PENGELOLAAN PENAMBANGAN EMAS DI GUNUNG BOTAK , KAJIAN HUKUM LINGKUNGAN

Hukum Internasional

PENGELOLAAN PENAMBANGAN EMAS DI GUNUNG BOTAK ,

KAJIAN HUKUM LINGKUNGAN

 

OLEH LUCIA TAHAMATA

 

 

ABSTRAK

            Dewasa ini berbagai daerah di Indonesia telah banyak terjadi perubahan ekosistem yang disebabkan oleh aktifitas manusia. Peran manusia dalam menciptakan ekosisttem buatan, dimana manusia mampu mengontrol, melestarikan dan memulihkan lingkungan yang berada disekitar.Salah satu kegiatan manusia yang dapat merubah ekosistem adalah terjadi di Maluku Tengah pulau Buru kecamatan Waeapo yakni pengelolaan penambangan liar digunung Botak.

            Penambangan emas yang dilakukan digunung Botak pulau Buru oleh masyarakat setempat dan para pendatang masih mengunakan cara yang sangat sederhana. Para penambang mengali lubang baik secara vertikal maupun horisontal, 5 sampai 10 meter untuk mengambil pendapatan yang cukup bagi para penambangan , sehingga banyak masyarakat yang tergiur untuk melakukan kegitan penambangan dan meninggalkan pekerjaan mereka yang lama.

            Besarnya penghasilan yang didapat penambang emas digunung Botak diikuti pula dengan besarnya dampak   yang terjadi akibat adanya penambangan emas yakni dari sisi lingkungan. Daerah gunung Botak menjadi rawan longsor karena adanya pengalian – pengalian lubang untuk pertambangan. Banyak pohon yang ditebang / dirusak untuk keperluan para penambang membuat tenda dan membuat lubang tambang, daerah yang mulanya merupakan ekosistem hutan berubah menjadi lubang tambang yang ditinggalkan penambang tanpa dilakukan rehabilitasi, hal ini sangat merusak lingkungan. Kerusakan ekosistem hutan berdampak pada ketidakseimbangan sistim alam yang berdampak pada sungai yang mulanya bersih menjadi kotor dan tercemar mercury,

            Salah satu dampak yang timbul akibat penambangan emas yakni terjadi penurunan kualitas air , air yang biasanya digunakan untuk kebutuhan manusia untuk minum tidak dapat dimanfaatkan karena terjadinya kekeruhan air..Terjadi peningkatan konsentrasi logam berat seperti adanya merkuri yang biasanya ditemukan dibadan sungai akibat limbah hasil pengelolahan.  Para penambang juga tidak memiliki kuasa / izin untuk pertambangan , sehingga para penambang melakukan kegiatan tidak sesuai dengan aturan – aturan yang berlaku.Dari dampak yang ditimbulkan dari aktifitas penambangan emas sangat tidak sesuai dengan UU No 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan Dan Perlindungan Lingkungan Hidup .

            Maka sangat dibutuhkan perhatian pemerintah dalam hal ini pemerintah kabupaten Buru untuk melakukan kewenangan sesuai dengan aturan yang berlaku. Oleh karena itu penyelengaraan pembinaan dan Pengawasan harus dilakukan berdasarkan pedoman dan standar yang baku diperoleh kejelasan dan kepastian bagi pelaku usaha yang melakukan kegiatan usaha dibidang mineral dan batubara.

 

Kata kunci: Pengelolaan, Penambangan Emas, Hukum Lingkungan

 

MANAGEMENT OF GOLD MINING IN GUNUNG BOTAK. THE STUDY OF                 ENVIRONMENT LAW.

LUCIA TAHAMATA, .

ABSTRACT.

Nowdays in various area in Indonesia has been many ecosystem changes because of the activity of human. The human role in creating imitation ecosystem where human can control , preserve and restore the environment around. One of human activity that can change the ecosystem was happened in Central Maluku, Buru Island, Waeapo Subdistrict namely the management of illegal mining in Gunung Botak.

The gold mining that happened in Gunung Botak, Buru Island  by the society  arround and the foreigner still using the simple and traditional way. The miner dig the hole in vertical or horizontal, 5 to 10 meter to get an enough income for the miner, so many society were tempted to make a mining activity and left their old job.

The huge income that the miner get from the gold mining in Gunung Botak followed by the huge impacts that happened because of the gold mining such as  from the environment side.  The area of Gunung Botak become disturbed by soil erosion because of hole digging for mining activity.  Many trees had been cut down or distroyed for the miner’s necessity to made a tends and mining hole, the formelry area was the forest ecosystem changed into the mining hole that the miner left behind without making any rehabilitation, it was extremely damaged the environment. The damaged of forest ecosystem effected for the unbalanced of nature system that caused for the clean and clear rivers became dirty and polluted by mercury.

