Penerapan Hukum Responsif di Indonesia
Veriena. J.B. Rehatta
I. Pendahuluan
Pada tanggal 17 Agustus 1945 Negara Indonesia lahir sebagai Negara baru di tengah-tengah masyarakat negara-negara di dunia. Kecuali pengumuman tentang bentuk Negara yaitu Republik, Indonesia juga menyatakan diri sebagai Negara berdasar hukum (Negara Hukum).
Lebih dari setengah abad kemudian, Negara Republik Indonesia masih harus bergulat dengan berbagai masalah mendasar yang timbul sebagai akibatnya. Eksistensi Republik Indonesia sebagai Negara kesatuan ternyata masih harus terus dibina dan dipertahankan. Selain itu pembangunan Negara hukum ternyata belum juga selesai dengan baik bahkan yang terjadi adalah sebaliknya.
Indonesia menjadi terkenal di dunia sebagai Negara yang sistim hukum yang sangat buruk. Yang dimaksud dengan pembangunan yang belum kunjung selesai adalah bagaimana menjadikan Negara hukum itu suatu organisasi yang secara substansial maupun menjadi rumah yang menyenangkan, mensejahterakan dan membahagiakan bagi bangsa Indonesia. Menjadi Negara Hukum yang sebenarnya adalah suatu proses panjang karena menyangkut perubahan perilaku tatanan sosial dan kultur. Hukum dan Negara Hukum Modern membutuhkan suatu predisposisi sosial dan kultural tertentu untuk bisa berhasil dengan baik. Menelusuri teori-teori hukum aliran positivisme dan perkembang kritik-kritiknya khusus berkaitan dengan kasus-kasus penegakan hukum di Indonesia. Hal ini terjadi karena praktisi maupun teoritis hukum di Indonesia tampaknya masih terjerembab kepada paradigma tunggal positivisme yang tidak fungsional lagi sebagai analisis dan kontrol yang berjalan dengan tabel hidup karakteristik manusia yang dinamis dan multi kepentingan baik proses maupun pada peristiwa hukumnya. Hukum tidak bisa dilepaskan dari sejarah manusia, maka sudah sangat jelas bahwa perkembangan dan perubahan hukum tidak lepas dari dinamika sosial dengan segala kepentingan yang sesungguhnya berada dibelakang hukum. Hukum itu tidak bisa dielakkan, selalu berkembang, namun perkembangannya tidak bisa dipastikan berkembang kepada arah tertentu, tetapi yang jelas pada akhirnya juga membawa perubahan setelah bertarungnya berbagai kepentingan yang berada dibelakang hukum itu sendiri. Kalau kita menyorak bagaimana Indonesia berhukum, maka sudah barang tentu tidak ada yang boleh mendikte bagaimana suatu bangsa seharusnya berhukum, namun bagaimana karakteristik bangsa Indonesia sendirilah yang menentukan hukum dan perubahannya.
Nonet dan Selznick mengatakan bahwa pemahaman kita tentang perubahan sosial tidak akan utuh jika kita mencari cara-cara adaptasi yang melahirkan alternatif-alternatif historis yang baru dan yang mampu terus bertahan misalnya perubahan dari status ke kontrak dari Gemeinschaft (masyarakat pengguyuban dan Gesellsschaft (masyarakat patembayan) dari hukum yang keras kepada keadilan.
Perubahan yang sangat mendasar, kita harus tegaskan bahwa dalam cara kita berhukum tidak saatnya lagi mempertahankan suatu standar aliran positivisme abad ke 18-19 atau paradigma tunggal yang sudah berabad lamanya, tetapi harus mempertimbangkan cara berhukum yang diterima oleh komonitas (masyarakat). Hukum Modern, mutakhir dan mendunia Prof Soetandyi Wiqnyosoebroto menegaskan pengaruh model berpikir Galilian yang juga dikenal sebagai model berpikir positifistik merasuk ke dalam pemikiran berhukum-hukum untuk menata kehidupan manusia yang pada abad-abad ke 18-19 memasuki skala dan format yang baru seiring dengan kebutuhan membangun hukum baru sebagai sarana kontrol tertib kehidupan masyarakat pada skala nasional. Pemikiran Galilian segera didayagunakan untuk didasari paradigma pembentuk hukum nasional yang modern. Perkembangan hukum diperlukan untuk mengontrol kehidupan negara, bangsa yang modern ini mencita-citakan terwujudnya jaminan akan kepastian dalam pelaksanaan hukum sebagai sarana penata tertib itu. Hukum menutut modelnya yang baru ini diperlukan para reformis untuk mengatasi kesemena-menaan hukum.
