Tinjauan Tentang Penyelesaian Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja Antara Perusahaan Penangkapan Ikan Dengan ABK (Anak Buah Kapal)

Hukum Tata Negara / Hukum Administrasi Negara

Tinjauan Tentang Penyelesaian Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja

Antara Perusahaan Penangkapan Ikan Dengan ABK (Anak Buah Kapal)

Oleh : Andress Deny Bakarbessy

Abstrak

Penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja antara perusahaan penangkapan ikan dengan ABK dapat terganggu dengan adanya dualisme perundang-undangan yang mengaturnya yaitu: Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial, yang memberikan kewenangan Dinas Tenaga Kerja sebagai pihak ketiga, serta KUHD yang memberikan kewenangan kepada Syahbandar sebagai pihak ketiga. Terhadap hal ini, maka asas hukum diperlukan untuk menghindari pertentangan di antara kedua ketentuan tersebut.

Kata kunci: Pemutusan hubungan kerja, Anak buah Kapal, Perusahaan penangkapan ikan

 

 

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan Negara kepulauan. Hal ini dikarenakan wilayah laut yang lebih luas dari wilayah daratannya. Wilayah laut Indonesia memiliki potensi sumber alam hayati yang memiliki prospek yang cukup besar bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan bangsa, salah satunya adalah potensi perikanan. Hal inilah yang menyebabkan banyak perusahan penangkapan ikan beroperasi di wilayah Indonesia, dan berpengaruh terhadap terbukanya lapangan kerja bagi masyarakat Indonesia, yaitu dengan berprofesi sebagai karyawan maupun sebagai ABK (Anak Buah Kapal).

Seiring dengan berkembangnya perusahan-perusahan penangkapan ikan di Indonesia, muncul juga berbagai perselisihan/konflik antara pengusaha dengan tenaga kerjanya khususnya ABK yang disebut dengan perselisihan hubungan industrial.  

Pemerintah dalam hal ini telah menetapkan suatu pedoman penyelesaian perselisihan antara pekerja dan pengusaha berdasarkan Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, UU ini memberikan kewenangan pada Disnakertrans sebagai pihak ketiga di tingkat mediasi dalam proses penyelesaian perselisihan antara pekerja dan pengusaha. Namun demikian, dalam kaitannya dengan hubungan kerja antara pengusaha dengan ABK, dapat diketahui bahwa dasar dari hubungan kerja yang dibuat antara ABK dengan perusahaan penangkapan ikan adalah PKL (Perjanjian Kerja Laut) yang diatur dalam KUHD, dan memberikan kewenangan bagi Syahbandara sebagai pihak ketiga dalam proses penyelesaian perselisihan antara ABK dan pengusaha.

Hal ini menunjukan bahwa, terdapat dua pengaturan dalam proses penyelesaian PHK yang dilakukan perusahaan penangkapan ikan terhadap ABK, serta adanya 2 (dua) pihak sebagai pihak ketiga dalam proses penyelesaian PHK yang dilakukan perusahaan (penangkapan ikan) terhadap pekerja (ABK).

 

B. Permasalahan

Berdasarkan pemaparan tersebut, maka permasalahan yang cukup mendasar terkait dengan proses penyelesaian PHK perusahaan penangkapan ikan terhadap ABK adalah: bagaimana kewenangan dalam menyelesaikan persoalan PHK antara perusahaan penangkapan ikan dengan ABK, serta dasar hukum dalam proses penyelesaian perselisihan/sengketa PHK antara perusahaan penangkapan ikan dengan ABK.

 

C. Kewenangan penyelesaian sengketa PHK antara perusahaan penangkapan ikan dengan ABK

1.      Kewenangan Disnakertrans

Pasal 1 angka (15) UU No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Jadi, perjanjian kerja merupakan dasar terciptanya hubungan hukum diantara pekerja dengan pengusaha. Hubungan antara pekerja dan pengusaha tersebut dapat terganggu dan berpotensi menimbulkan perselisihan, apabila salah satu pihak tidak melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan apa yang telah disepakati didalam perjanjian kerja.

