1. Pendahuluan
Perumusan dasar negara Indonesia merdeka mulai dibicarakan pada masa persidangan pertama BPUPK (29 Mei-1 Juni 1945). Anggota-anggota BPUPK mengemukakan pandangan tentang nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi permusyawaratan, dan keadilan/kesejahteraan sosial. Saat itu, prinsip-prinsip yang diajukan masih bersifat serabutan, belum ada yang merumuskannya secara sistematis dan holistik sebagai suatu dasar negara yang koheren. Betapapun juga, pandangan-pandangan tersebut memberikan masukan penting bagi Soekarno dalam merumuskannya kemudian. Soekarno memberikan jawaban pada dasar negara Indonesia dalam kerangka “dasar falsafah” (philosofische grondslag) atau “pandangan dunia” (weltanschauung) dengan penjelasannya yang runtut, solid, dan koheren. Kelima prinsip yang menjadi titik persetujuan (common denominator) segenap elemen bangsa, dalam kutipan kalimat-kalimat Bung Karno sendiri, meliputi:[1]
Pertama: Kebangsaan Indonesia. ”Baik saudara-saudara yang bernama kaum bangsawan yang disini, maupun saudara-saudara yang dinamakan Islam, semuanya telah mufakat… kita hendak mendirikan suatu negara “semua buat semua. Dasar pertama, yang baik dijadikan dasar buat Negara Indonesia, ialah dasar kebangsaan.”
Kedua: Internasionalisme, atau Perikemanusiaan. “Kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan chauvinisme… kita harus menuju persatuan dunia. Kita bukan saja harus mendirikan Negara Indonesia merdeka, tetapi kita harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa.”
Ketiga: Mufakat dan Demokrasi. “Dasar itu ialah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan… Saya yakin, bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya Negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan… Apa-apa yang belum memuaskan, kita bicarakan di dalam permusyawaratan.”
Keempat: Kesejahteraan Sosial. “Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni poltiek economische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial … marilah kita terima prinsip hal sociale rechtvaardigheid ini, yaitu bukan saja persamaan politik saudara-saudara, tetapi pun di atas lapangan ekonomi, kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama sebaik-baiknya.”
Kelima: Ketuhanan yang Berkebudayaan. “Prinsip Indonesia Merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa… bahwa prinsip kelima daripada negara kita ialah ke-Tuhanan yang berkebudayaan, ke-Tuhanan yang berbudi pekerti luhur, ke-Tuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain.”
Kelima prinsip itu disebut dengan Panca Sila. “Sila artinya asas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal, dan abadi.” Urutan-urutan kelima sila itu disebutkan oleh Soekarno sebagai urutan sequential, bukan urutan prioritas. Masing-masing sila Pancasila merupakan satu kesatuan integral, yang saling mengandaikan dan saling mengunci.
Setiap fase konseptualisasi Pancasila itu melibatkan partisipasi berbagai unsur dan golongan. Oleh karena itu, Pancasila benar-benar merupakan karya bersama milik bangsa. Sejak disahkan secara konstitusional pada 18 Agustus 1945, Pancasila dapat dikatakan sebagai dasar (falsafah) negara, pandangan hidup, ideologi nasional, dan ligatur (pemersatu) dalam perikehidupan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia.
Pancasila adalah dasar statis yang mempersatukan sekaligus bintang penuntun (Leitstar) yang dinamis, yang mengarahkan bangsa dalam mencapai tujuannya. Dalam posisi seperti itu, Pancasila merupakan sumber jati diri, kepribadian, moralitas, dan haluan keselamatan bangsa. Dengan demikian, Negara Indonesia memiliki landasan moralitas dan haluan kebangsaan yang jelas dan visioner. Suatu pangkal tolak dan tujuan pengharapan yang penting bagi keberlangsungan dan kejayaan bangsa.