One of the impact that happened by the gold mining was the reduction of water quality. The water that usually used for human need to drink can not be used anymore because of the water was turbidity. The increase of hard and strong metal such as mercury essence that usually found in edges of rivers causing the waste as the result of gold mining. The miner also did not had any legal licence or permission for mining, it makes the miners did an unappropriate activity according to the regulation. The impact of gold mining activity did not appropriated with Law Number 32 Year 2009 about The Management and Protection of  Environment.

Then the attention from the government was really important, in this case the attention from Buru Regency to make a competence according to the valid regulation. Therefore the implementation of establisment and supervision should made according by orientation and basic standard got from the clarity and certainty for the entrepreneur who worked in mineral and coal sector.

Keyword :Managemen, Gold Mining, Environment law

  

I.PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG

            Pengrusakan lingkungan hidup yang terjadi akan menjadi permasalahan bilamana salah satu komponen terganggung kelestariannya sebagai akibat dari kegiatan lainnya dalam hal ini adalah kegiatan manusia. Pengrusakan yang dilakukan oleh manusia akan berdampak negatif pada lingkungan hidup , tetapi juga akan berdampak pada kelangsungan hidup manusia itu sendiri.      

            Permasalahan lingkungan hidup pada dasarnya merupakan permasalahan serius, baik bagi individu maupun kolektivitas masayarakat. Namun demikian permasalahan lingkungan hidup baru mendapat perhatian dalam dasawarsa 1970. Dengan adanya Konferansi PBB tentang lingkungan hidup di Stockhlom dibuka pada tanggal 5 juni 1972 yang kemudian tanggal disepakati sebagai Hari Lingkungan Hidup sedunia. Dalam Konferensi Stockhlom tersebut telah disetujui banyak Resolusi tentang lingkungan hidup yang digunakan sebagai landasan tindak lanjut.

            Sebagai negara hukum, pengembangan sistim pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia harus diberi dasar hukum yang jelas dan menyeluruh, agar usaha pengelolaan lingkungan hidup mendapat kepastian hukum yakni  Undang – Undang No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang merupakan ketentuan payung (umbrella Provision) bagi pembentukan sistim hukum lingkungan nasional [1].

            Sumber daya alam berupa tambang merupakan salah satu andalan negara Indonesia setelah pertanian. Beberapa peraturan nasional baik berupa Undang – Undang, peraturan pemerintah maupun keputusan menteri yang mengatur tentang antara lain Undang –Undang No 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Peraturan Pemerintah No 55 tahun 2010 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelengaraan dan Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, Peraturan Pemerintah No 24 tahun 2012 tentang perubahan Atas Peraturan Pemerintah No 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara.

            Tahun 1970 di Indonesia, perkembangan industri pertambangan meningkat untuk memenuhi kebutuhan dalam maupun luar negeri. Berbagai komoditi di olah dari pertambangan minyak dan gas bumi, batu bara, timah, emas dan perak, juga bahan galian seperti pasir, batu kali, batu gamping yang juga diikuti dengan pertumbuhan industri pengelolaan serta pembuatan barang jadi. Dampak yang ditimbulkan dari industri pertambangan sangat beragam tergantung dari jenis komoditi dan ciri penyebarannya. Selain dampak lingkungan, kegiatan pertambangan juga dapat menimbulkan dampak sosial, ekonomi dan kriminal.[2]

            Maluku terletak diantara pertemuan tiga Lempeng utama pembentuk kerak bumi yaitu lempeng Eurasia (utara), lempeng Indo Australia (selatan), dan lempeng Pasifik (barat), merupakan daerah potensi bagi terbentuknya berbagai cadangan bahan galian mineral, panas bumi, dan cekungan hydrocarbon.Potensi bahan tambang dan energi yang potensial untuk dikembangkan secara komersil yakni emas, tembaga , nikel, batu gamping, belerang, minyak bumi, dan energi panas bumi, terdapat diberbagai daerah di Propinsi Maluku. [3]

            Sejak ditemukannya emas digunung Botak desa Dafa dusun Wamsaid Kecamatan Waeapo Kabupaten Buru Propinsi Maluku  pada pertengahan tahun 2012, Gunung Botak menjadi salah satu wilayah pertambangan yang didatangi banyak penambang dari berbagi daerah di Indonesia. Belum adanya kesepakatan dan ketegasan mengenai aturan penambangan emas di Gunung Botak oleh pemerintah daerah membuat Gunung Botak menjadi subur bagi penambang liar. Tingginya tinggkat kriminalitas di wilayah pertambangan Gunung Botak membuat banyak permintaan agar wilayah pertambangan Gunung Botak ditutup bagi kegiatan pendulang emas. Saat ini diperlukan adanya kebijakan daerah yang sesuai dengan peraturan nasional terhadap pengelolaan penambangan emas Gunung Botak,Sehingga sumber daya alam berupa emas di Gunung Botak dapat meningkatkan kesejahteraan masayrakat Buru dan masyarakat Maluku pada umumnya.