Untuk penegakan supremasi hukum yang sangat mendasar adalah perbaikan struktur aparatur hukumnya, sementara peraturan perundang-undangan bisa dilakukan sambil jalan tetapi aparatur hukumnya adalah sangat mendesak yaitu perbaikan moralitas dan komitmen sebagai seorang penegak hukum sehingga bisa bertanggung jawab secara moral, dan bukan justru jabatan penegak hukum sebagai lahan yang empuk, untuk menumpuk kekayaan diri sendiri. Para penegak hukum di Indonesia terkesan hanyalah menjadi perangkat hukum ibarat sarang laba-laba yang hanya mampu menjerat orang-orang kecil, para fakir miskin, pencuri kelas kecil, orang-orang bodoh dan kejahatan yang pada umumnya dilakukan oleh masyarakat kelas bawah. Namun kalau berhadapan dengan petinggi negara atau penjahat kelas atas atau koruptor, hukum tidaklah berarti sebagai suatu perangkat untuk menegakan keadilan, serta sangat jelas tidak ada komitmen moralitas untuk itu. Jadi semuanya relatif bisa teratasi kalau komitmen moralitas sebagai aparat penegak hukum atau aparat pemerintah bisa diwujudkan dengan baik.
Sesungguhnya penegakan hukum itu berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian serta ketrentaman di dalam masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu masyarakat bukan saja dapat mempengaruhi tetapi sangat menentukan penegakan supremasi hukum. Oleh karena itu tidaklah cocok kalau aparat pembuat dan penegak hukum hanya berkiblat kepada aliran legisme atau legal posirivism.
II. Permasalahan
Dari uraian yang dikemukakan diatas maka permasalahannya adalah bagaimana penerapan hukum responsive di Indonesia?
III. Tujuan Penulisan
Tujuannya adalah untuk mencapai suatu perubahan sosial dan keadilan sosial dengan membutuhkan tatanan hukum yang responsif maka hukum responsif menekan pada beberapa hal yaitu:
a. Legitimasi hukum yang merupakan keadilan yang responsif menjadi keadilan yang prosedural
b. Peraturan merupakan subordinasi dari prinsip dan kebijakan jadi “peraturan itu bukan yang utama”.
c. Pertimbangan hukum harus berorientasi pada tujuan dan akibat pada kesejahteraan rakyat.
BAB II
PEMBAHASAN
Hukum responsif sebagai model atau teori yang digagas oleh Nonet dan Selznick ditengah kritik pedas Neo-Marsxis terhadap liberal legalism.
Legalism liberal menggadaikan hukum sebagai institusi mandiri dengan sistim peraturan dan prosedur yang objektif, tidak memihak dan benar-benar otonom. Ikon Legalism liberal adalah otonomi hukum, wujud paling nyata dari otonomi itu adalah rezim rule of law.
Dengan karakternya yang otonomi diyakini bahwa hukum dapat mengendalikan represi dan menjaga integritas sendiri. Dilihat dari kepentingan internal sistim hukum itu sendiri, dalil integritas itu memang dapat dipahami. Tapi hukum bukanlah tujuan dari pada dirinya sendiri. Hukum adalah alat bagi manusia, ia merupakan isolasi sistim hukum dari sisi kehidupan manusia itu sendiri.
Di tengah rangkaian kritik atau realita krisis otoritas hukum itu, Nonet dan Selznick mengajukan model hukum responsif. Disini Nonet dan Selznick memberikan perhatian khusus pada variabel-variabel yang berkaitan dengan hukum yaitu peranan paksaan dalam hukum, hubungan antara hukum dan politik negara, tatanan moral, tempat diskresi, peranan tujuan dalam keputusan-keputusan hukum, partisipasi, legitimasi dan kepatuhan terhadap hukum. Nonet dan Selznick lewat hukum responsif menempatkan sebagai sarana respons terhadap ketentuan sosial dan aspirasi publik. Maka tipe hukum ini mengedepankan akomodasi untuk menerima perubahan sosial demi mencapai keadilan dan emansipasi publik.
Dengan demikian potensi responsivitas dalam setiap tertip hukum yang maju, pemenuhan janji akan responsivitas tersebut tergantung pada konteks politik yang mendukung. Hukum responsif mengisyaratkan masyarakat yang memiliki kapasitas politik untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahannya, menetapkan prioritas-prioritas dan membuat komitmen-komitmen yang dibutuhkan. Karena hukum responsif bukanlah pembuat keajaiban di dunia keadilan. Pencapaiannya bergantung pada kemauan dan sumber daya dalam komoditas politik. Kontribusinya yang khas adalah memfasilitas tujuan publik dan membangun semangat untuk mengkoreksi diri sendiri ke dalam proses pemerintahan. Memaknai hukum sebagai perangkat peraturan yang mengatur masyarakat, barulah berarti didukung dengan sistim sanksi yang tegas dan jelas sehingga tegaknya suatu keadilan. Keadilan yang dimaksud adalah keadilan vundikatif bukan keadilan absolut yang mana menjatuhkan suatu hukuman berdasarkan prosedur hukum dan alasan yang jelas dan mendasar, dalam arti tidak berdasarkan perasaan sentimen, kesetia-kawanan, kompromistik, atau alasan lain yang justru jauh dari rasa keadilan. Hal ini sesuai dengan semangat dan menjiwai dalam Pasal 27 UUD 1945. Proses untuk mencapai rasa keadilan adalah merupakan mata rantai yang tidak boleh dilepas-pisahkan, paling tidak sejak pembuatan peraturan perundang-undangan, terjadi kasus atau peristiwa hukum, sampai di proses verbal di kepolisian serta penuntutan jaksa atau gugatan dalam perkara perdata dan kemudian diakhiri dengan vonis hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht vangeweisde) sehingga kualitas proses itulah sebenarnya sebagai jaminan kualitas titik kulminasi hasil atau manfaat seperangkat peraturan perundang-undangan yang dibuat.