Pada pertengahan era kepemimpinan Presiden Soeharto, muncul wacana dalam kehidupan masyarakat terkait dengan belum optimalnya implementasi Pancasila dan konstitusi dalam kehidupan nyata. Masyarakat kemudian menganggap Pancasila hanya sebuah utopia. Padahal sejatinya, masyarakat menginginkan sinergitas Pancasila sebagai nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praktis, yang perlu revitalisasi.[2]
Mempertimbangkan hal tersebut, pemerintah kemudian menginstruksikan penyelenggaraan survei mengenai peran Pancasila di tengah masyarakat. Hasilnya, menurut Kepala Negara, sebagian besar responden menyebut Pancasila penting untuk dipertahankan. Survei Badan Pusat Statistik tahun 2010 menunjukkan temuan bahwa masyarakat masih membutuhkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Dari 12.000 responden, 79,26% menyatakan Pancasila penting untuk dipertahankan, 89% berpendapat bahwa timbulnya permasalahan bangsa karena kurangnya pemahaman akan nilai-nilai Pancasila.[3]
Permasalahan bangsa, seperti tawuran, konflik antar-kelompok masyarakat dan antar-umat beragama terjadi karena kurangnya pemahaman nilai-nilai Pancasila. Hasil dari survei tersebut juga merekomendasikan solusi guna lebih memahami Pancasila. Misalnya, mensosialisasikannya lewat dunia pendidikan (30%), perilaku pejabat negara sebagai anutan (19%), dan lewat ceramah agama (10%). Guru dan dosen dipercaya untuk memberi materinya, selain badan khusus bentukan pemerintah.
Bidang pendidikan dianggap sebagai media strategis untuk mentransfer pemahaman tentang Pancasila. Dalam praktek, siswa dan mahasiswa tidak hanya mendapatkan pemahaman normatif tapi melalui berbagai pendekatan dan metode partisipatif mereka bisa mendapatkan pengetahuan yang komprehensif, sebagai produk yang terbentuk lewat pemikiran panjang.
2. Implementasi Nilai-Nilai Pancasila dalam Menumbuhkembangkan Kesadaran Masyarakat
Pancasila adalah landasan idiil dalam menjalankan kehidupan nasional. Pancasila yang ditemukan formulasinya pada pembukaan UUD 1945 adalah suatu pandangan atau nilai yang menyeluruh dan mendalam tentang bagaimana cara sebaiknya, yaitu secara moral dianggap benar dan adil, mengatur tingkahlaku bersama dalam berbagai kehidupan nasional.
Semakin terpahaminya Pancasila sebagai landasan idiil diharapkan mampu menjadi pengontrol tingkahlaku masyarakat. Terlebih lagi karena pada tataran perilaku masyarakat tersebut, media massa, khususnya televisi, setiap hari menyiarkan massa yang beringas merusak tempat-tempat tertentu seperti pabrik, rumah pribadi, kantor instansi pemerintah, gedung DPR/DPRD, kampus, malah tempat ibadah pun dibuat porak poranda. Begitu pula dengan kantor-kantor penegak hukum seperti gedung pengadilan, kepolisian, kejaksaan dan lain-lain. Berita-berita tersebut menyedot perhatian berbagai pihak dan berharap agar tak terjadi lagi.
Disinilah perlunya tetap menguatkan peran Pancasila sebagai paham, ideologi (pandangan hidup). … Pancasila disepakati untuk dijadikan sebagai dasar, falsafah dan ideologi negara. Nilai-nilai luhur sebagai nilai instrinsik yang dikandungnya diperoleh dari hasil penggalian terhadap nilai-nilai budaya yang terkandung pada bangsa Indonesia sejak jaman dulu secara turun temurun yang demikian majemuk, plural dan heterogen yang disebut dengan Bhinneka.[4]
Sebagai basis moralitas dan haluan kebangsaan-kenegaraan, Pancasila memiliki landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis yang kuat. Setiap sila memiliki justifikasi historis, rasionalitas, dan aktualitasnya, yang jika dipahami, dihayati, dipercayai, dan diamalkan secara konsisten dapat menopang pencapaian- pencapaian agung peradaban bangsa. Pokok moralitas dan haluan kebangsaan-kenegaraan menurut alam Pancasila dapat dilukiskan sebagai berikut:[5]
Pertama, nilai-nilai Ketuhanan (religiositas) sebagai sumber etika dan spiritualitas (yang bersifat vertikal transendental) dianggap penting sebagai fundamen etik kehidupan bernegara. Dalam kaitan ini, Indonesia bukanlah negara sekuler yang ekstrem, yang memisahkan “agama” dari ”negara” dan berpretensi untuk menyudutkan peran agama ke ruang privat/komunitas. Negara menurut alam Pancasila bahkan diharapkan dapat melindungi dan mengembangkan kehidupan beragama; sementara agama diharapkan bisa memainkan peran publik yang berkaitan dengan penguatan etika sosial. Tetapi pada saat yang sama, Indonesia juga bukan “negara agama”, yang hanya merepresentasikan salah satu (unsur) agama dan memungkinkan agama untuk mendikte negara.
