PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BIDANG KESEHATAN[1]
Arman Anwar[2]
Indonesia masih mengalami keterlambatan dalam proses realisasi pencapaian Tujuan Pembangunan Millenium (TMP) / Millenium Development Goals (MDG’s). Terlihat pada masih tingginya angka kematian ibu melahirkan, masih rendahnya kualitas sanitasi & air bersih, laju penularan HIV/AIDS yang kian sulit dikendalikan, serta meningkatnya beban utang luar negeri yang kian menumpuk. Permasalahan tersebut jelas memberikan pengaruh pada kualitas hidup manusia Indonesia yang termanifestasi pada posisi peringkat Indonesia yang kian menurun pada Human Development Growth Index. Pada tahun 2006 Indonesia menyentuh peringkat 107 dunia, 2008 di 109, hingga tahun 2009 sampai dengan 2010 masih di posisi 111. Posisi Indonesia ternyata selisih 9 peringkat dengan Palestina yang berada di posisi 101. Sulit dipungkiri, dan sungguh ironis
(Progres Report in Asia & The Pacific yang diterbitkan UNESCAP)
Khusus masalah pembiayaan kesehatan per kapita. Indonesia juga dikenal paling rendah di negara-negara ASEAN. Pada tahun 2000, pembiayaan kesehatan di Indonesia sebesar Rp. 171.511, sementara Malaysia mencapai $ 374. Dari segi capital expenditure (modal yang dikeluarkan untuk penyediaan jasa kesehatan) untuk sektor kesehatan, pemerintah hanya mampu mencapai 2,2 persen dari GNP sementara Malaysia sebesar 3,8 persen dari GNP. Kondisi ini masih jauh dibanding Amerika Serikat yang mampu mencapai 15,2 persen dari GNP pada 2003 (Adisasmito, 2008:78).
Untuk mencapai Millenium Development Goals (MDG’s) tahun 2015, perlu upaya kerja keras dalam pembangunan kesehatan, termasuk penyediaan SDM kesehatan.
Ketidakseimbangan kualifikasi, jumlah dan distribusi SDM kesehatan menyebabkan rendahnya jumlah SDM kesehatan berkualitas terutama di daerah terpencil. Hal itu disebabkan karena SDM kesehatan berkualitas enggan ditempatkan di daerah terpencil dan sangat terpencil. Karena itu, pemerintah memberikan perhatian serius pada pengembangan dan pemberdayaan tenaga kesehatan melalui Inpres No: 1 Tahun 2010, yang mengamanatkan Kemenkes berkewajiban menyebarkan lebih banyak staf medis di daerah terpencil. Selain itu, dengan Inpres No: 3 tahun 2010, Kemenkes harus mengembangkan pemetaan kebutuhan tenaga kesehatan sedangkan Kementerian PAN menjamin 30% total formasi tenaga kesehatan untuk ditempatkan di daerah terpencil dan sangat terpencil.
Dalam konteks sederhana ini, terlihat peran hukum dibidang kesehatan sangat penting dalam pembangunan kesehatan di Indonesia khususnya di daerah terpencil dan sangat terpencil.
Relevansi hukum dalam bidang kesehatan memiliki fungsi yang sangat strategis. Oleh karena itu perumusan peraturan perundang-undangan dalam bidang kesehatan yang baik dan responsif, yang memenuhi rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat, telah menjadi bagian integral dalam Rencana Strategis Kementerian Kesehatan (RENSTRA) Tahun 2010 – 2014.
Berbicara tentang Peraturan perundang-undangan sangatlah luas karena pengertian peraturan perundang-undangan menurut Undang-Undang No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mencakup UUD 1945, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah/Perpu, Peraturan Presiden dan Peraturan Daerah (Pasal 7 ayat 1) serta berbagai jenis peraturan perundang-undangan lainnya sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (Pasal 7 ayat 4). Khusus Peraturan perundang-undangan dalam bidang kesehatan kita ketahui ada UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, UU No 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, dll. Begitupun dalam bentuk Peraturan Pemerintah juga sangat banyak diantaranya PP No 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan, PP No.51 Tahun 2009 tentang Tenaga Kefarmasian, dll
Mengingat waktu yang diberikan sangat singkat maka pada kesempatan ini secara sekilas pandang akan lebih difokuskan hanya pada UU Kesehatan yang baru yakni UU No 36 Tahun 2009, LN Tahun 2009 No. 144, TLN No.5063
- Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan adalah undang-undang yang relatif cukup lengkap
Undang-Undang Kesehatan merupakan landasan utama dan merupakan payung hukum bagi setiap penyelenggara pelayanan kesehatan. Oleh karena itu ada baiknya setiap orang yang bergerak dibidang pelayanan kesehatan mengetahui dan memahami apa saja yang diatur didalam undang-undang tersebut.
