembangan Inovasi Pertanian. Bogor : Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2010
Dewa Ketut Sadra Swastika. Membangun Kemandirian Dan Kedaulatan Pangan Untuk Mengentaskan Petani dari Kemiskinan. Vol. 04 No. 2 Th. 2011 p. 103-117. Majalah Pengembangan Inovasi Pertanian. Bogor : Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2011.
Dewan Ketahanan Pangan. Kebijakan Umum Ketahanan Pangan (KUKP) 2010-2014, Draft ke-3, Oktober 2009. Jakarta: Dewan Ketahanan Pangan, 2009.
Dwidjono H. Darwanto. 2005. Ketahanan Pangan Berbasis Produksi dan Kesejahteraan Petani. Ilmu Pertanian Vol. 12 No.2, 2005 : 152-164, Fakultas Pertanian UGM dan MMA-UGM. Yogyakarta .
Faisal Basri, Nasionalisme Kita, http://umum.kompasiana.com/2009/06/13/nasionalisme-kita/, 13 Juni 2009.
Handewi P.S Rachman et al. 2004. Prospek Ketahanan pangan Nasional (Analisis dari Aspek Kemandirian Pangan). Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.
I Wayan Rusastra. Reorientasi Paradigma dan Strategi Pengentasan Kemiskinan dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi Global. Vol. 04 No. 2 Th. 2011 p. 87-102. Majalah Pengembangan Inovasi Pertanian. Bogor : Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2011.
Jacinto F. Fabiosa, J.F. 2006. Westernization of the Asian Diet: The Case of Rising Wheat Consumption in Indonesia. Working Paper 06-WP 422. Center for Agricultural and Rural Development, Iowa State University Ames, Iowa 50011-1070.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2011-2015. Jakarta : Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas, 2011.
Kementerian Pertanian. Rencana strategis Kementerian Pertanian Tahun 2010-2014. Jakarta: Kementerian Pertanian, 2010.
Khomsan, Ali. Pangan dan Gizi untuk Kesehatan. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2003.
Napitupulu, Tom Edward Marasi. Pembangunan Pertanian dan Pengembangan Agroindustri. Wibowo, R. (Editor). Pertanian dan Pangan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. 2000.
Republik Indonesia. Buku I : Prioritas Nasional. Lampiran Peraturan Presiden RI No. 5 tahun 2010 tentang RJMN 2010-2014. Jakarta : Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, 2010.
Sibuea, Posman. 2008. Wajah Buram Ketahanan Pangan, Kompas, Opini, Senin, 14 Januari 2008, h.6
Sumaryanto. 2009. Diversifikasi Sebagai Salah Satu Pilar Ketahanan Pangan. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.
Wibowo, R. Penyediaan Pangan dan Permasalahannya. Wibowo, R. (Editor). Pertanian dan Pangan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 2000.
[1] Faisal Basri, Nasionalisme Kita, http://umum.kompasiana.com/2009/06/13/nasionalisme-kita/, 13 Juni 2009.
[2] Ibid.