KORUPSI DAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA

Korupsi

KORUPSI DAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA[1]

Oktovianus Lawalatta

A.      Pendahuluan

Fenomena korupsi sudah ada sejak manusia mulai menata kehidupannya dalam bentuk organisasi-organisasi yang teratur. Insentitas korupsi berbeda-beda waktu dan tempatnya, seperti problem sosial lainnya, korupsi sangat ditentukan oleh berbagai faktor di luarnya. Pada awalnya catatan korupsi menunjuk pada  persoalan penyuapan kepada para hakim dan tingkah laku para pejabat pemerintah, yang mula-mula dianggap sebagai perbuatan korupsi.[2]

Semakin berkembangnya masyarakat dan organisasi negara, korupsi juga mengalami evolusi dari satu fase kehidupan ke fase kehidupan lainnya. Hampir disemua negara ditemukan adanya korupsi, walaupun dengan intensitas yang berbeda satu dengan yang lainnya, sehingga ada yang mengatakan bahwa suatu pemerintahan akan tumbang bila perbuatan korupsi tidak diberantas. Perilaku korupsi tidak saja terdapat di negara demokrasi saja, dalam negara diktator militer juga korupsi ada. Dalam setiap tahapan pembangunan dari segala sistem ekonomi, dari negara kapitalis terbuka seperti Amerika Serikat, sampai pada ekonomi yang direncanakan secara terpusat seperti terdapat dibekas Negara Uni Soviet sekalipun.[3]

Oleh karena itu, korupsi tidak hanya ada di negara-negara maju, tetapi juga ada di negara-negara berkembang dan negara miskin. Di negara-negara berkembang dan miskin korupsi menghalangi pertumbuhan ekonomi, dan menggorogoti keabsahan politik yang selanjutnya memperburuk kemiskina dan kehidupan masyarakat. Dan juga dapat menggorogoti dukungan terhadap demokrasi dan suatu ekonomi pasar.

Di Indonesia sekarang korupsi telah menjadi gurita dalam sistem pemerintahan dan merupakan gambaran dari betapa boroknya tata pemerintahan di negara ini. Fenomena ini telah menghasilkan kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan, serta buruknya pelayanan publik. Dan akibat dari korupsi penderitaan selalu dialami oleh masyarakat terutama masyarakat kecil yang berada di bawah garis kemiskinan. Sekarang saja dibeberapa daerah dari berita-berita di media cetak maupun elektronik, kita bisa membaca dan melihat bahwa banjir, longsor, infrastruktur hancur, taransportasi terganggu, distribusi barang-barang terhambat, kesehatan masyarakat terpuruk dan semuanya ini merupakan efek dari adanya korupsi, yang mau tidak mau dampaknya dirasakan oleh masyarakt kecil yang tidak berdosa.

Kemudian terjadi perubahan sistem pemerintahan dari sentralisasi ke otonomi daerah justru menimbulka persoalan baru, dimana korupsi berpindah dari pusat ke daerah. Dengan berbagai modus operandi, korupsi yang dikemas sedemikian rupa dan terkadang atas nama kebijakan pembangunan telah melahirkan persoalan baru dibeberapa daerah. Begitu banyak terjadi korupsi di daerah baik Provinsi maupun Kabupaten dan Kota yang tersebar di Indonesia. Contoh di Provinsi Maluku, begitu banyak kasus korupsi dan sudah ada beberapa Walikota dan Bupati yang terjerat kasus korupsi.

Pembicaraan mengenai hubungan antara Korupsi dan Hak Asasi Manusia (HAM) nampaknya belum begitu banyak dibicarakan dikalangan akademisi dan praktisi, bahkan belum begitu banyak literatur atau buku teks tentang hal ini. Ini mungkin disebabkan oleh karena substansi korupsi atau tindak pidana korupsi secara tekstual tidak menyinggung secara langsung hubungan substantive korupsi dengan HAM. Padahal korelasi keduanya sangat jelas, karena hampir dalam semua kasus korupsi, secara langsung maupun tidak langsung akan diikuti oleh pelanggaran HAM. Perbuatan  korupsi selalu berawal dari adanya penyalahgunaan kekuasaan, artinya pelaku korupsi biasanya dilakukan oleh para pemegang kekuasaan. Dengan kata lain, bahwa perbuatan menyimpang yang dilakukan oleh aparat birokrasi dalam bentuk korupsi, dapat membuat kesengsaraan bagi rakyat kecil disuatu negara. Itu artinya dengan perbuatan korupsi telah terjadi perampasan terhadap hak-hak masyarakat atas hak ekonomi, sosial dan budaya, itu berarti telah terkadi pelanggarn HAM.

