THE PRINCIPLES OF LIABILITY ON TELEMEDICINE PRACTICES

Hukum Internasional

THE PRINCIPLES OF LIABILITY ON  TELEMEDICINE PRACTICES

Arman Anwar

Abstract

The main objective of this research is to find a proper legal principles of liability on the law of telemedicine. To reach this objective, the statute, conceptual, comparative and case approach are used as tools of the research. Some legal materials, such as Burgerlijk Wetboek (BW), Government Gazette No. 23 of 1847, Law No. 36 Year 2009 on Health, and Law No. 29 of 2004 regarding Medical Practice in conjunction with Regulation of the Minister of Health of the Republic of Indonesia Number 2052/Menkes/PER/X/2011 on the Licence of Medical Practice, and Law No. 44 Year 2009 on Hospitals are used as the factoring point of the research, and also the law of telemedicine implemented by some other countries are used as the legal comparison to review such principles of the present laws and to propose the future telemedicine law.

As the fact that the law of telemedicine still does not exist in Indonesia, it might be some problems for Judges to decide cases related to liability of risk on the practice of telemedicine.Pursuant to Article 24 paragraph (1) of the 1945 Constitution and Article 5 (1) of Law Number 48 of 2009 on Judicial Authority, to decide  a case that appearing to him, the judge should explore and understand the legal values, as well as the social justice. Thus, the application of paragraph 3 of Article 1367 BW and Article 46 of Law Number 44 of 2009 on Hospital, shouldbe in the context of proportional justice, where the needs of the patiens for the safety medical services meets with the professional liability of the telemedicine practitioners.

The theory of this dissertation is structured by the relationship among code of ethics, professional standards, service standards and standard operating procedures that regulates the telemedicine practitiones which his or her actions are legitimated by the delegation of power of the primary care physician (PCP).By this structure, the liability of risk arises from the telemedicine practice of the subordinate does not necessarily to be based on fault by the primary PCP or primary nurse as it is stated by doctrine of vicarious liability.Concept of “proportional liability” on this disertation means the balance distribution of rights and obligations of the professionals linked to a telemedicine practices, where the proportion liability to each party’s is based on equitability, appropriate, reasonable and fair valuation. In line with the previous concept, the liability should based on viewpoint of interactive justice, that means based on the values of professional expertise, austerity, responsibility, and collegiality. This concept dedicated for the desire to do good for the sake of healing a patient (doing good).

Keywords: Liability, Medical Practice, Telemedicine

  1. PENDAHULUAN
    1. Latar Belakang Masalah

Teknologi berperan penting dalam kehidupan umat manusia, hampir seluruh bangsa pada sudut manapun di dunia, memanfaatkan teknologi dalam kehidupannya. Antara satu bangsa dengan bangsa yang lainnya pun bisa terkoneksi dalam satu pola kehidupan juga adalah berkat bantuan teknologi. Akselerasi tersebut dalam berbagai aspek telah mengubah yang tadinya kehidupan berjarak menjadi kehidupan yang bersatu. Implikasi dari kehidupan yang bersatu inilah disebut globalisasi.[2] Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dalam segala sektor makin lama makin luas dan globalisasi telah turut membawa pengaruh tersebut semakin kompleks disegala bidang, tidak terkecuali juga dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan seperti telemedicine. Kemajuan teknologi kesehatan telemedicine tidak terlepas dari adanya efek domino dari pesatnya perkembangan teknologi informasi. Schumpeter menegaskan bahwa pengaruh industri teknologi informasi telah sampai pada sektor kesehatan dan lain-lain. Hal ini karena industri teknologi informasi memiliki karakter dan pasar yang berbeda dengan ekonomi kontemporer. Ia telah memprediksi bahwa inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi informasi akan membangun suatu ekonomi baru (new economy) yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi. [4]

World Health Association (WHO) mendefiniskan telemedicine sebagai:

“The delivery of health care services, where distance is a critical factor, by all health care professionals using information and communication technologies for the exchange of valid information  for diagnosis, treatment and prevention of disease and injuries, research and evaluation, and for  the continuing education of health care providers, all in the interests of advancing the health of  individuals and their communities” [6]

Dalam pandangan David Storey D, bahwa khusus di Amerika Serikat, sedikitnya ada lima permasalahan hukum yang memerlukan pengaturan sebelum meluncurkan program telemedicine. Kelima masalah hukum tersebut adalah licensure dari negara dan credentialing dari dokter, tanggung gugat dalam malpraktik dokter, Peraturan FDA (US Food and Administration) dari Negara Bagian, keamanan data informasi kesehatan pasien, serta masalah asuransi. Rumusan Masalah

          Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan tersebut diatas maka masalah yang akan dikaji dan sekaligus menjadi  legal issues Prinsip tanggung gugat risiko praktisi kedokteran telemedicine  (Rumah Sakit, dokter spesialis, sub spesialis dan dokter PCP (primary care physician) serta tenaga kesehatan lainnya) secara proporsional dalam praktik kedokteran telemedicine

  1. Metode Penelitian

Tipe dan spesifikasi penelitian mengacu pada pendapat Peter Mahmud Marzuki bahwa penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Hal ini sesuai dengan karakter preskriptif ilmu hukum.[10]

  1. KARAKTERISTIK TELEMEDICINE DALAM PRAKTIK KEDOKTERAN
    1. Karakteristik “Internasional” Praktik Kedokteran Telemedicine

Model perdagangan jasa yang disebut dengan cross border mode of supply yaitu cara pemberian jasa melewati batas wilayah dimana pemberi jasa dan penerima jasa berada di negara masing-masing, tetapi jasa tersebut melampaui/melewati batas wilayah negara.Menyusun rencana strategis jangka panjang untuk mengembangkan layanan e-health di berbagai bidang kesehatan baik untuk administrasi kesehatan, kerangka hukum dan regulasi, infrastruktur serta mekanisme kemitraan publik dan swasta.