Undang-undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, memiliki landasan hukum yang telah disesuaikan dengan UUD 1945 hasil amandemen, seperti dalam konsideran mengingat; sebagaimana dicantumkannya Pasal 20, Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu, undang-undang ini juga memiliki jumlah pasal yang sangat banyak yaitu terdiri dari 205 pasal dan 22 bab, serta penjelasannya. Jika dibandingan dengan UU Kesehatan yang lama yaitu UU No 23 Tahun 1992, hanya terdiri dari 12 Bab dan 90 Pasal.
Undang-Undang kesehatan yang lama dari sisi substansi juga diaggap terlalu sentralistik, disamping itu sudah tidak sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, dan dinamika masyarakat serta dunia kesehatan kontemporer.
Meskipun disadari, UU Kesehatan yang baru 2009 dalam pembahasannya di DPR RI, melahirkan beragam polimik di masyarakat, karena banyak pasal krusial yang sangat sensitif, namun oleh beberapa kalangan diakui pula telah melahirkan terobosan baru dalam pembangunan kesehatan di Indonesia. Pembahasannya dilakukan melalui pendekatan yang multidisipliner, dengan kerangka pemikiran yang lebih mendalam baik dari sisi substansi maupun dari sisi cakupan pengaturannya yang lebih merespon tuntutan pelayanan kesehatan untuk menjawab perkembangan dunia kesehatan di masa depan, seperti mengutamakan prinsip jaminan pemenuhan hak asasi manusia di bidang kesehatan, pemberdayaan masyarakat, pelaksanaan otonomi daerah yang nyata, implementasi hak dan kewajiban berbagai pihak serta meningkatkan peran organisasi profesi.
- Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan membawa Paradigma Baru
Jika kita melihat 5 dasar pertimbangan perlunya dibentuk undang-undang kesehatan yang baru yaitu pertama; kesehatan adalah hak asasi dan salah satu unsur kesejahteraan, kedua; prinsip kegiatan kesehatan yang nondiskriminatif, partisipatif dan berkelanjutan. Ketiga; kesehatan adalah investasi. Keempat; pembangunan kesehatan adalah tanggung jawab pemerintah dan masyarakat, dan yang Kelima adalah bahwa Undang-Undang Kesehatan No 23 tahun 1992 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan, tuntutan dan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
Berdasarkan pertimbangan diatas maka salah satu poin penting yang diatur dalam UU kesehatan yang baru adalah adanya pengakuan yang lebih tegas tentang pentingnya melihat kesehatan sebagai bagian dari HAM yang harus dipenuhi oleh pemerintah (Pasal 4-8). Pemenuhan hak masyarakat atas kesehatan tercermin dalam alokasi anggaran Negara (APBN/APBD) Dalam UU Kesehatan 2009 diatur secara konkrit, yaitu pemenuhan alokasi anggaran kesehatan untuk pusat (APBN) sebesar 5% (Pasal 171 ayat 1) dan untuk daerah (APBD Provinsi/Kabupaten/Kota) menyiapkan 10% dari total anggaran setiap tahunnya diluar gaji pegawai (Pasal 171 ayat 2). Besaran anggaran kesehatan tersebut diprioritaskan untuk kepentingan pelayanan publik (terutama bagi penduduk miskin, kelompok lanjut usia, dan anak terlantar) yang besarannya sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari anggaran kesehatan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara dan anggaran pendapatan dan belanja daerah (Pasal 171 ayat 3). Bahkan lebih jauh lagi, ruang lingkup pelayanan kesehatan harus mencakup setiap upaya kesehatan yang menjadi komitmen komunitas global, regional, nasional maupun lokal.
Hal ini sebetulnya sudah memenuhi harapan organisasi kesehatan dunia (WHO) yang menyebutkan, jumlah alokasi anggaran di sektor kesehatan yaitu minimal sekitar lima persen dari anggaran suatu negara. Mudah-mudahan dengan semakin membaiknya perekonomian Indonesia, anggaran kesehatan di Indonesia bisa sama dengan di Amerika Serikat yang sudah diatas 10 persen.
