ANALISIS TENTANG TANGGUNG-GUGAT DALAM KONTRAK PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMERINTAH

Korupsi

ANALISIS TENTANG TANGGUNG-GUGAT

DALAM KONTRAK PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMERINTAH[1]

 

Merry Tjoanda

 

Latar Belakang

Pemerintah dalam menjalankan fungsinya sebagai pembangun sarana dan prasarana atau infrastruktur publik maupun sebagai penyedia dalam hal ini sebagai penyedia kebutuhan bagi rakyatnya, memerlukan sektor swasta sebagai pemasok barang dan jasa bagi pemerintah. Terkait dengan hal ini maka terjadi hubungan hukum antara pemerintah sebagai pihak pengguna dengan pihak swasta sebagai pihak penyedia yang disusun dalam bentuk kontrak.

Kontrak yang dibuat oleh pemerintah bersifat multi aspek dan mempunyai karakter yang sangat khas[2]. Sekalipun hubungan hukum yang terbentuk antara pemerintah dengan mitranya adalah hubungan kontraktual, tetapi di dalamnya terkandung tidak saja hukum privat, tetapi juga hukum publik. Apabila dalam kontrak komersil para pihak mempunyai kebebasan yang sangat luas dalam mengatur hubungan hukum atau mengatur kewajiban kontraktual mereka, maka dalam kontrak pengadaan oleh pemerintah, kebebasan itu tidak sepenuhnya berlaku sebab terhadap kontrak ini berlaku rezim hukum khusus.

Belum tersedianya instrumen hukum yang secara khusus mengatur kontrak komersial oleh pemerintah juga merupakan faktor lemahnya sistem pengadaan. Secara teoretik, terdapat berbagai isu hukum tentang pengadaan oleh pemerintah yang dapat diajukan untuk memperoleh kajian lebih lanjut. Dari perspektif hukum kontrak terdapat beberapa isu hukum yang dapat diajukan sebagai bahan untuk dikaji terutama tentang penerapan berlakunya prinsip umum hukum kontrak dalam kontrak pengadaan oleh pemerintah. Bertolak dari pemahaman bahwa kontrak merupakan proses, maka perhatian dalam studi tentang kontrak pengadaan di samping difokuskan pada situasi menuju pembentukan kontrak (pre-contractual fase), juga pada situasi setelah ditutupnya kontrak (post-contractual fase) atau menyangkut pelaksanaan dari kontrak itu. Dalam kaitan ini perlu adanya pemahaman tentang prinsip hukum kontrak berikut penerapannya dalam dua situasi itu.

Dalam hal terdapat ambigutias pada isi kontrak yang menimbulkan perbedaan penafsiran, maka penafsiran dilakukan demi kerugian pihak perancang. Inilah yang disebut contra preferentem rule[3]. Bagi penyedia barang dan atau jasa hal ini tidak banyak manfaatnya. Situasi yang demikian ini timbul karena adanya desakan elemen hukum publik ke dalam hubungan kontraktual yang melibatkan pemerintah.

Berdasarkan pada fakta dalam kontrak pengadaan barang dan jasa pemerintah, maka tidak menutup kemungkinan terjadinya berbagai hambatan dalam pelaksanaan kontrak pengadaan barang dan jasa. Kondisi ini dapat terjadi dengan adanya kedudukan pemerintah sebagai kontraktan dengan standarisasi keuangan negara akan menghambat pelaksanaan kontrak. Apalagi kenyataan ini ditunjang dengan kecenderungan pemerintah memposisikan diri sebagai badan hukum publik dalam kontrak yang seringkali melakukan penyalahgunaan wewenang dan perbuatan-perbuatan melanggar hukum lainnya. Di sisi lain, terdapat kemungkinan pelanggaran prinsip dan norma oleh penyedia barang/jasa yang dapat menimbulkan tanggung-gugat dalam kontrak yang melibatkan pemerintah sebagai pengguna barang/jasa. Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah adalah bagaimana bentuk tanggung-gugat dalam kontrak pengadaan barang dan jasa pemerintah?

