SISTEM PENGANGKATAN DAN PEMILIHAN KEPALA PEMERINTAH NEGERI DI MALUKU TENGAH (Kajian Dari Perspektif Pembangunan Demokrasi di Indonesia)

Pemerintahan Dan Hukum Adat

SISTEM PENGANGKATAN DAN PEMILIHAN

KEPALA PEMERINTAH NEGERI DI MALUKU TENGAH 

(Kajian Dari Perspektif Pembangunan Demokrasi di Indonesia)[1]

 

Eric Stenly Holle

 

Latar Belakang

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa, menetapkan Desa atau yang disebut dengan nama lain, merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah, berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan berada di Kabupaten/Kota. Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ini mengacu pada Pasal 18B UUD 1945 (setelah diamandemen) yang bertumpu pada landasan pemikiran tentang pengaturan mengenai desa yaitu keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokrasi dan pemberdayaan masyarakat.

Untuk menjabarkan lebih jauh jiwa dan semangat yang terkandung dalam Pasal 18B UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, maka Pemerintah Daerah Provinsi Maluku menerbitkan Peraturan Daerah yang merupakan ketentuan payung (umbrella Provision) untuk melahirkan berbagai kebijakan regulasi pada tataran tata hukum lokal yang diharapkan mampu menjadikan wilayah Kabupaten Maluku Tengah berkembang lebih maju sesuai dengan ciri dan karakaterisitik daerahnya. Peraturan Daerah yang dimaksud adalah Peraturan Daerah Provinsi Maluku Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Penetapan Kembali Negeri Sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dalam Wilayah Pemerintahan Provinsi Maluku yang pada prinsipnya menetapkan negeri sebagai kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Maluku dan Peraturan Daerah Kabupaten Maluku Tengah Nomor 01 Tahun 2006 Tentang Negeri.

Masyarakat Kabupaten Maluku Tengah pada umumnya merupakan masyarakat adat, dikenal kesatuan masyarakat hukum adat dengan nama Negeri yang diatur berdasarkan hukum adat setempat, kesatuan-kesatuan masyarakat adat tersebut beserta perangkat pemerintahannya telah lama ada, hidup dan berkembang serta dipertahankan dalam tata pergaulan hidup masyarakat. Negeri di Kabupaten Maluku Tengah sebagai kesatuan masyarakat hukum adat, memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan hak, asal usul Negeri, adat istiadat dan hukum adat yang diakui dalam Sistem Pemerintahan Nasional. Di lain pihak terdapat Negeri Administratif sebagai akibat perkembangan dan kemajuan masyarakat yang juga harus diperhatikan hak asal usul dan kepentingan masyarakat setempat. Adanya Negeri/Negeri Administratif menempatkan adat istiadat dan hukum adat dalam konteks yang susungguhnya. Oleh karena itu otonomi Negeri sebagai otonomi bawaan dan otonomi Negeri Administrati sebagai otonomi yang diberikan, hendaknya dikembangkan untuk kepentingan masyarakat Negeri/Negeri Administratif yang tidak terlepas dari kendali Pemerintah (Pemerintah Provinsi Maluku dan Kabupaten Maluku Tengah) sepanjang menyangkut kepentingan Nasional yang harus dilaksanakan.

Dalam rangka kelancaran penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, demokrasi dan kemasyarakatan Negeri maka adanya Pemerintah Negeri menjadi faktor penting. Untuk itu Pemerintah Daerah Kabupaten Maluku Tengah telah mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 03 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pencalonan, Pemilihan dan Pelantikan Kepala Pemerintah Negeri dan Peraturan Daerah Nomor 07 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pemilihan, Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Negeri yang dimaksudkan untuk melaksanakan prinsip demokrasi dalam sistem pemerintahan umum dan pemerintahan adat yang merupakan upaya untuk  memberdayakan  fungsi dan peran  kelembagaan  pemerintahan   sebagai wujud  dari prinsip demokrasi, maka diperlukan mekanisme atau sistem dalam pencalonan, pemilihan dan pelantikan Kepala Pemerintah Negeri yang merupakan tuntutan prinsip demokrasi  dan harus ditopang dengan sistem hukum, yang dapat dijadikan sebagai acuan, sehingga dapat melahirkan figur pemimpin dengan tetap menghargai  hak-hak  anggota masyarakat,  sebagai bagian dari hak asasi manusia. Sistem demokrasi yang dibangun tetap memperhatikan sistem pemerintahan pada umumnya, yang akan  melahirkan seorang pemimpin pada Kesatuan Masyarakat Adat dengan tidak mengabaikan prinsip-prinsip hukum adat maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Masyarakat adat di Kabupaten Maluku Tengah, sebagian besar masih menghargai figur seorang pemimpin pada Kesatuan Masyarakat Hukum Adat yang berasal dari turunan matarumah/keturunan yang menurut hukum adat Kabupaten Maluku Tengah berhak menyandang gelar dan kharisma pemimpin tersebut dan tidak dapat dialihkan kepada pihak lain, kecuali dalam hal-hal khusus yang ditetapkan berdasarkan hasil musyawarah matarumah/keturunan yang berhak bersama Saniri Negeri.