Dari sisi pelayanan kesehatan, Profesi tenaga kesehatan memang banyak berkaitan dengan problema etik yang dapat berpotensi menimbulkan sengketa medik. UU Kesehatan 2009 lebih memberikan perlindungan dan kepastian hukum baik pada pemberi layanan selaku tenaga kesehatan (Pasal 21-29) maupun penerima layanan kesehatan (Pasal 56-58).
Pada satu sisi, setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya. Namun disisi lain Bilamana dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, maka kelalaian tersebut menurut UU harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi (Pasal 29). Untuk itu tenaga kesehatan sebaiknya juga mulai memahami tentang sistem Alternative Dispute Resolution (ADR). Efektifitas sistem ini cukup dapat diandalkan mengingat 90 % kasus malpraktik yang dimediasi oleh Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) dapat diselesaikan dengan baik.
UU ini juga menjamin keterjangkaun pembiayaan kesehatan bagi semua pasien. Pasal 23 ayat 4 menentukan bahwa Penyelenggara pelayanan kesehatan selama memberikan pelayanan kesehatan dilarang mengutamakan kepentingan yang bernilai materi.
Pasal 32 UU Kesehatan 2009 secara tegas melarang seluruh fasilitas pelayanan kesehatan baik milik pemerintah maupun swasta untuk menolak pasien dan atau meminta uang muka apalagi dalam kondisi Bencana (Pasal 85). Selama ini memang kerap terjadi adanya layanan kesehatan yang menolak untuk mengobati karena pasien tidak mampu menyediakan sejumlah uang. Aturan semacam ini dibuat untuk mencegah cara-cara tidak manusiawi dalam memperlakukan pasien.
Selain itu, bila kita melihat dari sisi perkembangan teknologi kesehatan yang berjalan seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan munculnya fenomena globalisasi telah menyebabkan banyaknya perubahan yang sifat dan eksistensinya sangat berbeda jauh dari Undang-Undang Kesehatan yang lama. Pesatnya kemajuan teknologi kesehatan dan teknologi informasi dalam era global ini ternyata belum terakomodatif secara baik oleh Undang-Undang kesehatan yang lama seperti pengaturan mengenai teknologi kesehatan dan produk teknologi kesehatan (Pasal 42-45), transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh, implan obat dan/atau alat kesehatan, bedah plastik dan rekonstruksi, serta penggunaan sel punca untuk tujuan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan (Pasal 64-70). Hal-hal tersebut mengharuskan pemerintah mengkaji ulang konsep pembangunan kesehatan dan menuangkannya dalam Undang-Undang Kesehatan yang baru.
Undang-Undang Kesehatan yang lama lebih menitikberatkan pada pengobatan (kuratif), menyebabkan pola pikir yang berkembang di masyarakat adalah bagaimana cara mengobati bila terkena penyakit. Hal itu tentu akan membutuhkan dana yang lebih besar bila dibandingkan dengan upaya pencegahan. Konsekuensinya, masyarakat akan selalu memandang persoalan pembiayaan kesehatan sebagai sesuatu yang bersifat konsumtif/pemborosan. Selain itu, sudut pandang para pengambil kebijakan juga masih belum menganggap kesehatan sebagai suatu kebutuhan utama dan investasi berharga di dalam pembangunan. Untuk itu, dalam pandangan UU kesehatan yang baru, persoalan kesehatan telah dijadikan sebagai suatu faktor utama dan investasi berharga yang pelaksanaannya didasarkan pada sebuah paradigma baru yang biasa dikenal dengan paradigma sehat, yakni paradigma kesehatan yang mengutamakan upaya promotif dan preventif tanpa mengabaikan kuratif dan rehabilitatif. Dalam rangka implementasi paradigma sehat tersebut, dibutuhkan sebuah undang-undang yang berwawasan sehat, bukan undang-undang yang berwawasan sakit, mengingat upaya pencegahan adalah jauh lebih murah dan lebih baik, olehnya itu sangat tepat jika pemerintah lebih menekankan kepada segi preventif karena 80 persen masalah kesehatan sebenarnya bisa diatasi melalui pencegahan.
