PENGAWASAN PREVENTIF SEBAGAI BENTUK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH

Hukum Tata Negara / Hukum Administrasi Negara

PENGAWASAN PREVENTIF SEBAGAI BENTUKPENGUJIAN

PERATURAN DAERAH[1]

Victor Juzuf Sedubun, S.H., LL.M.[2]

 

Abstract

Revocation of regulation has created legal uncertainty associated with the type of law that gives the imposition of regional taxes and levies and the type of law that gives certain rights to the public. Local Regulations as delegated legislation as the work of the Regional Head and parliament can not be undone by unilateral decision of the central government for granted.

Keywords: Preventive Control, Local Regulations

 

 

A.    Pendahuluan

Pasal 1 ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia (selanjutnya disingkat UUDNRI) Tahun 1945 menyatakan bahwa: “Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik”. Hal ini berarti bentuk negara kesatuan berkonsekuensi bahwa hanya ada satu pemerintahan nasional yang sah dan satu hukum nasional yang sah yang berlaku di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia[3]. Dalam konteks hubungan antara pusat dengan daerah, sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah bergeser dari sistem yang sentralistik menjadi sistem desentralisasi yang mengedepankan asas otonomi.

Desentralisasi merupakan proses kewenangan yang diserahkan pusat kepada daerah melalui cara delegasi kepada pejabat-pejabatnya didaerah atau dengan devolusi kepada badan-badan otonom daerah.Desentralisasi adalah penyerahan wewenang dari tingkat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Pemerintahan yang lebih rendah, baik yang menyangkut bidang legislative, judikatif atau administratif. Dalam pelaksanaan sistem desentralisasi, dikenal pula otonomi daerah, yang berasal dari bahasa Yunani, auto yang berarti sendiri dan nomous yang berarti hukum atau peraturan, yang dapat diartikan secara harafiah otonomi dapat berarti hukum atau peraturan sendiri.Menurut Encyclopedia of Social Science, otonomi dalam pengertian orisinil adalah the legal self sufficiency of social body and its actual indenpendence. Dalam pengertian ini ada dua ciri hakekat dari otonomi yakni legal self sufficiency dan actual indenpendence.

Kewenangan daerah menetapkan Peraturan Daerah (selanjutnya disingkat Perda) dalam rangka melaksanakan fungsi pemerintahan merupakan atribusi kewenangan berdasarkan Pasal 18 ayat (6) UUDNRI Tahun 1945 dan UU Pemda. Adanya Perda sebagai Autonome Satzung sebagaimana diklasifikasi oleh Hans Nawiasky dibentuk sebagai konsekuensi logis dari desentralisasi kekuasaan vertikal yang memberikan otonomi kepada daerah. Hal ini sesuai dengan perkembangan demokrasi di bidang pemerintahan, di mana negara-negara modern banyak memberikan kekuasaan kepada daerah untuk lebih bebas mengatur dirinya.

Menurut Meinhard Schroder,[4] By-laws are autonomous legislation, formal regulations enacted by a public body vested with the right of self-government, and are often regulations of the local communities. By-law are partly an administrative instrument and partly formal law. But due to their importance for municipal self-government they area characterized more as statutes than as administrative instruments.

Ketentuan mengenai pengujian peraturan perundang-undangan, khususnya Perda, di era otonomi daerah ternyata tidak konsisten antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang lain.Perdebatan mengenai berlakunya excecutive review dan judicial review terhadap Perda menjadi pertanyaan tersendiri di era otonomi daerahsekarang ini mengingat Perda merupakan produk hukum di daerah yang dibuat oleh kepala daerah dan DPRD di suatu daerah yang bersifat otonom.

 

B.     Pembahasan

  1. Pembentukan Peraturan Daerah

Setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memiliki tujuan yang jelas yang hendak dicapai dan memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundang-undangannya. Murphy[5] memberikan pandangannya mengenai tujuan hukum yaitu memberikan kebaikan bersama. Selain itu, harus memperhitungkan efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis maupun yuridis. Materi muatan peraturan perundang-undangan harus dapat memberikan fungsi perlindungan dalam rangka menciptakan kebahagian hidup dalam masyarakat, harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia dan martabat setiap warga yang diaturnya.

