HUKUM, MORAL DAN PERILAKU KORUPSI[1]
Ronald Z. Titahelu
Pengantar
Pembahasan hukum, moral dan perilaku korupsi dlakukan dengan menggunakan pemikiran H.L.A. Hart. Pemikiran Hart bertolak dari tesis tentang kelangsungan hidup manusia yang bertolak dari fakta bahwa kebanyakan manusia pada kebanyakan waktunya ingin hidup (Hart-Khozim, 2011: 296), Hal ini menarik untuk dipergunakan dalam membahas hukum, moral dan perilaku korupsi oleh karena adanya perilaku korupsi di Indonesia saat ini bila dijumlahkan akan mencapai jumlah yang spektakuler, sehingga menghambat pembangunan bahkan dapat mengancam kelangsungan hidup bangsa dan masyarakat Indonesia. Sebagai bandingan, saya menggunakan juga pandangan Michael Sandel seorang ahli filsafat politik yang kini sangat terkemuka di Amerika Serikat.
Menurut pandangan saya, dengan mengikuti uraian Sandel (2009: 245) kesadaran moralitas lebih mengedepan berdasarkan kepentingan nasional, melebihi tekanan-tekanan berdasar prinsip keagamaan maupun moral sosial. Dengan demikian hal itu perlu dilihat sebagai doktrin utama dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat dan bernegara di Indonesia yang dibangun di atas dasar Pancasila dan penyelenggaraannya dijalankan berdasar Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sebaliknya dapat juga dipahami bahwa dalam lingkup masyarakat plural, seseorang atau sekelompok orang dapat mengedepankan pendapatnya berdasarkan keyakinan moralnya sendiri, akan tetapi di dalam kehidupan politik adalah tidak selayaknya menolak keyakinan moral yang berbeda tetapi diperlukan memperoleh nilai-nilai kebersamaan yang menjadi kepentingan nasional yang dipahami oleh seluruh bangsa dan masyarakat Indonesia, baik secara moral maupun tercapainya keadilan sosial. Resonansi retorika politik yang terwujud di dalam hukum, apapun bertolak juga dari moral yang muncul secara pribadi maupun dari dalam kelompok.
Dimana-mana, termasuk di Indonesia, tekanan terhadap perilaku korupsi sangat dipengaruhi oleh moralitas yang berakar pada pandangan tertentu, baik moral berdasar agama maupun moral sosial yang berakar pada cita-cita dari banyak kelompok tertentu dalam masyarakat. Hal itu tampak pada opini-opini, maupun kritik yang dikedepankan secara pribadi lewat media cetak maupun elektronik. Disinilah tercermin kepentingan atau interes nasional. Walau demikian dapat muncul pendapat bahwa moral maupun cita-cita yang ditampilkan, hanya mengedepankan kewajiban samar-samar untuk dipatuhi. Dengan demikian, acuan terhadap moralitas maupun cita-cita sedemikian tidak menjadi ukuran bagi kesahihan hukum yang berhubungan dengan korupsi. Hukum perlu memperoleh kesahihan bukan karena semata-mata dibuat oleh lembaga yang berwenang namun juga dari moral.
Aspirasi Netralitas
Namun moralitas yang menolak perilaku korupsi berdasar pada pandangan keagamaan atau kelompok tertentu saja, dapat saja menyeret adanya ekspresi yang bertolak belakang dengan interes nasional ketika perilaku korupsi teridentifikasi sebagai komponen dari kelompok. Oleh karena itu, kepentingan atau interes nasional merupakan cita-cita netralitas dalam hukum dan moral. Moral yang menolak perilaku korupsi ditransformasikan ke dalam hukum, menjadi netral terhadap siapapun juga. Sekalipun di dalam bangsa dan masyarakat terdapat perbedaan kekuatan kelompok, kemampuan intelektual maupun kecepatan bertindak, namun semua memiliki kedudukan setara sehingga netralitas sangat diperlukan menghadapi perilaku korup yang dilakukan oleh siapapun juga.
