LEGALITAS PEMBENTUKAN PERATURAN PRESIDEN OLEH PRESIDEN DITINJAU DARI SUMBER KEWENANGAN (ATRIBUSI, MANDAT, DELEGASI)

Hukum Tata Negara / Hukum Administrasi Negara

LEGALITAS PEMBENTUKAN PERATURAN PRESIDEN OLEH PRESIDEN DITINJAU DARI SUMBER KEWENANGAN (ATRIBUSI, MANDAT, DELEGASI)*)

Oleh :

Muhammad Irham

Abstrak

Dalam UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang–Undangan Pasal 13 tentang materi muatan Peraturan Presiden menyatakan, “Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang–Undang, meteri untuk melaksankan Peraturan Pemerintah, atau meteri untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintah”.Dan didalam penjelasan pasal 13 UU No. 12 Tahun 2011 tersebut dijelaskan bahwa; “Peraturan Presiden dibentuk untuk menyelenggarakan peraturan lebih lanjut perintah undang–undang atau Peraturan Pemerintah secara tegas maupun tidak tegas diperintahkan pembentukannya”.Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang dilakukan atau ditujukan pada peraturan tertulis dan bahan-bahan hukum lainnya yang bersifat data sekunder yang ada di perpustakaan maupun jurnal hukum lainnya. Kesimpulan penelitian. 1. Asas legalitas dalam bidang hukum administrasi negara memiliki makna ”Dat het bestuur aan de wet is onderworpen” (bahwa pemerintah tunduk kepada undang-undang) atau “Het legaliteitsbeginsel houdt in dat alle (algemene) de burgers bindende bepalingen op de wet moeten berusten” (asas legalitas menentukan bahwa semua ketentuan yang mengikat warga negara harus didasakan pada undang-undang). Asas legalitas ini merupakan prinsip negara hukum dan negara demokrasi yang sering dirumuskan secara khas dalam ungkapan “Het beginsel van wetmatigheid van bestuur. 2. Pasal 4 Ayat (1) UUD 1945 menegaskan; “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang dasar”, pernyatan ini mengandung makna bahwa Presden adalah pemengang keuasaan pemerintah di Republik Indonesia sekaligus mempunyai fungsi legislasi. 3. Peraturan Presiden adalah peraturan yang dibuat oleh Presiden dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagai atribusi dari Pasal  4 Ayat (1) UUD 1945. Peraturan Presiden dibentuk untuk menyelenggarakan peraturan lebih lanjut perintah Undang-Undang atau peraturan pemerintah baik secara tegas maupun tidak tegas diperintahakan pembentukannya.

Kata Kunci: Asas legalitas, Peraturan Presiden


  1. Latar Belakang

Dalam negara–negara modern, interaksi mendasar antara lembaga negara termasuk dalam fungsi legislasi diatur oleh konstitusi. Pola pengaturan fungsi legislasi ditentukan oleh pola hubungan antara eksekutif dan legislatif dan hubungan itu sangat ditentukan oleh corak sistem pemerintahan.[2]

Pasal 1 ayat (1) Undang – Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia (UUD 1945) yang menegaskan bahwa;“Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik”Pasal 1 ayat (2) yang menegaskan bahwa;“kedaulatan ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang–Undang Dasar”, menunjukkan bahwa negra Indonesia menganut prinsip sistem demokrasi agar semua aspirasi masyarakat dapat diambil untuk dijadikan keputusan bersama. Selanjutnya Pasal 1 ayat (3) menegaskan bahwa;“Negara Indonesia adalah negara hukum.

Sebagai bangsa yang ingin tetap bersatu maka kita telah menetapkan dasar dan idiologi negara, yakni Pancasila yang dipilih sebagai dasar pemersatu dan pengikat yang kemudian melahirkan kaidah–kaidah penuntun dalam kehidupan sosial, politik, dan hukum. Selanjutnya prinsip–prinsip dan mekanisme ketatanegaraan untuk menjamin demokrasi diatur didalam UUD 1945 yang memasang rambu–rambu agar bangsa ini tetap utuh. Dengan demikian, tuntunan akan integrasi dan demokrasi sebagaimana dikemukakan oleh Geertz telah diatur dalam Pancasila dan UUD 1945.[4]

Dari pengertian tersebut diatas inilah yang melahirkan konsepsi negara hukum dan demokrasi, agar tetap terjaganya negara kesatuan Republik Indonesia (integrasi yang terjaga), untuk selanjutnya mengharuskan pembagian kekuasaan antara legislatif yang mewakili kepentingan dan aspirasi rakyat dan eksekutif sebagai lembaga pelaksana dari kepentingan dan aspirasi rakyat tersebut. Dimana pembagian kekuasaan ini selanjutnya diatur dalam Undang–Undang Dasar maupun undang–undang dibawahnya, agar kekuasaan kedua lembaga tersebut dapat dibatasi.