 

Pembahasan

  1. Tanggung-gugat Pemerintah

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tanggung-gugat mengandung makna keadaan wajib menanggung segala sesuatunya kalau ada sesuatu hal, boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagainya[4]. Di dalam kamus hukum ada 2 (dua) istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban, yakni liability dan responsibility. Tanggung-gugat (liability/aansprakelijkheid) merupakan bentuk spesifik dari tanggungjawab. Pengertian tanggung-gugat merujuk kepada posisi seseorang atau badan hukum yang dipandang harus membayar suatu bentuk kompensasi/ ganti rugi setelah adanya peristiwa hukum atau tindakan hukum.[5]

Liability merupakan istilah hukum yang luas, di dalamnya mengandung makna bahwa; liability menunjuk pada makna yang paling komprehensif, meliputi hampir setiap karakter resiko atau tanggungjawab, yang pasti yang bergantung, atau yang mungkin. Liability didefinisikan untuk menunjuk; semua karakter hak dan kewajiban. Di samping itu liability juga merupakan kondisi tunduk pada kewajiban secara aktual atau potensial; kondisi bertanggungjawab terhadap hal-hal yang aktual atau mungkin seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya, atau beban; kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan undang-undang dengan segera atau pada masa yang akan datang[6].

Pemerintah adalah subyek hukum, sebagai pendukung hak dan kewajiban hukum, yang memiliki dua kedudukan hukum yaitu sebagai wakil dari badan hukum dan wakil dari jabatan pemerintahan. Sebagai subyek hukum pemerintah dapat melakukan perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang ada relevansinya dengan hukum atau perbuatan yang dapat menimbulkan akibat hukum. Dengan demikian, setiap bentuk dari perbuatan hukum, secara pasti akan menimbulkan akibat hukum baik yang positif maupun yang negatif. Akibat hukum yang bersifat positif tidak relevan dalam kaitannya dengan tanggung-gugat. Akibat hukum yang negatif memiliki relevansi dengan tanggung-gugat karena dapat memunculkan tuntutan dari pihak yang terkena akibat hukum yang negatif. Kerugian yang dialami seseorang atau pelanggaran hak-hak warga negara adalah contoh akibat hukum yang negatif, yang umumnya lahir karena pemerintah mengabaikan hukum yang seharusnya dijalankan atau karena pemerintah melakukan larangan yang seharusnya ditinggalkan. Dalam negara hukum, setiap subyek hukum baik itu pemerintah maupun warga negara yang melanggar hukum atau subyek hukum yang tindakannya menimbulkan akibat hukum bagi negara, maka subyek hukum itu harus mengembalikan pada keadaan semula (herstel in den vorige toestand). 

Kedudukan pemerintah selaku badan hukum dan wakil dari jabatan, dengan kedua kedudukan ini akan muncul dua bentuk perbuatan hukum, yaitu perbuatan hukum publik dan perbuatan hukum perdata. Perbuatan hukum publik, merupakan suatu perbuatan yang diatur dan tunduk pada ketentuan hukum publik, sedangkan perbuatan hukum perdata diatur dan tunduk pada ketentuan hukum perdata. Karena adanya dua jenis perbuatan pemerintahan ini dalam kaitannya dengan tanggung-gugat maka ada dua jenis pula tanggung-gugat yang dipikul oleh pemerintah, yaitu tanggung-gugat publik dan tanggung-gugat perdata. Selain kedua jenis perbuatan hukum itu acap kali pula pemerintah melakukan perbuatan hukum perdata dalam kaitannya dengan kewenangan hukum publik, artinya ada percampuran antara perbuatan hukum publik dengan hukum perdata. Oleh karena itu tanggung-gugat jenis ketiga yaitu tanggung-gugat pemerintah dalam menggunakan instrumen hukum campuran antara hukum publik dan hukum perdata. 

Tanggung-gugat (aansprakelijkheid) tindakan pemerintahan yang melanggar hukum (onrechtmatige overheidsdaad), melekat pada lembaga pemerintahan maupun pribadi (individu) aparatur pemerintah. Melekat tanggung-gugat lembaga ketika pelanggaran hukum dilakukan oleh aparatur pemerintah dalam rangka menjalankan tugas dan wewenang lembaga pemerintahan dan menimbulkan kerugian atau penderitaan bagi rakyat. Oleh karena itu akibat yang timbul dari tindakan tersebut melekat tanggung-gugat lembaga pemerintahan tersebut.

Akan tetapi apabila kesalahan tersebut dengan sengaja dilakukan oleh aparatur pemerintahan ketika menjalankan tugas dan wewenang dengan tindakan sewenang-wenang (willekeur) maupun penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) sehingga bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (algemene beginselen van behoorlijke bestuur) dan menimbulkan kerugian bagi rakyat, maka melekat tanggung-gugat secara pribadi (individu). Atau kesalahan tersebut dilakukan ketika tidak sedang dalam menjalankan tugas dan wewenang pemerintahan.