Prinsip-prinsip Perilaku
Berdasar pemikiran klasik Hukum Alam, bahwa “ada prinsip-prinsip perilaku yang menunggu untuk ditemukan oleh akal pikiran manusia”(Hart-Khozim, 2011:287, 288), maka prinsip perilaku menolak korupsi merupakan prinsip yang ditemukan akal pikiran manusia. Penolakan terhadap perilaku korupsi bukan sekedar sebuah mimpi, karena penolakan terhadap perilaku korupsi adalah bagian dari konsepsi umum mengenai kehidupan alam semesta yang materialistik, maupun kehidupan religius.
Dari kehidupan sehari-hari, keinginan berperilaku korup dalam jumlah yang paling sederhana seperti melakukan mark-up harga pembelian barang secara eceran ataupun pada penambahan harga foto-copy, sampai pada jumlah yang sangat besar, didasarkan pada pandangan “Jika dirasa menyenangkan, lakukanlah”, “Ambillah sesuatu yang orang lain juga melakukannya, asal dapat dibuat pertanggung-jawabannya”, pada hakekatnya mencerminkan perbuatan pemuasan diri sendiri, penyelamatan diri sendiri. Perbuatan memuaskan diri sendiri maupun perbuatan menyelamatkan diri sendiri, adalah perbuatan tidak bermoral. Perilaku korupsi sebagai perbuatan tidak bermoral mengungkapkan sebuah kebenaran yang mendalam.
Hukum Sebagai Pedoman
Disinilah letak dari arti perundang-undangan anti korupsi sebagai hukum tentang perilaku yang benar yang ditemukan dalam akal pikiran manusia. Perundang-undangan anti korupsi merupakan sebuah preskripsi yakni pedoman atau rumusan yang menuntut agar manusia berperilaku menurut cara-cara yang ditetapkan. Perbuatan menyelamatkan diri sendiri dan perbuatan memuaskan diri sendiri dalam sekumpulan masyarakat, merupakan gejala yang tidak dikehendaki. Sekalipun perbuatan tidak bermoral berupa pemuasan diri sendiri maupun penyelamatan diri sendiri dapat terjadi dengan sanksi yang samar-samar, namun sejak adanya hukum preskriptif yang mengatur tidak boleh dilakukannya perbuatan korupsi, maka hukum preskriptif tersebut tetaplah merupakan hukum. Bagi Kant, hukum preskriptif berada di bawah hukum umum sebagai prinsip tertinggi moralitas. Prinsip tertinggi moralitas pada hakekatnya adalah prinsip formal tertinggi dari kehendak (formal principle of the will). Sedangkan hukum preskriptif merupakan prinsip marerial tindakan (formal principke of act) yang tergantung pada tujuan-tujuan dan hasrat-hasrat empiris (Acton-Hardani, 2003:43, 44).
Hukum preskriptif sebagai pedoman atau rumusan yang bergantung pada tujuan-tujuan dan hasrat-hasrat empiris atau nyata, menetapkan bahwa perilaku korupsi adalah perilaku yang dapat mengganggu keberlangsungan hidup bersama.
Kebenaran Moralitas dan Hukum
Diakui bahwa manusia sebagai mahluk yang dianugerahi pikiran dan kehendak bebas bisa saja menemukan dan melanggar hukum preskriptif tentang tidak boleh berperilaku korup, akan tetapi di dalam hukum preskriptif tersebut terkandung kebenaran dasar tentang pemahaman atas moralitas dan hukum (Hart-Khozim, 2011:291). Manusia sebagai mahluk hidup senantiasa memiliki arah. Dilihat dari konsep tentang maksud (teleologis) dari gerak manusia, maka manusia menghendaki adanya keunggulan keseluruhan masyarakat pada dirinya. Keunggulan bagi keseluruhan masyarakat diwujudkan dalam berbagai langkah khusus. Setiap perilaku yang diperlukan bagi tercapainya maksud tersebut, diatur secara tetap dan khusus dan memperlihatkan karakteristik tindakan bagi tercapainya perubahan atau keadaan yang diinginkan.