Pasal 1 angka (1) UU No 2 Tahun 2004, menyatakan bahwa perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja (buruh)/serikat pekerja (serikat buruh) karena adanya perselisihan mengenai hak, kepentingan, pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/buruh dalam satu perusahaan. Selanjutnya dalam Pasal 2 menyebutkan bahwa jenis-jenis perselisihan hubungan industrial meliputi; perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antara serikat pekerja/buruh hanya dalam satu perusahaan.

Proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial dapat dilakukan melalui mekanisme bipatrit, mediasi, konsiliasi dan arbitrsi. Lebih lanjut, dalam Pasal 8 UU No 2 Tahun 2004, menyebutkan bahwa penyelesaian perselisihan melalui mediasi dilakukan oleh mediator di setiap kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota. Dengan demikian dapat diketahui bahwa, pihak Disnakertrans merupakan pihak ketiga dalam proses penyelesaian perselisihan antara pekerja dan pengusaha di tingkat mediasi.

Sementara itu, terkait dengan dasar hubungan kerja yang tercipta antara perusahaan penangkapan ikan dengan ABK adalah PKL (Perjanjian Kerja Laut) yang diatur didalam KUHD (Kitab Undang-undang Hukum Dagang). Pada Pasal 395 KUHD menyebutkan , PKL (Perjanjian Kerja Laut) ialah perjanjian yang dibuat antara seorang pengusaha kapal di satu pihak dan seorang buruh di pihak lain, dengan mana pihak tersebut terakhir menyanggupi untuk bertindak di bawah perintah pengusaha itu melakukan pekerjaan dengan mendapat upah, sebagai nahkoda atau anak-kapal. Dengan demikian dapat diketahui bahwa dalam suatu PKL juga terpenuhi unsur-unsur dari suatu perjanjian kerja pada umumnya, yaitu: adanya pekerjaan, perintah dan upah. Atas dasar inilah, maka dapat disimpulkan bahwa pihak Disnakertrans juga memiliki kewenangan dalam menyelesaikan perselisihan antara perusahaan penangkapan ikan dengan ABK, dengan berdasarkan pada UU Nomor 2 Tahun 2004.

2.      Kewenangan Syahbandar

a.       Pengaruh Kekhususan ABK

Kewenangan pihak Syahbandar didasarkan pada hubungan kerja yang tercipta di antara Perusahaan dengan ABK didasarkan pada PKL. Menurut Kunthoro dkk, (1999:20) ABK dan PKL memiliki ciri khusus, sehingga pengaturan mengenai ABK dan PKL terpisah dari pengaturan mengenai pekerja maupun perjanjian kerja pada umumnya.

Ciri khusus seorang ABK dalam melakukan pekerjaan di atas kapal adalah harus memenuhi persyaratan tertentu, antara lain:

1). Umur Minimum, dalam pasal 17 b PP Nomor 7 Tahun 2000 tentang kepelautan, disebutkan bahwa untuk dapat bekerja sebagai awak kapal wajib berumur sekurang-kurangnya 18 tahun.

2). Pemeriksanaan Kesehatan, dalam PP No 7 Tahun 2000 tentang Kepelautan pada pasal 17 c, disebutkan  bahwa seorang awak kapal wajib memenuhi persyaratan, sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksanaan kesehatan yang khusus dilakukan untuk itu.

3). Sertifikasi Kepelautan, dalam pasal 4, 5, 6 dan 14 PP Nomor 7 Tahun 2000 tentang Kepelautan, disebutkan bahwa sertifikasi kepelautan terdiri dari sertifikat keahlian pelaut dan sertifikat keterampilan pelaut.