Dalam sistem demokrasi dan negara hukum modren, sudah umum diketahui bahwa kekuasaan negara dibagi dan dipisahpisahkan antara cabangcabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudukatif. Pada pokoknya, kekuasaan untuk atau membuat aturan dalam kehidupan bernegara dikontruksikan berasal dari rakyat yang berdaulat yang dikembangkan dalam organisasi negara di lembaga legislatif sebagai lembaga perwakilan rakyat. Sedangkan cabangcabang kekuasaan pemerintah negara sebagai organ pelaksana atau eksekutif hanya menjalankan peraturanperaturan yang ditetapkan oleh cabang legislatif. Sementara itu, cabang kekuasaan kehakiman atau yudikatif bertindak sebagai pihak yang menegakkan peraturanperaturan itu melalui proses peradilan yang independen dan imparsial.[6]

Berdasarkan prinsip pendelegasian ini, norma hukum yang bersifat pelaksana dianggap tidak sah apabila dibentuk tanpa didasari atas delegasi kewenangan dari peraturan yang lebih tinggi. Misalnya, Peraturan presiden dibentuk tidak atas perintah Undang-Undang (UU) atau Peraturan Pemerintah (PP), maka Peraturan Presiden (Prepres) tersebut tidak dapat dibentuk. Peraturan Menteri, jika tidak diperintahkan sendiri oleh Peraturan Presiden atau Peraturan Pemerintah, berarti peraturan dimaksud tidak dapat dibentuk sebagaimana mestinya. Demikian pula bentukbentuk peraturan lainnya, jika tidak didasarkan atas perintah peraturan yang lebih tinggi maka peraturan itu dianggap tidak memiliki dasar yang melegitimasikan pembentukannya. Dengan demikian, kewenangan lembaga pelaksana untuk membentuk peraturan pelaksana undangundang harus dimuat dengan tegas dalam undangundang sebagai ketentuan mengenai pendelegasian kewenangan legilasi (legislative delegation of rule-making power) dari pembentuk undangundang kepada lembaga pelaksana undangundang atau kepada pemerintah.[8]

Selanjutnya sebagai bentuk implementasi dari perintah pasal 22 A UUD 1945 yang menyatakan bahwa tata cara pembentukan undang–undang, selanjutnya diatur dengan undang–undang, telah ditetapkan Undang–Undang Nomor 12 Tahun 2011 (UU No. 12 Tahun 2011) tentang Pembentukan Peraturan Perundang–Undangan, penganti Undang –Undang Nomor 10 Tahun 2004. Dalam UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang–Undangan Pasal 13 tentang materi muatan Peraturan Presiden menyatakan,“Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang–Undang, meteri untuk melaksankan Peraturan Pemerintah, atau meteri untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintah”.Dan didalam penjelasan pasal 13 UU No. 12 Tahun 2011 tersebut dijelaskan bahwa; “Peraturan Presiden dibentuk untuk menyelenggarakan peraturan lebih lanjut perintah undang–undang atau Peraturan Pemerintah secara tegas maupun tidak tegas diperintahkan pembentukannya”.

  1. Metode Penelitian
  2. Jenis Penelitian dan Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang dilakukan atau ditujukan pada peraturan tertulis dan bahan-bahan hukum lainnya yang bersifat data sekunder yang ada di perpustakaan maupun jurnal hukum lainnya.[10]

  1. Penelitian terhadap asas-asas hukum, seperti misalnya penelitian terhadap hukum positifyang tertulis atau penelitian terhadap kaedah-kaedah hukum yang hidup di dalam masyarakat.
  2. Penelitian terhadap sistematika hukum, dilakukan dengan menelaah pengertian dasar dari sistem hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.
  3. Penelitian terhadap sinkronisasi hukum, dapat dilakukan baik sinkronisasi secara vertikal (beda derajat) ataupun secara horizontal (sama derajat/sederajat).
  4. Penelitian sejarah hukum, merupakan penelitian yang lebih dititikberatkan pada perkembangan-perkembangan hukum. Dalam setiap analisa yang dilakukan dalam penelitian ini akan mempergunakan perbandingan-perbandingan terhadap satu atau beberapa sistem hukum.
  5. Penelitian terhadap perbandingan hukum, merupakan penelitian yang menekankan dan mencari adanya perbedaan-perbedaan yang ada pada berbagai sistem hukum.