Dengan demikian sangat memberi peluang tegaknya supermasi hukum di negara kita. Harold J. Laksi mengatakan bahwa “warga negara berkewajiban mematuhi hukum tertentu hanya jika hukum itu memuaskan rasa keadilannya”.
Berkaitan dengan penegakan bangunan hukum ini memanglah sangat rumit, bangsa Indonesia melakukan reformasi bertujuan memberantas korupsi dan kejahatan-kejahatan lain seperti narkoba, pelecehan seksual, pelanggaran HAM lainnya seperti trafiking yang semakin merajalela melalui penegakan supremasi hukum, namun kita menyaksikan sendiri bahwa gerakan reformasi tidak mampu berbuat banyak. Korupsi terus bertumbuh semakin subur sementara sepremasi hukum bagaikan penegakan benang basah.
Sangat ironis selama proses reformasi, mereka sebagai pejuang reformasi telah diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan aktif agar supremasi hukum dapat ditegakan. Semoga dalam kepemerintahan yang baru nanti akan membangun Indonesia yang lebih baik dengan mengedepankan empat pilar yang ada yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika bukan sebagai wacana saja bagi proklamator bangssa Indonesia, tetapi benar-benar menjadi fondasi untuk membangun Indonesia yang berkarakter dan bersih dari korupsi, transparan dan profesional.
BAB III
PENUTUP
I. KESIMPULAN
1. Teori-teori hukum aliran positivisme adalah paradigma saintifik yang merambah pada tataran pemikiran ketertiban bermasyarakat bersejalan dengan tertib hukum sejak abad ke 19.
Kaitan dengan penegakan hukum di Indonesia, paradigma tunggal legal positivism bukan berarti tidak baik melainkan secara fungsionalnya dalam memahami, menganalisa dan lebih dalam untuk mengontrol karakteristik kehidupan yang pluralistik, berformat regional, nasional maupun global adalah sudah tidak memadai dan perlunya pemikiran.
2. Banyak aliran hukum yang di gagas para ahli misalnya aliran legal positivism, aliran Freie Rechtsbewegung, aliran Rechtsvinding atau aliran-aliran lain yang sesuai dengan karakteristik bangsa Indonesia seutuhnya.
3. Penegakan supremasi hukum adalah sebuah upaya manusia untuk menggapai keteraturan atau ketertiban yang dibutuhkannya. Dalam hal mana penegakan tersebut adalah mengsinergikan ketiga pilarnya yaitu Peraturan perundang-undangan, aparat penegak hukum dan budaya hukum masyarakat.
4. Nonet-Selznick terhadap penegakan hukum di Indonesia yang legisme (legal positivism) mereka menggagas modelisasi hukum kedalam teori besarnya “hukum responsif mencakup hukum represif, hukum otonom dan hukum responsif. Model yang di tawarkan cocok dengan pluralism dan realisme bangsa Indonesia.
II. SARAN
1. Penegakan hukum di Indonesia harus lebih responsif, dan bagi aparat penegak hukum harus menerapkan aturan dan berpihak kepada keadilan sosial.
2. Di Indonesia hubungan antara negara dan badan-badan hukum terjadi monopoli atas kekerasan yang memang di benarkan oleh negara. Oleh karena itu penegakan hukum hendaknya tidak melihat sebagai suatu yang berdiri sendiri melankan selalu berada di antara berbagai faktor (interchange).
DAFTAR PUSTAKA
1. A. A. G. Peters dan Siswosoebroto, Kusrini (1990), Hukum dan Perkembangan Sosial, Buku Teks Sosiologi Hukum (Buku III), Jakarta, Pustaka Sinar Harapan.
2. Philippe Nonet & Philip Selsnik “law and Society in transition toward Responsiv Law, Bandung, Nusa Media.
3. …………………………………..Hukum Responsif, Penerbit Nusa Media, Bandung, 2013.
4. Sabian Utsman, Menuju Penegakan Hukum Responsif, Konsep Philipp Nonet& Philip Selznick, Perbandingan Civil Law System dan Common Law System Spiral Kekerasan dan Penegakan Hukum, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008.
5. Satjipto Rahardjo, Konsep dan karakteristik hukum progresif disampaikan dalam Seminar Nasional diselenggarakan oleh Fak. Hukum Universitas Diponegoro, bekerja sama dengan program Doktor Ilmu Hukum Univ. Trisakti, Semarang, 2007.
6. …………………, Membedah Hukum Progresif, editor Joni Emirson, I Gede Ab Wiranata. Firman Muntoqo, Kompas, Jakarta, 2006.
7. Wiqnjo Soebroto, Paradigma Falsafat yang mendasari teori-teori dan norma-norma hukum (Sari Kuliah Hukum Program Doktor Ilmu Hukum), PPS. Fak. Hukum, UII.