  1. Mengembangkan infrastruktur TIK untuk e-health
  2. Membangun kolaborasi dengan sektor swasta dan lembaga profit untuk mendukung  e-health
  3. Mengembangkan e-healh yang dapat menjangkau masyarakat, khususnya yang rawan terhadap permasalahan kesehatan (vulnerable) dan sesuai dengan kebutuhan mereka,
  4. Memobilisasi kerjasama lintas sektor dalam mengadopsi norma dan standar e-health, evaluasi,prinsip-prinsip cost-effectiveness dalam e-health untuk menjamin mutu, etika dan keamanan dengan tetap mengedepankan kerahasiaan, privasi, equity dan equality.
  5. Mengembangkan center of excellence dan jejaring e-health,
  6. Mengembangkan model sistem informasi kesehatan masyarakat untuk surveilans, respon dan emergency.

Rumusan pada resolusi WHO sebagaimana tersebut diatas maka dapat dilihat bahwa makna tanggung jawab negara yang harus dilaksanakan oleh masing-masing pemerintahan sangat besar dalam upaya pembangunan kesehatan bangsanya. Pemerintah bertanggung jawab untuk merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, membina, dan mengawasi penyelenggaraan layanan e-health dengan menyiapkan semua yang diperlukan baik administrasi kesehatan, kerangka hukum dan regulasi, infrastruktur serta mekanisme Resuolusi WHO dimaksud mengharuskan pemerintah agar dalam mengembangkan e-Healh memberikan nilai kemanfaatan bagi masyarkat marginal, khususnya yang rawan terhadap permasalahan kesehatan (vulnerable) dan sesuai dengan kebutuhan mereka,

Terkait dengan liberalisasi bidang  jasa kesehatan di ASEAN, diatur dalam perjanjian ASEAN Framework Agreement on services (AFAS). Salah satu dari tiga hal yang diperjanjikan adalah memfasilitasi arus bebas jasa melalui pengaturan saling pengakuan kompetensi (mutual recognition arrengements/MRA). Sementara sampai saat ini kemungkinan dokter asing dapat berpraktik lintas negara ASEAN masih dalam pembahasan dan diperkirakan ASEAN belum akan mencapai persetujuan terkait hal itu dalam waktu dekat.[13]  Elias Mossialos, Sarah Thomson dan Annemarie Ter Linden mengatakan bahwa untuk memfasilitasi layanan sertifikasi lintas batas negara harus dilakukan melalui saling pengakuan jasa sertifikasi dari negara masing-masing asalkan melalui persyaratan Directive dan telah terakreditasi, oleh lembaga yang diakui oleh Uni Eropa, atau diakui berdasarkan perjanjian bilateral antara Uni Eropa dan negara-negara ketiga atau organisasi internasional.Praktik Kedokteran Telemedicine di Indonesia

Adanya kecendrungan sebagian pasien di Indonesia untuk memanfaatkan kecanggihan teknologi telemedicine lintas negara, menyebabkan beberapa rumah sakt besar seperti Rumah Sakit Gading Pluit, RS Sahid, dan RS JEC, serta di RSCM, telah menerapkan telemedicine yang dimplementasikan dalam bentuk seminar dan operasi (surgery online).[16] dan Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soetomo.melakukan dalam bentuk teleradiologi, [18]

Komitmen Indonesia dalam meningkatkan akses terhadap pengetahuan kesehatan dunia  dan layanan telemedicine, dapat dikatakan terlambat dalam penyiapan aturan regulasi tentang telemedicine. Berbeda dengan Malaysia, India atau Amerika Serikat. Indonesia baru sebatas mengatur telematika secara umum melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Sementara khusus regulasi tentang telemedicine baru sebatas Keputusan Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dengan Nomor: HK.02.03/V/ 0209/2013 Tanggal 31 Januari 2013 Tentang Pelaksanaan Pilot Project Telemedicine dan Penunjukan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Telemedicine Bidang Teleradiologi dan Telekardiologi.

  1. HAKIKAT HUBUNGAN HUKUM DALAM PRAKTIK KEDOKTERAN TELEMEDICINE
    1. Pengaturan Praktik Kedokteran Telemedicine dalam Hukum Kedokteran

Berdasarkan surat keputusan Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Nomor: HK.02.03/V/0209/2013 Tanggal 31 Januari 2013 Tentang Pelaksanaan Pilot Project Telemedicine dan Penunjukan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Telemedicine Bidang Teleradiologi dan Telekardiologi.  maka ditetapkan 2 (dua) fasilitas pelayanan kesehatan pengampu yaitu untuk bidang telemedicine, fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes), pengampunya adalah RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta dan untuk bidang telekardiologi, fasyankes pengampunya adalah RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta. Sedangkan fasyankes diampu terdiri atas 18 (delapan belas) faskankes yang berupa RS Lapangan, Klinik Utama Kementerian Kesehatan, Ambulans, dan Puskesmas, serta RSUD yang tersebar pada beberapa daerah tertinggal, perbatasan dan kepulauan (DTPK).  

Mempelajari surat keputusan diatas maka bentuk praktik kedokteran telemedicine yang dijadikan pilot proyek adalah dalam bentuk store and forward (asynchronous telemedicine). Rumah sakit yang bertindak sebagai lokasi khusus yaitu dimana dokter spesialis non klinis berada adalah rumah sakit yang ditunjuk sebagai pengampu. Sedangkan rumah sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan yang diampu adalah rumah sakit atau fasiltas pelayanan yang bertindak sebagai situs presentasi yaitu tempat dimana dokter klinis dan pasien berada. Dipergunakannya istilah pengampu dan diampu dapat diartikan bahwa dalam kerjasama ini terkandung maksud memberikan perlindungan, keamanan, dan pembinaan dari pengampu kepada diampu. Oleh karena itu, tersirat adanya makna tanggung jawab dari pengampu kepada diampu.

Surat keputusan ini sifatnya hanyalah sebagai surat penunjukan dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia kepada rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesahatan yang dianggap telah memiliki sistem dan perangkat teknologi telemedicine dan ketersediaan jaringan internet yang baik. Kerja sama yang diatur dalam surat keputusan ini hanya mencakup pemberian pelayanan ekspertise dan konsultasi dibidang radiologi dan kegawatdaruratan kardiovaskuler (terutama sindrom koroner akut). Untuk itu diatur mekanisme dan teknis pengiriman transmisi elektronik gambar radiografi dan semua modalitas radiologi serta rekaman EKG yang disebut dengan teleradiologi dan telekardiologi. Atas jasa pelayanan diagnostik, konsultasi medis foto polos konvensional, Ct Scan dan MRI serta EKG maka ditetapkan besaran jasa dalam surat keputusan tersebut.