UU Kesehatan yang baru juga telah merubah wajah baru sistem kesehatan di tanah air, dari yang tadinya sangat sentralistik menuju desentralisasi. Porsi peran pemerintah daerah terasa lebih seimbang dengan pemerintah pusat, seperti dalam hal tanggung jawab atas penyelenggaraan upaya kesehatan, yang dilaksanakan secara aman, bermutu, serta merata dan nondiskriminatif. Begitupun juga dari segi pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan kesehatan dan meningkatan tenaga kesehatan yang bermutu melalui pendidikan dan pelatihan dan mendayagunakannya sesuai dengan kebutuhan daerah. Disamping itu pemerintah dan pemerintah daerah juga bersama-sama menjamin dan menyediakan fasilitas untuk kelangsungan upaya peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit. Ketersediaan sumber daya, fasilitas, dan pelaksanaan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan berkesinambungan, bukan hanya dalam kondisi aman tetapi juga pada saat bencana, tanggap darurat dan pascabencana.
Pemerintah daerah juga diberi hak untuk menentukan jumlah dan jenis fasilitas pelayanan kesehatan serta pemberian izin beroperasi di daerahnya.
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin ketersediaan tenaga, fasilitas pelayanan, alat dan obat kesehatan gigi dan mulut dalam rangka memberikan pelayanan kesehatan gigi dan mulut yang aman, bermutu, dan terjangkau oleh masyarakat. Termasuk penanggulangan gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran.
Pemerintah daerah juga wajib menetapkan kawasan tanpa rokok di wilayahnya seperti pada fasilitas pelayanan kesehatan; tempat proses belajar mengajar; tempat anak bermain;. tempat ibadah; angkutan umum; tempat kerja; dan tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan.
Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas identifikasi mayat yang tidak dikenali, tersedianya pelayanan bedah mayat forensik di wilayahnya serta menangung biaya pemeriksaan kesehatan terhadap korban tindak pidana dan/atau pemeriksaan mayat untuk kepentingan hukum, Menjamin terselenggaranya perlindungan bayi dan anak dan menyediakan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan mereka, kemudian wajib menyediakan tempat dan sarana lain yang diperlukan untuk bermain anak yang memungkinkan anak tumbuh dan berkembang secara optimal serta mampu bersosialisasi secara sehat, melakukan upaya pemeliharaan kesehatan remaja termasuk untuk reproduksi remaja agar terbebas dari berbagai gangguan kesehatan yang dapat menghambat kemampuan menjalani kehidupan reproduksi secara sehat. Wajib menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan memfasilitasi kelompok lanjut usia dan penyandang cacat untuk dapat tetap hidup mandiri dan produktif secara sosial dan ekonomis. Bertanggung jawab atas pemenuhan kecukupan gizi masyarakat. Menjamin upaya kesehatan jiwa secara preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif, termasuk menjamin upaya kesehatan jiwa di tempat kerja, Memberikan layanan edukasi dan informasi tentang kesehatan jiwa, termasuk mempermudah akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan jiwa. Wajib melakukan pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan bagi penderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan dirinya dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau keamanan umum, termasuk pembiayaan pengobatan dan perawatan penderita gangguan jiwa untuk masyarakat miskin,
Selain itu, bertanggung jawab juga dalam melakukan upaya pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit menular serta akibat yang ditimbulkannya dengan berbasis wilayah melalui koordinasi lintas sektor.
Secara berkala menetapkan dan mengumumkan jenis dan persebaran penyakit yang berpotensi menular dan/atau menyebar dalam waktu yang singkat, serta menyebutkan daerah yang dapat menjadi sumber penularan, Melakukan surveilans terhadap penyakit menular, Menetapkan jenis penyakit yang memerlukan karantina, tempat karantina, dan lama karantina. Melakukan upaya penanggulangan keadaan wabah, letusan, atau kejadian luar biasa. Demikian juga melakukan upaya pencegahan, pengendalian, dan penanganan penyakit tidak menular beserta akibat yang ditimbulkannya dan bertanggung jawab untuk melakukan komunikasi, informasi, dan edukasi yang benar tentang faktor risiko penyakit tidak menular yang mencakup seluruh fase kehidupan.
Menjamin ketersediaan lingkungan yang sehat dan tidak mempunyai risiko buruk bagi kesehatan. Menyelenggarakan pengelolaan kesehatan melalui pengelolaan administrasi kesehatan, informasi kesehatan, sumber daya kesehatan, upaya kesehatan, pembiayaan kesehatan, peran serta dan pemberdayaan masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan, serta pengaturan hukum kesehatan secara terpadu dan saling mendukung guna menjamin tercapainya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Menyiapkan sumber pembiayaannya selain dari pemerintah pusat, masyarakat swasta dan sumber lain. Untuk itu semua maka pemerintah daerah berwenang melakukan pembinaan terhadap masyarakat dan terhadap setiap penyelenggara kegiatan yang berhubungan dengan sumber daya kesehatan di bidang kesehatan dan upaya kesehatan.