Berdasarkan penjelasan diatas, timbul permasalahan apakah Perbuatan Korupsi bisa dikatakan sebgai bentuk Pelanggaran Hak Asasi Manusia, terutama terhadap Hak Ekonomi Sosial dan Budaya?

 

B.       Pembahasan

1.      Korupsi

Kata korupsi secar4a etimologi berasal dari bahasa Latin “koruptio” artinya “penyuapan”, atau  “corrumpere” artinya “merusak”. Hal ini terjadi dimana  para pejabat badan-badan negara menyalah gunakan jabatan mereka sehingga memungkinkan terjadinya penyuapan, pemalsuan, serta berbagai ketidakberesan lainnya[4]. Dari bahasa Latin inilah berkembang ke bahasa-bahasa lain, seperti Inggris menggunakan istilah “corruption”, “Corupt”, Perancis menggunkana istilah “corruption”, Belanda menggunakan istilah “corruptive”. Dalam Kamus Iatilah Hukum  Fockema Andreae kata corruptie terutama dipakai bagi pegawai negara yang mendapat uang sogok yaitu menerima pemberian dan sebagainya sedangkan mereka tahu bahwa pemberian itu dimaksudkan untuk melakukan hal yang bertentangan dengan kewajiban jabatannya. [5]

Kata korupsi digunakan pertama kali oleh Poerwadarminta dalam Kamus Bahsa Indonesia, merupakan terjemahan dari kata bahasa Belanda “corruptive”. Kemudian Korupsi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “ penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaanuntuk keuntungan pribadi atau orang lain.[6]

Menrurt Oemar Seno Adji[7], bahwa arti harfiah dari kata “korupsi” adalah “kebusukan, Kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah. Jadi, inti korupsi adalah penyalahgunaan kepercayaan orang banyak untuk kepentingan pribadi”.

Rumusan pengertian korupsi yang lain, dikemukakan oleh Brooks, [8] adalah “dengan sengaja melakukan kesalahan atau melalaikan tugas yang diketahui sebagai kewajiban atau tanpa hak menggunakan kekuasaan, dengan tujuan memperoleh keuntungan yang sedikit banyak bersifat pribadi” .

Pitlo, dkk[9] mengutip pendapat Schroder yang mengatakan bahwa pertama-tama haruslah dipahami bahwa tidak ada definisi korupsi yang mengikat secara umum, dan bahwa korupsi didefinisikan secara berbeda-beda oleh masyarakat yang satu dengan yang lain. Kemudian Pitlo dkk mencoba memberikan batasan penegertian korupsi berdasarkan konsep-konsep ilmu pengetaahuan, antara lain:

a.    Dalam Ilmu politik, secara umum berlaku definisi “korupsi merupakan penyelahgunaan jabatan dan administrasi, ekonomi atau politik, baik yang disebabkan oleh diri sendiri maupun orang lain yang dilakukan untuk memperoleh keuntungan pribadi, sehingga menimbulkan kerugian bagi masyarakat umum, perusahaan atau pribadi lainnya.

b.    Ilmu Ekonomi, para ahli ekonomi memberikan definisi yang konkret tentang korupsi sebagai berikut: “bagi para pihak yang terlibat, korupsi merupakan pertukaran yang menguntungkan (antara prestasi dan kontraprestasi dengan imbalan materi atau non materi) yang terjadi secara diam-diam dan sukarela, yang melanggar norma-norma yang berlaku, dan setidaknya merupakan penyalahgunaan jabatan atau wewenang yang dimiliki oleh salah satu pihak yang terlibat dalam bidang publik maupun swasta”.