Mengingat surat keputusan ini hanya bersifat penunjukan kepada fasilitas pelayanan kesehatan maka tentunya lebih ditekankan pada pengaturan aspek teknis pelayanannya daripada pengaturan tentang aspek hubungan hukumnya. Oleh karena itu, maka sesuai dengan diktum ketujuh surat keputusan tersebut menyebutkan bahwa pengaturan hubungan hukum para pihak dalam pelaksanaan Pilot Project Telemedicine tersebut akan dituangkan lebih lanjut dalam perjanjian kerja sama tersendiri antara fasyankes pengampu dan diampu dengan diketahui oleh Direkur Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Namun hingga kini perjanjian kerja sama dimaksud masih dalam proses perancangan (draffting).

  1. Hubungan Hukum Para Pihak dalam Praktik Kedokteran Telemedicine
  2. Praktik Kedokteran Telemedicine Berbentuk Real Time (Synchronous  Telemedicine)

Hubungan hukum dalam praktik kedokteran telemedicine dapat dibedakan berdasarkan pada pemilihan waktu, saat dimana informasi ditransmisikan atau interaksi antara individu yang terlibat dalam praktik kedokteran telemedicine itu terjadi. Sehingga praktik kedokteran telemedicine dapat dibedakan atas dua jenis yaitu real time (synchronous telemedicine) dan store-and-forward (asynchronous telemedicine).[20] Selama konsultasi, orang yang ditunjuk di lokasi presentasi mengidentifikasi situs sebagai situs presentasi, kemudian mengidentifikasi pasien dan memberikan spesialis informasi tentang nama dan nomor telepon dokter yang merujuk pasien. Begitupun, situs presentasi akan memberikan informasi kepada primary care physician/pcp yang merujuk pasien nama dan nomor spesialis, dan nomor fax untuk menjawab pertanyaan spesifik primary care physician/pcp, yang mungkin ingin ditanyakan. Langkah selanjutnya adalah orang yang ditunjuk di lokasi presentasi akan menyajikan pasien dan data medisnya. Pasien akan dihubungkan secara on line menggunakan fasilitas video konsultasi (simultan) secara live dengan dibimbing oleh perawat primer, atau dokter PCP (primary care physician) untuk berkonsultasi dengan spesialis pada saat yang sama sehingga kondisi medis pasien dapat dibahas secara bersama dengan spesialis dalam praktik kedokteran telemedicine dimaksud.  Spesialis menggunakan video konferensi untuk mengevaluasi dan mengimplementasi rencana pengobatan sebagai rekomendasi dari spesialis telemedicine. Setelah konsultasi telemedicine selesai, spesialis telemedicine ini mengirim rekomendasi ke dokter yang merujuk melalui situs presentasi atau oleh spesialis secara langsung. Dokter yang merujuk,  bertanggung jawab untuk perawatan pasien dan berperan melaksanakan rencana pengobatan yang dianjurkan untuk pasien, termasuk pemesanan setiap tes dan resep. Dokter merujuk dapat menghubungi spesialis secara langsung untuk diskusi lebih lanjut atau klarifikasi rekomendasi.

  1. Praktik Kedokteran Telemedicine Berbentuk Store and Forward (Asynchronous telemedicine)

Hal yang membedakan bentuk ini dengan real time (synchronous telemedicine) adalah penggunaan perangkat lunak oleh dokter klinis pada situs presentasi untuk menyimpan dan mengenkripsi gambar dan data medis pasien. Data ini kemudian diamankan dan ditransmisikan secara elektronik ke dokter spesialis nonklinis pada lokasi khusus untuk dikonsultasikan, direview dan dievaluasi secara offline. Oleh karena itu, Jenis telemedicine ini bersifat non-interactive karena tidak memerlukan kehadiran kedua belah pihak (pasien, presenter dan spesialis) dalam waktu yang sama. Dermatolog, radiolog, dan patalog adalah spesialis yang biasanya menggunakan asynchronous telemedicine ini.

Adapun tahapan pelaksanaan dalam praktik kedokteran telemedicine jenis ini adalah mengumpulkan data medis yang diperlukan  (misalnya, data informasi klinis dan catatan medis pasien) dengan mengisi formulir demograf dan menyertakan, informasi situs pengarah, nama dokter PCP, dan  informasi pasien termasuk riwayat penyakitnaya serta pertanyaan spesifik lainnya yang ingin ditanyakan kepada spesialis. selanjutnya meneruskan ke penyedia perawatan khusus dengan menggunakan e-mail terenkripsi oleh situs presentasi ke spesialis yang diinginkan. Sebelum data medis pasien dikirim/ditransmisikan ke dokter spesialis (dokter non klinis) guna dilakukan interpretasi citra  medis, maka hal penting yang perlu diperhatikan disini adalah bahwa selama dalam tahap proses ini,  tidak boleh terjadi kesalahan transmisi karena dapat menyebabkan hilangnya  informasi citra medis pasien dan/atau citra medis tersebut menjadi kurang jelas untuk diinterpretasi. Untuk itu akan pastikan lebih dahulu bahwa sistem telemedicine dan instrumen medis bekerja dengan tepat. Setelah citra medis diinterpretasi oleh spesilias selanjutnya hasil interpretasi citra medis tersebut akan dikirim/ditranfer kembali oleh spesialis dilampiri dengan penjelasannya kepada dokter PCP. Jadi waktu untuk pengiriman gambar citra medis dan informasi medis lainnya dengan waktu pembacaannya atau interpretasi oleh spesialis tidak dalam waktut yang bersamaan. 