            Dipandang dari sudut pembangunan yang berkelanjutan dan lestari, kita diperhadapkan pada kondisi yang bersifat bersimpangan jalan (sumberdaya yang dimiliki harus dieksploitasi untuk meningkatkan harkat dan kesejahteraan masayrakat, pertumbuhan ekonomi) namun kegiatan penambangan bersifat merusak lingkungan hidup dan mencemari tempat manusia hidup dan bernafas.

            Pemanfaatan sumberdaya Geologik (pertambangan emas) adalah bukti bahwa wilayah yang kita miliki, harus dapat dipergunakan untuk kesejateraan rakyat, namun terjadi kerusakan lingkungan tertimpah kemasyarakat . Ekploitasi sumber daya emas menghasilkan tailing (lumpur dan air ) yang merupakan masalah besar dalam pengelolaan. Sehingga proses penghancuran batuan, tanah menyebabkan terlepasnya bahan kimia berbahaya ke air dan tanah yang akan berdampak negatif kepada lingkungan hidup

Berbagai kepentingan dalam kegiatan pertambangan harus pula memperhatikan kepentingan masyarakat hukum adat yang sejak kemerdekaan telah memiliki hak kepemilikan terhadap lahan yang dikelola sebagai wilayah pertambangan. Negara melalui pemerintah memiliki kewajiban hukum untuk menghormati hak- hak yang dimiliki masyarakat hukum adat.

            Dari gambaran yang penulis telah uraikan diatas maka permasalahan yang hendak dikaji adalah “Sejauh mana Pengelolaan Penambangan Emas Di Gunung Botak , Kajian Hukum Lingkungan”

            Adapun Tujuan Penulisan adalah : Untuk mengetahui sampai sejauh mana Pengelolaan Penambangan Emas di Gunung Botak Desa Dafa Dusun Wamsaid Kecamatan  Waeapo Kebupaten Buru Propinsi Maluku , kajian Hukum lingkungan.

 

II.                METODE PENELITIAN

            Didalam penelitian hukum terdapat berbagai pendekatan.Dengan pendekatan tersebut peneliti akan mendapat informasi dari aspek mengenai isu yang sedang dicoba dicari jawaban (Peter Mahmud Marzuki, 2005; 93)

Dengan memperhatikan permasalahan dan arahan tujuan dan manfaat penelitian, maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan “Yuridis Normatif dan pendekatan sosiological”Bagi kalangan hukum, dan beberapa bahan hukum terkait dengan tema tulisan.

  

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III.1Tambang Emas Pulau Buru di Gunung Botak

      Pulau Buru merupakan salah satu pulau besar di Kepulauan Maluku. Pulau Buru menempati urutan ketiga setelah pulau Halmahera di Maluku Utara dan pulau Seram di Maluku Tengah. Pulau ini terkenal sebagai pulau pengasingan bagi para tahanan politik pada zamanpemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto.[4]  Letak geografis Kabupaten Buru pada 2º25’ – 3º55’ Lintang Selatan dan 125º70’ – 127º21’ Bujur Timur. Pulau Buru 9.599 Km2, memiliki panjang 140 km dan lebar 90 km dengan puncak gunung tertinggi Kan Palatmada 2.429 m. Dengan tiga pegunungan yang dipisahkan oleh struktur kelurusan lembah. Pada bagian barat tapak  Palatmada dengan ketinggian diatas 2000 m, yang dibatasi oleh lembah depresi Sungai Nibe-Danau Rana dan Sungai Wala. Pada blok tengah dengan ketinggian diatas 1000 m yang dibentuk oleh Teluk Kayeli dan Lembah Apu, blok selatan dibentuk oleh Lembah Kalua dengan Gunung Batabual 1.731 m. [5]

Tambang emas di Gunung Botak pulau Buru menjadi harapan baru bagi masyarakat Buru pada khususnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Buru. Emas adalah unsur kimia dengan nomor atom 79 dan massa atom 196,967 berupa logam dengan titik lebur 1.063° C dan titik didih 2.600° C, emas merupakan logam yang paling lenting dan mudah ditempa, juga konduktor yang baik. [6] Cara penambangan emas tergantung pada keadaan geologi bentuk dan letak. Endapan emas sekunder, ditambang secara sederhana dengan cara terbuka, dengan sistem pendulangan atau dengan tambang semprot yang melibatkan banyak pekerja, tanpa menggunakan peralatan besar dan padat teknologi serta modal yang besar. Penambangan endapan emas primer memerlukan modal besar dan padat teknologi.[7]

Penambangan emas yang dilakukan di Gunung Botak pulau Buru oleh masyarakat setempat dan para pendatang masih menggunakan cara yang sangat sederhana. Para penambang menggali lubang fertikal maupun horizontal, 5 sampai dengan 10 meter untuk mengambil batuan yang mengandung emas. Kegiatan penambangan tersebut melalui beberapa tahap antara lain; pemilik lahan atau lubang, penggali lubang terowongan, dan orang yang bertugas memikul atau membawa hasil galian. Aktifitas pada proses ini dapat menghasilkan pendapatan yang cukup bagi para penambang. Sehingga banyak masyarakat yang tergiur untuk melakukan kegiatan penambangan dan meninggalkan pekerjaan mereka yang lama.