 

2.      Hak Asasi Manusia (HAM)

Di dalam berbagai literature tetang Hak Asasi Manusia, Hak Asasi Manusia dikenal dikenal dengan berbagai istilah, antara lain: Hak Asasi manusia, Hak-hak Asasi Manusia, Hak-hak Dasssar, atau Hak-hak Fundamental. Dari berbagai istilah ini nampaknya “Hak Asasi Manusia dan Hak-hak Asasi Manusia” lebih populair dari pada istilah-istilah lainnya, sebagai terjemahan dari istilah “human rights” (Inggris) atau “mensenrechten” (Belanda) dan “droit de I’homme” (Perancis). Namun ada pula pihak tertentu menolak menggunakan istilah “Hak Asasi (manusia)” dan lebih memilih istilah lain seperti “hak-hak dasar” atau “hak-hak fiundamental.”[10]

Dalam sejarah modern, HAM berkembang pesat menjadi bahan pembicaraan di tingkat internasional setelah berakhirnya Perang Dunia II (PD II) dipertengahan abad ke 20. Sejak itu HAM menjadi bahan pembicaraan dan perhatian dunia yang luar biasa, baik dalam konsep maupun jumlah perangkat peraturan (hukum) yang mengaturnya. HAM mulai dikenal dengan istilah “fundamental human right” (diterjemahkan sebagai “hak dasar manusia”) yang dikenal sekarang dengan istilah “Human Rights” (hak-hak manusia). Hak ini, sebetulnya sudah ada sejak Abad ke-18 dikenal dengan istilah “The Right of Man” (hak manusia). Diakhir Abad ke 20 hampir di seluruh dunia masalah HAM diangkat sebagai hal yang penting untuk dibicarakan, apalagi dalam negara yang menjunjung tinggi Demokrasi. HAM dianggap sebagai konsep etika politik modern dengan gagasan intinya adalah “adanya tuntutan moral secara potensial amat kuat untuk melindungi orang dan kelompok orang yang lemah dari praktek kesewanangan mereka yang kuat”, baik secara kedudukannya, usia, status, jenis kelamin dan lain-lain sebagainya.

Secara harfiah hak asasi adalah hak pokok atau mendasar. Kata “hak” sangat korelatif dengan “kewajiban”, sebab orang memiliki hak sekaligus memiliki kewajiban. Artinya bahwa kalau kita membahas hak tidak bisa melepaskan diri dari membicarakan kewajiban juga, karena itu merupakan kodrat, martabat atau derajat manusia. Sebab terkadang orang berteriak untuk memperoleh perhatian atas pemenuhan haknya, padahal dia lupa bahwa dia sementara melanggar hak orang lain yang merupakan kewajibannya (misalnya: para pendemo yang menggunakan sebagaian jalan raya dengan demikian menutup hak orang lain untuk menggunakan jalan tersebut).

Pengertian HAM dari beberapa instrument baik internasoional maupun nasional, dapat dikemukakan sebagai berikut:

Telah dikemukakan di atas bahwa setelah PD II HAM mulai mendapat perhatian semua negara, sehingga lahirlah suatu deklarasi yang disepakati oleh semua negara Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), sehingga dalam Sidang PBB pada Tahun 1948 dideklarasikan suatu deklarasi yang disebut dengan istilah “Universal Declaration of Human Rights” (Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia disingkat DUHAM). Bila dibaca dalam Pasal 1, 2, dan 3 maka dapat ditemukan rumusan tentang apa itu HAM, yaitu:

Pasal  1: “semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani, dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam semangat persaudaraan”.

Pasal  2: “setiap orang berhak atas setiap hak dan kebebasan yang tercantum dalam dklarasi ini tanta keterkecualian seperti perbedaan ras, warna kulit, enis kelamin, bahasa, agama, dan politik”.

Pasal  3: “setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu”.