  1. TANGGUNG GUGAT RISIKO SECARA PROPORSIONAL DALAM PRAKTIK KEDOKTERAN TELEMEDICINE
  2. Tanggung Gugat Risiko dalam Aspek Hukum Kedokteran

Pada hakikatnya prinsip tanggung gugat didasarkan atas penghormatan terhadap hak pasien yaitu hak mendapatkan advokasi, dan perlindungan atas upaya penyelesaian sengkata medis sehingga bisa mendapatkan kompensasi atau ganti rugi akibat malpraktik dokter. Pengaturan dalam hukum kesehatan tentang hak pasien untuk menutut pertanggunggugatan dokter  diatur dalam  undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit. Serta Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan

Pasal 58 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan  menyatakan bahwa setiap  orang  berhak  menuntut  ganti  rugi  terhadap seseorang  tenaga  kesehatan, dan/atau penyelenggara  kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan  atau  kelalaian  dalam  pelayanan  kesehatan  yang  diterimanya.   Dalam hal kerugian dilakukan oleh Rumah Sakit atau kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan maka terdapat pertanggunggugatan corporate berdasarkan pada Pasal 32, dan 46 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit. Pasal 32 point q. Menyebutkan bahwa, Setiap pasien mempunyai hak menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara Perdata ataupun pidana. Sedangkan Pasal 46 menetukan bahwa Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit. Oleh karena itu, terhadap dokter yang melakukan kesalahan secara personal ataupun Rumah Sakit yang melakukan malpraktik dibebani pertanggunggugatan resiko untuk membayar ganti rugi kepada pasien yang dirugikannya. Dalam hal pelimpahan tindakan medis dari tenaga medis kepada tenaga kesehatan maka sesuai pasal 65 ayat (3) poin c Undang-Undang nomor 36 tahun 2014 tentang tenaga kesehatan disebutkan bahwa pemberi pelimpahan tetap bertanggung jawab atas tindakan yang dilimpahkan sepanjang pelaksanaan tindakan sesuai dengan pelimpahan yang diberikannya.

J.H. Niuwenhuis, membagi tanggung gugat atas 3 (tiga) golongan yaitu: [22]

  1. Adanya hubungan bawahan dan atasan. Yang menentukan disini adalah kewenangan memberikan perintah (instruksi) kepada yang lain. Kewenangan ini dapat timbul dari perjanjian kerja, tetapi juga dapat dari hukum publik (hubungan penguasa dan pegawai negeri).
  2. Tanggung gugat tersebut bergantung pada keadaan bahwa perbuatan melanggar hukum itu dilakukan dalam pelaksanaan tugas oleh bawahan. Pembatasan yang ditentukan pengadilan adalah mensyaratkan harus ada hubungan antara perbuatan melanggar hukum dan tugas seorang bawahan. Majikan juga tetap bertanggung gugat atas perbuatan melanggar hukum oleh bawahannya ketika melaksanakan tugasnya meskipun kenyataan bahwa majikan dengan tegas telah melarang perbuatan yang bersangkutan atau meskipun perbuatan itu diluar jam dinas.
  3. Untuk tanggung gugat Pasal 1367 ayat (3) disyaratkan adanya perbuatan melanggar hukum dan kesalahan pihak bawahan.
  4. Tanggung gugat tidak bergantung pada suatu pelanggaran norma atau kesalahan oleh majikan. Pihak yang dirugikan cukup berpegangan pada bukti perbuatan melanggar hukum oleh bawahan, adanya hubungan atasan-bawahan, dan fakta bahwa tugas bawahan menciptakan kesempatan untuk melakukan perbuatan melanggar hukum.

Kasus bayi tertukar dapat dijadikan salah satu contoh dari tanggung gugat risiko dalam bidang kedokteran khusus terkait dengan Pasal 1367 ayat (3) BW.Kontroversi Doktrin Vicarious Liability dalam Pertanggunggugatan Risiko  Dokter  dan Rumah Sakit

Melalui fiksi hukum tindakan hamba adalah tindakan tuan (master), maka dokterin vicarious liability, let the master answer  atau dengan nama lain respondead superior menjadi lazim digunakan oleh para hakim untuk mempertanggunggugatkan majikan atas kesalahan karyawannya. Doktrin ini juga diterapkan dalam hubungan terapeutik antara dokter dan pasien untuk menyelesaikan kasus gugatan pasien atas malpraktek dokter, perawat atau Rumah Sakit.[25] Kasus lainnya, Crown  v. Provost (1963). [27]

Demikianpun dengan pendapat W. Page Keeton yang menilai bahwa kebanyakan pengadilan hanya berlindung di balik frasa “dia yang melakukan tindakan melalui orang lain dianggap melakukan sendiri tindakan tersebut, seperti dalam pernyataannya bahwa:

“Most courts have made little or no effort to explain the result, and have taken refuge in rather empty phrases’, such as ‘he who does a thing through another does it himshelf,’ or the endlessly repeated formula of ‘respondeat superior’, which in itself means nothing more than ‘look to the man higher up.”[29] Frederic Cunningham[31]serta J.W. Neyers,Prinsip Tanggung Gugat Risiko secara Proporsional

  1. Penalaran Berdasarkan Pertimbangan Yuridis

Penalaran berdasarkan pertimbangan yuridis atau sering disebut juga penalaran hukum termasuk bagian terpenting dalam ilmu hukum, konsep ini sangat menentukan bagaimana hukum diaplikasikan dalam langkah-langkah praksis hukum. Istilah penalaran hukum dalam kosa kata bahasa Inggris disebut legal reasoning yang bermakna argumentasi hukum, yakni penalaran tentang hukum. Menurut B. Arief Sidharta, legal reasoning atau penalaran hukum adalah kegiatan berfikir problematis dari subyek hukum (manusia) sebagai mahkluk individu dan sosial di dalam lingkaran kebudayaannya. Sekalipun demikian, penalaran hukum tidak mencari penyelesaian ke ruang-ruang yang terbuka tanpa batas. Ada tuntunan bagi penalaran hukum untuk juga menjamin stabilitas dan prediktabilitas putusannya dengan mengacu kepada sistem hukum positif. Berdasarkan pandangan ini, dengan mengutip Heide, B. Arief Sidharta menyebut tipe argumentasi dalam penalaran hukum sebagai “berfikir problematikal tersistematis” (gesystematiseerd probleemdenken).