Ada dua pandangan dalam memetakan tanggung-gugat lembaga pemerintahan dan tanggung-gugat pribadi (individu). Pertama, pandangan yang mendekatkan pada jabatan, bahwa jabatan yang melekat pada individu (aparatur) adalah jabatan lembaga, sehingga dalam menjalankan tugas dan wewenangnya (kuasa jabatan) untuk mewakili lembaga. Oleh karena itu, kesalahan-kesalahan dalam menjalankan jabatan merupakan kesalahan lembaga dan atas segala resiko perbuatan jabatan melekat tanggung-gugat lembaga. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Logemann, agar dapat berjalan (= menjadi konkrit (concreet) = menjadi bermanfaat bagi negara), maka jabatan (sebagai personifikasi hak dan kewajiban) memerlukan suatu perwakilan (vertegen woordiging)[7]. Yang menjalankan perwakilan itu, ialah suatu pejabat, yaitu manusia atau badan hukum. Oleh karena itu, yang berkuasa bukanlah manusianya, akan tetapi jabatannya. Sehingga seseorang atau manusia tersebut adalah pejabat yang mewakili suatu jabatan, yakni menjalankan suatu lingkungan pekerjaan tetap guna kepentingan negara[8].

Kedua, pandangan yang mendekatkan pada tanggung-gugat perbuatan, bahwa dalam melakukan perbuatan maka seseorang akan melekat tanggungjawab terhadap apa yang dilakukan, baik yang dilakukan tersebut disengaja ataupun karena lalainya. Dengan demikian dalam menjalankan pekerjaan jabatan secara konkrit sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh kondisi pribadi seseorang (individu) yang menerima jabatan, sehingga akibat dari perbuatannya tidak semata-mata menjadi tanggung-gugat jabatan atau lembaga, akan tetapi justru melekat tanggung-gugat pribadi.

Tanggung-gugat pemerintah dalam kontrak pengadaan barang dan jasa merupakan upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pihak penyedia barang dan jasa (pihak swasta) sebagai akibat adanya kerugian yang ditimbulkan oleh salah satu pihak dalam hubungan kontraktual (privity of contract). Konsep tanggung-gugat ini sebagai akibat kesalahan yang dilakukan oleh salah satu pihak terhadap pihak lain yang dapat dilakukan berupa wanprestasi atau cidera janji dan perbuatan melanggar hukum (onrechtmatigedaad).

 

Tanggung-gugat Menurut Hukum Privat

  1. Wanprestasi

Perikatan yang bersifat timbal balik senantiasa menimbulkan sisi aktif dan sisi pasif. Sisi aktif menimbulkan hak bagi kreditor untuk menuntut pemenuhan prestasi, sedangkan sisi pasif menimbulkan beban kewajiban bagi debitor untuk melaksanakan prestasinya. Pada situasi normal antara prestasi dan kontra prestasi akan saling bertukar, namun pada kondisi tertentu pertukaran prestasi tidak berjalan sebagaimana mestinya sehingga muncul peristiwa yang disebut wanprestasi. Pelanggaran hak-hak kontraktual tersebut menimbulkan kewajiban ganti rugi berdasarkan wanprestasi sebagaimana diatur dalam Pasal 1236 KUH Perdata (untuk prestasi memberikan sesuatu) dan Pasal 1239 KUH Perdata (untuk prestasi berbuat sesuatu).

Dalam praktek penyusunan kontrak seringkali dimasukkan klausul yang isinya sebagaimana tersebut di atas, misalnya ‘fatale termijn’, sehingga dengan tidak dipenuhinya salah satu kewajiban debitor dalam kontrak, secara otomatis telah terjadi wanprestasi. Biasanya untuk menindaklanjuti kondisi ini dicantumkan juga klausula pemutusan kontrak sebagai salah satu bentuk sanksi yang mungkin ditempuh pihak kreditor.