Pengaturan di atas pada saat dideklarasikan telah mendapat persetujuan dan diterima oleh 175 negara yang tergabung dalam keanggotaan PBB, sekalipun dalam masing-masing instrument hukum negaranya mereka akan merumuskan sesuai dengan formulasi bahasa dan kondisi negara mereka masing-masing.

Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang dideklariskan pada tahun 1984 dari sisi hukum tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum, karena hanya sebuah declare atau “pernyataan”. Oleh sebab itu pada Tahun 1951 Majelis Umum PBB meminta kepada Komisi HAM PBB untuk menyiapkan istrumen yang memiliki kekuatan mengikat, sebagai pendukung DUHAM, dan pada Tanggl 16 Desember Tahun 1966, 2 (dua) Draft Kovenan dengan Resolusi 2200A (XXI) Majelis Umum PBB mengesahkan 2 (kovenan) yang mulai berlaku 1976 (karena dibutuhkan 10 tahun untuk sosialisasi ke sumua negara anggota PBB), yaitu: International Covenan on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik). Kovenan ini telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4558 dan International Covenan on Economic, Social and Ciultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) telah diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005, Lembaran Negara republic Indonesia tahun 2005 Nomor 117, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4557.[11]

Di Indonesia dalam Piagam HAM yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Ketetapan MPR RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia , dirumuskan bahwa HAM  adalah: 

“hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia secara kodrati, universal dan abadi sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, meliputi hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak keamanan dan kesejahteraan, yang oleh karena itu tidak boleh diabaikan atau dirampas oleh siapapun”.

                 

Dalam Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pada Bab I Pasal 1 Angka 1, merumuskan bahwa Hak Asasi Manusia adalah “seperangkat hak yang melekat pada hakikat dari keberadaan manusia sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, Hukum dan Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”. Dan hak-hak yang diatur dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999, adalah:[12]

1)         hak untuk hidup; 2) hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, 3) hak untuk mengembangkan diri, 4) hak untuk memperoleh keadilan, 5) hak atas kebebasan pribadi, 6) hak atas rasa aman, 7) hak atas kesejahteraan, 8) hak turut serta dalam pemerintahan, 9) Hak Perempuan, 10) Hak Anak.

 

Betapa pentingnya Hak Asasi Manusia (HAM) bagi Bangsa dan Negara Indonesia, sehingga HAM dimuat dalam Konstitusi Negara Indonesia Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, diatur dalam Pasal 28A sampai dengan pasal 28J. Pengaturan ini menandakan bahwa pemerintah dan seluruh lapisan Masyarakat Indonesia sangat menjunjung tinggi HAM. 

 

C.      Korupsi Sebagai Bentuk Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Dalam berbagai survey yang dilakukan oleh lembaga-lembaga yang kredibel,  lembaga peradilan ditempatkan sebagai salah satu lembaga yang tingkat korupsinyta tinggi. Penelitian yang dilakukan oleh LSM Kemitraan pada tahun 2010 menemukan bahwa Lembaga Legislatif sebagai lembaga terkorupsi nomor satau dengan prosentasai 78%, sedangkan Lembaga Yudikatif dengan prosentase 70%, dan Lembaga Eksekutif dengan prosentase 32%. Demikian pula dengan [enelitian yang dilakukan oleh Soegeng Suryadi Syndicate (SSS) pada Mei 2012. Hasi survey SSS menempatkan DPR (dari puasat samapai daerah) sebagai lembaga terkorup yakni 47% dari 2192 responden. Di bawah DPR lembaga terkorup berikutnya adalah Kantor Pelayanan Pajak (21,4%), Kepolisian (11.3%), Partai politik (3,9%), Kejaksaan (3.6%), Layanan Birokrasi (3,1%), Lambaga Kehakiman (2,6%), Bank Insdonesia (1,2%) dan Mahkamah Konstitusi (1%). Hasil survey tersebut ternyata berbanding lurus dengan ketidak puasan masyarakat atas kasus-kasus yang ditangani oleh lembaga peradilan.[13]

Melihat pada hasil survey di atas, dapat dikatakan bahwa Kejahatan Korupsi sungguh-sungguh sangat berbahaya dan karenanya harus ditangani dengan tepat, dan dengan perangkat hukum yang memadai pula, Romli Atmasasmita[14] memberikan penegasan serta penguatan bahwa:

 Korupsi di Indonesia sudah merupakan kejahatan yang sangat luar biasa (extra ordinary crimes) sehingga tuntutan ketersediaan perangkat hukum yang sangat luar biasa dan canggih serta kelembagaan yang kuat untuk menangani korupsi tidak dapat dielakan lagi. Kiranya rakyat Indonesia sepakat bahwa korupsi harus ddicegah dan dibasmi dari tanah air, karena korupsi sudah terbukti sangat menyengsarakan rakyat”.