Besarnya penghasilan yang di dapat penambang dari kegiatan penambangan emas di Gunung Botak diikuti pula dengan besarnya dampak yang dapat terjadi akibat adanya penambangan emas tersebut. Dalam tulisan ini dampak sosial yang ditimbulkan dari adanya penambangan emas di Gunung Botak dapat dilihat dari beberapa sisi, diantaranya dari sisi ekonomi, kesehatan, kemanan, lingkungan dan hukum.

Dari sisi ekonomi, harga barang melonjak melebihi standar harga yang berlaku. Kajian ekonomi regional propinsi maluku triwulan I – 2012, empat imbas yang timbul akibat ditemukannya tambang emas di Buru, antara lain : Pertama, peralihan tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor pertambangan. Hasildari penambangan emas yang menggiurkan dan menghasilkan uang dalam wakturelatif singkat dibandingkan dengan bertani membuat banyak masyarakat yangmeninggalkan sawah dan ladang untuk pergi ke area penambangan emas.Kedua, peningkatan upah buruh tani. Adanya tambang emas membuat standarupah buruh meningkat karena buruh membandingkan hasil yang lebih menjanjikanjika bekerja menjadi penambang dibandingkan dengan bertani. Hal ini membuat petani sulit mendapatkan buruh tani dengan upah yang murah.Ketiga, penduduk Buru terancam kekurangan pasokan beras karenaproduksi yang menurun. Mengacu pada perhitungan, Bulog berencanamembeli 4000 ton/tahun untuk didistribusikan ke wilayah Maluku. Namun saat inikondisi terbalik 180 derajat. Buru menjadi daerah yang kekurangan beras. Untuk menutupi kekurangan tersebut, Bulog Maluku menyuplai raskin dari Ambonke Buru. Sejak bulan Januari 2011 sebanyak 1700 ton raskin darigudang di Ambon sudah dikirim ke Pulau Buru. Padahal pada tahun-tahunsebelumnya Buru merupakan pemasok raskin ke Ambon yang didistribusikan ke wilayah Maluku.Keempat, terdapat persaingan antara Bulog dan para penambang untukmendapatkan beras yang terbatas. Bulog Maluku membeli beras dari para petanidengan harga Rp6.600,00/kg sedangkan para penambang yang memiliki daya belidi atas rata-rata yakni sebesar Rp8.000,00/kg. Menurutcatatan Bulog, dari target pembelian sebanyak 4000 ton pada tahun 2012, sampaitriwulan I-2012, Bulog mendapatkan 65 ton[8]

Dari sisi kesehatan salah satunya, virus mematikan: HIV/AIDS teridentifikasi di pulau Buru, empat pekerja seks komersial (PSK) diketahui positif mengidap HIV.  Kondisi ini mendapat perhatian serius pemerintah Kabupaten Buru yang langsung melakukan berbagai sosialisasi pencegahan penularan virus tersebut.[9] Pemerintah bersama aparat kepolisian juga melakukan razia di hotel dan penginapan yang ada di Pulau Buru. Limbah mercury yang sudah diluar ambang batas toleransi akan memberikan dampak buruk bagi kesehatan secara luas terhadap mas­yarakat Kabupaten Buru, terlebih khusus lagi mereka yang terkon­taminasi limbah tersebut Kesulitan penambang memperoleh air bersih dan penambangan dilakukan berhari- hari tanpa memperhatikan kesehatan, para penambang banyak yang menderita penyakit kulit.[10]

Dari sisi lingkungan, daerah Gunung Botak menjadi rawan longsor karena adanya pengalian-pengalian lubang untuk pertambangan. Banyak pohon ditebang/ dirusak untuk keperluan para penambang membuat tenda dan membuat lubang tambang, daerah yang mulanya merupakan ekosistem hutan berubah menjadi lubang tambang yang ditinggalkan penambang tanpa dilakukan rehabilitasi hal ini sangat merusak lingkungan. Hilangnya ekosistem hutan yang berganti menjadi daerah pertambagan telah menghilangkan fungsi ekosistem hutan sebagai pertukaran energi,siklus hidrologi, rantai makanan mahluk hidup, mempertahankan keanrkaragaman hayati, daur nutrient dan pengendali ketika terjadi pencemaran. Kerusakan ekosistem hutan berdampak pada keetidakseimbangan sistem alam. Sungai yang mulanya menjadi kotor dan tecemar mercury.[11].

  

III.2 PENGELOLAAN PERTAMBANGAN DI GUNUNG BOTAK

            Sumber daya mineral sebagai salah satu kekayaan yang dimiliki bangsa Indonesia, apabila dikelola dengan baik akan memberikan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi didaerah. Dalam hal pemerintah sebagai penguasa sumber daya tersebut, sesuai amanah Undang – Undang Dasar 1945, pemerintah harus mengatur tingkat pengunaannya untuk mencegah pemberosan potensi yang dikuasainya dan dapat mengoptimalkan pendapatan dari penguasaan sumber daya tersebut sehingga dapat diperoleh manfaat yang sebesar – besarnya bagi kesejahteraan rakyat.