Menurut Bahder Johan Nasution, profesi dokter atau dokter gigi merupakan kelompok fungsional yang bekerja atas dasar profesionalisasinya tetapi secara administratif mereka adalah pegawai Rumah Sakit. Mereka dalam melakukan tugasnya digaji oleh pemerintah atau pemilik Rumah Sakit untuk keahlian profesionalnya. Atas dasar hubungan kerja yang demikian, secara hukum perbuatan staf medis adalah tanggung jawab Rumah Sakit.[34]  Asas proporsionalitas atau disebut dengan istilah “equitability contract” (meminjam istilah Peter Mahmud Marzuki) harus berunsur justice serta fairness. Makna “equitability” menunjukan suatu hubungan yang setara (kesetaraan), tidak berat sebelah dan adil (fair), artinya hubungan kontraktual tersebut pada dasarnya berlangsung secara proporsional dan wajar. Dengan merujuk pada asas aequitas praestasionis, yaitu asas yang menghendaki jaminan keseimbangan dan ajaran justum pretium, yaitu kepantasan menurut hukum. Tidak dapat disangkal bahwa kesamaan para pihak tidak pernah ada. Sebaliknya, para pihak ketika masuk kedalam kontrak berada dalam keadaan yang tidak sama. Akan tetapi ketidaksamaan tersebut tidak boleh dimanfaatkan  oleh pihak yang dominan untuk memaksakan kehendaknya secara tidak memadai kepada pihak lain. Dalam situasi semacam inilah asas proporsionalitas bermakna equitability.Menunjukkan suatu komitmen bersama (sebagai maksud itikad para pihak) yang didorong oleh suatu keinginan kerjasama profesional yang tulus untuk menciptakan hubungan industrial yang harmonis di sektor kesehatan sehingga terwujud efisiensi dalam industri jasa kesehatan nasional.

  1. Sifat khusus dari kontrak kerja harus mengadung aturan dan nilai-niai khusus terutama yang paling penting adalah bahwa “”dokter spesilais atau Rumah sakit sebagai majkan harus berjanji memperlakukan pegawainya secara adil” dan sebaliknya “dokter atau perawat primer berjanji selaku pegawai untuk mewakili kepentingan dokter spesilais atau Rumah Sakit sebagai tugas (duty) dari majikan yang harus dilakukan secara cermat dengan penuh kehati-hatian, serta bekerja dengan itikad baik dan penuh profesional”
  2. Majikan menyadari sepenuhnya bahwa sebagai seorang pengusaha ada konsekwensi untuk mengambil risiko dari adanya keuntungan dan kerugian karena itu ia berdiri di depan keduanya. Sedangkan bagi pegawai karena berada diantara keduanya (keuntungan dan kerugian) maka ada konsekwensi mendapatkan keuntungan dari pekerjaannya, sekaligus juga ada risiko kerugian yang terkait dengan itu. 
  3. Bahwa dalam rangka menghasilkan kerjasama yang bermanfaat, dan untuk menunjukkan keadilan dari dalam kontrak, serta keharmonisan hubungan majikan-pegawai, atau keagenan maka .janji ganti rugi harus tersurat maupun tersirat dimasukkan sebagai klausula yang penting ke dalam kontrak kerja,
  4. Penganturan klausul ganti rugi harus dapat menjelaskan karakteristik dari tanggung gugat risiko berdasarkan doktrin vicarious liability dengan tetap menghormati sepenuhnya asas kebebasan berkontrak
  5. Bahwa setiap pengeksklusifan klausul menggantian kerugian akan sangat mungkin jika dianggap sebagai pembatasan kemampuan kewajiban ganti rugi secara keseluruhan untuk situasi yang dinilai berdasarkan kedudukan dan kekayaan masing-masing pihak dan menurut kedaaan (vide Pasal 1371 BW). Sebaliknya apabila  membenarkan adanya pemberian ganti rugi yang tidak wajar akan merupakan beban yang sangat tidak reasonable bagi pelaku
  6. Aspek konseptual dan definisional tentang tanggung gugat risiko yang didasarkan doktrinal vicarious liability harus direduksi dari esensi prinsip kepercayaan dalam hubungan atasan-bawahan ataupun keagenan. Tidak ada pertanggunggugatan vicariuos liability yang komprehensif jika terdapat penyalahgunaan kepercayaan. Prinsip kepercayaan dalam hubungan individu antara majikan, karyawan maupun dengan pihak ketiga yang tercipta karena adanya kepentingan dan keparcayaan adalah merupakan dasar dari tanggung gugat yang tidak seharusnya disalahgunakan atau disalahtempatkan 
  7. Inti yang mendasar dari sifat dan efek pelanggaran kontrak adalah dari ada atau tidaknya keinginan untuk “mengambil tindakan yang sewajarnya guna mencegah kerugian atau yang menyebabkan akibat.” Sebaliknya “tidak ada janji untuk mengganti kerugian yang disebabkan kelalaian yang disengaja, dilakukan dengan serampangan atau dengan itikad buruk atau terlalu lalai sehingga mengakibatkan kerugian yang fatal dan atau karena kecerobohan yang berulang”
  8. Gagal untuk mengawasi pegawai bukanlah alasan pemberian ganti rugi melainkan rasionalitas obyektifnya adalah lebih kepada kegagalan bertanggung jawab atas pelaksanaan kontraknya sendiri secara personal.
  9. Kondisi yang penting (strong condition) yang tercipta dari adanya “sebab” dan “kondisi” (cause and condition) sebagai yang menjadi proximate cause dapat digunakan untuk menentukan tanggung gugat risiko atas kerugian. Namun yang lebih penting lagi adalah pada sifat dari risiko dan penyebab intervensi (intervening cause).
  10. Pengadilan harus mengimplementasikan kondisi pengecualian terhadap penerapan tanggung gugat risiko yang didasarkan doktrinal vicarious liability bilamana:

Prinsip tanggung gugat risiko yang proporisonal ini tidak bermaksud menghapuskan doktrin vicarious liability melalui adanya syarat kontraktual. Namun sebaliknya, harus dilihat sebagai implementasi dalam konsep kontraktual subrogasi dan ganti rugi untuk hubungan tertentu antara majikan, pegawai, dan korban yang dirugikan

