IMPLEMENTASI OTONOMI NEGERI DALAM PRESFEKTIF Undang Undang No. 32 TAHUN 2004

Pemerintahan Dan Hukum Adat

IMPLEMENTASI OTONOMI NEGERI

 DALAM PRESFEKTIF Undang Undang No. 32 TAHUN 2004[1]

 

Yohanes Pattinasarany

 

Pedahuluan

Negeri merupakan salah satu dari kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki otonomi dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya sejak negeri terbentuk berdasarkan asal usul dan adat isitiadat yang ada pada negeri tersebut. Otonomi negeri sama halnya dengan otonomi yang dimiliki oleh kesatuan masyarakat hukum adat di tempat lain seperti Nagari di Minangkabau Sumatera Barat, Gampong di  Namroh Aceh Darussalam, Lembang di Sulawesi Selatan, Kampung di Kalimantan Selatan dan Papua atau yang disebut dengan nama lain sesuai nama dari masing-masing daerah. Menurut Hazairin bahwa masyarakat-masyarakat hokum adat seperti desa di Jawa, marga di Sumatra, Nagari di Minangkabau, Kuria di Tapanuli, Wanua di Sulawesi Selatan, adalah kesatuan-kesatuan kemasyarakat yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri yaitu mempunyai kesatuan hokum, kesatuan penguasa, dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya.[2]

 Oleh karena itu, keberadaan otonomi negeri maupun kesatuan-kesatuan masyarakat hokum adat tersebut mendapat pengakuan secara konstitusional sebagai satuan pemerintahan asli yang akomodir dalam penjelasan ketentuan pasal 18 angka II UUD 1945 (sebelum amandemen) yang menyebutkan bahwa :

Dalam teritoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 "Zelfbesturende landschappen" dan Volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.

Namun dalam rangka mengimplementasi pengakuan negara terhadap keberadaan otonomi negeri maupun kesatuan masyarakat hokum adat yang disebut dengan mana lain sebagai satuan pemerintahan asli yang memiliki otonomi dalam mengatur dan mengurus sendiri kepentingan rakyatnya terjadi pengabaian oleh Pemerintah melalui pemberlakukan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa (selanjutnya di singkat UU No. 5 Tahun 1979) yang menyeragamkan sistim administrasi pemerintahan desa secara nasional terhadap pluralisme sistim pemerintahan adat di Indonesia kedalam suatu bentuk sistim pemerintahan desa yang diadopsi dari sistim pemerintahan desa yang berada di Jawa dan beberapa daerah lainnya.

Hal ini menyebabkan hilangnya nama, bentuk, susunan, dan kedudukan pemerintahan negeri maupun kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat lainnya sebagai satuan pemerintahan asli yang memiliki otonomi dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan asal usul dan adat istiadat. Menurut  H.A.W. Widjaja bahwa Undang Undang tentang Pemerintahan Desa (UU No. 5 Tahun 1979) ternyata melemahkan atau menghapuskan banyak unsur-unsur demokrasi demi keragaman bentuk dan susunan pemerintahan desa. Demokrasi tidak lebih hanya menjadi impian dan slogan dalam retorika untuk pelipur lara.[3] Selanjutnya dikatakannya bahwa, UU No. 5 Tahun 1979 mengarahkan kepada penyeragaman yaitu pemerintahan desa`diseragamkan. Penyeragaman dimaksudkan untuk memperkuat pemerintahan desa agar mampu menggerakkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, menyelenggarakan administrasi desa yang efektif dan efisien serta memberikan dorongan perkembangan dan pembangunan masyarakat desa. Dalam kenyataan, dengan berbagai peraturan dan ketentuan, masyarakat desa bukan diberdayakan (empowering), akan tetapi lebih dibudidayakan, diperlemah, karena diambil berbagai sumber penghasilannya dan hak ulayatnya sebagai masyarakat tradisionil seperti, lebah ubung, lahan pertanian serta sumber-sumber penghasilan lainnya, penarikan pajak dan retribusi.[4] Akhirnya menurut beliau bahwa penyelenggaraan bentuk dan susunan pemerintahan desa, tanpa memperhatikan adat istiadat setempat, akan kurang memberikan nuansa kehidupan kepada masyarakat tersebut. Tidak dapat disamakan antara desa di Jawa dan desa diluar Jawa yang dibentuk berdasarkan UU No. 5 Tahun 1979. Perbedaan ini sampai sekarang masih ada. Dalam kenyataannya undang-undang tentang pemerintahan desa itu tidak mencerminkan jiwa dan semangat “ hak-hak asal usul” dalam daerah yang bersifat istimewa, dan tanpa memperhatikan kekuatan adat setempat.[5]