Dalam pengelolaan pertambangan di Gunung Botak akan membawa dampak negatif terhadap lingkungan. Hal ini menyebabkan kerusakan permanen pada pohon, Senyawa yang sangat beracun juga digunakan untuk memisahkan emas dari sedimen dan batuan. Mercuri yang dilepaskan ke sungai ini akan memasuki rantai makanan .serta air sungai menjadi tercemar.

Berdasrkan pasal 1 Undang – Undang No 11 tahun 1967 tenatng Ketentuan – Ketentaun Pokok Pertambangan menyatakan bahwa “Semua bahan galian yang terdapat dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia yang merupakan endapan-endapan alam sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah kekayaan nasional bangsa Indonesia dan oleh karenanya dikuasai dan dipergunakan oleh Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat “.

Pasal tersebut membuktikan bahwa setiap warga Negara Indonesia dapat memanfaatkan sumber daya alam yang ada, namun tetap mematuhi peraturan-peraturan daerah yang ada, bahwasanya setiap pendirian bangunan ataupun usaha harus ada izinnya.

Penambangan emas tanpa izin yang resmi dari Pemerintah, tentu dan sudah pasti dilarang dan merupakan suatu aktifitas yang illegal. Diwajibkannya setiap usaha untuk mengantongi izin usaha ialah merupakan upaya pemerintah dalam pengelolaan dan pemantauan terhadap lingkungan, seperti yang tercantum dalam Pasal 15 ayat (1) UU No. 11 Tahun 1967, bahwa “ Usaha pertambangan yang ada hanya dapat dilakukan oleh perusahaan atau perseorangan yang tersebut dalam pasal 6,7,8 dan 9, apabila kepadanya telah diberi kuasa pertambangan “. Isi pasal tersebut menunjukkan bahwa yang dapat dan dibolehkan untuk menjalankan usaha pertambangan ialah mereka yang telah mengantongi izin dan syarat-syarat lain yang menyertai dikeluarkannya izin tersebut.

Istilah pertambangan liar terjadi karena keluarnya Surat Keputusan Mentri Pertambangan dan Energi No. 01P/201/M.PE/1986 tentang Pedoman Pengelolaan Pertambangan Rakyat Bahan Galian Strategis dan Vital (golongan A dan B ). Di dalam Kepmen tersebut disebutkan bahwa usaha pertambangan rakyat yang dilakukan setelah adanya kuasa penambangan atau kontrak karya dianggap tidak sah dan dapat digolongkan sebagai penambangan liar. Ini artinya pertambangan rakyat yang tidak mendapat kuasa tambang digolongkan sebagai pertambangan liar.[12]

Tiga faktor utama munculnya penambangan liar yaitu : Pertama, faktor ekonomi. Masalah kemiskinan dan tidak ada alternatif sumber pendapatan lain mendorong masyarakat mengambil jalan pintas untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dengan menggali bahan tambang secara liar. Hal ini diperparah dengan adanya pelaku ekonomi bermodal yang tergiur untuk mendapat rente ekonomi secara jangka pendek dengan membiayai kegiatan penambangan liar. Kedua, faktor peraturan dan kapasitas aparatur. Tidak ada perangkat aturan dan kebijakan yang tegas, konsisten, dan transparan yang mengatur usaha pertambangan termasuk di antaranya dalam perizinan, pembinaan, kewajiban, dan sanksi. Lemahnya pemahaman aparat pemerintah lokal dalam pemahaman tata laksana penambangan yang benar (good mining practices) dan perilaku aparat yang berusaha mengambil manfaat pribadi atas kegiatan penambangan liar, menjadi faktor penting tumbuhnya penambangan liar. Ketiga, faktor pola hubungan dan kebijakan perusahaan berizin. Hubungan antara penambangan liar dan perusahaan berizin yang dijarah dilandasi oleh rasa curiga dan konflik. Dengan pola hubungan seperti ini dan penerapan kebijakan yang represif untuk mengusir penambangan liar sesegera mungkin, mungkin akan menjadikan penambangan liar sulit diberantas.

Ciri-ciri pertambangan tanpa izin, diantaranya: Pertama, produktifitas rendah, karena kemampuan yang terbatas dalam cara penambangan, lebih banyak disebabkan oleh kesederhanaan cara kerja alat dan hanya ingin memperoleh keuntungan secara cepat. Kedua, mengabaikan lingkungan, disebabkan kemudahan untuk memperoleh emas, umumnya tidak memperhatikan cara-cara penambangan dan pengolahan yang benar. Ketiga, kurang memperhatikan keselamatan kerja, ketidak tahuan mengenai K3 dan teknik penambangan menyebabkan sering terjadinya kecelakaan yang dapat merenggut nyawa penambang. Keempat, tidak memperhatikan konservasi bahan galian. [13]