Perubahan Kedua menghasilkan adanya penambahan pasal terhadap Pasal 18 sehingga menjadi Pasal 18A, dan Pasal 18B. Dalam Pasal 18 ayat (2), ayat (5), dan ayat (6), ditegaskan hal-hal sebagai berikut:

(2)   Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

(5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.

(6)   Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

Nomenklatur berhak menetapkan memiliki makna konstitusional bahwa pemerintahan daerah tidak secara murni membentuk Perda berdasarkan prinsip otonomi dan tugas pembantuan sesuai urusan pemerintahan yang merupakan kewenangannya, tetapi penetapan atau berhak menetapkan ini merupakan hak pemerintahan daerah terhadap urusan pemerintahan yang telah ditentukan norma, standar, prosedur dan kriteria yang dipersyaratkan.

Pembentukan Perda oleh Pemda, dilakukan mulai dari tahap perencanaan sampai dengan pengesahan dan pemberlakuan Perda tersebut. Pemerintah selaku pemegang kekuasaan tertinggi melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan wewenang tersebut. Selain itu, Pemerintah dapat diminta untuk memberikan pertimbangan terhadap pembentukan Perda yang mengatur hal-hal tertentu, seperti Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Tata Ruang Daerah.

Terhadap pertimbangan tersebut, suatu Perda yang mengatur hal-hal di atas hanya dapat disahkan apabila sudah mendapat pertimbangan dari Pemerintah. Sedangkan terhadap Perda yang mengatur hal-hal di luar yang disebutkan di atas, tidak harus dilakukan konsultasi dengan Pemerintah selama Perda tersebut masih dibahas di daerah. Perda yang sudah disetujui bersama Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dikirim ke Kemendagri untuk dievaluasi selanjutnya mendapat pengesahan dari Presiden.

Sebagai dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, maka Perda  merupakan suatu tuntutan dari adanya hubungan antara pusat dan daerah dalam bentuk negara kesatuan berdasarkan prinsip otonomi. Penyelenggaraan pemerintahan di daerah dengan menjabarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan menghendaki adanya Perda yang sesuai dengan potensi dan keragaman daerah.Penyelenggaraan pemerintahan daerah di satu sisi memungkinkan pemerintah daerah dapat menetapkan Perda dalam batas kewenangannya, di bawah supervisi dan pengawasan ketat dari penyelenggara pemerintahan di pusat.

Pelaksanaan pengawasan oleh penyelenggara pemerintahan di pusat tidak dapat dilakukan semaunya, materi pengawasan terhadap peraturan daerah harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, bahwa peraturan daerah dimaksud tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, sedangkan tata cara pengawasan dilakukan oleh penyelenggara pemerintahan di pusat yang merupakan kewajiban pemerintahan daerah untuk memberikan peraturan daerah dimaksud setelah disahkan sesuai dengan prosedural tertentu.

Newman[6] berpendapat bahwa “control is assurance that the performance conform to plan”. Ini berarti bahwa titik berat pengawasan adalah suatu usaha untuk menjamin agar pelaksanaan suatu tugas dapat sesuai dengan rencana. Dengan demikian menurut Newman, pengawasan adalah suatu tindakan yang dilakukan selama proses suatu kegiatan sedang berjalan, bahkan setelah akhir proses kegiatan tersebut.

Berbeda dengan Newman, Muchsan[7]mengemukakan bahwa pengawasan adalah kegiatan untuk menilai suatu pelaksanaan tugas secara defacto, sedangkan tujuan pengawasan hanya terbatas pada pencocokan apakah kegiatan yang dilaksanakan telah sesuai dengan tolok ukur yang telah ditetapkan sebelumnya.

Sedangkan Manan[8] memandang “kontrol” sebagai sebuah fungsi sekaligus hak, sehingga lazim disebut dengan fungsi kontrol atau hak kontrol. Kontrol mengandung dimensi pengawasan dan pengendalian. Pengawasan bertalian dengan arahan (directive).

Pengawasan, menurut Lotulung[9], adalah upaya untuk menghindari terjadinya kekeliruan-kekeliruan, baik sengaja maupun tidak disengaja, sebagai usaha preventif, atau juga untuk memper­baikinya apabila sudah terjadi kekeliruan itu, sebagai usaha represif.