Hal-hal inilah yang membedakan pekerja pada umumnya dengan seseorang yang bekerja di kapal (ABK).

              b.      Pengaruh Kekhususan PKL (perjanjian kerja laut)

Sementara itu, kekhususan yang dimiliki oleh PKL, yaitu:

Pertama: PKL yang dibuat oleh ABK dengan perusahaan adalah PKL yang dibuat secara tertulis, serta harus dibuat dengan akta otentik didepan pejabat pemerintah yang berwenang, dalam hal ini Syahbandar (Pasal 400 ayat (1) KUHD). Sedangkan PKL bagi nahkoda atau perwira cukup dibuat secara tertulis antara yang bersangkutan dengan pengusaha kapal (Pasal 399 KUHD). 

 Kedua: adalah mengenai pengaturan tempat bekerja dan tempat terjadinya perselisihan. Di dalam PKL telah diatur mengenai tempat bekerja, yang adalah di atas sebuah kapal dan selalu berpindah-pindah, tidak dapat dipastikan di mana daerah yang menjadi tujuan, serta di mana perselisihan tersebut terjadi adalah tidak bisa ditentukan (Djumadi, 2006 : 83,85).  Hal ini sangat berpengaruh terhadap ketentuan yang dijadikan dasar dalam penyelesaian perselisihan yang terjadi. Misalnya, jika PKL dibuat di Ambon, sedangkan perselisihannya terjadi di Surabaya, maka para pihak tidak bisa membawa persoalan ini ke pihak Disnakertrans Kota Ambon untuk menyelesaikannya.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pihak Syahbandar berwenang sebagai pihak ketiga dalam proses penyelesaian perselisihan antara ABK dengan perusahaan penangkapan ikan, karena ciri khusus yang dimiliki oleh ABK dan PKL.

 

3.      Tinjauan Terhadap Kewenangan Disnakertrans dan Syahbandar   

Terkait dengan dualisme pengaturan mengenai proses penyelesaian perselisihan antara perusahaan penangkapan ikan terhadap ABK, serta dualisme kewenangan sebagai pihak ketiga dalam proses penyelesaian tersebut, maka menurut Mertokusumo (2006 : 25), di dalam suatu sistim hukum terjadi interaksi antara unsur-unsur atau bagian-bagian, interaksi memungkinkan terjadinya konflik. Tetapi sistim hukum tidak menghendaki terjadinya konflik di antara unsur-unsur atau bagian-bagian, tetapi jika terjadi konflik maka secara konsisten diatasi oleh sistim hukum dengan menyediakan asas-asas hukum. Dengan demikian, terkait dengan adanya dua pengaturan mengenai mekanisme penyelesaian perselisihan perusahaan penangkapan ikan dengan ABK, maka penyelesaiannya adalah dengan menggunakan asas hukum.

Telah dijelaskan bahwa, ABK dan PKL memiliki sifat kekhususan dibandingkan pekerja dan perjanjian kerja pada umumnya. Lebih lanjut, didalam pasal 1 KUHD, dinyatakan bahwa KUHD sebagai ketentuan yang khusus terhadap KUHPerdata. Sementara itu, pasal 396 KUHD menempatkan pengaturan PKL didalam KUHD sebagai ketentuan yang sifatnya khusus terhadap ketentuan didalam Buku III KUHPerdata pada bab VII A, yang mengatur tentang perjanjian-perjanjian untuk melakukan pekerjaan. Hal ini menunjukan bahwa ketentuan PKL didalam KUHD memiliki sifat yang khusus.

Sementara itu, pengaturan mengenai perselisihan yang dimaksud didalam UU No 2 Tahun 2004 adalah bersifat umum, dimana tidak dijelaskan tentang suatu perselisihan yang berhubungan dengan pekerjaan tertentu. Hal ini juga menunjukan bahwa, UU No 2 Tahun 2004 merupakan ketentuan yang sifatnya umum. Dengan demikian dapat diketahui bahwa, KUHD dan UU No 2 Tahun 2004 adalah ketentuan yang sederajat, mengatur objek yang sama, yaitu mengenai proses penyelesaian PHK antara perusahaan dan pekerja, tetapi pengaturna didalam KUHD bersifat khusus karena secara khusus mengatur perselisihan PHK antara perusahaan penangkapan ikan dengan ABK. Sedangkan UU No 2 Tahun 2004 sifatnya lebih umum, karena mengatur perselisihan PHK antara perusahaan dengan pekerja pada umumnya.