Kedua, nilai-nilai kemanusiaan universal yang bersumber dari hukum Tuhan, hukum alam, dan sifat-sifat sosial manusia (yang bersifat horizontal) dianggap penting sebagai fundamen etika-politik kehidupan bernegara dalam pergaulan dunia. Prinsip kebangsaan yang luas yang mengarah pada persatuan dunia itu dikembangkan melalui jalan eksternalisasi dan internalisasi. Keluar, bangsa Indonesia menggunakan segenap daya dan khazanah yang dimilikinya untuk secara bebas-aktif “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.” Ke dalam, bangsa Indonesia mengakui dan memuliakan hak-hak dasar warga dan penduduk negeri. Landasan etik sebagai prasyarat persaudaraan ini adalah “adil” dan “beradab.”
Ketiga, aktualisasi nilai-nilai etis kemanusiaan itu terlebih dahulu harus mengakar kuat dalam lingkungan pergaulan kebangsaan yang lebih dekat sebelum menjangkau pergaulan dunia yang lebih jauh. Dalam internalisasi nilai-nilai persaudaraan kemanusiaan ini, Indonesia adalah negara kesatuan-kebangsaan yang mengatasi paham golongan dan perseorangan. Persatuan dari kebhinekaan masyarakat Indonesia dikelola berdasarkan konsepsi kebangsaan yang mengekspresikan persatuan dalam keragaman, dan keragaman dalam persatuan, yang dalam slogan negara dinyatakan dengan ungkapan “Bhinneka Tungal Ika.” Satu sisi, ada wawasan kosmopolitanisme yang berusaha mencari titik temu dari segala kebhinnekaan yang terkristalisasikan dalam dasar negara (Pancasila), UUD, dan segala turunan perundang-undangannya, negara persatuan, bahasa persatuan, dan simbol-simbol kenegaraan lainnya. Di sisi lain, ada wawasan pluralisme yang menerima dan memberi ruang hidup bagi aneka perbedaan, seperti aneka agama/keyakinan, budaya dan bahasa daerah, dan unit-unit politik tertentu sebagai warisan tradisi budaya.
Keempat, nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, dan nilai serta cita-cita kebangsaan itu dalam aktualisasinya harus menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam semangat permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Dalam visi demokrasi permusyawaratan, demokrasi memperoleh kesejatiannya dalam penguatan daulat rakyat, ketika kebebasan politik berkelindan dengan kesetaraan ekonomi, yang menghidupkan semangat persaudaraan dalam kerangka “musyawarah-mufakat.” Dalam prinsip musyawarah-mufakat, keputusan tidak didikte oleh golongan mayoritas (diktator mayoritas), melainkan dipimpin oleh hikmat/kebijaksanaan yang memuliakan daya-daya rasionalitas deliberatif dan kearifan setiap warga tanpa pandang bulu.