Melihat faktor penyebab dan ciri-ciri pertambangan tanpa izin diatas, kegiatan penambangan emas yang dilakukan di Gunung Botak memenuhi unsur kedua komponen tersebut untuk dikatakan sebagai pertambangan tanpa izin. Para penambang di Gunung Botak juga dapat disebut sebagai penambang liar karena tidak memiliki kuasa atau izin untuk pertambangan

Perizinan merupakan instrumen hukum administrasi. Salah satu otoritas pemerintah dalam rangka pengelolaan pertambangan yang baik adalah dengan menerapkan izin pertambangan. Izin hanya merupakan otoritas dan monopoli dari penguasa atau pemerintah. Tidak ada lembaga lain di luar pemerintah yang bisa memberikan izin pengelolaan pertambangan, dan ini berkaitan dengan prinsip kekuasaan negara atas semua sumber daya alam demi kepentingan hayat hidup orang banyak.

 Izin  sebagai landasan hukum, sebagai instrumen untuk menjamin kepastian hukum, sebagai instrumen untuk melindungi kepentingan. Menurut Siti Sundari Rangkuti bahwa pengelolaan lingkungan hanya dapat berhasil menunjang pembangunan berkelanjutan apabila pemerintahan berfungsi efektif dan terpadu.[14]

Berdasarkan Undang – Undang No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya penguatan tentang prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungna hidup yan didasarkan pada tata kelola pemerintah yang baik karena dalam setiap proses perumusan dan penerapan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta penangulangan dan penegakan hukum mewajibkan ada asapek transparasi,partisipasi, akuntabilitas dan keadilan[15]

Dari temuan di Gunung Botak pengelolaan yang dilakukan untuk penambangan sangat sederhana, tetapi dampak telah terjadi kerusakan pada lingkungan sekitarnya , serta terjadi konflik antara penambang dan masayrakat adat sehingga terjadi pembunuhan .

Daerah gunung Botak telah terjadi penambangan pohon

Penambangan lubang dibawah tanah untuk mendapat emas

Masyarakat menbuat tenda disekitar penambangan

        

Tromol untuk memisahkan  emas dari gumpalan tanah , limbah dari tromol di buang ke sungai sehingga terjadi pencemaran di sungai 

 

III.3 PENEGAKAN HUKUM TAMBANG EMAS GUNUNG BOTAK

Pengaturan mengenai Pertambangan di Indonesia memiliki dasar konstitusional sebagaimana diatur dlam pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa “ Bumi, dan air,dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat” 

 Pengaturan berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 telah menimbulkan konsep penguasaan oleh negara. Dalam hal ini, rumusan kata ”dikuasai oleh negara” tentunya memiliki makna yuridis konstitusional dalam penyelenggaraan negara. Yang dimaksud dengan ”dikuasai oleh negara” sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menunjukkan kepada makna kekuasaan hukum (rechtsmacht) dalam bidang hukum publik. Kekuasaan hukum terkait dengan wewenang dalam bidang hukum publik terutama dalam bidang hukum administrasi pemerintahan. Kekuasaan hukum menunjuk kepada wewenang Pemerintah Pusat dan diatur dalam norma pemerintahan.

Norma pemerintahan memiliki dasar pengaturan secara konstitusional tentang kekuasaan pemerintahan dari pada Pemerintah. Hal tersebut diatur dalam ketentuan Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara pada Pasal 4 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa ”Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”. Oleh karena itu, arti ”dikuasai oleh negara” menunjuk kepada tindakan hukum publik dalam hal ini tindakan pemerintahan.

Penyelenggaraan urusan pemerintahan negara dari aspek wewenang Pemerintah secara tegas telah diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Tentu saja dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan terkait pula dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UUD 1945. Pengaturan dalam UUD 1945 bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan yang merupakan tindakan hukum publik dalam tindakan pemerintahan dilakukan oleh tingkatan pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah. Dalam hal ini pengaturan penyelenggaraan urusan pemerintahan di tingkat pusat (Pasal 4) dan pada tingkatan penyelenggaraan pemerintahan, maka penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut pula dilaksanakan di daerah oleh pemerintahan daerah (Pasal 18).

Penekanan adanya hubungan antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan dapat dilihat dalam rumusan Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 yakni: ”Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat”. Rumusan ini tentunya mengisyaratkan bahwa Pemerintah Daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang merupakan urusan Pemerintah Pusat.

Terkait dengan itu, penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 juga merupakan penyelenggaraan urusan pemerintahan yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Hubungan konstitusionalitas inilah yang merupakan dasar konstitusional bagi daerah dalam pengelolaan sumberdaya alam melalui wewenang dalam bidang perizinan.Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan terkait dengan pemenuhan kepentingan hidup bangsa dan negara Republik Indonesia.

Hal ini berarti, wewenang daerah dalam bidang perizinan pengelolaan sumberdaya alam memiliki dasar konstitusionalitas sebagaimana diaturdalam Pasal 4, Pasal 18 dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Lebih lanjut diperlukan adanya pengaturan pola pembagian wewenang sebagai bagian dari pembagian kekuasaan negara[16].