Dapat memberikan penghargaan kepada orang atau badan yang telah berjasa dalam setiap kegiatan mewujudkan tujuan kesehatan.
Mengangkat tenaga pengawas dengan tugas pokok untuk melakukan pengawasan terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan sumber daya di bidang kesehatan dan upaya kesehatan. Serta mengambil tindakan administratif terhadap tenaga kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan yang melanggar ketentuan.
- Hal Kontorversial
Ada beberapa hal menarik dari UU Kesehatan yang mengundang kontroversil misalnya yang berkaitan dengan hak untuk melakukan tindakan aborsi. Dengan latar belakang angka kematian ibu di Indonesia yang masih tinggi atau berada di kisaran 228 per 100.000 angka kelahiran hidup melahirkan pada tahun 2007 (SDKI 2007). Jumlah ini, lima kali lebih tinggi dari negara tetangga seperti Malaysia dan Vietnam. “Malaysia yang dulu pada tahun 1970-an sering dibantu Indonesia dalam bidang kesehatan kini angka kematian ibu melahirkan sudah menurun 40 per 100.000 angka kelahiran hidup melahirkan. Masih tingginya angka kematian ibu hamil di Indonesia, selain sebagai hasil dari kondisi yang terkait dengan kehamilan, persalinan, dan komplikasi. Aborsi ternyata memberikan kontribusi 15 persen dari jumlah kematian ibu melahirkan, bahkan menurut sumber lain bahwa jumlah sebenarnya bisa mencapai 20-25 persen. Hal tersebut, disebabkan pelaku aborsi kerap tidak mendapatkan pertolongan medis secara baik dan profesional.
Dalam UU Kesehatan, tindakan aborsi dilarang (Pasal 75) Larangan dapat dikecualikan berdasarkan:
a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau
b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan
Semuanya ini hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.
Selanjutnya aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan:
a. sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis;
b. oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;
c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan
e. penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri.
Isu lainnya yang cukup mendapat perhatian diantaranya, mengenai rokok. Dalam UU Kesehatan ini rokok dimasukan sebagai zat adiktif yang penggunaannya diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perorangan, keluarga, masyarakat dan lingkungan. Oleh karena itu, produksi, peredaran dan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif seperti tembakau harus memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditetapkan (Pasal 113).
Sedangkan bagi industry farmasi, UU Kesehatan 2009 pada beberapa pasalnya membatasi ruang gerak bisnisnya. Pada pasal 40 ayat 6 disebutkan “Perbekalan kesehatan berupa obat generik yang termasuk dalam daftar obat essensial nasional harus dijamin ketersediaan dan keterjangkauannya sehingga penetapan harganya dikendalikan oleh Pemerintah”. Adanya pasal ini memaksa industri farmasi untuk menjual obat generik dengan harga yang telah ditetapkan pemerintah, Namun apabila pemerintah tidak bijak dalam menetapkan harga obat generik maka kemungkinan kelangkaan beberapa obat generik seperti yang terjadi belakangan ini bisa terulang kembali.
- Tantangan Hukum Bidang Kesehatan
Berbagai keberhasilan yang telah dicapai tidak lantas harus membuat kita cepat puas, karena ada pula tantangan dan masalah kesehatan yang harus disikapi.
Menkes dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, Dr.PH pada Rapat Kerja Kesehatan Nasional (Rakerkesnas) 21- 23 Februari 2011, di Jakarta mengatakan bahwa meskipun berbagai keberhasilan yang telah dicapai, namun ada pula tantangan dan masalah kesehatan yang harus disikapi. Tantangan tersebut diantaranya semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat pada pelayanan kesehatan yang bermutu; beban ganda penyakit (di satu sisi, angka kesakitan penyakit infeksi masih tinggi namun di sisi lain penyakit tidak menular mengalami peningkatan yang cukup bermakna); disparitas status kesehatan antar wilayah cukup besar, terutama di wilayah timur (daerah terpencil, perbatasan dan kepulauan/DTPK); peningkatan kebutuhan distribusi obat yang bermutu dan terjangkau; jumlah SDM Kesehatan kurang, disertai distribusi yang tidak merata; adanya potensi masalah kesehatan akibat bencana dan perubahan iklim, serta integrasi pembangunan infrastruktur kesehatan yang melibatkan lintas sektor di lingkungan pemerintah, Pusat-Daerah, dan Swasta.