Menurut penulis, makna dasar dari pengawasan adalah(i) pengawasan ditujukan sebagai upaya pengelolalaan untuk mencapai hasil dari tujuan; (ii) adanya tolok ukur yang dipakai sebagai acuan keberhasilan; (iii) adanya kegiatan untuk mencocokkan hasil yang dicapai dengan tolok ukur yang ditetapkan; (iv) mencegah terjadinya kekeliruan dan menunjukkan cara dan tujuan yang benar; serta (v) adanya tindakan koreksi apabila hasil yang dicapai tidak sesuai dengan tolok ukur yang ditetapkan.

Berdasarkan uraian di atas, dalam konteks penyelenggaraan kekuasaan Kehakiman, pengawasan dapat diartikan secara luas sebagai salah satu aktivitas fungsi manajemen untuk menemukan, menilai dan mengoreksi penyimpangan yang mungkin terjadi atau yang sudah terjadi berdasarkan standart yang sudah disepakati dalam hal ini peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pengawasan akan memberikan nilai tambah bagi peningkatan kinerja para hakim dalam mewujudkan rasa keadilan.Kegiatan pengawasan ditujukan semata-mata hanya untuk menciptakan kekuasaan kehakiman yang merdeka, efektif dan berorientasi pada pencapaian visi dan misi organisasi. Dengan adanya pengawasan diharapkan mampu untuk (1) menghentikan atau meniadakan kesalahan, penyimpangan, penyelewengan, pemborosan, hambatan dan ketidak adilan, (2) mencegah terulangnya kembali kesalahan, penyimpangan, penyelewengan, pemborosan, hambatan dan ketidak adilan, (3) mendapatkan cara-cara yang lebih baik untuk mencapai tujuan dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya secara efektif.[10]

  1. Pengawasan Preventif Dalam Kaitan Dengan Pembatalan Peraturan Daerah

Pembatalan Perda merupakan proses kegiatan-kegiatan yang membandingkan apa yang dijalankan, dilaksanakan, atau diselenggarakan itu dengan apa yang dikehendaki, direncanakan, atau diperintahkan. Hasil pengawasan harus dapat menunjukkan sampai di mana terdapat kecocokan atau tidakcocokan, dan apakah sebab-sebabnya.Dengan demikian, maka pengawasannya dapat bersifat (1) politik, bilamana yang menjadi ukuran atau sasaran adalah efektivitas dan/atau legitimasi, (2) yuridis (hukum), bilamana tujuannya adalah menegakkan yuridiksitas dan/atau legalitas, (3) ekonomis, bilamana yang menjadi sasaran adalah efisiensi dan teknologi, (4) moril dan susila, bilamana yang menjadi sasaran atau tujuan adalah mengetahui keadaan moralitas. Pengawasan juga merupakan kegiatan menilai suatu pelaksanaan tugas secara de facto, sedangkan tujuan pengawasan hanya terbatas pada pencocokan apakah kegiatan yang dilaksanakan telah sesuai dengan tolak ukur yang telah ditetapkan sebelumnya (dalam hal ini berujud suatu rencana/plan).

Dengan demikian maka pengawasan yang dilakukan oleh penyelenggara pemerintahan di pusat terhadap Perda pada hakikatnya merupakan upaya pemerintah untuk mencocokan materi muatan Perda yang dibuat itu sesuai tidak dengan materi muatan peraturan perundang-undangan di atasnya. Pengawasan terhadap Perda ini untuk mencapai harmonisasi materi muatan yang terkait dengan otonomi daerah. Pengawasan ini pun dilakukan oleh Pemerintah dalam rangka koordinasi dan integrasi penyelenggaraan pemerintahan, karena penyelenggaraan pemerintahan daerah merupakan subsistem dari sistem penyelenggaraan pemerintahan nasional.

Ada dua jenis pengawasan baku terhadap satuan pemerintahan otonomi, yaitu pengawasan preventif (preventief toetzicht) dan pengawasan represif (repressief toezicht). Pengawasan ini berkaitan dengan produk hukum dan tindakan tertentu organ pemerintahan daerah. Pengawasan preventif dikaitkan dengan wewenang mengesahkan, sedangkan pengawasan represif adalah wewenang pembatalanatau penangguhan. Wewenang pembatalan Perda yang merupakan pengawasan represif dapat dikategorikan sebagai executive review dimana Pemerintah melakukan pengujian terhadap Perda, dengan menggunakan indikator pengujian berupa peraturan perundang-undangan yang memiliki hirarki lebih tinggi dari Perda, di antaranya UndangUndang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri serta indikator kepentingan umum. Analisa hukum terhadap pembatalan Perda ini dilakukan dengan menggunakan indikator kepastian hukum pembatalan Peraturan Daerah, eksistensi pembatalan Peraturan Daerah oleh pemerintah, dan bentuk aturan hukum pembatalan Perda.