Kelima, nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai dan cita kebangsaan, serta demokrasi permusyawaratan itu memperoleh kepenuhan, artinya sejauh dapat mewujudkan keadilan sosial. Di satu sisi, perwujudan keadilan sosial itu harus mencerminkan imperatif etis keempat sila lainnya. Di sisi lain, otentisitas pengalaman sila-sila Pancasila bisa ditakar dari perwujudan keadilan sosial dalam perikehidupan kebangsaan. Dalam visi keadilan sosial menurut Pancasila, yang dikehendaki adalah keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani, keseimbangan antara peran manusia sebagai makhluk individu (yang terlembaga dalam pasar) dan peran manusia sebagai makhluk sosial (yang terlembaga dalam negara), juga keseimbangan antara pemenuhan hak sipil dan politik dengan hak ekonomi, sosial, dan budaya. Dalam mewujudkan keadilan sosial, masing-masing pelaku ekonomi diberi peran yang secara keseluruhan mengembangkan semangat kekeluargaan. Peran individu (pasar) diberdayakan, dengan tetap menempatkan negara dalam posisi penting dalam menyediakan kerangka hukum dan regulasi, fasilitas, rekayasa sosial, serta penyediaan jaminan sosial.
Dalam perkembangannya, Pancasila sering mendapat sorotan tajam dan tekanan kuat baik dari kalangan dalam maupun luar negeri. Berdasarkan hasil survei, implementasi ideologi Pancasila juga masih jauh dari visi ideal. Pemahaman nilai-nilai Pancasila di kalangan elite politik dan pemerintahan masih belum memadai sehingga belum mampu memberikan keteladanan dalam penerapan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini mengindikasikan adanya krisis ideologi.[6]
3. Hubungan Implementasi nilai-nilai Pancasila dan Peningkatan Ketahanan Pangan Nasional
Ketahanan pangan identik dengan suatu keadaan dimana pangan tersedia bagi setiap individu setiap saat dimana saja, baik secara fisik maupun ekonomi. Ada tiga aspek yang menjadi indikator ketahanan pangan suatu wilayah, yaitu sektor ketersediaan pangan, stabilitas ekonomi (harga) pangan, dan akses fisik maupun ekonomi bagi setiap individu untuk mendapatkan pangan.
Definisi mengenai ketahanan pangan (food security) memiliki perbedaan dalam tiap konteks waktu dan tempat. Istilah ketahanan pangan sebagai sebuah kebijakan ini pertama kali dikenal pada saat World Food Summit tahun 1974. Setelah itu, ada banyak sekali perkembangan definisi konseptual maupun teoritis dari ketahanan pangan dan hal-hal yang terkait dengan ketahanan pangan. Diantaranya, Maxwell, mencoba menelusuri perubahan-perubahan definisi tentang ketahanan pangan sejak World Food Summit tahun 1974 hingga pertengahan dekade 1990-an. Menurutnya, perubahan yang terjadi yang menjelaskan mengenai konsep ketahanan pangan, dapat terjadi pada level global, nasional, skala rumah tangga, dan bahkan individu. Perkembangannya terlihat dari perspektif pangan sebagai kebutuhan dasar (food first perspective) hingga pada perspektif penghidupan (livelihood perspective) dan dari indikator-indikator objektif ke persepsi yang lebih subjektif.
Era 1970-an dengan resep Revolusi Hijau, kebijakan pangan dan pertanian difokuskan pada peningkatan produksi beras.[7] Awalnya, kebijakan Revolusi Hijau ini cukup menggembirakan. Produksi beras melonjak, dalam kurun waktu 10 tahun: dari hanya 15.276.000 ton pada tahun 1974 menjadi 25.933.000 ton pada 1984. Dengan peningkatan produktivitas dari rerata 2.64 ton/hektar menjadi rerata 3.91 ton/hektar dan tingkat pertumbuhan produksi 8%. Namun telah berdampak pada tingginya ketergantungan konsumsi pangan pada beras secara nasional. Persoalan lain yang ditimbulkan adalah meningkatnya jumlah masyarakat pedesaan yang memilih menjadi menjadi TKI/BMI dan semua ini tidak terlepas dari persoalan dampak revolusi hijau, dimana pada tahun 1980-an sudah tidak mungkin lagi terserap oleh dinamika sosial internal pedesaan lagi.[8] Efek tersebut memperlihatkan dari kurang efektifnya kebijakan tentang pangan.