Melalui prinsip otonomi yang dimiliki oleh pemerintahan daerah, maka penyelenggaraan urusan pemerintahan yang sebelumnya didasarkan pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia telah dilakukan pembagian kekuasaan vertikal, sehingga pemerintah daerah juga memiliki wewenang dalam kaitannya dengan makna kata ”dikuasai oleh negara”. Itu berarti penyelenggaraan wewenang perizinan dalam pengelolaan sumber daya alam termasuk pertambangan emas juga merupakan wewenang daerah.

 

Penegakan hukum terhadap kegiatan penambangan emas di Gunung Botak didaasrkana pada peraturan perundang – Undangan yang berkaitan secara langsung dilakukan pada beberapa hal:

1.             Pengendalian Pemerintah

Aktivitas penambangan emas di Gunung Botak telah dilakukan secara bebas tanpa batas dan pemerintah daerah tidak dapat melakukan tindakan apapun untuk mengendalikan pengelolaan penambangan emas. Didasarkan pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, setiap orang yang akan melakukan aktivitas penambangan emas harus memperoleh IUP. Oleh karena Gunung Botak masih berada dalam wilayah Kabupaten Buru, maka Pemerintah Daerah terutama Bupati berwenang untuk memberikan IUP baik kepada badan usaha, koperasi maupun perorangan dalam melakukan pengelolaan eksplorasi maupun operasi produksi dalam penambangan emas. Namun selama ini – hingga ditutup untuk sementara – oleh Pemerintah Daerah tidak pernah dikendalikan. Wewenang Pemerintah Daerah merupakan wewenang atributif yang diberikan oleh UU sebagai pengejewantahan UUD 1945.

 

2.             Izin Pertambangan

Setiap kegiatan pertambangan emas harus memperoleh IUP dari Pemerintah Daerah, baik badan usaha, koperasi maupun perorangan. Badan usaha ini dapat berbentuk badan swasta, BUMN dan BUMD.Untuk kegiatan penambangan emas harus diberikan IUP mineral logam, karena emas termasuk salah satu jenis mineral logam. Fakta hukum izin hingga saat ini belum pernah dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Malah aktivitas penambangan lebih bersifat penambangan liar tanpa kendali apapun.

 

3.             Perlunya Produk Hukum Daerah

Seyogyanya penambangan liar ini lebih dulu dikendalikan oleh Pemerintah Daerah, yang ditindaklanjuti dengan adanya pembentukan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Pertambangan Mineral dan Batubara di daerah yang memberikan wewenang bagi daerah untuk mengendalikan aktivitas apapun. Apabila kondisi tidak memungkinkan, maka Pemerintah Daerah dapat mengeluarkan Peraturan Bupati untuk mengisi kekosongan hukumnya.

 

4.             Kerjasama dengan Pemerintah

Sebagai upaya untuk menjawab permasalahan yang saat ini terjadi, Pemerintah Daerah dapat meminta Pemerintah untuk memfasilitasi dalam melakukan eksplorasi tambang emas terkait dengan kandungan emas yang ada. Hal ini akan menentukan adanya IUP atau IPR. Dengan kapasitas emas yang terbatas dan investasi yang sifatnya juga terbatas, maka Pemerintah Daerah dapat mengembangkan IPR yang dikelola oleh koperasi untuk kepentingan masyarakat di sekitarnya.

 

5.             Dampak Lingkungan Hidup

Akibat dilakukannya aktivitas penambangan emas secara liar di Gunung Botak, tanpa pengendalian limbahnya telah mengakibatkan tercemarnya lingkungan di Pulau Buru. Kondisi ini akan berdampak bagi sumber daya manusia maupun sumber daya alam di Pulau Buru.

 

IV . KESIMPULAN DAN SARAN

 

A.    Kesimpulan

 

Dari apa yang telah diuraikan penulis, maka kesimpulan adalah; Dalam pengelolaan pertambangan emas tidak memperhatikan proses- proses pengelolaannya sehingga lingkungan disekitar pertambangan tercemar oleh merkuri dan sianida dan akan berdampak pula kepada manusia . Pemerintah kurang memperhatikan antara penambang dan masyarakat adat sehingga dapat berakibat konflik.serta kurang ada perhatian dari pemerintah mengenai izin untuk melakukan penambang.

 

 

B.     Saran

                      Berdasarkan pada uraian kesimpulan diatas, maka saran adalah , Unttuk menghindari adanya penambangan liar di gunung Botak, pemerintah daerah Buru dapat membuat suatu aturan khusus mengenai pertambangan yang disusun atas dasar prinsip – prinsip lingkungan dan hukum. Pemerintah daerah juga dapat mengeluarkan berbagai peraturan yang lebih meningkatkan peran dan partisipasi masyarakat adat yang didalamnya memuat pembagian zona wilayah pertambangan, mencegah terjadinya tumpang tindih kepentingan.