Berbeda dari Hart, hasrat dan kehendak untuk mencapai keunggulan bagi keseluruhan masyarakat saja, menurut Kant (dalam Sandel, 2009: 107), dapat dilihat sebagai pure practical reason yang berfungsi sebagai dasar dari moral (Kant dalam Sandel, 2009: 107, 108). Manusia merupakan mahluk rasional (rational beings) memiliki kemampuan bertindak rasional, dan manusia juga sebagai mahluk mandiri (autononus beings), memiliki kemampuan bertindak dan bebas memilih. Kemampuan bertindak manusia dilakukan berdasar rasio. Rasio manusia bertolak dari motif-motif tindakan yang bermoral, sebagai sebuah kewajiban (Kant dalam Sandel, 2009: 111).Dalam pemikiran Kant sedemikian, maka perilaku korup walau merupakan perilaku yang dapat dipilih untuk dilakukan, namun perilaku sedemikian tidak dapat dipandang sebagai tindakan yang bermoral. Sebaliknya, perilaku tidak korup justru merupakan sebuah kewajiban. Jadi, bagi Kant perilaku korup atau tidak korup, tidak dihubungkan dengan akibat yang ditimbulkannya, seperti yang dikemukakan oleh Hart.
Dilihat dari pemahaman moralitas dan hukum sedemikian,dilihat dari pemahaman Hart, masyarakat dan bangsa Indonesia menghendaki keunggulan bagi dirinya. Artinya, sebagaimana masyarakat dan bangsa Indonesia menghendaki kehidupan yang sejahtera dan bahagia yang dicapainya secara bersama-sama, sebagai akibat tidak boleh dilakukannya perilaku korup. Sebaliknya bagi Kant, perilaku tidak korup merupakan perilaku tidak bermoral saja, tanpa perlu mempertimbangkan ada tidaknya konsekuensi dari perilaku.
Karena itu, bagi Hart selain melakukan langkah-langkah yang dilakukan dengan sadar di bidang kesejahteraan sosial, ekonomi maupun budaya maka langkah-langkah khusus yang secara sadar membatasi atau meniadakan perilaku-perilaku seperti perilaku korupsi yang mengganggu ataupun mengurangi tercapainya kesejahteraan dan kebahagiaan bersama. Peniadaan perilaku korupsi melalui rumusan-rumusan perilaku tertentu secara khusus dalam perundang-undangan anti korupsi merupakan kebutuhan manusia yang harus dipenuhi dan diperbuat oleh manusia di Indonesia.
Selain itu, ada perilaku memuaskan diri sendiri dan menyelamatkan diri sendiri dipandang sebagai suatu kebutuhan alamiah pula yang selalu ada pada setiap manusia, yang tampak pada saat-saat tertentu. Pemuasan diri dengan melakukan kerja keras untuk memperoleh penghasilan yang semestinya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya secara wajar; penyelamatan diri di masa depan melalui investasi keuangan yang diperoleh secara sehat saat ini yang tidak merugikan atau membahayakan masyarakat atau bangsa, juga merupakan kebutuhan alamiah yang perlu diberi pengakuan. Pengakuan kebutuhan alamiah berrdasarkan moral memerlukan transformasi ke dalam hukum.
Sebaliknya bagi Kant (dalam Sandel, 2011: 117,118)), motif moral -berupa tidak melakukan korup- merupakan merupakan prinsip moral tertinggi (supreme principle of morality). Oleh karena itu, seseorang perlu menempatkan hukum bagi dirinya sendiri, secara otonom, untuk tidak berperilaku korup. Bertolak dari premise Kant, bahwa semua di dalam alam bekerja sesuai dengan alam, namun karena manusia bukan benda fisik yang tunduk pada hukum alam -hukum fisika, hukum sebab-akibat, hukum kebutuhan alam-, maka penundukan diri pada hukum diadakan melalui adanya hukum yang dipaksakan oleh manusia sendiri, yang berasal dari moral.