    1. Penalaran Berdasarkan Pertimbangan filosofis

Aspek filosofis merupakan aspek yang berintikan pada kebenaran dan keadilan. Benyamin C. Zipursky membagi teori keadilan dalam dua bagian yaitu teori keadilan distributif dan teori keadilan korektif. Keadilan distributif pada dasarnya memeriksa aspek statik dari keadilan, khususnya negara, sementara keadilan korektif memeriksa aspek dinamis dari keadilan. Sedangkan menurut Julian Lamont dan Christi Favour, teori keadilan distributif pada hakikatnya adalah merupakan paham keadilan yang menuntut proporsionalitas hak individu atau masyarakat terjamin sampai sesuai proporsinya dan satu sama lainnya tidak ada yang dirugikan.[37] Doktrin tersebut bahkan dapat diperluas untuk perbuatan bawahan yang dilakukan dengan sengaja sepanjang dilakukan dalam tugas pekerjaannya, tanpa memandang bahwa majikan telah mendeteksi adanya kesalahan tersebut atau telah mengambil langkah-langkah untuk menghentikan terjadinya kerugian yang lebih besar.[39]

Walaupun terdengar tidak masuk akal namun menurut faham positivis, keputusan-keputusan hukum dapat dideduksi secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada lebih dahulu tanpa perlu menunjuk kepada tujuan-tujuan sosial, kebajikan, serta moralitas, betapapun tidak adil dan terbatasnya bunyi undang-undang yang ada. Hukum adalah perintah undang-undang dan dari situ kepastian hukum bisa ditegakkan.[41]  

Keadilan hukum (legal justice) dalam pendekatan positivisme adalah keadilan berdasarkan hukum dan perundang-undangan. Hal itu berarti hakim dalam memutuskan perkara hanya berdasarkan hukum positif dan peraturan perundang-undangan. Dalam menegakkan keadilan ini, hakim atau pengadilan hanya sebagai pelaksana undang-undang belaka. Hakim tidak perlu mencari sumber-sumber hukum diluar dari hukum tertulis dan hakim hanya dipandang menerapkan undang-undang pada perkara-perkara konket rasional belaka, dengan kata lain, hakim sebagai corong undang-undang.       

Sistem hukum Indonesia memandang hukum tidak seperti itu. Keadilan hukum (legal justice) tidak harus hanya berdasarkan pada undang-undang saja karena pada suatu kondisi bisa jadi justru akan menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat, sebab undang-undang tertulis yang diciptakan mempunyai daya laku terbatas dimana pada suatu saat daya laku tersebut akan mati seiring dengan terjadinya perubahan-perubahan nilai-nilai keadilan masyarakat. Berdasarkan keadaan seperti itu maka keadilan moral (moral justice) dan keadilan sosial (social justice) diterapkan oleh hakim Indonesia dengan suatu kewajiban bagi mereka untuk menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. (vide Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009) sebagai implementasi amanat konstitusi  Pasal 24 ayat 1 UUD 1945 yang menyebutkan kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa didalam hukum terdapat moralitas hal itu dapat dilihat dari adanya asas-asas hukum yang tidak hanya sekedar merupakan persyaratan adanya suatu sistem hukum tetapi juga merupakan pengklasifikasian sistem hukum yang mengandung suatu moralitas tertentu.[43]  Tanggung gugat risiko yang dulunya menerapkan doktrin vicarius liability secara murni, kini mulai diterapkan dalam kasus-kasus secara ketat dan terbatas.

  1. Penalaran Berdasarkan Pertimbangan Sosiologis

Sebagaimana ditulis Roscoe Pound, ahli hukum Jellinek menyatakan, jika suatu perintah hukum harus berlaku dalam perbuatan, maka kegunaan secara sosial psikologis harus terjamin. Roscoe Pound melihat fenomena bahwa kaidah-kaidah yang diciptakan pengadilan maupun undang-undang, keduanya terus menerus mengalami kegagalan karena tidak adanya jaminan sosial psikologis sebagaimana dikemukakan Jellinek tersebut.[45]    

          Kritik dari para ahli hukum diatas menunjukan bahwa aspek psikologi sosial menentukan kualitas hukum, termasuk dalam putusan-putusan pengadilan, untuk terwujudnya efektifas hukum karena dukungan masyarakat. Kenyataan tersebut menunjukan bahwa dunia sedang terus berubah di mana paradigma ilmu hukum murni yang menolak sosiologi dan disiplin ilmu lainnya makin tidak relevan lagi. Hukum memang dibentuk oleh dan untuk masyarakat sehingga hukum tak akan mampu berdiri sendiri tanpa faktor-faktor sosiologis. Di Barat sendiri juga terus terjadi perubahan yang tak terelakan, paradigma legalistik barat klasik tersebut telah diubah di Amerika Serikat sejak tahun 1950-an di masa reformasi peradilannya. Hakim Agung Holmes, Cordozo, Llewellyn, Frank, Gray dan lain-lain. menjadi pelopor dalam paradigma social justice di masa itu.[47] Tanggung gugat untuk membayar ganti rugi atas perbuatan melanggar hukum karyawan yang selama ini dipandang adil jika dibayarkan oleh majikannya, ternyata mulai mengalami perubahan karena tidak selalu dianggap adil.  Dalam praktik kehidupan sehari-hari mulai banyak dijumpai perilaku majikan dan bawahan yang menghendaki pertanggunggugatan secara proporsional dalam kontrak (tertulis mupun tidak tertulis) yang tercermin dalam hubungan kerja antara mereka.

  1. Liabilitas Praktisi Kedokteran Telemedicine berdasarkan Keadilan Interaktif (Interactive Justice) sebagai Prinsip Tanggung Gugat Risiko secara Proporsional.

Untuk menentukan bentuk pertanggunggugatan dalam praktik kedokteran telemedicine secara proporsional terhadap Rumah Sakit, dokter spesialis, sub spesialis dan dokter perawatan primer/ PCP (primary care physician), termasuk perawat praktisi atau asisten dokter yang bertindak sebagai perawat primer pasien (dalam hal ini disebut dengan praktisi kedokteran telemedicine), maka diperlukan sebuah teori yang dapat menentukan sejauh mana liabilitas praktisi kedokteran telemedicine tersebut dalam hal bilamana mereka melakukan perbuatan melanggar hukum yang merugikan pasien. Mengingat karena hal tersebut terkait dengan kewajiban bertanggung gugat untuk mengganti kerugian. maka menurut penulis sangat memiliki relevansi dengan teori interactive justice.