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan ini adalah: Bagaimanakah Sistem Pengangkatan dan Pemilihan Kepala Pemerintah Negeri Maluku Tengah Dalam Perspektif Pembangunan Demokrasi?

 

Pembahasan

1.        Konsep Demokrasi

Demokrasi dipahami sebagai sebuah ruang lingkup yang sangat luas. Apapun bentuknya, fenomena demokrasi sangat menarik untuk dibicarakan. Apalagi jika dikaitkan dengan kenyataan, bahwa negara Indonesia merupakan negara yang masih menjadikan proses demokratisasi sebagai sebuah tumpuan. Secara substansial, demokrasi tidak akan berjalan dengan efektif tanpa berkembangnya pengorganisasian internal partai, lembaga-lembaga pemerintahan, maupun perkumpulan-perkumpulan masyarakat. Kelestarian demokrasi memerlukan rakyat yang bersepakat mengenai makna demokrasi, yang paham akan bekerjanya demokrasi dan kegunaannya bagi kehidupan mereka. Demokrasi yang kuat bersumber pada kehendak rakyat dan bertujuan untuk mencapai kebaikan atau kemaslahatan bersama. Oleh karena itu, demokrasi mesti berkaitan dengan persoalan perwakilan kehendak rakyat itu.[2] Dalam bingkai teori politik, demokrasi lebih menekankan pada unsur masyarakat sebagai sebuah variabel.

W.A. Bonger menyatakan bahwa demokrasi bukan semata-mata bentuk ketatanegaraan saja tetapi juga merupakan bentuk kegiatan organisasi di luar ketatanegaraan, misalnya yang terdapat dalam dunia perkumpulan yang merdeka. Demokrasi dalam perkumpulan di luar ketatanegaraan adalah suatu bentuk pimpinan, suatu kolektivitet tanpa mempersoalkan apakah itu suatu pergaulan hidup paksaan seperti negara atau sutu perkumpulan yang merdeka. Sedangkan demokrasi dalam ketatanegaraan adalah suatu bentuk pemerintahan.[3]

Pengertian demokrasi dalam tinjauan bahasa (etimology) baik asal kata maupun asal bahasanya adalah gabungan dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu “Demos” yang berarti rakyat atau penduduk suatu wilayah, dan “Cratein” atau “Cratos”  yang berarti pemerintahan atau pemerintahan/otoritas, Sehingga demokrasi sederhananya mengandung arti berarti pemerintahan rakyat atau kedaulatan/otoritas rakyat.[4]

Mengingat kedaulatan itu melekat pada diri orang untuk mengatur dan mempertahankan dirinya, serta mengingat rakyat itu bukan pula satu atau dua orang, tetapi merupakan gabungan atau kumpulan dari orang-orang yang secara sadar bergabung untuk mengatur diri mereka, maka kedaulatan itu pun kemudian digabung pula. Kedaulatan rakyat ini pun bukan untuk melindungi sebagian rakyat dan menindas sebagian yang lain. Tetapi untuk melindungi keseluruhan rakyat dalam wilayah kedaulatan negara, sesuai dengan tujuan negara sebagaimana tercantum dalam konstitusi.

Moh. Mahfud MD menyatakan bahwa negara yang negara yang menganut asas demokrasi, maka kekuasaan pemerintah berada di tangan rakyat. Pada negara yang menganut asas demokrasi ini didalamnya mengandung unsur; pemerintahan dari rakyat (government of the people), pemerintahan oleh rakyat (government by the people), dan pemerintahan untuk rakyat (government for the people).[5]

Inu Kencana syafi’i, prinsip-prinsip demokrasi adalah sebagai berikut:[6]  Adanya pembagian kekuasaan, adanya pemilihan uumum yang bebas (general election), adanya manajemen pemerintahan yang terbuka, adanya kebebasan individu, adanya peradilan yang bebas, adanya pengakuan hak minoritas, adanya pemerintahan yang berdasarkan hukum, adanya pers yang bebas, adanya muti partai politik adanya musyawarah, adanya persetujuan parlemen, adanya pemerintahan yang konstitusionil, adanya ketentuan pendukung dalam sistem demokrasi,adanya pengawasan terhadap administrasi publik, Adanya perlindungan hak asasi manusia, adanya pemerintahan yang bersih (clean and good government), adanya persaingan keahlian (profesionalitas), adanya mekanisme politik, adanya kebijakan negara yang berkeadilan,  dan adanya pemerintahan yang mengutamakan tanggung jawab.