Atas dasar inilah, maka untuk menyelesaikan pertentangan diantara KUHD dan UU No 2 Tahun 2004, digunakan asas hukum lex specialis derogat legi generalis (peraturan yang khusus mengesampingkan peraturan yang sifatnya umum). Dengan demikian, ketentuan yang seharusnya dijadikan dasar dalam proses penyelesaian PHK antara PT Nusantara Fishery dengan ABK adalah ketentuan didalam KUHD, karena KUHD memiliki sifat yang khusus sementara UU No 2 Tahun 2004 memiliki sifat yang umum. 

Sementara itu, menurut Manan (2004:57-58), salah satu prinsip yang juga harus diperhatikan didalam pelaksanaan asas asas lex specialis derogat legi generalis adalah, ketentuan lex specialis  harus berada dalam lingkungan hukum (regim) yang sama dengan lex generalis. Dengan demikian, perlu juga diketahui apakah KUHD dan UU No 2 Tahun 2004 berada dalam lingkungan yang sama ataukah tidak. UU No 2 Tahun 2004 merupakan bagian dari ketentuan dibidang hukum ketenagakerjaan yang mengatur mengenai mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Awalnya hukum ketenagakerjaan merupakan bagian dari hukum privat (diatur didalam KUHPerdata), tetapi akibat adanya socialisering proses yaitu, proses dimana berkembangnya hukum publik kearah hukum privat yang membatasi kebebasan individu. Hal ini menyebabkan hukum ketenagakerjaan yang awalnya merupakan bagian dari hukum privat, tidak lagi murni hukum privat (perdata) karena telah masuknya campur tangan pemerintah dalam pengaturan hukum ketenagakerjaan untuk memberikan perlindungan terhadap buruh sebagai pihak yang lemah (Supriyanto, 2004 : 4). Dengan demikian, hukum ketenagakerjaan merupakan campuran dari hukum privat dan hukum publik

 Sementara itu, dapat diketahui bahwa, KUHD termasuk didalam lingkungan hukum privat (perdata). Tetapi jika dilakukan pengkajian yang lebih mendalam terhadap KUHD, khususnya yang mengatur mengenai PKL, terlihat juga adanya campur tangan pemerintah dalam pembuatan PKL, serta pengawasan terhadap pelaksanaan PKL, untuk melindungi hak-hak ABK (pekerja). Oleh karena itu menurut penulis, PKL tidak murni aturan yang bersifat privat/perdata. Dengan demikian menurut penulis, ketentuan mengenai PKL yang diatur didalam KUHD, juga merupakan campuran dari ketentuan yang sifatnya privat dan publik.

Lebih lanjut, dengan ditetapkannya UU No 21 tahun 1992 tentang Pelayaran dan PP No 7 Tahun 2000 tentang Kepelautan, semakin mengarahkan posisi ketentuan-ketentuan didalam KUHD yang berkaitan dengan pelayaran untuk bergeser kearah hukum publik. Dalam penjelasan umum UU Pelayaran dijelaskan bahwa, ketentuan yang terdapat dalam UU lain yang berkaitan dengan pelayaran seperti KUHD, adalah merupakan UU yang mempunyai kaitan sangat erat dengan UU ini.

Selanjutnya, di dalam pada pasal 18 ayat (2) PP No 7 Tahun 2000 tentang Kepelautan, menyebutkan bahwa perjanjian kerja laut (PKL) harus memuat hak-hak dan kewajiban dari masing-masing pihak dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dimana PKL yang dibuat antara perusahaan penangkapan ikan dengan ABK, berisi hak dan kewajiban pengusaha dan ABK yang diatur didalam KUHD. Hal ini menunjukan bahwa, ada korelasi diantara KUHD dengan UU No 21 tahun 1992 dan PP No 7 Tahun 2000.