Menurut Richrad Wright, bahwa teori interactive justice adalah teori tentang pertanggungjawaban hukum (legal responsibility) terhadap setiap tindakan interaktif antar manusia sebagai konsekuensi hukum, karena adanya penghargaan yang sama terhadap kebebasan eksternal (right to equal external) setiap orang. Sebagaimana pendapat tersebut penulis kutip berikut ini:

“It is generally assumed that the basic purpose of law is or should be the implementation of justice: the creation and maintenance of those conditions that are properly specifiable bay law for the flourishing and fulfillment of each person in the community as a free and equal rational being. This flourishing depends  upon the promotion of each person’s equal freedom, which has an internal aspect and an external aspect. The internal aspect, which law cannot and should not attempt to control, is a matter of personal virtue-one’s shoping and living one’s life by choosing and acting in accordance with the morally proper ands. The external aspect, which is the proper concern of justice and law, is one’s practical exersice of one’s freedom in the external world, which must be consistent which the equal external freedom of every other person. As Kant put in his supreme principle of right: [S]  a act externally that the free use  of your choice can coexist with the freedom of everyone in accordance with a universal law.” [49] Richard Wright melihat bahwa keberadaan kompensasi memainkan peranan penting dalam interactive justice untuk melindungi setiap orang dari ‘harmful interaction’ yang umum diterapkan dalam perbuatan melanggar hukum (tort law) dan hukum kontrak serta hukum perdata pada umumnya. Pada esensinya, Richard Wright berpendapat bahwa tanggung jawab hukum dalam pidana dan perdata adalah sama yakni memberikan sanksi terhadap pihak yang melakukan ‘harmful interaction’. Jika dalam perdata diistilahkan dengan ‘private wrongs’ yang melanggar kontrak dan property seseorang sedangkan dalam pidana ‘public wrongs’ bentuknya adalah terhadap martabat (dignity), norma masyarakat dan ketertiban umum (publik peace and order).Tanggung jawab sebelum terjadinya suatu kejadian dan

  1. Tanggung jawab setelah terjadiya suatu kejadian

Tanggung jawab sebelum kejadian (ex-ante liability) adalah tanggung jawab mematuhi semua undang-undang dan/atau regulasi dalam rangka memberikan sesuatu yang layak kepada publik (contoh: safety regulation, standar laik dagang/standard merhantability, standar layanan/quality of service, dan penerapan prinsip-prinsip tata kelola yang baik terhadap penyelenggaraan sesuatu profesi). Sedangkan tentang tanggung jawab hukum setelah kejadian (ex post liability) adalah kewajiban untuk memulihkan keadaan pihak yang dirugikan ke keadaan semula.

Pertanggungjawaban karena risiko merupakan kebalikan dari pada pertanggungjawaban karena kesalahan. Pada kesalahan dicari hubungan sebab akibat yang kuat sementara risiko titik sentralnya adalah mengatasi kerugian dengan menaikan standar kehati-hatian, kecuali terhadap risiko yang tidak dapat diperkirakan. Oleh karena itu, standar profesi kedokteran maupun standar sistem penyelenggaraan sebuah Rumah Sakit penyelenggara praktik kedokteran telemedicine perlu dibuat secara baik, upaya-upaya untuk mencegah kemungkinan terjadinya kesalahan demi diminimalisasi risiko (risk manajement) atau potensi risiko maka dibutuhkan jaminan pelayanan kesehatan kepada publik secara aman dan berkualitas. Aspek pertanggungjwaban hukum harus menjadi perhatian utama dari praktisi kedokteran telemedicine.

V  PENUTUP

  1. Kesimpulan
    1. Karakteristik telemedicine dalam praktik kedokteran membentuk konvergensi hukum telematika yang dipadukan dengan hukum kesehatan. Kolaborasi kedua bidang ilmu ini membuat praktik kedokteran telemedicine mengalami keterpaduan dengan kaidah-kaidah sains teknologi komunikasi informasi dan ilmu kedokteran yang inovatif. Perkembangan tersebut  membawa perubahan yang memunculkan nilai-nilai baru dalam hubungan terapeutik dimana memungkinkan hubungan terapeutik dilakukan tanpa bertemuan dokter spesialis dan pasien. Hal ini berkonsekuensi hukum terhadap pertanggng gugatan dokter bilamana terjadi malraktik medis akibat pelimpahan kewenangan yang dilakukan berdasarkan prinsip delegasi maupun mandat. 
    2. Hubungan hukum dalam praktik kedokteran telemedicine adalah hubungan kerja yang didasarkan pada hubungan kontraktual maupun karena undang-undang. Pelimpahan tindakan medis dapat dilakukan oleh dokter spesialis sebagai pihak pemberi kuasa kepada dokter primer sebagai pihak penerima kuasa. Begitupun dalam konteks hubungan kerja antara Rumah Sakit dengan tenaga kesehatanny prinsip tanggung gugat resiko (risico aanspraklijkheid) berdasarkan doktrin vicarious liability. Dasar hukumnya adalah Pasal 1367 ayat (3) B.W. dan Pasal 46 Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit. Pada praktiknya hal ini menimbukan kontroversi dan ketidakadilan. Sehingga dalam penerapannya, hakim berkewajiban menggali nilai-nilai keadilan dan hukum yang hidup dalam masyarakat (vide Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009).
    3. Prinsip tanggung gugat resiko dalam praktik kedokteran telemedicine secara proporsional menunjuk pada tanggung gugat profesional antar praktisi kedokteran telemedicine. Legitimasi teoritiknya didasarkan pada hubungan profesional (profesional relationship) dalam pelimpahan tindakan medis yang berpedoman pada kode etik, standar profesi, dan standar pelayanan, serta standar prosedur operasional. Sehingga konsekuansi tanggung gugatnya tidak serta merta hanya didasarkan pada kesalahan dokter primer (primary care dokter/ PCP) atau perawat primer selaku bawahan sebagaimana maksud doktrin vicarious liability. Nomenklatur “proporsional” dalam tanggung gugat resiko bermakna sebagai distribusi hak dan kewajiban para profesional sesuai proporsi kesalahan masing-masing pihak didasarkan pada nilai-nilai kesetaraan (equitability), kelayakan dan kepatutan (fair and reasionableness). Akuntabilitasnya berdasarkan pada sudut pandang keadilan interaktif (interactive justice) yang didasarkan pada nilai-nilai keahlian profesi, kehati-hatian atau kecermatan, tanggung jawab, dan kesejawatan serta keinginan berbuat baik demi kesembuhan pasien (doing good).
  2. Saran
  3. Perlu dibuat standarisasi teknologi sistem elektronik telemedicine dan standarisasi pendidikan nasional kedokteran telemedicine. Selain itu juga, perlu disusun standar prosedur operasional, standar praktik dan standar kompetensi tenaga kesehatan, termasuk kemampuan sumber daya praktisi kedokteran telemedicine dibidang forensic information technology/FIT (computer forensic).
  4. Perlu dibuat kontrak kerja secara komprehensif terutama yang mengatur tentang tanggung gugat resiko yang proporsional sebagai suatu bentuk tata kelola praktik kedokteran telemedicine yang baik. Hakim hendaknya memiliki pengetahuan tentang praktik kedokteran dimaksud dan memiliki kepekaan untuk menyerap nilai-nilai, dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat dalam menerapkan Pasal 1367 ayat (3) BW. dan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tenang Rumah Sakit
  5. Perlu kebijakan legislasi sebagai bentuk tanggung jawab Negara (legal paternalism)  untuk mengatur, melindungi dan memberikan pemenuhan atas hak-hak warga negara atas implikasi hukum dari medicolegal telemedicine. Peraturan dimaksud khususnya untuk memberikan kepastian hukum tentang pertanggunggugatan dan kepatuhan hukum (legal complience) praktisi telemedicine dan/atau Rumah Sakit sebagai penyelenggara sistem elektronik telemedicine dengan mengadopsi prinsip-prinsip penerapan yang terbaik (best practices and good practice)  dan pemeriksaan hukum (legal audit), serta prinsip-prinsip umum praktik kedokteran telemedicine internasional (general principles).