Prinsip-prinsip ini harus bersinergi antara satu dengan yang lainnya, karena kalau prinsip-prinsip ini berjalan berjalan tanpa diikuti oleh prinsip-prinsip yang lainnya maka demokrasi tidak akan dapat berjalan dengan baik.

 

Sistem Pemerintahan Negeri

Sistem Pemerintahan Desa di Maluku pada rezim adat dikenal dengan Pemerintah Negeri dan umumnya berlaku di Pulau Ambon dan Kabupaten Maluku Tengah. Pemerintah Negeri adalah merupakan basis masyarakat adat dan memiliki batas-batas wilayah darat dan laut yang jelas yang disebut petuanan negeri, dan sistem pemerintahan yang bersifat geneologis atau berdasarkan garis keturunan. Pemerintahan Negeri menurut Peraturan Daerah Kabupaten Maluku Tengah Nomor 01 Tahun 2006 Tentang Negeri merupakan penyelenggaraan urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Negeri dan Saniri Negeri dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan hak asal usul dan adat istiadat setempat dan diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pada rezim adat, setiap Negeri memiliki struktur organisasi pemerintahan negeri. Susunan pemerintahan negeri adalah warisan dari pemerintahan Belanda dimana sistem hukum adat ini ditetapkan dalam keputusan landraad Amboina No.14 Tahun 1919; disebutkan bahwa Pemerintah Negeri adalah regent en de kepala soas’s. selanjutnya di dalam keputusan landaard Amboina No. 30 Tahun 1919 disebutkan bahwa negorijbestuur adalah regent en de Kepala-Kepala Soa, yang berarti bahwa pelaksanaan pemerintahan negeri dilaksanakan oleh Raja dan Kepala-Kepala Soa.[7]

Adapun salah satu struktur organisasi pemerintah negeri dari Negeri Ameth di Kecamatan Nusalaut Kabupaten Maluku Tengah dapat dilihat pada gambar 1. Pada gambar tersebut terlihat bahwa Raja dan Kepala Soa merupakan pelaksana pemerintahan negeri. Ini yang dikenal dengan sebutan Badan Saniri Rajapatti yang terdiri dari Raja dan Kepala Soa. Badan ini merupakan badan eksekutif dibawah pimpinan Raja. Raja, adalah pemegang pemerintah negeri yang bertindak juga sebagai kepala adat dalam meimpin acara-acara adat. Raja berkewajiban untuk memelihara hukum dan adat, kesatuan dan ketentraman negeri, melaksanakan administrasi negeri seperti perkawinan, pembagian warisan, dan lain-lain. Dalam melaksanakan tugasnya ini maka Raja dibantu oleh juru tulis yang bertugas sebagai pembantu Raja dalam melaksanakan administrasi negeri dan memberikan pelayanan kepada masyarakat. Juru Tulis berfungsi dalam melaksanakan surat-menyurat, kearsipan dan laporan.Kepala Soa, diangkat oleh anak-anak Soa yang bertugas membantu Raja dalam melaksanakan pemerintahan negeri apabila Raja tidak ditempat. Kepala Soa diberi kewenangan untuk menggantikan Raja dalam melaksanakan tugas pemerintahan negeri di dalam melayani kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Sebagai pemimpin dari suatu bagian di dalam negeri yang terdiri dari beberapa marga maka Kepala Soa juga berfungsi untuk menampung dan menyalurkan aspirasi serta pendapat masyarakat yang ada dalam wilayah kekuasaan “Soa”nya. Kepala soa juga berperan sebagai kepala adat yang melaksanakan tugas dari Raja untuk melangsungkan acara kawin adat khususnya dalam menerima harta kawin yang diberikan dari mempelai pria kepada pemerintah negeri.