 

 

Daftar Pustaka

 

Adrian Sutedi, Hukum Pertambangan, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2011

Adjad Sudradjat, Otonomi Pengelolaan sumberdaya mineral dan pengembangan masyarakat

                              Penerbit LPM UNPAD,2006      

Irma Hanafi, Makalah, Kebijakan Daerah terhadap pengelolaan penambangan liar di gunung                Botak, Kabupaten Buru,2012

Nandang Sudrajat, Teori dan Praktik Pertambangan Indonesia Menurut Hukum, Penerbit Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2010.

 

Mangara P. Pohan dan Ridwan Arief, Evaluasi Potensi Bahan Galian Pada Bekas Tambang Dan Wilayah Peti Daerah Balai Karangan Sanggah Kalimantan Barat, Proceeding Pemaparan Hasil-hasil Kegiatan Lapangan Dan Non Lapangan Tahun 2006, Pusat Sumber Daya Geologi

Otto Soermawoto, Ekologi Lingkungan hidup dan pembangunan, djambatan, Bandung 1997 .

 

P. Joko Subagjo, Hukum lingkungan masalah dan penagulangan, Rineke Cipta jakarta 2002

Satjitno Raharjo, Masalah Penegakan hukum suatu tinjauan sosiologis, Bandung, sinar Baru,

              1999

Wisnu Arya Wardhana, Dampak Pencemaran Lingkungan, Andi Yogyakarta 2001

S.E.M. Nirahua,  Penegakan Hukum Terhadap Aktivitas Penambangan Emas Di Gunung Botak,  melalui: www.fhukum-unpatti.org,

 

Ary Wahyono, Pentingnya Komunikasi Antara Stake Holders Dalam Penanganan Pertambangan Tanpa IJIN (PETI), Komunika Vol 9 No 2 2006 51-62. Melalui:

http://books.google.co.id/books?id=cOZMuLJt6q8C&pg=PA62&lpg=PA62&dq=Kebijakan+daerah+tentang+pertambangan+liar&source,

 

Siallagan, Analisis Buangan Berbahaya Pertambangan Emas di Gunung Pongkor (Studi Kasus: Desa Cisarua, Desa Malsari, Deasa Kantarkaret, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor), Institut Pertanian Bogor,2010, melalui:

http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/27350/Bab%20II%20Tinpus%20H10mbs-4.pdf?sequence=7

 

1.      Undang-Undang Dasar 1945

2.      Undang Undang 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengeloaan lingkungan Hidup

3.      Undang – Undang No 4 tahun 2009

 



[1] Danusaputra, Penegakan Hukum dalam perspektif etika, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 1995, hlm 8

[2] Ari Wahyono, Pentingnya Komunikasi Antara stake Holders dalam Penanganan Pertambangan tanpa Ijin (PETI), Komonika Vol 9 No 2 2006

[3] http:/www.bkpm-maluku.com/index.php/komoditi ungulan/pertambangan,diakses pada tanggal 3 Mret 2013

[5]http://www.burukab.go.id/, diakses pada tanggal 3 Maret 2013                                                           

[7] Siallagan, Analisis Buangan Berbahaya Pertambangan Emas di Gunung Pongkor (Studi Kasus: Desa Cisarua, Desa Malsari, Deasa Kantarkaret, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor), Institut Pertanian Bogor, 2010, melalui:http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/27350/Bab%20II%20Tinpus%20H10mbs-4.pdf?sequence=7, diakses pada tanggal 3 maret 2013.

[8] Kajian Ekonomi Regional Propinsi Maluku Triwulan I – 2012, Boks I Imbas Penemuan Tambang Emas Di Pulau Buru,malalui ; http://doc-oo-94-docuiwer,googleuserconent.com. Diakses 4 maret 2013

[9] Data melalui internet, diakses pd tgl 4 maret

[10] .Gubernur siapkan 300 Personil TNI/PolRI tutup paksa Gunung Botak melalui: http:/www,malukuprov.go.id/index.php/component/k2/item/138-Gubernur-siapkan 300-personil TNI-POLRI

[11] Adrian Sutedi, Hukum Pertambangan,Sianar Grafika Jakarta, 2011, hal 193

 

[12] Rusdianto Ekawan, Mengatasi Penambangan Liar, melalui : http://artikel: tambang, blogspot.com/2004/08/mengatasi penambangan liar,html. Diakses pd tgl 9 maret 2013

[13] Mangara P.Pohan dan Ridwan Arief, Evaluasi Potensi Bahan Galian Pada Bekas Tambang Dan Wilayah Peti Daerah Balai Karangan sanggah Kalimantan Barat, Procesding Pemaparan Hasil-Hasil Kegiatan Lapangan Dan Non Lapangan tahun 2006, Pusat Sumber Daya Geologi, hlm 253

[14] Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijakan lingkungan nasional, edisi ketiga (surabaya Airlangga Unversitas Press 2006, hal 26

[15] Penjelasan Umum UU NO 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan Hidup

[16] Makalah Prof Dr S.E.M. Nirahua, SH, MH , disampaikan di Namlea 10 Desember 2012

Tinggalkan Balasan