Politik hukum UU No. 5 Tahun 1979 berkonsekwensi pada keberadaan otonomi negeri sebagai satuan pemerintahan asli secara perlahan-lahan menjadi lemah dan bahkan mati ketimbang bertumbuh dan berkembangan menjadi kuat. Kondisi demikian membuktikan bahwa sangat sulit untuk mengimplemantasi otonomi negeri apabila hokum adat diperhadapkan hukum nasional meskipun hokum adat telah hidup dan mengakar dalam kehidupan masyarakat negeri sebagai perwujudan atau pencerminan jiwa dan kepribadian masyarakat negeri yang terjelma dalam setiap tindakan masyarakat dimaksud.

Kondisi demikian dirasakan sampai pada saat ini, meskipun ketentuan pasal 18B ayat (2) UUD Tahun 1945 (setelah amandemen) menetapkan bahwa :

Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Maupun Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah (selanjutnya di singgkat UU No. 32 Tahun 2004), yang mengakui negeri maupun kesatuan masyarakat hokum adat yang disebut dengan nama lain yang memiliki kewenangan  untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat dengan berlandaskan pada otonomi asli dalam sistim pemerintahan Negara kesatuan republic Indonesia.

 

Konsepsi Otonomi Negeri

Secara historis, keberadaan negeri maupuan kesatuan masyarakat hukum adat yang disebut dengan nama lain merupakan basis penghidupan bagi masyarakat setempat. Dimana keberadaan negeri atau yang disebut dengan nama lain memiliki otonomi untuk mengadakan pemerintahan sendiri dalam rangka mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan hak asal usul dan adat istiadat setampat. Istilah otonomi secara etimologis berasal dari bahasa Yunani, yaitu autos dan noumos.  Autos artinya sendiri dan noumos yang berarti hukum atau peraturan. Jadi secara etimologis otonomi berarti hukum atau peraturan sendiri, yang dimaknai dalam bidang pemerintahan sebagai pemerintahan yang membuat hukum atau peraturan sendiri.

Menurut Encyclopedia of social science, otonomi dalam pengertian orisinil adalah the legal self sufficiency of social body and its actual independence. Jadi ada dua ciri hakikat dari otonomi, yakni  legal self suffiencieny dan actual independence. Dalam kaitan dengan politik dan pemerintahan, otonomi berarti self government atau condition of living under one’s own laws.[6] Dalam literature Belanda otonomi berarti pemerintahan sendiri (zelfregering) yang oleh Van Vollenhoven dibagi atas zelfwetgeving (membuat Undang-undang sendiri), selfuitvoering (melaksankan sendiri), zelfrechtspraak (mengadili sendiri) dan zelfpolitie (menindak sendiri).[7]

Berdasarkan pengertian otonomi sebagaimana disebutkan diatas, maka otonomi negeri dapat diartikan sebagai negeri yang berpemerintahan sendiri. Dalam pelaksanaan pemerintahan sendiri maka negeri melalui kelembagaannya membuat hokum atau peraturan sendiri, melaksanakan hokum atau peraturan sendiri, mengandili sendiri, dan menindak sendiri tanpa intervensi dari satuan pemerintahan lain termasuk negara dalam mengoperasionalkan hal-hal dimaksud. Hal ini telah dilakukan sejak suatu negeri terbentuk.