 

Ketegasan gagasan korupsi sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat menurut Jimly Asshiddiqie[15] adalah:

Keseimbangan dalam penerapan prinsip doelmatigheid dan penerapan prinsip rechtsmatigheid dapat ditemukan jika majels hakim dapat mengembangkan pemikiran yang bersifat kontekstual. Selanjutnya dijelaskan bahwa kejahatan korupsi telah berurat akar dalam keseluruhan sendi kehidupan masyarakat Indonesia, sehingga sudah melebihi dampak dan bahaya pelanggaran hak asasi manusia sehingga kejahatan korupsi dapat disetarakan dengan jenis pelanggaran hak asasi manusia yang berat (gross violation of human rights).

         

Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebar dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme mengatur bahwa “praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme tidak hanya dilakukan antara penyelenggaran negara, melainkan juga antara penyelenggara negara dengan pihak lain yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara, serta membahayakan eksistensi Negara”.

Pembicaraan Korupsi dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) pada kesempatan ini adalah pelanggaran terhadap pemenuhan Pemenuhan Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Kelompok hak-hak ini berbeda dengan Hak-hak Sipil dan Politik. Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya secara langsung bersentuhan dengan kebutuhan masyarakat pada umumnya. Seperti: fasilitas penyediaan pangan, pendidikan, kesehatan, perumahan dan pekerjaan yang memungkinkan bagi setiap individu anggota masyarakat di suatu wilayah baik tingkat pusat maupun daerah untukhidup minimal dengan layak. Tanggung jawab pemenuhan atas hak-hak ini tentunya diikuti dengan mekanisme akuntabilitas negara terhadap pelaksanaan pemenuhan dan perlindungan hak-hak yang terkandung dalam hak ekonomi, social dan budaya.

Pemenuhan atas hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, semestinya dilakukan dengan rasa tanggung jawab oleh negara. Namun, jika uang yang semestinya digunakan untuk membuat rakyat lebih baik dan sejahtera sudah dikorupsi menyebabkan terjadi banyak penderitaan dikalangan masyarakkat kecil. Sehingga dapat kita lihat dampaknya adalah begitu banyak kejahatan yang terjadi, seperti perampokan, penculikan, penodongan, bahkan pembunuhan, semuanya ini dapat dikatakan sebagai asal dari kebutuhan akan hidup. Selain itu terjadi juga kemiskinan, kekurangan gisi, anak-anak putus sekolah, lapangan kerja semakin kurang, dan lain-lain. Hal ini dikarenakan uang yang disediakan oleh APBN dan APBD telah dikorupsi oleh para pelaksana/penguasa yang bekerja sama dengan para pengusaha.

Tidak terpenuhinya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, mengakibatkan terjadi pelanggaran atas isi Kovenan Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, sekaligus merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Secara umum yang disebut pelanggaran dalam kovenan ini, menurut Allan McChesnay[16]

1.      Gagal mengambil tindakan untuk melindungi hak yang sudah ada;

2.      Tidak mengambil tindakan cepat untuk mencegah gagalnya terpenuhi hak;

3.      Gagal memnuhi suatu kewajiban yang diharuskan oleh kovenan;

4.      Tidak berhasil mencapai pemenuhan hak dalam tingkat yang minimum, padahal dibutuhkan oleh sebagaian besar masyarakat;