Jadi, adanya perilaku korup adalah tidak memenuhi moral imperative yang berada di atas segalanya. Kebebasan untuk mengesampingkan hasrat-hasrat naluriah, yakni hasrat mendapat manfaat sebesar-besarnya dari perilaku korup, merupakan kewajiban moral. Karena itu hukum, dalam pengertian undang-undang, perlu memaksa agar perilaku korup tidak dilakukan. Sumber dari adanya undang-undang yang mewajibkan tidak boleh dilakukannya perilaku korup (Acton-Hardani, 2003: 98) adalah pada moral imperative. Undang-undang berdasar moral, atau undang-undang akal budi tentang tidak boleh dilakukannya perilaku korupsi, adalah gagasan-gagasan yang diletakkan pada asas rasio yakni kebajikan (Kant dalam Anthon F. Susanto, 2010: 284).
Rumusan Hukum Sebagai Fungsi
Sebaliknya, perbuatan memuaskan diri sendiri ataupun menyelamatkan diri sendiri yang dapat mengakibatkan kerugian ataupun membahayakan secara teratur kehidupan bangsa dan masyarakat secara keseluruhan, maka diperlukan kesepakatan untuk menyusun rumusan atau ketentuan preskripsi tentang perilaku yang meniadakan perilaku korupsi, sebagai fungsi-fungsi yang mengarah bagi tercapainya tujuan bersama. Kegagalan terpenuhinya fungsi-fungsi berarti kegagalan mencapai sasaran, dan hal itu berarti pula kehilangan kesanggupan yang disediakan bagi manusia. Kegagalan pihak yang yang diberi wewenang mengawasi terpenuhinya fungsi-fungsi, berarti kegagalan mencapai tujuan yang tepat dari kegiatan yang bertujuan menjamin kebersamaan kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Jadi, fungsi-fungsi penegakan hukum yang meniadakan perilaku korupsi, yang berasal dari konsep demi tercapainya kebaikan manusia yaitu berupa kesejahteraan dan kebaikan bersama, dikembangkan dalam akal dan pikiran manusia. Pengembangan ini mengarah pada pernyataan Hobbes dan Hume yang disitir Hart-Khozim (2011: 296) bahwa “manusia pada hakekatnya tidak dapat bertahan hidup dengan cara apa pun tanpa bersekutu dengan sesama individu: dan persekutuan itu tidak pernah akan berlangsung tanpa ada penghargaan terhadap hukum kesetaraan dan keadilan”.
Tanpa isi kelangsungan hidup, hukum dan moral tidak memiliki makna. Artinya, manusia tidak akan memiliki alasan untuk mematuhi secara sukarela peraturan apapun (Hart, 2011:299).
Dengan demikian, jika terjadi kegagalan Komisi Pemberantasan Korupsi, maupun instansi-instansi kepolisian, kejaksaan maupun pengadilan dalam upaya peniadaan perilaku korup, bahkan juga kegagalan pemerintah dalam hal ini Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, maupun lembaga pemasyarakatan dalam membatasi gerak perilaku narapidana korup, jika dilihat dari pandangan Hart, maka hal itu merupakan bentuk dari kegagalan tercapainya kesejahteraan dan kebaikan bersama bangsa dan masyarakat Indonesia, sebagai wujud dari kelangsungan hidup. Dilihat dari pandangan Kant, kegagalan yang terjadi adalah kegagalan memenuhi prinsip moral imperative yang menjadi prinsip moral tertinggi dari manusia. Kegagalan sedemikian menyebabkan keadilan tidak dapat tercapai, karena makna tindakan yang adil yang ada pada undang-undang yakni undang-undang moral ada pada asas rasio pada maksim (Kant dalam Anthon F. Susanto, 2010: 284).