Oleh karena itu, otonomi negeri merupakan otonomi asli atau bawaan yang timbul sejak terbentuknya suatu negeri bukan otonomi yang bersifat turunan atau pemberian dari Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota sebagai satuan pemerintahan yang lebih tinggi maupun dari Negara. Otonomi Negeri berbeda dengan otonomi daerah. Otonomi daerah merupakan pemberian dari Pemerintah Pusat sebagai konsekwensi dari penepatan negara Indonesia sebagai negara kesatuan yang berbentuk republik sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan pasal 1 ayat (1) UUD Tahun 1945, yang dalam rangka memperpendek rentan kendali pelayanan Pemerintah Pusat kepada masyarakat di daerah-daerah sebagai upaya mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, akibat luasnya wilayah negara Indonesia dan daerah-daerah yangg memiliki karakteristik yang berbeda-beda maka Pemerintah Pusat memberikan otonomi kepada daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat.

Pemberian otonomi kepada daerah merupakan stategi politik Pemerintah Pusat dalam membuka ruang partisipasi masyarakat di daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan negera. Oleh karena itu, pemberian otonomi kepada daerah sewaktu-waktu dapat ditarik oleh Pemerintah Pusat sebagai pemilik. Namun otonomi negeri merupakan otonomi asli yang telah dimiliki dan dilaksanakan sejak terbentuknya suatu negeri. Untuk itu, otonomi negeri tidak dapat dicabut oleh negara.

 

Otonomi Negeri Dalam Prekfektif UU No. 32 Tahun 2004.

Sebagai upaya untuk mengembalikan nama, bentuk, susunan, dan kedudukan pemerintahan negeri yang hilang akibat penarapan kebijakan politik hukum UU No. 5 Tahun 1979 yang menyaragamkan pluralisme sistim pemerintahan adat di Indonesia kedalam suatu sistim pemerintahan desa maka kehadiran UU No. 32 Tahun 2004 dianggap mampu mengembalikan nama, bentuk, susunan, dan kedudukan pemerintahan negeri sebagai satuan pemerintahan asli yang memiliki otonomi dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat sebagai subsistim dari sistim penyelenggaraan pemerintahan Negara kesatuan Indonesia yang berlandaskan pada keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi, dan pemberdayaan masyarakat, sesuai dengan amanat ketentuan pasal 18B ayat (2) UUD Tahun 1945.

Pengakuan dan penghormatan kepada negeri merupakan pemberlakuan asas rekognisi. Pengakuan dan penghormatan kepada negeri sebagai satuan pemerintahan asli yang memiliki otonomi asli yang secara institusional didasarkan pada asal usul dan adat istiadat yang terlepas dari sistim birokasi yang ditetapkan oleh Negara. Pengakuan dan penghormatan kepada negeri terlihat jelas dalam penjelasan ketentuan pasal 202 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 yang menyebutkan bahwa “Desa yang dimaksud dalam ketentuan ini, termasuk antara lain Nagari di Sumatera Barat, Gampong di Provinsi NAD, Lembang di Sulawesi Selatan, Kampung di Kalimantan Selatan dan Papua, Negeri di Maluku”.

Meskipun pengakuan dan penghormatan kepada negeri di Maluku dalam penjelasan ketentuan pasal 202 ayat (1)  UU No. 32 Tahun 2004 bukan berarti bahwa negeri adalah satu-satunya nama dari kesatuan masyarakat hukum adat yang ada di Maluku. Tetapi ada berbagai nama dari kesatuan masyarakat hukum adat di Maluku yang sejak terbantuk telah memiliki otonomi dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya seperti Ohoy di Maluku Tenggara, Pnue atau Oho atau Lekhe di Maluku Tenggara Barat serta Kampung  di Kepulauan Aru maupun penyebutan dengan nama lain sesuai masing-masing daerah.  