Pengawasan represif terhadap Perda melalui pembatalan Perda telah menimbulkan ketidakpastian hukum terkait dengan jenis Perda yang memberikan pembebanan berupa pajak daerah dan retribusi daerah serta jenis peraturan daerah yang memberikan hak-hak tertentu kepada masyarakat, diantaranya perizinan. Dalam Perda tentang pajak daerah, wajib pajak telah diberikan pembebanan berupa kewajiban untuk menyerahkan sejumlah uang tertentu kepada daerah. Adanya pembatalan peraturan daerah tentang pajak daerah, maka pembatalan ini telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi daerah dan wajib pajak daerah berkaitan dengan dasar legalitas penagihan pajak daerah. terkait pula dengan Perda tentang retribusi daerah, baik yang berkaitan dengan golongan retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha, maupun retribusi perizinan tertentu, wajib retribusi daerah telah diberikan pembebanan untuk melakukan pembayaran sebagai penggantian seluruh atau sebagian pelayanan jasa yang telah diberikan oleh pemerintah pun, dengan adanya pembatalan akan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi daerah untuk melakukan penagihan biaya retribusi dan tidak adanya dasar legitimasi bagi masyarakat. Hal yang sama pun terkait dengan Perda tentang perizinan, yang telah memberikan hak tertentu kepada masyarakat, maka pembatalan Perda ini pun telah menimbulkan ketidakpastian hukum.

Pembatalan Perda yang dilakukan oleh Pemerintah bukan merupakan pembatalan dalam ranah peradilan. Pembatalan Perda ini merupakan pengawasan represif dalam ranah hukum administrasi. Hal ini berarti, tindakan pembatalan Perda merupakan pembatalan terhadap Perda yang sudah sah dan memiliki kekuatan hukum. Menurut pendapat Utrecht, sebagaimana dikutip oleh Hadjon[11], mengatakan bahwa sah berarti diterima sebagai sesuatu yang berlaku pasti, kekuatan hukum (rechtskracht) berarti dapat mempengaruhi pergaulan hukum”. Sehingga, pembatalan Perda, terutama bagi Perda yang berupa pajak daerah, retribusi daerah dan perizinan yang telah menimbulkan hak dan kewajiban dalam pergaulan hukum harus mempertimbangkan aspek keadilan hukum dan kepastian hukum agar tidak menimbulkan kerugian dengan adanya pembatalan Perda.

Dalam hukum administrasi dikenal adanya 3 (tiga) bentuk pembatalan, di antaranya batal karena hukum (nietigheid van rechtswege), batal (nietig), dan dapat dibatalkan (vernietigbaar). Keputusan yang tidak sah dapat berakibat ”nietigheid van rechtswege” (batal karena hukum), ”nietig” (batal), atau ”vernietigbaar” (dapat dibatalkan). ”Nietig” berarti bagi hukum perbuatan yang dilakukan dianggap tidak ada. Konsekuensinya, bagi hukum akibat perbuatan itu dianggap tidak pernah ada. ”Vernietigbaar” berarti bagi hukum perbuatan yang dilakukan dan akibat hukumnya dianggap ada sampai waktu pembatalan oleh hakim atau badan pemerintahan lain yang kompeten. ”Nietigheid van rechtswege” artinya bagi hukum akibat suatu perbuatan dianggap tidak ada tanpa perlu adanya suatu keputusan yang membatalkan perbuatan itu. Tindakan pemerintahan dapat berakibat batal karena hukum, batal atau dapat dibatalkan tergantung pada esensial-tidaknya kekurangan yang terdapat di dalam keputusan itu.[12]