Kemudian, Indonesia seringkali mengalami krisis pangan, antara tahun 2007 hingga 2008. Krisis pangan itu melahirkan pemahaman umum di banyak kalangan masyarakat dunia bahwa “agriculture should be the main agenda in economic development.” Dalam rangka pembangunan ekonomi itu pertanian haruslah menjadi agenda utama yang digarap, karena terkait dengan pemenuhan ketahanan pangan nasional. Pemenuhan kebutuhan pangan nasional terus mengalami peningkatan karena adanya pertumbuhan konsumsi pangan dan pertambahan penduduk (saat ini sudah mencapai 259,9 juta jiwa).[9] Sampai saat ini, beras merupakan komoditas yang menduduki posisi strategis dalam proses pembangunan pertanian, karena beras menjadi komoditas politik dan menguasai hajat hidup rakyat Indonesia. Masyarakat menjadikan beras sebagai makanan pokok, sehingga menjelma menjadi sektor ekonomi strategis bagi perekonomian dan juga ketahanan pangan nasional.
Di negara-negara dunia, terutama di belahan Asia, beras telah menjadi komoditas pangan yang sangat strategis, dan bukan saja menjadi isu ekonomi. Tidak mengherankan apabila beras selalu menjadi masalah penting, bagi petani, ekonom, politikus dan para elite, sehingga kebijakan perberasan akan menjadi fokus perhatian semua pihak.[10]
Pada sisi lain, kebijakan ekspor-impor pangan saat ini menjadi sorotan bagi kalangan pemerhati pertanian yang melihat bahwa pembangunan ketahanan pangan tidak akan tercapai bila masih mengandalkan metodologi penghitungan yang ada. Pemerintah perlu segera menyempurnakan metodologi penghitungan produksi dan ketersediaan pangan. Bustanul Arifin, guru besar Ilmu Ekonomi Pertanian Universitas Lampung, menyampaikan bahwa metodologi penghitungan produksi dan ketersediaan pangan wajib disempurnakan, tanpa harus mencari-cari kesalahan kebijakan terdahulu.[11]
Jika demikian, nampak bahwa ketersediaan data selama ini mengalami ketimpangan. Ironisnya masing-masing lembaga yang terkait dengan kebijakan pangan Indonesia belum memiliki data yang komprehensif. Angka-angkanya mengherankan, seperti misalnya beras mengalami surplus setelah dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia; namun di lain sisi impor beras tetap menjadi pilihan bagi ketersediaan pangan. Indonesia masih mengacu data Badan Pusat Statistik soal ketersediaan pangan. BPS merilis estimasi produksi padi sebesar 68 ton gabah kering giling atau setara 39 juta ton beras. Jika asumsi konsumsi 139,15 kilogram per kapita per tahun, total konsumsi 237,6 juta penduduk seharusnya 33 juta ton.
Jika memang perhitungan data produksi pangan tersebut benar, semestinya Indonesia memiliki surplus beras sebanyak 6 juta ton, sehingga pemerintah tidak perlu mengimpor beras. Metode penghitungan semacam itu, ironisnya, juga terjadi pada hampir seluruh komoditas seperti jagung, kedelai, dan gula. Produksi jagung 18,3 juta ton pipilan kering. Jika industri pakan ternak menyerap 6 juta ton, dan konsumsi masyarakat 12 juta ton, estimasi produksi seharusnya surplus. Namun faktanya lagi-lagi industri pakan harus mengimpor jagung 1 juta ton.[12] Alhasil, nilai impor pangan Indonesia selama Januari-Juni 2011 telah mencapai hampir 4 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 36,2 triliun.[13] Sepanjang 2011, beras impor yang masuk ke Indonesia sebanyak 2,75 juta ton.[14]
Tabel . Data Impor Beras Indonesia 2005-2012
Tahun |
Berat bersih (Net weight: 000 M. ton) |
Nilai CIF: Juta US $ (CIF value: million US $) |
2005 |
189,6 |
51,5 |
2006 |
438,1 |
132,6 |
2007 |
1406,8 |
467,7 |
2008 |
289,7 |
124,1 |
2009 |
250,5 |
108,1 |
2010 |
687,6 |
360,8 |
2011 |
2.750,6 |
1.513,2 |
2012* |
770,3 |
420,6 |
Sumber: Data Diolah dari BPS, Laporan Data Sosial-Ekonomi, 2012
*Data hanya Triwulan I (Januari-Maret) 2012
Pangan tidak dipersepsikan sebagai komoditas untuk mengganjal perut dari rasa lapar, juga bukan hanya sekedar kebutuhan utama bahan makanan masyarakat. Seiring perjalanan waktu, pangan telah dijadikan sebagai kekuatan politik atau kepentingan kelompok tertentu. Dari sinilah kemudian banyak kalangan yang berpendapat bahwa pangan sesungguhnya identik dengan senjata (weapon). “Food is the weapon” adalah ungkapan yang sering digunakan orang untuk mempertegas posisi, peran dan kedudukan pangan dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, terutama bagi sebuah bangsa yang kehidupan masyarakatnya sangat menggantungkan diri pada komoditas pangan.