Sebaliknya, kegagalan mentransformasikan moral yang menolak perilaku korupsi di dalam hukum, juga merupakan kegagalan menempatkan dan meraih tujuan kelangsungan hidup bersama. Rumusan-rumusan spesifik di dalam hukum tertentu yang memungkinkan tidak tercapainya kelangsungan hidup bersama, atau memungkinkan terjadinya penolakan pemeriksaan terhadap perilaku korup, perlu diabaikan berdasarkan sumber moral yang tegas menolak perilaku korupsi. Pengabaian sedemikian bukan meniadakan supremasi hukum, akan tetapi justru menegakkan hukum dan moral bagi kelangsungan hidup bersama.
Kemampuan Menahan Diri Dalam Hukum dan Moral
Kemampuan menahan diri memang dibutuhkan agar orang tidak melakukan perbuatan korup. Akan tetapi keterbatasan kemampuan menahan diri, membuat kecenderungan orang untuk bersifat agresif dalam melakukan korupsi. Kepentingan-kepentingan kelompok yang bertujuan memperkuat kemampuan bertindak dalam menguasai sumber-sumber kehidupan cenderung mendorong agresivitas satu atau beberapa orang dalam melakukan korupsi, melalui jalinan kerjasama yang rapi dan ruwet. Pemahaman, pengabdian dan loyalitas terhadap kepentingan kelompok tidak dapat dan tidak akan berdiri terlepas dari penguatan kemampuan satu atau beberapa orang di dalam kelompok untuk bertindak menguasai sumber-sumber kehidupan. Tidak dapat dipikirkan bahwa mereka akan berada terlepas dari keyakinan tertentu atau terlepas dari loyalitas terhadap kelompok atau konsepsi politik perseorangan.
Kemampuan menahan diri agar tidak berperilaku korup, pada hakekatnya perlu diarahkan pada adanya sikap toleran terhadap hukum dan moral yang ditujukan bagi tercapainya kelangsungan hidup bersama yang adil dan benar. Kemampuan menahan diri ini oleh Kant dipandang sebagai kewajiban sempurna (Acton-Hardani, 2003, 45), yakni kewajiban yang tidak dapat ditolak.
Kesimpulan
Perilaku korupsi, dilihat dari perspektif yang berbeda, tetap merupakan perilaku yang tidak dikehendaki. Hukum dalam pengertian undang-undang tetap perlu mengacu pada prinsip-prinsip moral baik dengan implikasi empiris dalam makna keadilan seperti yang dikemukakan oleh Hart, maupun berimplikasi non-enpiris dalam makna keadilan sebagaimana dikemukakan oleh Kant. Meminjam pemikiran Pascal dan Montaigne (dalam Anthon F. Susanto, 2010:285), “keadilan pada dirinya sendiri dapat terwujud hanya jika keadilan itu memiliki daya atau kekerasan untuk diberlakukan”, maka hukum dan moral yang menolak korupsi tidak bisa tidak harus diberlakukan tanpa melihat siapapun pelakunya atau apapun peranannya di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara Indonesia.
Bacaan:
Acton, H.B.-Muhammad Hardani (penterjemah), 2003, Dasar-dasar Filsafat Moral: Elaborasi Terhadap Pemikiran Etika Immanuel Kant, Pustaka Eureka, Jl. Jemur, Wonosari Lebar 24C 60237, Surabaya
Hart, H.L.A.,-M. Khozim (penterjemah), 2011, Konsep Hukum, Penerbit Nusa Media, PO Box 147 Ujungberung, Bandung, cetakan V
Sandel, Michael, Justice: what’s the right thing to do?, 2009, Penguin Books, first published in the United States of America by Farrar, Straus and Giroux.
Susanto, Anthon F., 2010, Ilmu Hukum Non Sistematik: Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, Genta Publishing, PO BOX 1095 YK 55000, Yogyakarta, cetakan I.
[1] Tulisan ini diterbitkan dalam sebuah buku KOMPILASI PEMIKIRAN TENTANG DINAMIKA HUKUM DALAM MASYARAKAT (Memperingati Dies Natalis ke -50 Universitas Pattimura Tahun 2013), 2013