GOOD GOVERNANCE SEBAGAI INSTRUMEN PREVENTIF TINDAK PIDANA KORUPSI

Korupsi

GOOD GOVERNANCE SEBAGAI INSTRUMEN PREVENTIF

TINDAK PIDANA KORUPSI[1]

 

S. E. M. Nirahua

 

Pendahuluan

Maraknya praktek korupsi saat ini dengan berbagai modus operandi menyebabkan Pemerintah berupaya untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Kemudian Pemerintah membentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagai pengadilan khusus yang proses pidananya pula dilaksanakan oleh kelembagaan khusus berupa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memeriksa, mengadili dan memutus tindak pidana korupsi.

Tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 memiliki delik inti (bestandeel delict) berupa perbuatan melawan hukum (Pasal 2) dan penyalahgunaan wewenang (Pasal 3). Terkait dengan delik inti penyalahgunaan wewenang, hal ini masih merupakan debatable karena unsur penyalahgunaan wewenang tidak dapat diuji dalam ranah hukum pidana. Tentunya parameter pengujian penyalahgunaan wewenang harus didasarkan pada hukum administrasi.

Adanya tindakan penyalahgunaan wewenang yang berakibat sebagai tindak pidana korupsi pada hakikatnya merupakan tindakan maladministrasi yang dilakukan oleh pribadi dengan maksud tertentu yang bertentangan dengan prinsip Good Governance. Karena itu tulisan ini diarahkan pada upaya preventif adanya tindak pidana korupsi yang disebabkan oleh penyalahgunaan wewenang. Upaya preventif ini harus dilakukan dengan menggunakan prinsip Good Governance.

 

Tindakan Maladministrasi

Istilah maladministrasi (maladministration) dalam Black Law Dictionary diartikan sebagai ”poor management and regulation”. Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati memberi arti yang lebih tegas ”The concept of maladministration is related to administrative behavior. Maladministration as derived from Latin mal – malum meaning bad or devil and administration – administrare meaning service. In thus sense, maladministration stands for bad service. Oleh Sunaryati Hartono, ”maladministrasi” diartikan secara umum sebagai perilaku tidak wajar (termasuk penundaan pemberian pelayanan), kurang sopan dan tidak peduli terhadap masalah yang menimpa seseorang disebabkan  oleh perbuatan penyalahgunaan kekuasaan, termasuk penggunaan kekuasaan secara semena-mena atau kekuasaan yang digunakan untuk perbuatan yang tidak wajar, tidak adil, intimidatif atau diskriminatif, dan tidak patut didasarkan seluruhnya atau sebagian atas ketentuan undang-undang atau fakta tidak masuk akal, atau berdasarkan tindakan unreasonable, unjust, oppresive dan diskriminatif.

Berpijak dari apa yang dikemukakan di atas, tindakan maladministrasi berkaitan dengan tindakan atau perilaku penyelenggara administrasi pemerintahan dalam pelayanan publik yang menyimpang atau bertentangan dengan norma hukum yang berlaku. Adanya tindakan menyimpang yang bertentangan dengan norma hukum yang berlaku ini dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang.

Tindakan maladministrasi terjadi karena tindakan aparat pemerintahan dimaksud bertentangan dengan norma hukum yang berlaku yang didasarkan pada asas legalitas (legaliteit beginsel). Menurut Sunaryati Hartono, tindakan atau perilaku maladministrasi bukan sekedar merupakan penyimpangan dari prosedur atau tata cara pelaksanaan tugas pejabat atau aparat pemerintahan, tetapi juga dapat merupakan perbuatan melanggar hukum pemerintah (onrechtmatige overheidsdaad), detournement de pouvoir atau detournement de procedure. Komisi Ombudsman Nasional memberi indikator bentuk maladministrasi, antara lain: melakukan tindakan yang janggal (inappropriate), menyimpang (deviate), sewenang-wenang (arbitrary), melanggar ketentuan (irregular/illegitimate), penyalahgunaan wewenang (abuse of power) atau keterlambatan yang tidak perlu (undue delay) dan pelanggaran kepatutan (equity).