5.      Membatasi pemenuhan suatu hak yang diakui dalam kovenen dengan cara yang tidak dibolehkan oleh kovenan;

6.      Dengan sengaja menghentikan atau memperlambat perkembangan bertahap dalam pemenuhan suatu hak;

7.      Membatalkan atau mengurangi program yang telah membantu terpenuhinya kovenan;

8.      Gagal memberikan laporan kepada berkala PBB.

Fakta membuktikan bahwa korelasi antara tindakan korupsi dengan pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, khusausnya Hak Atas Pekerjaan, Hak Atas Rasa Aman bagi masyarakat, Hak untuk mendapatkan standard kehidupan yang layak, Hak Atas Kesehatan, Hak Pendidikan, Hak Atas Perumahan dan Hak Atas Lingkungan Bersih dan Sehat, Hak untuk mengembangkan budaya yang dimiliki. Secara siknifikan sangat berpengaruh,, karena ketika tindakan korupsi dilakukan pasti akan menyebabkan terhambatnya pemenuhan hak-hak tersebut di atas.

 

D.    Penutup

Berdasarkan pembahasan di atas, maka kesimpulan yang dapat disampiakan adalah: “Korupsi di Indonesia sudah merupakan kejahatan yang sangat luar biasa (extra ordinary crimes). Dan apabila dihubungkan dengan Hak Asasi Manusia, khususnya pemenuhan Hak-hak Ekonomi Sosial, dan Budaya, maka jika terjadi  Tindak Pidana Korupsi, dapat dikatakan telah terjadi Perlsnggaran Hak Asasi Manusia. Keran dana yang disediakan oleh Pemerintah untuk Pemenuhan Hak-hak tersebut telah dikorupsi. Untuk itu dibutuhkan pengaturan yang luar biasa dalam ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang Tindak Pidana Korupsi merupakan Pelanggaran HAM dalam ketegori HAM Berat (gross violation of human rights). Karena Tindak Pidana Korupsi dapat menyengsarakan masyarakat banyak diseluruh Insdonesia. Selain peraturan maka  kelembagaan yang kuat, sumber daya manusia yang tidak korup dan didukung oleh semua lapisan masyarakat harus dibentuk.

 

DAFTAR PUSTAKA

Allan McChesney, Memajukan dan Membea Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Insist Press, Cetakan pertama, Yogyakarta, 2003.

Affandi Hernadi, Konsepsi, Korelasi, dan Implementasi Hak Asasi Manusia dan Good Governance, tulisan dalam Mengurai Kompleksitas Hak Asasi Manusia (Kajian Multi Perspektif), PUSHAM-UII, Yogyakarta, 2005.

Ifdal Kasim, Implementasai Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Kerangka Normatif dan Standar, Makalah, disampaikan dalam Seminar Nasional Menuju Perlindungan dan Pemantauan yang Efektif Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya di Indonesia, dilaksanakan oleh Kerjasama Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta dengan Norwegian Centre for Human Rights, Yogyakarta, 16 – 18 April 2007.

Jimly Asshiddiqie, Judicial Review Kajian Atas Hak Uji Materiil Terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2000 Tentang Tim gabungan Tindak Poidana Korupsi, Majalah Hukum dan HAM, Edisi ke Sepuluh Tahun ke Dua, Desember, Tangerang, 2006.

Kemberly Ann Eliot, Korupsi dan Ekonomi Dunia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2009

Komisi Yudisial Republik Indonesia, Komitmen Kebersamaan Dalam Membangun Peradilan yang Bersih, Jakarta, 2013

Oemar Seno Aji, Korupsi dan Beban Pembuktian, Oemar seno Adji & Rekan, Jakaarta, 2006.

Pitlo, dkk, Mengenai Teori-teori Politik dan Sistem Politik Sampai Korupsi, Jakarta, 2006.

Romly Atmasasmita, Korupsi, Good Governance dan Komisi Anti Korupsi di Indonesia, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen kehakiman dan HAM Republik Indonesia, Jakarta 2004.

S.H. Alatas, Korupsi, Sifat, Sebab dan Fungsi, LP3ES, Jakarta, 1987.

 

Peraturan Perundang-undangan;

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886

Undang-undang Nomor 12 Tahun 1999, Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersi dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Lambaran Negara

Undang-undang Nomor 11 tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Economic, Social, and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya) Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 118, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4557.