Sedangkan pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan yang bertitik tolak dari asas-asas hukum, seperti misalnya penelitian terhadap hukum positif yang tertulis atau penelitian terhadap kaedah-kaedah hukum yang hidup di dalam masyarakat. Yaitu dengan menelaah bahan-bahan hukum tertulis, teori-teori hukum. Selanjutnya menurut Peter Mahmud Marzuki Pendekatan dalam penelitian hukum terdiri dari: pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach).Jenis Data dan Sumber Data

Alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan dimana data diperoleh dari:Bahan hukum Primer, yaitu mencakup peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, antara lain:

–          Undang-Undang Dasar 1945;

–          Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;

–          Undang-Undang dan atau Peraturan Perundang-undangan lain yang terkait dengan penelitian ini.

  1. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan dan erat hubungannya dengan bahan primer yang dapat membantu menganalisa dan memahami bahan-bahan hukum primer. Bahan hukum primer ini seperti: buku, hasil penelitian, majalah, jurnal-jurnal hukum atau jurnal-jurnal umum, artikel, catatan kuliah dan makalah, serta yang lainnya yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.
  2. Bahan hukum tertier adalah bahan hukum yang bersifat menunjang bahan-bahan hukum primer dan sekunder, seperti Kamus Umum Bahasa Indonesia.
  1. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian hukum normatif dapat dilakukan beberapa teknik pengumpulan data, diantaranya:

  1. Mengumpulkan informasi untuk mendapatkan gambaran atau informasi tentang penelitian yang sejenis dan berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.
  2. Inventarisasi bahan-bahan untuk mendapatkan metode, teknik, atau cara pendekatan pemecahan permasalahan yang digunakan sebagai sumber data sekunder.
  3. Kunjungan ke perpustakaan, baik perpustakaan daerah, perpustakaan fakultas maupun perpustakaan universitas untuk mendapatkan buku-buku, hasil peneltian terdahulu yang berkaitan dengan permasalahan penelitian, misalnya laporan penelitian, bulletin, brosur, dan sebagainya.

                                

  1. Teknik Analisis Data

Pada penelitian hukum normatif, pengelolaan data hakikatnya kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan–bahan hukum tertulis tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi.Hasil dan Pembahasan

  1. Asas Legalitas dan Wewenang Pemerintah
    1. Asas Legalitas

Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan sebagai dasar dalam setiap negara hukum terutama bagi negara-negara hukum dalam sistem kontinental. Pada mulanya asas legalitas dikenal dalam penarikan pajak oleh negara. Di Inggris dikenal ungkapan “No taxation without representation”, tidak ada pajak tanpa (persetujuan) parlemen, atau di Amerika ada ungkapan “Taxation without representation is robbery”, pajak tanpa (persetujuan) parlemen adalah perampokan. Hal ini berarti penarikan pajak hanya boleh dilakukan setelah adanya undang-undang yang mengatur pemungutan dan penentuan pajak. Asas ini dinamakan juga kekuasaan undang-undang (de heerschappij van de wet).[15]

Asas legalitas berkaitan erat dengan gagasan negara hukum dan negara demokrasi. Demokrasi menuntut agar setiap bentuk undang-undang dan berbagai keputusan hukum mendapat persetujuan dari wakil rakyat dan sebanyak mungkin memperhatikan aspirasi dan kepentingan rakyat. Sesuai dengan apa yang dituliskan J.J. Rouseau, dalam bukunya yang berjudul “Du Contract Social“ mengatakan; “manusia itu lahir bebas dan sederajat dalam hakhaknya, sedangkan hukum merupakan ekspresi dari kehendak umum (rakyat)”. Sejalan dengan hal tersebut, menurut Sjachran Basah, seperti yang dikutip Ridwan, HR. Asas legalitas berarti upaya mewujudkan duet integral secara harmonis antara paham kedaultan hukum dan paham kedaultan rakyat berdasarkan prinsip monodualistis selaku pilar-pilar, yang bersifat hakikatnya konstitutif.Wewengan Presiden/Pemerintah