[2] Ibid, hlm.1

[4] Danrivanto Budhijanto, Hukum Telekomunikasi Penyiaran dan Teknologi Informasi Regulasi dan Konvergen,Refika Aditama, Bandung,2010, hlm 1

[6] Gorea RK, (ed), Legal aspects of telemedicine: Telemedical jurisprudence”, Journal of Punjab Academy of Forensic Medicine & Toxicology,2005, Volume : 5, ISSN: 0972-5687. p. 3

[8] Kajian terhadap ‘legal issues,” lihat Joanne Banker Hames dan Yvone Ekern, Legal Research, Analysis, and Writing, An Integrated Approach, Pearson Prentice Hall, New Jersey, 2006, hlm. 43.

[10] Terry Hutchinson, Op cit,  p.32

[12] Agus Purwadianto, Staf Ahli Menteri Kesehatan Bidang  Teknologi Kesehatan Dan Globalisasi, “Praktisi Medis Siap Bersaing dalam Masyarakat ASEAN.” Dalam Majalah Masyarakat ASEAN, Media Publikasi Direktorat Kerja Sama ASEAN Kementrian Luar Negeri, Edisi 6, Desember 2014, hlm 65

[14] Ibid

[16] Wawancara dengan Anggraini dan M. Puguh Arifianto, Radiologists dan Operator/Provider Sistem Elektronik R.S. Husada Utama, Kamis, 9 Februari 2012, jam 15.00-16.00 WIB

[18] Wawancara dengan Hisal Saragih, Kepala Bagian Hukum dan Organisasi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusomo, Selasa, 29 Oktober 2013, jam 09.00-10.00 WIB

[20] Authorization and Consent to Participate in a Telemedicine Consultation, Anthem Blue Cross Partnership Plan. Independent licensees of the Blue Cross Association. ® ANTHEM is a registered trademark. ® The Blue Cross name and symbol are registered marks of the Blue Cross Association. 0108 CAW2085 02/23/0

[22] Djasadin Saragih, Op cit, , hlm  118

[24] Kasus Vincent McDonald vs Aliquippa Hospital (1992), Dalam Ann Helm, Op cit, hlm 166. Lihat juga Kasus Ward v. Gordon, 999 F.2d 1399 (9th Cir 1993) dan Alexander v. Mount Sinai Hospital Med. Ctr, 484 F. 3d 889 (7th Cir 2007), serta Karas v. Jackson, 582 F.Supp, 43 (ED.Pa. 1983), Dalam  Marcia M. Boumil dan Paula  A. Hattis, Op cit, hlm 213 

[26] Ibid, hlm 14

[28] W. Page Keeton et al dalam Henry Campbell Black, Op cit, h 1338

[30] Frederic Cunningham, “Respondeat Superior In Admiralty” (1905-06) 19 Harv. L. Rev. 445 at  445

[32] J.W. Neyers, “A Theory Of Vicarious Liability” dalam www.ucc.ie/law,  diakses 21-10 2013

[34]  Agus Yudha Hernoko, Op cit, hlm 89

[36] Julian Lamont  dan Christi Favour, Distributive Justice, The Stanford Encyclopedia of  Philosopy, (full 2008 Edition) Dalam  Muhammad Yusuf,  Eksistensi Kejaksaan Sebagai  Pengacara Negara, Disertasi, Malang 2014 

[38]PandanganMahkamah Agung Inggris dalam kasus Lister v Hesley Hall Ltd (1979) mendapat banyak komentar, Sebagaimana ditulis olehPaula Giliker, Vicarious Liability in Tort: A Comparative Perspective, Cambridge Studies in International and Comparative Law  (No. 69), Cambridge University Press, Hlm 2 Dalam www. cambridge.org, diakses tanggal 23 Oktober 2014, Hlm 3

[40] Prija Djatmika, “Problem Menegakkan Substantif”, Harian Jawa Pos, Rabu 10 Desember 2008, Hlm 4

[42] Satjipto Rahardjo,  Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986, hlm 91-92

[44] Roscoe Pound, The Task of Law, Terjemahan Muhammad Radjab, Bharata, Jakarta, 1965, Hlm 76-77

[46] Achmad Ali, Keterpurukan Hukum di Indonesia (penyebab  dan Solusi) Cipta Karya, Bandung, 2002, Hlm 478

[48] Richard W. Wright, Grounds And Extent of Legal Responsibility, Law Review: 40 San Diego L. Rev 14252003,  Dalam Edmon Makarim, Op cit, hlm 189

[50] Ibid,