Berdasarkan Pasal 145 UU Pemda ada kewajiban mengirimkan semua Perda yang sudah ditandatangani ke Kemendagri. Dalam dua bulan, Kemendagri seharusnya me-review. Kalau misalnya Perda tidak sesuai peraturan perundang-undangan terkait, bisa dibatalkan. Kalau kemudian penyelenggara pemerintahan di daerah dan DPRD tidak puas, bisa mengajukan keberatan ke MA. Kemudian yang kedua, MA melalui mekanisme judicial review. Ketentuan UU Pemda yang memberikan kewenangan kepada Menteri Dalam Negeri untuk mereview Perda, tidak berarti menutup peluang MA untuk melakukan reviewPerda. UU Pemda hanya memberikan kriteria untuk excecutive review, bukan berarti judicial review jadi ditutup. Karena untuk mereview Perda bisa mengaju pada peraturan perundang-undangan yang terkait dengan MA.

Pengaturan secara yuridis normatif tentang kontrol norma hukum melalui hak menguji materiil (judicial review) terhadap undang-undang di Indonesia, barulah secara tegas diatur setelah perubahan UUDNRI Tahun 1945 pada tahun 2000 yang kewenangannya diserahkan kepada MK. Sejak amandemen UUDNRI Tahun 1945, MK diberikan wewenang melakukan pengujian secara materiil atas undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, sedangkan MA berwenang melakukan pengujian secara materiil atas peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Hal mana nampak secara jelas dalam Pasal 24C ayat (1) UUDNRI Tahun 1945 (tentang wewenang MK) dan Pasal 11 ayat (2.c) Undang-Undang  Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (LN RI Tahun 2004 Nomor 8, TLN Republik Indonesia Nomor 4358), Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (LNRI Tahun 2004 Nomor 9, TLN RI Nomor 4359).

Disamping kontrol terhadap undang-undang sebagaimana yang dijelaskan diatas, maka Perda sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Gubernur, Bupati, Walikota bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Kabupaten, Kota. Pembentukan Perda dalam rangka melaksanakan ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi, juga membutuhkan sarana untuk dikontrol, walaupun pembentukan Perda berkaitan dengan penyelenggaraan otonomi daerah. Menurut Jimlly Asshiddiqie[13], Perda adalah merupakan salah satu bentuk pelaksana undang-undang.

Kalau dikatakan Perda sebagai produk legislatif, maka menjadi permasalahan apakah Pemerintah berwenang untuk melakukan pembatalan Perda? Menurut penulis yang berwenang untuk membatalkan Perda adalah MA.Mengapa dikatakan bahwa wewenang pembatalan Perda merupakan wewenang MA? Karena sebagai negara yang menganut sistem pembagian kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, maka tugas lembaga eksekutif hanyalah menjalankan roda pemerintahan dan melaksanakan perintah peraturan perundang-undangan, lembaga legislatif bertugas menetapkan undang-undang, sedangkan tugas lembaga yudikatif adalah melaksanakan fungsi mengadili. Dengan demikian maka proses pembatalan Perda merupakan wewenang dari MA sebagai puncak tertinggi kekuasaan pengadilan. Sebagai konsekuensi dipertegasnya prinsip pemisahan kekuasaan, maka pengujian terhadap Perda apabila bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi seyogyanya merupakan wewenang MA sebagaimana telah diatur dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945. Karena Hal ini berarti pembatalan Perda sebagai pengawasan represif yang merupakan wewenang Pemerintah bertentangan dengan UUDNRI 1945. Untuk memberikan penyeragaman dalam wewenang pengujian peraturan perundang-undangan, maka pembatalan Perda harus dilakukan oleh MA.

Pembatalan Perda yang terkait dengan materi muatan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah atau menampung kondisi khusus daerah seyogyanya tidak dapat dibatalkan oleh Pemerintah. Dalam hal tertentu, materi muatan ini tentunya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Konsekuensi hukum dengan adanya materi muatan ini, maka adalah tidak logis apabila Pemerintah melakukan pembatalan Perda hanya didasarkan pada tidak adanya pengaturan materi muatan Perda dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Adanya materi muatan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah atau menampung kondisi khusus daerah sudah pasti tidak memiliki pengaturan dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang lebih mengedepankan norma hukum abstrak-umum, sedangkan materi muatan Perda dimaksud merupakan materi muatan Perda lebih mengedepankan norma hukum konkrit-umum.