Namun UU No. 32 Tahun 2004 tidak membedakan antara otonomi negeri yang merupakan otonomi asli dengan otonomi daerah yang merupakan otonomi pemberian dari negara dalam hal pengaturan kelembagaan Badan Permusyawaratan Desa (Desa : baca Negeri) yang tidak mengakomodir nama sesuai asal usul dan adat istiadat dalam pemerintahan negeri maupun kesatuan masyarakat hokum adat yang disebut dengan nama lain. Bahkan pengaturan untuk menjadi anggota Badan Permusyawaratan Desa tidak sama sekali mengakomodir persyaratan harus berasal, mengetahui, mengerti pahami mengenai asal usul dan adat istiadat yang ada pada negeri atau kesatuan masyarakat hokum adat yang disebut dengan nama lain. Hal ini memberi ruang kepada orang lain yang bukan berasal, mengetahui, mengerti pahami mengenai asal usul dan adat istiadat negeri untuk bisa menjadi anggota Badan Permusyawaratan Desa. Seyogyanya pengaturan untuk menjadi anggota Badan Permusyawaratan Desa serahkan menjadi kewenangan negeri untuk menentukan sesuai asal usul dan adat istiadat yang ada pada negeri.

Padahal kedudukan kelembagaan Badan Permusyawaratan Desa sama dengan Badan Saniri Negeri yang terdiri dari wakil-wakil Soa, Kepala Adat, Tua-Tua Negeri, yang harus memahami asal usul dan adat istiadat negeri yang bertugas membantu Kepala Pemerintahan Negeri menetapkan Peraturan Desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Pengaturan dalam UU No. 32 Tahun 2004 tidak mencerminkan adanya ruang untuk menghidupkan kelembagaan negeri sebagai struktur birokrasi yang otonom yang secara institusional mempunyai tugas dan kewenangan telah ada sesuai asal usul negeri.

Selain itu, dalam hal pengaturan kewenangan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang berada dalam wilayah negeri. Bagi negeri, tanah, air termasuk laut dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya adalah merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari wilayah negeri. Hal ini oleh suatu negeri disebut dengan wilayah petuanan negeri. Terhadap seluruh sumber daya alam yang berada di dalam wilayah petuanan negeri (tanah, air termasuk laut) kewenangan penguasan dan pengelolaan terhadap seluruh sumber daya alam yang berada dalam wilayah petuanan negeri dilakukan oleh pemerintah negeri berdasarkan hak ulayat negeri atau hak asal usul dan adat istiadat pada negeri tersebut baik dalam bentuk pengelolaan dan pemanfatan serta perlindungan hukum.

Hal tersebut telah dilakukan sejak lama atau sejak negeri terbentuk dan merupakan salah satu tradisi secara turun temurun. Namun  pemerintah pusat memberikan kewenangan kepada kepada daerah provinsi maupun kabupaten/kota untuk mengelola sumber daya di wilayah laut, sebagaimana ditetapkan dalam dalam ketentuan pasal 18 ayat(1),  (3) dan (4) UU No. 32 Tahun 2004 yang menyebutkan bahwa :

(1)   Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut

(3) Kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a.    eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut;

b.   pengaturan administratif;

c.    pengaturan tata ruang;

d.   penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah;

e.    ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; dan

f.    ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara.

(4) Kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota.

Walaupun pemberian kewenangan kepada daerah Provinsi maupun Kabupaten/Kota untuk melakukan pengelolaan sumber daya diwilayah laut sebagaimana ditetapkan diatas masih terus menjadi bahan perdebatan. Namun pengaturan pemberian kewenangan kepada daerah Provinsi  untuk mengelola Sumber daya di wilayah laut 12 mil dan Kabupaten/Kota di wilayah laut 1/3 dari wilayah laut provinsi dalam bentuk eksplorasi, eksploitasi, konservasi, pengelolaan kekayaan laut, pengaturan administrative, pengaturan tata ruang, penegakan hukum, mengakibatkan negeri tidak memiliki kewenangan untuk pengelolaan dan pemanfaatan serta perlindungan hukum terhadap Sumber Daya Alam di wilayah petuanan laut negeri yang telah dilakukan secara turun temurun.

Sebab pemberian kewenangan kepada daerah kabupaten/kota untuk mengelola Sumber daya di wilayah laut 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi yang diukur dari garis pantai kearah laut lepas, yang berkonsekwensi wilayah laut 1/3 mil tersebut berada dalam wilayah laut petuanan negeri.  Meskipun dalam rumusan ketentuan pasal 18 ayat (6) UU No. 32 Tahun 2004 memberikan kebebasan kepada nelayan tradisonil dalam usaha penangkapan ikan tanpa dibatasi pada ruang wilayah laut tertentu. Namun masalah hak ulayat masyarakat negeri dalam pengeleolaan sumber daya alam di wilayah petuanan laut dalam batas-batas menurut hukum adat setempat, bukan sekedar hak atas penangkapan ikan, tetapi juga  hak hak yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan serta perlindungan hokum terhadap sumber daya laut dalam batas wilayah petuanan laut yang diatur menurut ketentuan hukum adat setempat.