Menurut Pasal 93 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010, Pejabat Pembuat Komitmen dapat memutuskan kontrak secara sepihak bilamana :

  1. denda keterlambatan pelaksanaan pekerjaan akibat kesalahan Penyedia Barang/Jasa sudah melampaui 5% (lima perseratus) dari nilai Kontrak;
  2. Penyedia Barang/Jasa lalai/cidera janji dalam melaksanakan kewajibannya dan tidak memperbaiki kelalaiannya dalam jangka waktu yang telah ditetapkan;
  3. Penyedia Barang/Jasa terbukti melakukan KKN, kecurangan dan/atau pemalsuan dalam proses Pengadaan yang diputuskan oleh instansi yang berwenang; dan/atau
  4. pengaduan tentang penyimpangan prosedur, dugaan KKN dan/atau pelanggararan persaingan sehat dalam pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa dinyatakan benar oleh instansi yang berwenang.

Salah satu syarat pemutusan kontrak menurut pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, bahwa harus ada wanprestasi, oleh sebab itu sebelum kreditur menuntut pemutusan kontrak, debitur harus dinyatakan lalai (pernyataan lalai / ingebrekesteling)[9]. Terdapat pengeyampingan pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata melalui pasal 93 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010, dengan demikian putusnya kontrak bersifat deklaratif artinya putusnya kontrak karena wanprestai tanpa diperlukan adanya pernyataan lalai. Dalam melaksanakan kontrak terdapat kemungkinan hambatan dalam pelaksanaannya, seperti keadaan memaksa dan keadaan sulit.

Dalam hal pemutusan kontrak dilakukan karena kesalahan penyedia barang/jasa maka sanksi yang dikenakan kepadanya berupa : jaminan pelaksanaan dicairkan ; sisa uang muka harus dilunasi oleh penyedia barang/jasa atau jaminan uang muka dicairkan ; penyedia barang/jasa membayar denda; dan/atau penyedia barang/jasa dimasukkan dalam Daftar Hitam.

Bertolak dari prinsip proporsionalitas, sanksi tersebut harus ditafsirkan sebagai fakultatif bukan kumulatif yang dinilai berdasarkan kesalahan penyedia barang/jasa secara proporsional layak untuk dijadikan sebagai alasan dalam memutus kontrak.

 

  1. Perbuatan Melawan Hukum

Istilah perbuatan melanggar hukum pada umumnya adalah sangat luas artinya yaitu kalau perkataan ”hukum” dipakai dalam arti yang seluas-luasnya dan hal perbuatan hukum dipandang dari berbagai aspek. Istilah perbuatan melanggar merupakan terjemahan dari istilah ”onrechtmatige daad” dalam bahasa Belanda yang lazimnya mempunyai arti yang sempit, yaitu arti yang dipakai dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Berkaitan dengan perbuatan melawan hukum oleh badan hukum privat berdasarkan :

  1. Teori fiksi; bahwa badan hukum itu diumpakan sebagai manusia terpisah dari manusia yang menjadi pengurusnya, karena itu perbuatan hukum dilakukan oleh pengurusnya tidak dapat dikatakan perbuatan hukum melainkan perbuatan orang lain yang dapat dipertanggungjawabkan pada badan hukum itu[10].
  2. Teori organ; menurut teori ini badan hukum itu sama dengan manusia pribadi, dapat melakukan perbuatan hukum. Jika terjadi pelanggaran, badan hukum itu dapat dipertanggungjawabkan.
  3. Teori yuridische realitet; menurut teori ini badan hukum adalah realitas yuridis, yang dibentuk dan diakui sama seperti manusia pribadi. Jadi ia dapat dipertanggungjawabkan dalam setiap perbuatan hukum.

Dengan demikian, berdasarkan teori fiksi badan hukum privat tidak dapat dituntut berdasarkan Pasal 1365 tetapi berdasarkan Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Sedangkan berdasarkan teori organ dan teori yuridische realitet, badan hukum privat dapat dituntut berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam hukum perdata, ketentuan mengenai pertanggungjawaban subyek hukum itu, termasuk pemerintah dalam kapasitasnya selaku wakil dari badan hukum terdapat pada Pasal 1365, 1366, 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata[11].

Dalam pelaksanaan kontrak pengadaan barang dan jasa, terkadang pula adanya perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh para pihak. Walaupun hubungan kontraktual yang tidak berjalan dengan baik menimbulkan wanprestasi, dalam pelaksanaan kontrak pengadaan barang dan jasa dapat pula terjadi atas dasar perbuatan melawan hukum. Dengan adanya kekuasaan dan kewenangan yang cukup luas mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat, maka pemerintah tetap masih menggunakan kekuasaan menurut hukum publik yang merupakan tindakan atau perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya maupun keharusan yang harus diperhatikan dalam pergaulan masyarakat atau perbuatan melawan hukum lainnya. Tentunya hubungan kontraktual dalam kontrak pengadaan barang dan jasa berlaku prinsip pacta sunt servanda yang mengikat bagi para pihak, namun peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pelaksanaan hubungan kontraktual pun dapat digunakan sebagai dasar hukum dalam hubungan kontraktual dimaksud.