Asas legalitas merupakan dasar dalam setiap penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan. Dengan kata lain, setiap penyelenggaraan kenegaran dan pemerintahan harus memiliki legitiminasi yaitu kewenangan yang deberikan oleh undang-undang. Dengan demikian, subtansi asas legalitas adalah wewenang, yakni “Het vermogen tot het verrichten van bepaalde rechtshandelingen”, yaitu kemampuan untuk tindakan-tindakan hukum tertentu. Mengenai wewenang ini, H.D. Stout mengatakan bahwa “Bevoegdheid is een begrip uit het bestuurlijke organisatierecht, wat kan worden omschreven als het geheel van regels dat betrekking heft op de verkrijging en uitoefening van bestuursrechtelijke bevoegdheden door publiekarechtelijke rechtssubjecten in het bestuursrechtelijke rechtsverkeer” (Wewenang adalah pengertian yang berasal dari hukum organisasi pemerintahan, yang dapat dijelasakan sebagai keseluruhan atauran-antura yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang-wewenang pemerintah oleh subjek hukum publik didalam hubungan hukum publik). Menurut F.P.C.L. Tonnaer, “Overheidsbevoegdheid wordt in dit verband opgevat als het vermogen om positief recht vast te stellen en Aldus rechtsbetrekkingen tussen burgers onderling en tussen overhead en te scheppen” (Kewenangan pemerintah dalam kaitan ini dianggap sebagai kemampuan untuk melaksanakan hukum positif, dan dengan begitu, dapat diciptakan hubungan hukum antar pemerintah dengan warga negara).[18]

  1. Sumber dan cara Presiden/Pemerintah Memperoleh Wewenangan

Secara teori, kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan tersebut diperoleh melalui tiga cara yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Indroharto seperti dikutip Ridwan, HR mengatakan bahwa pada atribusi terjadi pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Di sini dilahirkan atau diciptkan suatu wewenang baru. Lebih lanjut disebutkan bahwa legislator yang kompeten untuk memberikan atribusi, wewenang pemerintahan itu dibedakan antara:

  1. Yang berkedudukan sebagai organ legislator; di negara kita di tingkat pusat adalah MPR sebagai pembentuk konstitusi dan DPR bersama-sama pemerintah sebagai yang melahirkan suatu undang-undang, dan di tingkat daerah adalah DPRD dan Pemda yang melahirkan peraturan daerah.
  2. Yang bertindak sebagai delegated legislator; seperti Presiden yang berdasarkan pada suatu ketentuan undang-undang mengeluarkan Peraturan Pemerintah di mana diciptakan wewenang-wewenang pemerintahan kepada Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara tertentu.

Pada delegasi terjadilah pelimpahan suatu wewenang  yang telah ada oleh badan atau jabatan tata usaha negara yang telah memperoleh wewenang pemerintahan secara atributif kepada badan atau jabatan tata usaha negara lainnya. Jadi suatu delegasi selalu didahului oleh adanya suatu atribusi wewenang.[20]

Dari penjelasan diatas, maka dapat diambil pengertian bahwa di negara Republik Indonesia organ-organ pemerintahan harus mendapatkan wewenang atribusi dari pembuat undang-undang (DPR dan Presiden) atau perintah langsung dari Undang-Undang Dasar 1945 (konstitusi), sebelum menjalakan pemerintahan ataupun untuk membuat peraturan perundang-undangan tidak terkecuali Peraturan Presiden.

  1. Kewenangan Presiden Membentuk Peraturan Presiden

Pasal 4 Ayat (1) UUD 1945 menegaskan; “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang dasar”, pernyatan ini mengandung makna bahwa Presden adalah pemengang keuasaan pemerintah di Republik Indonesia. Kewenagan Presiden setelah perubahan UUD 1945 dalam hal kewenangan legislasi terdapat dalam; Pasal 5, Ayat (1), “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”, Pasal 20 Ayat (2) “Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama”, Pasal 20 Ayat (4) “Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undnag”, Pasal 22 Ayat (1) “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”.

Berkenaan dengan Pasal 13 UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dalam hal materi muatan Peraturan Presiden menentukan “Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang–Undang, meteri untuk melaksankan Peraturan Pemerintah, atau meteri untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintah”.Dan didalam penjelasan pasal 13 UU No. 12 Tahun 2011 tersebut dijelaskan bahwa “Peraturan Presiden dibentuk untuk menyelenggarakan peraturan lebih lanjut perintah undang-undang atau Peraturan Pemerintah secara tegas maupun tidak tegas diperintahkan pembentukannya”.