Beberapa jenis maladministrasi menurut Anton Sujata antara lain :

1.        pemalsuan / persekongkolan forgery (conspiracy);

2.        intervensi (intervention);

3.        penangangan berlarut / tidak menangani (undue delay);

4.        inkompetensi (incompetence);

5.        penyalahgunaan wewenang / berlebihan (abuse of power);

6.        nyata-nyata berpihak (impartiality);

7.        menerima imbalan (uang, hadiah, fasilitas, praktek KKN / bribblety / corruption, collustion, nepotisme practices);

8.        penggelapan barang bukti / penguasaan tanpa hak (illegal possession and ownersing);

9.        bertindak tidak layak (misleading practices);

10.    melalaikan kewajiban (unfulfil obligation);

11.    lain-lain (others)

Lebih luas lagi Sunaryati Hartono merumuskan 20 substansi permasalahan yang menjadi kompetensi Ombudsman, meliputi :

1.        penundaan berlarut;

2.        tidak menangani;

3.        persengkongkolan;

4.        pemalsuan;

5.        di luar kompetensi;

6.        tidak kompeten (tidak mampu atau tidak cakap);

7.        penyalahgunaan wewenang;

8.        bertindak sewenang-wenang;

9.        permintaan imbalan uang / korupsi;

10.    kolusi dan nepotisme;

11.    penyimpangan prosedur;

12.    melalaikan kewajiban;

13.    bertindak tidak layak / tidak patut;

14.    penggelapan barang bukti;

15.    penguasaan tanpa hak;

16.    bertindak tidak adil;

17.    intervensi;

18.    nyata-nyata berpihak;

19.    pelanggaran undang-undang;

20.    perbuatan melawan hukum (bertentangan dengan ketentuan yang berlaku dan kepatutan).

Tindakan maladministrasi memiliki kaitan erat dengan sikap dan perilaku aparatur pemerintahan. Adanya tindakan yang mengarah pada penyalahgunaan wewenang dan berdampak pada tindakan korupsi lebih tepat merupakan tindakan maladministrasi. Penyalahgunaan wewenang sebagai tindakan maladministrasi memiliki konsekuensi tanggungjawab pribadi dari aparatur pemerintahan yang melakukan tindakan dimaksud. Dengan demikian, hakim dalam peradilan pidana tidak dapat melakukan pengujian terhadap tindakan penyalahgunaan wewenang yang merupakan tindakan maladministrasi yang berdampak pada terjadinya tindakan korupsi. Upaya pencegahan terhadap terjadinya tindakan maladministrasi tentunya dilakukan dengan menggunakan prinsip good governance dalam penyelenggaraan pemerintahan.

 

Instrumen Preventif Melalui Good Governance

Munculnya konsep Good Governance berawal dari adanya kepentingan lembaga-lembaga donor seperti PBB, Bank Dunia, ADB maupun IMF dalam memberikan bantuan pinjaman modal kepada negara-negara yang sedang berkembang. Dalam perkembangan selanjutnya, good governance ditetapkan sebagai syarat bagi negara yang membutuhkan pinjaman dana, sehingga good governance digunakan sebagai standar penentu untuk mencapai pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan.

Konsep good governance mengemuka menjadi paradigma tidak dapat dilepaskan dari adanya konsep governance, yang menurut sejarah pertama kali diadopsi oleh para praktisi di lembaga pembangunan internasional, yang mengandung konotasi kinerja efektif yang terkait dengan managemen publik dan korupsi.

Istilah governance  oleh Bank Dunia didefinisikan sebagai ”the manner in which power is exercised in the management af a country’s social and economic resources for development”. United Nation Development Program (UNDP) menyebutkan ciri-ciri dari good governance, yakni mengikutsertakan semua, transparan dan bertanggungjawab, efektif dan adil, menjamin adanya supremasi hukum, menjamin bahwa prioritas-prioritas politik, sosial dan ekonomi didasarkan pada konsensus masyarakat, serta memperhatikan kepentingan mereka yang paling miskin dan lemah dalam proses pengambilan keputusan menyangkut alokasi sumber daya pembangunan.

Karakteristik good governance menurut UNDP sebagaimana dikutip Lembaga Administrasi Negara (LAN), yang meliputi : 1) Partisipasi (participation); 2) Penegakan hukum (rule of law); 3) Transparansi (transparancy); 4) Daya tanggap (responsiveness); 5) Consensus orientation; 6) Keadilan (equity); 7) Effectiveness and efficiency; 8) Akuntabilitas (accountability); 9) Visi strategis (strategic vision).