Pelaksanaan pengawasan terhadap pembentukan Perda oleh penyelenggara pemerintahan di pusat yang menghasilkan adanya pembatalan terhadap keberlakuan suatu Perda. Dalam praktek yang ada, selama ini pembatalan Perda ada yang dilakukan melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri (selanjutnya disingkat Kepmendagri). Pembatalan Perda oleh Mendagri tidak tepat,excecutive review terhadap Perda oleh Kemendagri, tapi pembatalannya harus dituangkan dalam Peraturan Presiden. Menurut UU PPP,Kemendagri sudah tidak bisa mengeluarkan peraturan perundang-undangan. Tidak bisa sebuah Perdadibatalkan oleh Kepmendagri.Dengan demikian, Keputusan Mendagri yang membatalkan Perda dapat dikatakan memiliki cacat hukum. Implikasi hukumnya, provinsi dan kabupaten/kota bisa saja tidak menuruti pembatalan itu.Oleh karena itu, pembatalan Perda oleh Pemerintah tidak dapat dilakukan terhadap keseluruhan Perda. Seyogyanya dilakukan pembatasan terhadap pembatalan Perda, karena pembentukan Perda didasarkan pada atribusi kewenangan yang berkaitan dengan materi muatan Perda dimaksud.

Pembatalan Perda sebagai pengawasan represif merupakan wewenang Pemerintah dalam sistem negara kesatuan. Namun dalam pelaksanaan otonomi daerah dengan prinsip otonomi seluas-luasnya berdasarkan UUDNRI Tahun 1945, pengawasan represif bukan merupakan satu-satunya jenis pengawasan yang dapat dilakukan oleh Pemerintah. Dalam pendekatan penyerahan sebagaian urusan pemerintahan kepada penyelenggara pemerintahan di daerah, maka negara mengakui keberadaan daerah sebagai organ negara yang menjalankan urusan pemerintahan di daerah. Penyerahan urusan tersebut sekaligus dengan penyerahan kewenangan pembentukan Perda kepada penyelenggara pemerintahan di daerah.

Menulis penulis, negara tidak lagi dapat mengintervensi pelaksanaan urusan yang telah diserahkan kepada penyelenggara pemerintahan di daerah. Dengan adanya pembatalan Perda, maka negara telah mengintervensi penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Negara tidak lagi berhak untuk membatalkan Perda yang dibentuk. Dalam kaitan dengan hubungan koordinasi, maka negara dapat melakukan koordinasi terkait dengan pembentukan Perda. Koordinasi tersebut dapat diwujudkan melalui pengawasan preventif.

 

 

C.    Kesimpulan dan Saran

1.      Kesimpulan

Hakekat muatan materi Perda yang mengakomodir kepentingan masyarakat di daerah guna mencapai suatu kebahagiaan yang terbesar kepada masyarakat, mesti dihargai oleh penyelenggara pemerintahan di pusat sebagai urusan penyeleggara pemerintahan di daerah dalam mengupayakan kebahagiaan dan kesejahteraan kepada masyarakat di daerah. pengakuan tersebut pula maka daerah berhak menetapkan Perda untuk menampung kondisi khusus kepada daerah dan mengatur kehidupan bersama masyarakat di daerahnya dalam pergaulan antar individu. Dengan pengakuan itu, maka pemerintah di pusat tidak lagi dapat mengintervensi pembentukan Perda, sekalipun muatan materi Perda yang dibentuk oleh penyelenggara pemerintahan di daerah terdapat pertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, kecuali jika mutan materi tersebut bertentangan dengan konstitusi dan hakekat pembentukan Perda itu sendiri. Dengan demikian maka harus ada pengawasan preventif penyelenggara pemerintahan di pusat terhadap proses pembentukan Perda.

2.      Saran

Untuk melakukan pencegahan terhadap adanya pemahaman daerah dengan adanya otonomi yang telah mengarah pada suatu kebebasan,  seyogyanya diperlukan adanya pengawasan preventif yang bukan diartikan sebagai pembatasan terhadap prinsip otonomi.Namun pengawasan preventif sebagai suatu upaya pencegahan terhadap Perda sebelum diberlakukan agar sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Melalui pengawasan preventif berupa pengesahan Perda yang telah ditetapkan, Pemerintah melakukan koreksi atau perbaikan terhadap Perda.

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

 

Asshiddiqie Jimly, 2005.Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Serpihan Pemikiran Hukum, Media dan HAM, Jakarta: Konstitusi Press.