 Dengan demikian, dapat diketahui, ketentuan mengenai PKL merupakan campuran dari hukum publik dan hukum privat (perdata). Atas dasar inilah maka menurut penulis, asas hukum lex specialis derogat legi generalis dapat digunakan untuk menyelesaikan pertentangan diantara KUHD dan UU No 2 Tahun 2004, karena kedua ketentuan tersebut memiliki sifat publik. Dengan demikian bahwa, ketentuan yang seharusnya dijadikan dasar penyelesaian perselisihan diantara ABK dengan perusahaan penangkapan ikan adalah KUHD, yang merupakan ketentuan (dalam hal ini UU) yang sifatnya khusus, dan yang berwenang sebagai pihak ketiga adalah pihak Syahbandar.

4.      Tinjauan Terhadap Kekhususan PKL dan ABK Yang Bekerja Pada Perusahaan Penangkapan Ikan

Sementara itu, jika dilakukan tinjauan lebih mendalam terhadap sifat kekhususan yang dimiliki oleh ABK dan PKL yang bekerja pada perusahaan penangkapan ikan, tenyata ABK dan PKL yang dibuat dengan perusahaan penangkapan ikan tidak memiliki sifat kekhususan seperti ABK maupun PKL pada umumnya.

a.       Tinjauan Terhadap Kekhususan ABK

Pasal 41 ayat (1dan 2) PP Nomor 7 Tahun 2000 tentang Kepelautan menyatakan bahwa, seorang nakhoda dan beberapa perwira kapal penangkapan ikan harus memiliki sertifikasi keahlian dan ketrampilan dasar pelaut, dan tidak diatur mengenai sertifikasi terhadap ABK.

Dengan demikian dapat diketahui bahwa, untuk kapal penangkapan ikan, hanya pihak nahkoda dan beberapa perwira kapal tertentu yang diharuskan memiliki sertifikasi-sertifikasi kepelautan, sedangkan para ABK tidak diwajibkan untuk memiliki sertifikasi-sertifikasi kepelautan.  

 Sementara itu, dalam perkembangan di dunia ketenagakerjaan dewasa ini diketahui bahwa, untuk dapat menempati posisi yang strategis pada sebuah perusahaan, misalnya manager, harus seorang yang memiliki kualifikasi tertentu. Sedangkan untuk bekerja sebagai pegawai biasa pada perusahaan tersebut, tidak memerlukan banyak kualifikasi seperti untuk menjadi manager. Hal ini menunjukan bahwa, terdapat kesamaan dalam proses penerimaan seorang perwira di kapal dan seorang pemimpin di sebuah perusahaan, maupun pekerja biasa dengan ABK.  Dimana untuk menjadi ABK biasa di atas kapal, maupun pekerja biasa di suatu perusahaan, tidak harus memiliki sertifikasi tertentu. Sedangkan untuk menjadi seorang perwira di kapal harus ada sertifikasi, begitu juga untuk menempati posisi sebagai manager di sebuah perusahaan harus juga memenuhi kualifikasi-kualifikasi tertentu. Dengan demikian bahwa, kekhususan yang dimiliki oleh seorang ABK dari perspektif kualifikasi maupun persyaratan untuk menjadi seorang ABK, tidak dapat lagi dikatakan sebagai suatu hal yang khusus bagi ABK yang bekerja pada perusahaan penangkapan ikan.

 

b.      Tinjauan Terhadap Kekhususan PKL

1)      PKL Harus Tertulis dan Dibuat di Hadapan Pejabat Pemerintah.