Walaupun secara historis kebijakan pangan bertujuan menguatkan ekonomi petani (lihat misalnya program pengadaan pangan dunia yang disponsori oleh FAO), program tersebut lebih menguntungkan spekulator, sementara petani kecil tetap dalam posisi terpinggirkan. Buku Lapar: Negeri Salah Urus (Khudori, 2005) secara gamblang menegaskan bahwa kedaulatan pangan di sebuah negara agraris sekaliber Indonesia, semestinya mampu dirajut sedemikian rupa sehingga dapat melepaskan diri dari intervensi dan gerakan komersialisasi pangan secara global yang dalam beberapa tahun ke belakang ini terasa benar gerakannya.
Ketahanan pangan sebagai ketersediaan pangan di pasar (availability of food in the market). Ketahanan pangan yang mengabdi kepada pasar itulah yang didesain dalam berbagai “kebijakan” WTO. Dalam konsep ketahanan pangan yang tidak mempersoalkan siapa yang memproduksi pangan, atau dari mana produksi pangan tersedia, tetapi yang penting bagaimana sejumlah pangan tersedia dalam jumlah yang cukup (availability food) dalam kehidupan masyarakat. Namun demikian, Konsepsi Ketahanan Pangan bukan berarti bahwa negara tidak berpihak dalam mekanisme pasar. Justru di sinilah peranan negara dalam melindungi rakyatnya dari dampak jangka panjang akibat ketergantungan pangan dari negara-negara lain, fakta bahwa sebagian besar rakyat Indonesia berada dalam sektor pertanian, akan menjadi tidak berdaya dalam menghadapi persaingan pasar yang tidak berimbang.
Pemerintah harus mampu meyakinkan masyarakat terutama para petani, bahwa masa depan pertanian sangat vital, yang menjadi tulang punggung ketahanan pangan nasional. Adanya pemahaman yang mendalam akan hakikat kedaulatan pangan, sebagai jawaban nyata atas tekanan yang sedang dihadapi saat ini. Visi ketahanan pangan harus mampu mewujudkan kedaulatan pangan. Ketahanan Pangan Nasional harus bisa melepaskan diri dari ketergantungan impor pangan dari negara-negara lain.
Idealisme Pancasila dalam paradigma nasional mendasari berbagai perumusan aturan perundang-undangan yang nilai instrinsik atau nilai dasarnya terpancar dari pasal-pasal UUD 1945 dan nilai-nilai instrumentalnya terpancar dari berbagai aturan perundang-undangan sebagai jabaran UUD 1945 yang telah disesuaikan dengan perkembangan lingkungan.[15] Tak terkecuali ketika membahas tentang kebijakan atau aturan perundang-undangan tentang Ketahanan Pangan. Tentunya aturan tersebut tak pernah lepas dari nilai-nilai Pancasila.