Berkaitan dengan perbuatan melanggar hukum harus dipertanggungjawabkan akibat kerugian yang ditimbulkan. Kerugian yang ditimbulkan sebagai akibat kesalahan yang dilakukan oleh aparatur pemerintah harus dibedakan dalam status sebagai kesalahan pribadi atau kesalahan jabatan. Tatiek Sri Djatmiati[12] menguraikan perbedaan antara tanggung-gugat atas kesalahan pribadi (faute personelle) dan tanggung-gugat atas kesalahan dalam pelayanan (faute de service).

Pertanggungjawaban hukum sebagai akibat perbuatan melawan hukum yang menimbulkan  kerugian harus lebih dahulu ditelaah sebagai akibat kesalahan pribadi atau kesalahan dalam penggunaan wewenang. Dari sini akan diketahui, apakah kerugian tersebut menjadi beban pribadi dari pejabat yang bersangkutan atau menjadi beban pemerintah.

 

Penutup

Tanggung-gugat para pihak dalam kontrak pengadaan merupakan upaya hukum yang dapat dilakukan oleh para pihak sebagai akibat adanya kerugian yang ditimbulkan oleh salah satu pihak dalam hubungan kontraktual (privity of contract). Konsep tanggung-gugat ini sebagai akibat kesalahan yang dilakukan oleh salah satu pihak terhadap pihak lain yang dapat dilakukan berupa wanprestasi atau cidera janji dan perbuatan melanggar hukum (onrechtmatigedaad). Berkaitan dengan perbuatan melawan hukum oleh pemerintah harus dibedakan sebagai kesalahan pribadi dan kesalahan jabatan.

 

 

 

 

 

Daftar Bacaan

 

Black, Hendry Campbell, Black’s Law Dictionary, Fifth Edition, ST. Paul Minn, West Oublishing Co., USA, 1979.

Boggiano, Antonio, International Standard Contracts, Graham & Trotman/Martinus Nijhoff, Dordrecht, 1991.

Djatmiati, Tatiek Sri, Prinsip Izin Usaha Industri Di Indonesia, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2004.

Hernoko, Agus Yudha, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, Leksbang Mediatama, Yogyakarta, 2008.

Marzuki, Peter Mahmud, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Grup, 2009.

Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1982.

Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, 1976.

Ridwan, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2002.

Simamora, Yohanes Sogar, 2009, Hukum Perjanjian, Prinsip Hukum Kontrak Pengadaan Barang Dan Jasa Pemerintah, LaksBang Pressindo, Yogyakarta. 

Tiefer, Charles and Shook, William A., Government Contract Law, Carolina Academic Press, Durham, North Carolina, 1999.

Utrecht, E., Pengantar Hukum Administrasi Republik Indonesia, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1986.

 

Peraturan Perundang-Undangan :

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah

 


[1] Tulisan ini diterbitkan dalam sebuah buku KOMPILASI PEMIKIRAN TENTANG DINAMIKA HUKUM DALAM MASYARAKAT (Memperingati Dies Natalis ke -50 Universitas Pattimura Tahun 2013), 2013

[2]Tiefer, Charles and Shook, William A., Government Contract Law, Carolina Academic Press, Durham, North Carolina, 1999, h.3

[3]Boggiano, Antonio, International Standard Contracts, Graham & Trotman/Martinus Nijhoff, Dordrecht, 1991, h. 10

[4] Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, 1976, h. 1014

[5] Marzuki, Peter Mahmud, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Grup, 2009, h. 258

[6]Black, Hendry Campbell, Black’s Law Dictionary, Fifth Edition, ST. Paul Minn, West Oublishing Co., USA, 1979, h. 823

[7] Utrecht, E., Pengantar Hukum Administrasi Republik Indonesia, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1986, h.202

[8] Ibid, h.202-203

[9]Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, Laksbang Mediatama, Yogyakarta, 2008, h. 271

[10] Muhammad, Abdulkadir,  Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1982, h.152

[11] Ridwan, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2002, h. 252

[12]Djatmiati, Tatiek Sri, Prinsip Izin Usaha Industri Di Indonesia, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2004, h. 356.