Kekhususan suatu PKL adalah PKL harus tertulis. Terhadap ABK harus dibuat dengan akta otentik di depan pejabat pemerintah yang berwenang (Pasal 400 ayat (1) KUHD). Menurut penulis, hal ini merupakan suatu manfaat positif dari PKL, yaitu demi menjaga agar hak-hak maupun kewajiban-kewajiban para pihak dapat diketahui dan dipahami serta dilaksanakan oleh para pihak. Selain itu, penulis berasumsi bahwa, adalah baik jika kekhususan ini tidak hanya diterapkan pada PKL saja, tetapi juga diterapkan pada pembuatan perjanjian kerja pada umumnya.

                             2)      Berhubungan Dengan Tempat Kerja.

Kekhususan lainnya dari PKL adalah, di dalam PKL diatur mengenai tempat bekerja, yang adalah di atas sebuah kapal dan selalu berpindah-pindah, tidak dapat dipastikan di mana daerah yang menjadi tujuan, serta di mana perselisihan tersebut terjadi, tidak bisa ditentukan. Misalnya, ABK yang bekerja pada perusahaan pelayaran, dimana tujuan dari perusahaan pelayaran selalu berpindah-pindah dari suatu tempat ketempat lainnya, sehingga kapan dan dimana terjadi perselisihan antara ABK dengan pihak perusahaan tidaklah tentu, sehingga apabila terjadi perselisihan di daerah yang bukan tempat PKL tersebut dibuat, maka yang digunakan adalah KUHD sebagai dasar hukumnya dan pihak syahbandar sebagai pihak penengahnya. Misalnya, jika PKL dibuat di Ambon, sedangkan perselisihannya terjadi di Surabaya, maka para pihak tidak bisa membawa persoalan ini ke pihak Disnakertrans Kota Ambon untuk menyelesaikan perselisihan tersebut.

Sementara itu, pada perusahaan penangkapan ikan kekhususan tersebut tidak nampak, dimana pada perusahaan penangkapan ikan telah diketahui tujuannya dalam berlayar adalah untuk menangkap ikan pada wilayah-wilayah penangkapan ikan yang berada di perairan Indonesia. Misalnya, perusahaan penangkapan ikan-PT Nusantara Fihery yang berkantor di kota Ambon, tujuannya telah jelas diketahui, yaitu dari pangkalannya di Kota Ambon menuju wilayah penangkapan ikan (misalnya di wilayah perairan Banda), setelah itu kembali lagi ke pangkalannya di Kota Ambon. Sehingga bila terjadi perselisihan antara ABK dengan nahkoda maupun pihak perusahaan, dapat ditentukan tempat perselisihannya. Jika terjadi perselisihan pada saat kapal sedang melakukan operasi penangkapan ikan di laut, maka proses penyelesaiannya dapat dilakukan setelah kapal kembali lagi ke pangkalan atau kantornya di Kota Ambon.

Dengan demikian, terkait dengan ABK yang bekerja pada perusahaan penangkapan ikan seperti PT Nusantara Fishery, sifat kekhususan dari PKL tidaklah nampak. Atas dasar inilah, maka menurut penulis, sifat kekhususan yang dimiliki oleh ABK dan PKL pada umumnya tidak melekat pada seorang ABK yang bekerja pada perusahaan penangkapan ikan, maupun PKL yang dibuat antara perusahaan penangkapan ikan dengan ABK. Sebaliknya, yang nampak dari ABK dan PKL yang dibuat dengan perusahaan penangkapan ikan, adalah lebih menunjukan ciri-ciri dari seorang pekerja pada umumnya.

Terhadap kenyataan ini, maka menurut Soekanto, pelaksanaan asas lex specialis derogat legi generali tidak hanya sebatas ketentuan khusus menyampingkan ketentuan yang sifatnya umum (sederajat), dimana terhadap peristiwa khusus wajib juga diperlakukan undang-undang yang menyebutkan peristiwa itu, walaupun bagi peristiwa khusus tersebut dapat pula diberlakukan undang-undang yang menyebutkan peristiwa yang lebih luas atau lebih umum, yang juga dapat mencakup peristiwa khusus tersebut (1983:12). Dengan tetap berdasar pada asas lex specialis derogat legi generali terkait dengan dualisme pengaturan mengenai proses PHK perusahaan penangkapan ikan terhadap ABK, maka dapat digunakan ketentuan yang sifatnya umum (UU No 2 Tahun 2004) dan khusus (KUHD) secara bersama untuk saling mengisi kekosongan hukum dalam menyelesaikan yang terjadi antara ABK dengan Perusahaan, dengan melibatkan pihak Syahbandar dan pihak Disnakertrans secara bersama-sama sebagai pihak ketiga atau penengah di tingkat mediasi.