Dengan demikian, nilai-nilai kemanusiaan (termuat dalam Pancasila) melekat dalam ketahanan pangan. Secara eksternal, memang harus ada ketersediaan pangan (dunia), namun secara internal juga harus kuat (kedaulatan pangan nasional). Begitu pula, nilai-nilai bangsa yang berdaulat dan berkeadilan, yang kesemuanya merupakan cerminan dari landasan nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi Pancasila, harus mampu mengisi dan diimplementasikan dalam setiap visi pembangunan, seperti kebijakan ketahanan pangan. Agar arah pembangunan ketahanan pangan bukan semata konsep ideal ekonomi-politik, melainkan arah tersebut harus mengandung nilai-nilai yang berpihak pada kepentingan nasional, melindungi rakyat untuk dapat hidup makmur dan sejahtera. Oleh karena itu, ketahanan pangan harus mampu menciptakan kedaulatan pangan yang berarti masyarakat hidup dalam suasana ketersediaan pangan yang tidak tergantung pada negara lain (impor).
Sebagai hak rakyat untuk menentukan kebijakan dan strategi atas produksi, distribusi dan konsumsi pangan yang berkelanjutan dan menjamin hak atas pangan bagi seluruh penduduk bumi, maka kedaulatan pangan benar-benar dapat dijadikan tolok ukur guna menguji sampai sejauh mana kebijakan ketahanan pangan nasional dapat diwujudkan dalam kehidupan keseharian masyarakat.
4. Penutup
Pemahaman historisitas menjadi kunci agar nilai-nilai Pancasila mengakar kuat dan betul-betul menjadi ideologi dan falsafah hidup bangsa Indonesia. Peran dunia pendidikan salah satu strategi penanaman nilai-nilai Pancasila secara sistemik. Tak dapat dipungkiri proses dialektika tentang keberadaan Pancasila senantiasa menjadi perbincangan hangat, suka ataupun tidak. Namun, demikian seyogyanya diartikan sebagai salah satu bentuk dinamika berbangsa dan bernegara. Dinamika Pacasila sebagai ideologi masih akan selalu hadir dalam tiap perkembangan zaman dan hampir pasti hal ini akan berpengaruh besar terhadap kemandirian dan keberlanjutan bangsa Indonesia. Segala bentuk kritik dan masukan menjadi ide konstruktif. Namun perlu disadari, bahwa implementasi nilai-nilai Pancasila bukan hal yang bersifat statis. Pancasila sebagai ideologi dan falsafah hidup bangsa Indonesia akan terus teruji sesuai perkembangan zaman.
Dalam perspektif ke depan, bangsa Indonesia terlebih dahulu harus mampu menunjukkan presetasinya dalam kemandirian, terutama di bidang pemenuhan kebutuhan dasar (pangan). Langkah pokok secara mikro yang perlu ditempuh adalah penanaman nilai-nilai Pancasila dan implementasinya dalam kehidupan sehari-hari. Secara makro, visi pembangunan yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila tercermin dalam kebijakan pemerintah yang pro-rakyat. Secara global, pergaulan dunia yang damai dan bermartabat, sebagaimana digagas para pendiri bangsa Indonesia, memerlukan dukungan bukti dalam implementasi Pancasila secara konsisten dalam penyelenggaraan pemerintahan negara.
Sebagai catatan akhir, Pancasila akan senantiasa menjadi inspirasi dalam setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk dalam perumusan setiap kebijakan. Dengan demikian, Negara Indonesia memiliki landasan moralitas dan haluan kebangsaan yang jelas dan visioner. Suatu pangkal tolak dan tujuan pengharapan yang penting bagi keberlangsungan dan kejayaan bangsa.
Daftar Pustaka
Buku :
Khudori. Lapar: Negeri Salah Urus. Yogyakarta : Resist Book, 2005.
_______. Ironi Negeri Beras. Yokjakarta: Insist Press, 2008
Latif, Yudi. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualisasi Pancasila. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2011.
Rahman, Fathor. Menghakimi TKI: Mengurai Benang Kusut Perlindungan TKI. Jakarta: Pensil-324, 2011.
Sastra Wingarta, Putu. Bali-Ajeg: Ketahanan Nasional di Bali Konsepsi dan Implementasinya Perspektif Paradigma Nasional. Jakarta: Pensil-324, 2006.