Munculnya paradigma good governance di Indonesia dilatarbelakangi dengan semakin berkembangnya tuntutan kualitas demokrasi dan hak asasi manusia dan semakin kurang efektifnya pemerintahan, sehingga masyarakat tidak mentoleransi lagi segala bentuk penyimpangan kepercayaan publik (abuse of public trust) dan semakin menuntut tanggungjawab dan transparansi dan pejabat publik. Berkaitan dengan kenyataan ini, Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999, bahwa asas-asas penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, meliputi :

1.        Asas kepastian hukum

2.        Asas tertib penyelenggaraan negara

3.        Asas kepentingan umum

4.        Asas keterbukaan

5.        Asas proporsionalitas

6.        Asas profesionalitas

7.        Asas akuntabilitas

Berbicara mengenai good governance sebagai instrumen preventif terhadap tindakan korupsi, maka konsep good governance dapat dijadikan sebagai indikator pengujian suatu tindakan aparatur pemerintahan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Tentunya penyelenggaraan pemerintahan yang didasarkan pada good governance, maka setiap aparatur akan menyelenggarakan fungsi pemerintahan secara baik.

Dalam hukum administrasi, good governance merupakan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Hal ini dikemukakan oleh G.H. Addink, bahwa memaknai asas good governance sama dengan asas good administration (principle of Good Governance same as principle of Good Administration) dan merumuskan secara detail menjadi delapan asas yang mencakup karakter positif maupun negatif, meliputi:

1.    Asas larangan bertindak sewenang-wenang;

2.    Asas keadilan atau asas kewajaran;

3.    Asas kepastian hukum;

4.    Asas kepercayaan;

5.    Asas kesamaan;

6.    Asas proporsionalitas atau asas keseimbangan;

7.    Asas kehati-hatian; dan

8.    Asas pertimbangan.

Apabila delapan asas di atas dijadikan sebagai dasar hukum norma perilaku bagi penyelenggaraan pemerintahan oleh aparatur, asas-asas ini akan menjadi norma preventif agar tidak terjadinya perbuatan korupsi yang mengarah kepada tindak pidana korupsi. Adanya penyalahgunaan wewenang merupakan tindakan maladministrasi yang disebabkan adanya tindakan yang tidak didasarkan pada tujuan pemberian wewenang dimaksud. Dengan adanya kedelapan asas good governance di atas, aparatur pemerintahan akan melakukan tugas dan fungsi pemerintahan dengan senantiasa memperhatikan asas-asas dimaksud.

Disadari bahwa aplikasi terhadap asas-asas dimaksud, bukanlah suatu tindakan yang mudah dan cepat terpenuhi. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu koordinasi yang baik dan terintegrasi, profesional serta kepedulian terhadap lingkup kerja, dan memiliki etik-moral yang tinggi, sehingga terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang aspiratif dan profesional agar tidak mealkukan tindakan yang akan berakibat terjadinya tindak pidana korupsi.   

 

Penutup

Tindak pidana korupsi yang didasarkarkan pada tindakan penyalahgunaan wewenang pada hakikatnya berada pada ranah hukum administrasi sebagai tindakan maladministrasi. Sebagai upaya preventif agar tidak terjadinya tindak pidana korupsi dalam bentuk penyalahgunaan wewenang, maka diperlukan adanya asas good governance yang dalam hukum administrasi dikenal dengan asas good administration atau Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik.

 

 

 

Daftar Bacaan

Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, Seventh Edition, West Group, St. Paul, MINN, 1999.

Philipus M. Hadjon, Konsep Dasar Hukum Administrasi, makalah disampaikan pada ceramah tanggal 29 Maret 2004 di Kantor Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara.

Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati,  Maladministrasi sebagai Dasar Penilaian Perilaku Administrasi (Maladministration as the Criteria of Review of Administration Behavior), disampaikan dalam Seminar Non-Judicial Enforcement of Human Right and Good Governance: The Ombudsman – And The Human Rights Commissions in a Comparative Perspective, Kerjasama Universitas Airlangga – Universiteit Utrecht, Surabaya, 15-17 April 2004.

Sunaryati Hartono, Panduan Investigasi untuk Ombudsman Indonesia, Komisi Ombudsman Nasional, Jakarta, 2003.

Anton Sujata, et.al., Ombudsman Indonesia Masa Lalu, Sekarang, dan Masa Mendatang, Komisi Ombudsman Nasional, Jakarta, 2002.

Hafifah Sj. Sumarto, Inovasi, Partisipasi dan Good Governance, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2003.

Joko Widodo, Good Governance Telaah dari Dimensi: Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi Pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Insan Cendekia, Surabaya, 2001.

Galang Asmara, Kedudukan dan Fungsi Lembaga Ombudsman Ditinjau dari Sistem Pemerintahan dan Sistem Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, Disertasi, 2003.

 


[1] Tulisan ini diterbitkan dalam sebuah buku KOMPILASI PEMIKIRAN TENTANG DINAMIKA HUKUM DALAM MASYARAKAT (Memperingati Dies Natalis ke -50 Universitas Pattimura Tahun 2013), 2013

 

Tinggalkan Balasan