Bruggink, J.J.H., 1999.Rechtsreflecties, terjemahan Arief Sidartha, Refleksi Tentang Hukum, Bandung:Citra Aditya Bakti.

Hadjon, Philipus M., 1985. Pengertian-Pengertian Dasar Tindak Pemerintahan (Bestuurshandelingen), Surabaya: Percetakan Djumali.

Hattu, Hendrik, 2010. Model Undang-Undang Berkarakter Responsif Kaitannya Dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Disertasi, Makassar: Universitas Hasanuddin.

Malik, “Perspektif Fungsi Pengawasan Komisi Yudisial Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006”, http://atikamalik.blogspot.com/, diakses pada tanggal 02 Februari 2011.

Manan, Bagir, 2001.Menyongsong Fajar Otonomi Daerah.Yogyakarta:Pusat Studi Fakultas Hukum UII.

Muchsan, 1992.Sistem Pengawasan terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia.Yogyakarta:Liberty.

Murphy,Mark C., 2007. Philosophy of Law, The Fundamentals. Australia: Blackwell Publishing.

Lotulung, Paulus Effendi, 1993.Beberapa Sistem Tentang Kontrol Segi Hukum Terhadap Pemerintah.Bandung:Citra Aditya Bakti.

Seerden Rene and Frits Stroink (eds). 2002. Administrative Law of the European Union, Its Member States and The United States (A Comparative Analysis), Groningen: Intersentia Uitgevers Antwerpen.

Sukardi, “Pengawasan Peraturan Daerah (Studi Kasus pada Provinsi Jawa Timur)”, Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2009, Surabaya: Puskoling-FH Universitas Airlangga.

Republik Indonesia, UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

 

 

 

 

 

 

 

BIODATA

 

 

 

 

Victor Juzuf Sedubun

Lahir di Hative Kecil, 17 Juli 1979, meraih gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Pattimura, Ambon, Tahun 2003, kemudian meraih Gelar Master of Law (LL.M.) pada Program Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Tahun 2009.

Saat ini menjabat sebagai Dosen Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Pattimura (2005-sekarang) dan sementara mengikuti Program Doktor Ilmu Hukum pada Universitas Airlangga, Surabaya.

 

 



[1] Pernah diuat dalam Jurnal Konstitusi  Pusat Kajian Konstitusi Universitas Udayana. Volume I Nomor 1, November 2012.

[2] Staf Pengajar pada Bagian HTN/HAN FH Unpatti

[3]Sukardi, Pengawasan Peraturan Daerah (Studi Kasus pada Provinsi Jawa Timur) dalam Jurnal Konstitusi, (Surabaya: Puskoling-FH Universitas Airlangga, Vol. II, No. 1, Juni 2009), hlm. 142.

[4]Rene Seerden and Frits Stroink, Administrative Law of the European Union, Its Member States and The United States (A Comparative Analysis), (Groningen: Intersentia Uitgevers Antwerpen, 2002), hlm. 111.

[5]Mark C. Murphy, Philosophy of Law, The Fundamentals. (Australia: Blackwell Publishing, 2007). hlm. 16

[6]Muchsan, Sistem Pengawasan terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia.(Yogyakarta:Liberty, 1992), hal. 37.

[7]Ibid, hal.37

[8]Bagir Manan. 2001.Menyongsong Fajar Otonomi Daerah.(Yogyakarta: Pusat Studi Fakultas Hukum UII,2011), hal.20.

[9]Paulus Effendi Lotulung, Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum terhadap Pemerintah.(Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993),. hlm. xvi-xvii.

[10]Malik, “Perspektif Fungsi Pengawasan Komisi Yudisial Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006”, http://atikamalik.blogspot.com/, diakses pada tanggal 02 Februari 2011.

[11]Philipus M. Hadjon, Pengertian-Pengertian Dasar Tindak Pemerintahan (Bestuurshandelingen), (Surabaya: Percetakan Djumali, 1985), hlm. 27.

[12]Hendrik Hattu, Model Undang-Undang Berkarakter Responsif Kaitannya Dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Disertasi, (Makassar: Universitas Hasanuddin, 2010), hlm. 256.

[13] Jimly Asshiddiqie, Op. cit. 269.

Tinggalkan Balasan