Sirimorok, Nurhady (ed). Melawan Ketergantungan: Kebiajakan Pangan dan Pengalaman Pengorganisasian Tiga Desa. Yogyakarta: Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan, Sekolah Rakyat Petani Payo-Payo, Insist Press, 2011.
Dokumen/Bulletin/Koran:
Ani Purwanti SH MHum dan Lita Tyesta SH MHum, “Revitalisasi Nilai Pancasila”. [Opini] Suara Merdeka, 29 Nopember 2011.
Biro Pusat Statistik, Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi, Edisi 24, Mei 2012.
____________, Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi, Edisi 10, Maret 2011.
____________ , Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi, Edisi 3, Agustus 2010.
____________ , Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi, Edisi 1, Juni 2010.
____________ , Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia, Oktober 2009.
Citra Indonesia.com, “BPS Survei Rakyat Soal Pancasila”, 1 Juni 2011, http://citraindonesia.com/bps-survei-rakyat-soal-pancasila
Kompas.com, “Impor Pangan Capai Rp 36,2 Triliun”, http://bisniskeuangan.kompas.com. 27 September 2011.
Lampung Post.com, “Perdagangan: RI Impor Beras 2,75 Juta Ton di 2011”, http://lampungpost.com. 6 Februari 2012.
Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, “Pancasila Dalam Perspektif dinamika Ideologi Multi-Polar”. http://pse.litbang.deptan.go.id. 17 Januari 2012.
Tempo.co, “Data Sering Surplus, Tapi Kok Terus Impor Beras”, http://www.tempo.co, 22 September 2011.
[1] Disarikan dari Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualisasi Pancasila, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2011.
[2] Ani Purwanti dan Lita Tyesta (dosen Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang), “Revitalisasi Nilai Pancasila”. [Opini] Suara Merdeka. 29 November 2011.
[3] “BPS Survei Rakyat Soal Pancasila,” [Berita] Citra Indonesia.com. 1 Juni 2011. Lihat: http://citraindonesia.com/bps-survei-rakyat-soal-pancasila
[4] Putu Sastra Wingarta, Bali-Ajeg: Ketahanan Nasional di Bali Konsepsi dan Implementasinya Perspektif Paradigma Nasional. Jakarta: Pensil-324, 2006, hlm. 14.
[5] Yudi Latif. Op. cit, hlm. 42-45.
[6] “Pancasila Dalam Perspektif dinamika Ideologi Multi-Polar”, Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, 17 Januari 2012. Lihat: http://pse.litbang.deptan.go.id.
[7] Karno B. Batiran, “Kebijakan Mengekor Pusat dan Pendahulu”, dalam Nurhady Sirimorok (ed), Melawan Ketergantungan: Kebijakan Pangan dan Pengalaman Pengorganisasian Tiga Desa. Yogyakarta: Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan, Sekolah Rakyat Petani Payo-Payo, Insist Press, 2011, hlm. 2.
[8] Fathor Rahman, “Menghakimi TKI: Mengurai Benang Kusut Perlindungan TKI.” Jakarta: Pensil-324, 2011, hlm. 20.
[9] Data terhitung per 31 Desember 2010. Disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi dalam rapat dengar pendapat pembahasan KTP elektronik dengan Komisi II DPR di Jakarta, 19 November 2011. www.kompas.com
[10] Khudori, Ironi Negeri Beras. Yogjakarta: INSISTPress, 2008, hlm. v.
[11] “Data Sering Surplus, Tapi Kok Terus Impor Beras”, Tempo.co, 22 September 2011. http://www.tempo.co
[12] Lihat: “Data Sering Surplus, Tapi Kok Terus Impor Beras”, Tempo.co, ibid.
[13] “Impor Pangan Capai Rp 36,2 Triliun”, Kompas.com, 27 September 2011, http://bisniskeuangan.kompas.com/.
[14] Lihat: “Perdagangan: RI Impor Beras 2,75 Juta Ton di 2011”, Lampung Post.com, 06 February 2012. http://lampungpost.com.
[15] Putu Sastra Wingarta, Op. cit.