Hal ini berdampak hilangnya perlindungan hokum sasi terhadap sumber daya alam di wilayah petuanan laut negeri. Padahal pengelolaan dan pemanfaatan serta perlindungan hokum terhadap sumber daya laut dalam wilayah laut petuanan negeri merupakan sebuah tata dalam sistim penyelenggaraan pemerintahan negeri sesuai otonomi yang dimilikinya.

Dengan demikian Negara mengakui otonomi negeri sebagai otonomi asli tetapi dalam tataran legislasi pengaturan dalam UU No. 32 Tahun 2004 masih terjadi ambiguitas konsep otonomi asli dengan konsep otonomi pemberian melalui pembatasan otonomi negeri dalam menyelenggarakan pemerintahan negeri guna mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya sesuai asal usul dan adt istiadat. Oleh sebab itu, pemberlakukan azas rekognisi dari Negara kepada kesatuan masyarakat hokum adat dan hak-haknya hanya bersifat simbolik belaka ketimbang substansi. Untuk itu UU No. 32 Tahun 2004 belum mengimplementasi otonomi negeri sebagai otonomi asli yang dimiliki oleh negeri berdasarkan asal usul dan adat istiadat yang ada dalam negeri tersebut.

 

Penutup

Penjelasan pasal 18 UUD Tahun 1945 (sebelum amandemen) maupun ketentuan pasal 18B ayat (2) UUD Tahun 1945 (sesudah amandemen) mengakui otonomi negeri maupun kesatuan masyarakat hukum adat yang disebut dengan nama lain sebagai otonomi asli namun dalam tataran legislasi khususnya UU No. 32 Tahun 2004 tidak impelmentasi otonomi negeri. Padahal UU No. 32 Tahun 2004 telah mengakui negeri sebagai satuan pemerintahan yang memmiliki otonomi asli. Dengan demikian tanggung jawab Negara untuk mengatur secara tegas otonomi negeri maupun kesatuan masyarakt hokum adat yang disebut dengan nama lain sehingga tidak menimbulkan kemungkinan terjadi sengketa antar kewenangan atau sengketa hak antara pemerintah (Pusat dan Daerah) dengan masyarakat hukum adat setempat.

 

Daftar Bacaan

Didik Sukriono, Pembaharuan Hukum Pemerintahan Desa Politik Hukum Pemerintahan Desa di Indonesia, Setara Press, Malang, 2010.

Wijaya, H.A.W, Otonomi Desa Masyrakat Otonomi Yang Asli, Bukat Dan Utuh, PT Radjawali Grafindo Persada, Jakarta, 2003.

Undang-Undang Dasar Negera Republic Indonesia Tahun 1945.

UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa

UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

 


[1] Tulisan ini diterbitkan dalam sebuah buku KOMPILASI PEMIKIRAN TENTANG DINAMIKA HUKUM DALAM MASYARAKAT (Memperingati Dies Natalis ke -50 Universitas Pattimura Tahun 2013), 2013

[2]Hazairin, Demokrasi Pancasila, Tinta Mas, Jakarta, 1970, Hal. 44.

[3] Wijaya, H.A.W, Otonomi Desa Masyrakat Otonomi Yang Asli, Bukat Dan Utuh, PT Radjawali Grafindo Persada, Jakarta, 2003, Hal. 7.

[4] Ibit Hal. 10

[5] Ibit, Hal. 12

[6] Didik Sukriono, Pembaharuan Hukum Pemerintahan Desa Politik Hukum Pemerintahan Desa di Indonesia, Setara Press, Malang, 2010, Hal. 64.

[7] Ibit, Hal. 65.

 

Tinggalkan Balasan