 

D. KESIMPULAN :

Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

Ada dua pihak yang merasa memiliki kewenangan dalam menyelesaikan perselisihan diantara perusahaan penangkapan ikan dengan ABK, yaitu pihak Disnakertrans yang diberi kewenangan oleh UU No 2 Tahun 2004 dan pihak Syahbandar yang diberi kewenangan oleh KUHD. Terhadap hal tersebut, maka untuk penyelesaiannya adalah menggunakan asas hukum lex spesialis derogal legi generali (ketentuan yang khusus menyampingkan ketentuan yang sifatnya umum), yang tidak hanya sebatas ketentuan khusus menyampingkan ketentuan yang sifatnya umum, tetapi terhadap peristiwa khusus dapat juga diperlakukan undang-undang yang menyebutkan peristiwa yang lebih luas atau lebih umum, yang juga dapat mencakup peristiwa khusus tersebut. Dengan demikan, dalam proses penyelesaian PHK perusahaan penangkapan ikan dengan ABK, maka penyelesaiannya dapat didasarkan pada KUHD dengan UU No 2 Tahun 2004 secara bersama-sama, dengan melibatkan pihak Syahbandar dan pihak Disnakertrans sebagai pihak ketiga dalam proses penyelesaiannya.

 

SARAN :

Pemerintah perlu membuat suatu ketentuan tersendiri yang mengatur persoalan-persoalan yang berhubungan dengan kepelautan maupun ketenagakerjaan, diluar ketentuan dalam KUHD maupun UU No 2 Tahun 2004, yang secara khusus mengatur hubungan kerja yang tercipta diantara perusahaan penangkapan ikan dan ABK, serta memuat kejelasan hubungan diantara pihak Syahbandar dan pihak Disnakertrans. 

 

 

DAFTAR  PUSTAKA

 

A. Buku

 

Djumadi. 2006, Hukum Perburuhan – Perjanjian Kerja,  PT Raja Grafindo Persada, Jakarta

Kunthoro dkk. 1999, Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Perlindungan Anak Buah Kapal (ABK), Badan Pembinaan Hukum Nasional-Departemen Kehakiman Dan HAM

Manan, Bagir. 2004, Hukum Positif Indonesia (Suatu Kajian Teoritik), FH UII Press, Yogyakarta

Mertokusumo, Sudikno. 2006, Penemuan Hukum sebuah Pengantar, edisi kedua, cetakan keempat, liberty, Yogyakarta

Soedjono, Wiwoho.1983, Sarana-sarana Penunjang Pengangkutan Laut,  PT Bina Aksara, Jakarta

                                   1987, Hukum Perjanjian Kerja Laut, PT Bina Aksara Jakarta

Soekanto. Soerjono, 1983, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta

Supriyanto, Hari. 2004, Perubahan Hukum Privat ke Hukum Publik, Studi Hukum Perburuhan di Indonesia, Universitas Atmajaya, Yogyakarta

Subekti dan Tjitrosodibio, 2003, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, cetakan ketigapuluh dua, Edisi Revisi, Pradnya Paramita, Jakarta

                                            2003, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, cetakan keduapuluh delapan, PT Pradnya Paramita, Jakarta

Triyanto, Djoko. 2005, Bekerja di Kapal, Mandar Maju, Bandung

 

B. Peraturan Perundang-undangan

 

Undang-Undang No 21 Tahun 1992 Tentang Pelayaran

Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

Undang-Undang No 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 2000 Tentang Kepelautan

Tinggalkan Balasan