Peraturan Presiden adalah peraturan yang dibuat oleh Presiden dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagai atribusi dari Pasal  4 Ayat (1) UUD 1945. Peraturan Presiden dibentuk untuk menyelenggarakan peraturan lebih lanjut perintah Undang-Undang atau peraturan pemerintah baik secara tegas maupun tidak tegas diperintahakan pembentukannya.[22]

  1. Kesimpulan
  2. Asas legalitas dalam bidang hukum administrasi negara memiliki makna ”Dat het bestuur aan de wet is onderworpen” (bahwa pemerintah tunduk kepada undang-undang) atau “Het legaliteitsbeginsel houdt in dat alle (algemene) de burgers bindende bepalingen op de wet moeten berusten” (asas legalitas menentukan bahwa semua ketentuan yang mengikat warga negara harus didasakan pada undang-undang). Asas legalitas ini merupakan prinsip negara hukum dan negara demokrasi yang sering dirumuskan secara khas dalam ungkapan “Het beginsel van wetmatigheid van bestuur.
  3. Pasal 4 Ayat (1) UUD 1945 menegaskan; “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang dasar”, pernyatan ini mengandung makna bahwa Presden adalah pemengang keuasaan pemerintah di Republik Indonesia sekaligus mempunyai fungsi legislasi.
  4. Peraturan Presiden adalah peraturan yang dibuat oleh Presiden dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagai atribusi dari Pasal  4 Ayat (1) UUD 1945. Peraturan Presiden dibentuk untuk menyelenggarakan peraturan lebih lanjut perintah Undang-Undang atau peraturan pemerintah baik secara tegas maupun tidak tegas diperintahakan pembentukannya.


DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Bambang Sunggono, 2011, Metodologi Penelitian Hukum, Rajawali Pres, Jakarta

Jimly Asshiddiqie, 2010, Perihal UndangUndang, Rajawali Pres,  Jakarta

Moh. Mahfud MD, 2010, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi dan Isu, Rajawali Pres, Jakarta

Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta

Ridwan HR, 2003, Hukum Administrasi Negara, UUI Press, Jakarta

Saldi Isra, 2010, Pergeseran Fungsi Legislasi Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam Sistem Presidensial Indonesia, Rajawali Pres, Jakarta

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,2006,Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,Rajawali Pres,Jakarta

Suharizal, 2002, Reformasi Konstitusi 1998-2002 Pergulatan Konsep dan Pemikiran Amandemen UUD 1945, Anggrek Law Firm, Padang

Yuliandri, 2010, Asas–asas Pembentukan Peraturan Perundang–Undangan Yang Baik Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, Rajawali Pres, Jakarta

Undang – Undang :

Undang – Undang Dasar 1945.

Undang – Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan

Perundang – Undangan.

Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan

Perundang – Undangan.


*) Di terbitkan dalam Jurnal Ilmiah “EKOTRANS”, ISSN 1411 – 4615, Vol.13 No.2A, Juli 2013

[2]Sri Soemantri seperti yang dikutip, Suharizal, 2002, Reformasi Konstitusi 1998-2002 Pergulatan Konsep dan Pemikiran Amandemen UUD 1945, Anggrek Law Firm, Padang, hlm. 36

[4]Ibid, hlm. 40

[6]Ibid, hlm. 148

[8]Yuliandri, 2010, Asas–asas Pembentukan Peraturan Perundang–Undangan Yang Baik Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, Rajawali Pres, Jakarta, hlm. 1

[10]Bambang Waluyo,2008,Penelitian Hukum Dalam Praktek,Sinar Grafika,Jakarta,hlm. 13-14.  

[12]Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,2006,Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,Rajawali Pres,Jakarta,hlm. 14.

[14]H.D. va. Wijk/Willem Konijnenbelt, dalam Ridwan HR, 2003, Hukum Administrasi Negara, UUI Press, Jakarta, hlm. 65

[16]Ibid, hlm 67

[18]Ibid, hlm. 72-73

[20]Ibid, hlm. 74

[22]Dalam hal ini Jimly menjelaskan tentang Pasal 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Penbentukan Peraturan Perundang-Undangan yang telah di ganti dengan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Penbentukan Peraturan Perundang-Undangan, kedua pasal dalam kedua Undang-Undang tersebut mengenai Materi Muatan Praturan Presiden dan penjelasannya, dimana materi muatan Peraturan Presiden dan penjelasannya tetap sama. Ibid, hlm. 152