Agenda penting lainnya adalah Penguatan Peran Provinsi/Kabupaten/Kota dalam rangka menuju good governance. Oleh karena itu pemerintah daerah khususnya jajaran Dinas Kesehatan diharapkan lebih mampu memahami UU Tipikor agar dapat mengikis praktik-praktik korupsi, kolusi dan penyalahgunaan kekuasaan terhadap pengelolaan anggaran kesehatan mulai dari proses perencanaan dan penganggaran serta monitoring dan evaluasi dalam berbagai program kesehatan di wilayah kerjanya.
Selain itu, untuk mendukung percepatan pencapaian target MDGs; perlu dilakukan pemberdayaan masyarakat, penanggulangan bencana dan krisis kesehatan melalui perluasan penerapan sistem peringatan dini untuk penyebaran informasi terjadinya wabah, KLB dan peningkatan kesiapsiagaan masyarakat. Peningkatan upaya kesehatan yang menjamin terintegrasinya pelayanan kesehatan primer, sekunder, dan tersier. Peningkatan kualitas manajemen, pembiayaan kesehatan, sistem informasi, dan ilmu pengetahuan serta teknologi kesehatan melalui peningkatan kualitas perencanaan, penganggaran, serta monitoring dan evaluasi pembangunan kesehatan
Pemantapan rancangan arah kebijakan pembangunan kesehatan 2012 dan realisasinya, telah ditetapkan sembilan rancangan meliputi peningkatan kesehatan ibu, bayi, balita yang menjamin continuum of care. Perbaikan status gizi masyarakat pada pencegahan stunting. Melanjutkan upaya pengendalian penyakit menular serta penyakit tidak menular, diikuti penyehatan lingkungan. Pengembangan SDM kesehatan dengan pemantapan standar kompetensi. Peningkatan ketersediaan, keterjangkauan, pemerataan, mutu dan penggunaan obat serta pengawasan obat dan makanan melalui e-logistic, erta perluasan cakupan jaminan kesehatan melalui jaminan kelas III RS.
Mengingat begitu banyak agenda yang harus dilaksanakan maka dukungan penguatan peraturan perundangan bidang kesehatan, menjadi prioritas utama. Sebaiknya Kemenkes juga mau berkaca pada kasus sebelumnya bahwa Indonesia dulu sudah mempunyai UU disektor kesehatan yaitu UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, namun UU tersebut sulit dijalankan disebabkan tidak diterbitkannya peraturan pemerintah sebagai petunjuk operasional. Untuk itu tantangan berikutnya setelah disahkannya UU Kesehatan yang baru ini dan agar pelaksanaannya berjalan dengan baik, perlu segera diterbitkan peraturan pelaksanaannya. Kurang lebih ada 29 PP, 2 Perpres dan 19 Permenkes yang harus segera dibuat untuk melaksanakan UU Kesehatan dimaksud. Sebuah UU mesti memperhatikan aspek teknis pelaksanaan. Tanpa memperdulikan aspek teknis operasional pelaksanaan, Undang Undang menjadi mandul dan tidak bisa berjalan dengan baik.
Semoga komitmen Kementerian Kesehatan untuk merumuskan peraturan perundang-undangan dimaksud, sebagaimana telah tertuang dalam Kepmenkes No 021/MENKES/SK/1/2011 tentang Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kesehatan Tahun 2010 – 2014, yaitu terealisasinya setiap tahun, 9 buah Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, Rancangan Peraturan/Keputusan Presiden, Dan Peraturan/Keputusan Menkes sebanyak 45 buah, bisa tercapai sehingga Visi Kementerian Kesehatan “MASYARAKAT SEHAT YANG MANDIRI DAN BERKEADILAN “, dapat terlaksana dengan baik.
[1] Makalah dalam Rapat Kerja Bidang Kesehatan (Rakerkesda) Kabupaten Buru Tahun 2011 dengan tema: “Melalui Rakerkesda Kita Wujudkan Tercapainya MDG’s Tahun 2015”, 4 – 6 April 2011, Aula Kantor Bupati Buru, Namlae, Kabupaten Buru
[2] Dosen Fakultas Hukum Universitas Pattimura