Undang-undang Nomor 7 tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption 2003 (Konvensi PBB tentang Anti Korupsi tahun 2003. 

 

 

 

 

Lain-lain:

Ensiklopedi Indonesia, Ichtiar Baru van Hove, jilid 4 Jakarta, 1993.

N.E. Algra dkk, Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae, Belanda – Indonesia, terjemahan Saleh Adiwinata dkk, Cetakan Pertama, Bina Cipta, Jakarta, 1983.

Departemen Pendiddikan dan kebudayaan, Kamus Besar bahasa Indonesia, Cetakan Keempat, Balai Pustaka, Jakarta 1995

 


[1] Tulisan ini diterbitkan dalam sebuah buku KOMPILASI PEMIKIRAN TENTANG DINAMIKA HUKUM DALAM MASYARAKAT (Memperingati Dies Natalis ke -50 Universitas Pattimura Tahun 2013), 2013

[2] S.H. Alatas, Korupsi, Sifat, Sebab, dan Fungsi, LP3ES, Jakarta, 1987, hal. 1

[3] Kemberly Ann Eliot, Korupsi dan Ekonomi Dunia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2009, hal. 1.

 [4] Lihat Ensiklopedi Indonesia, Ichtiar Baru van Hove, Jilid 4, Jakarta, 1983, hal. 1876 

 [5] N.E. Algra dkk, Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae, Belanda – Indonesia, terjemahan Saleh Adwinata dkk, Cetakan Pertama, Binacipta, Jakarta, 1983, hal. 83.

[6] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan keempat, Balai Pustaka, Jakarta, 1995,  hal. 527

[7]Oemar Seno Adji, Korupsi dan Beban Pembuktian, Oemar Seno Adjo & Rekan, Jakarta, 2006. hal. 6  

         [8] Brooks dikuitip oleh H.S. Alatas, Op Cit, hal. 7

[9] Pitlo, dkk, Mengenai Teori-teori Politik dari Sistem Politik Sampai Korupsi, Nuansa, Jakarta, 2006, hal. 404 – 405

[10]Affandi Hernadi, Konsepsi Korelasi, dan Implementasi Hak Aasasi Manusia dan Good Governance, tulisan alam Mengenal Kompleksitas Hak Asasi Manusia (Kajian Multi Perspektif), PUSHAM UII Yogyakarta, Yogyakarta, 2005, hal. 2)

[11] Lihat Ifdal Kasim, Implementasi Hak-hak Ekonomi,  Sosial, dan Budaya, Kerangka Normatif dan Standar, Makalah disampaikan dalam Seminra Nasional Menuju Perlindungan dan Pemantauan yang Efektif Hak-hak Ekonomi, Sosial , dana Buaday di Indonesia, dilaksanakan oleh Kerjasama Pusata Studi HAM Universitas Islam Jogyakarta dengan Norwegian Centre for Human Rights, Yogyakarta, 16 – 18 April 2007.

[12] Lihat Undang-undang Nomor 39 tahun 1999, tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 9 – 52, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia republic Indonesia,  Jakarta, 2010, hal. 47 – 74

[13] Lihat Komisi Yudisil, Komitmen Kebersamaan dalam Membangun Peradilan Yang Bersih, Kertas kerja Komisi untuk Kegiatan Konsultasi Jejarang, Jakarta, 2013, hal. 3

[14] Romli Atmasasmita, Korupsi, Good Governance dan Komisi Anti Korupsi di Indonesia, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM, Jakarta, 2004, hal. 48

[15]Jimly Asshiddiqie, Judicial Review: Kajian Atas Hak Uji Materiil Terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2000 tentang Tim Gabungan Tindak Pidana Korupsi, Majalah Hukum dan HAM, Edisi ke Sepuluh Tahun ke Dua, Desember, Tanggerang, 2006.

[16]Allan McChesney, Memajukan dan Membela Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Insist Press, Cetakan Pertama, Yogyakarta, 2003, hal. 34

 

Tinggalkan Balasan