Di samping Saniri Rajapati ada Saniri Negeri yang merupakan kumpulan wakil-wakil Soa yaitu suatu kelompok masyarakat yang terdiri dari beberapa marga atau “matarumah”(adat) yang memilih dan mengangkat salah satu anggotanya sebagai wakil pada Saniri Negeri dan 1 orang sebagai Kepala Soa. Di dalam pelaksanaan pemerintahan negeri, maka dikenal ada badan legislatif yang dikenal dengan sebutan Saniri Negeri Lengkap. Saniri Negeri Lengkap terdiri dari: anggota Saniri, para tua-tua adat dan tokoh-tokoh masyarakat yang berpengaruh seperti guru, pegawai, tokoh agama (pendeta/imam), Kewang; penjaga keamanan desa dan pengawas hutan dan laut, Kapitan; pemimpin perang; Marinyo; orang yang bertanggung jawab untuk mengkomunikasikan keputusan pemerintah (Raja) kepada staf pemerintah negeri maupun kepada masyarakat; Tuan Negeri sebagai pemimpin pelaksana adat dalam negeri, dan Tuan Tanah. Tugas Saniri Negeri Lengkap adalah menentukan kebijaksanaan dan mengeluarkan peraturan-peraturan bersama dengan Saniri Rajapatti. Saniri Rajapatti dalam melaksanakan sesuatu hal yang penting di negeri akan berkonsultasi terlebih dahulu dengan Saniri Negeri Lengkap untuk meminta persetujuannya. Pimpinan Saniri Negeri Lengkap ini adalah Raja, namun selain bertugas sebagai badan legislatif maka Saniri Negeri Lengkap juga bertugas untuk memilih Raja menurut tatacara yang berlaku.

Ada badan musyawarah negeri yang di kenal dengan sebutan Saniri Negeri Besar yang berperan sebagai badan yudikatif. Saniri Negeri Besar bertugas menyelenggarakan rapat lengkap yang bersifat terbuka antara Saniri Rajapatti dan Saniri Negeri Lengkap dan semua warga masyarakat pria dewasa yang berumur 18 tahun ke atas. Rapat ini dilaksanakan 1 tahun sekali biasanya di awal tahun atau pada akhir tahun dan berlangsung di rumah adat yang di sebut Baeleo dan dipimpin oleh Raja.

Bila melihat kedudukan struktur organisasi pemerintahan negeri pada Gambar 1 diatas, maka Raja adalah merupakan orang yang pertama dan sangat memegang penting di dalam sistem pemeritahan negeri. Raja memiliki kapasitas dan fungsi sebagai pimpinan badan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Akan tetapi dengan kapasitas dan fungsi tersebut Raja tidak memiliki kekuasaan mutlak dalam menjalankan tugasnya dan dalam pengambilan keputusan, Raja harus mempertimbangkan pendapat dari badan  Saniri Negeri. Lembaga-lembaga adat yang terdapat dalam struktur Pemerintahan Negeri adat ini memiliki fungsi dan peranan yang sangat besar terhadap kelangsungan pembangunan masyarakat. Lembaga-lembaga adat ini sangat dihormati, dipatuhi dan dihargai oleh masyarakat terhadap berbagai hal seperti dalam pengambilan keputusan, penyelesaian sengketa batas tanah dan petuanan, pelantikan Raja, serta pelaksanaan upacara-upacara adat

 

 

 

 

Pembahasan

Sebagaimana terjadi di wilayah dan desa lain di Indonesia, Propinsi Maluku juga mengalami masa transisi atau perubahan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa ke Kebijakan Desentralisasi (Otonomi Daerah). Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 telah melemahkan keberadaan institusi lokal. Ketika Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah diberlakukan, maka mekanisme dan kebiasaan pemerintah dan masyarakat setempat menjadi kembali ke sistem negeri dan adat sebagaimana sebelum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 diberlakukan.

Secara perlahan-perlahan kebiasaan sistem adat dan negeri dikembalikan seperti semula. Kepala Pemerintah Negeri (baca: Raja) mulai dipilih secara demokratis. Namun, pada umumnya posisi Kepala Pemerintah Negeri yang berlaku secara turun-temurun nampaknya lebih disukai oleh masyarakat negeri untuk menjadi figur atau pemimpin mereka. Dengan kata lain posisi Kepala Pemerintah Negeri yang turun-tumurun ini lebih memberikan legitimasi dari pada pemilihan Kepala Pemerintah Negeri secara demokratis. Proses pengembalian sistem negeri ini di beberapa tempat sempat menjadi persoalan. Misalnya hal ini menyebabkan terjadinya perseteruan untuk menjadi Kepala Pemerintah Negeri yang sekaligus berperan sebagai kepala desa.

Dalam konteks Maluku, Kepala Pemerintah Negeri berkedudukan sama dengan kepala desa, seorang Kepala Pemerintah Negeri dapat menduduki posisinya baik karena garis keturunan maupun karena dipilih secara demokratis. Dalam pelantikan untuk posisinya sebagai Kepala Pemerintah Negeri, kerapkali seorang Kepala Pemerintah Negeri harus mengalami dua kali pelantikan guna memperoleh legitimasi baik sebagai kepala pemerintah negeri maupun sebagai kepala pemerintahan administratif setempat.

Seperti halnya di desa-desa adat lainnya di Maluku, peran Soa Parentah mempunyai andil besar dalam penentuan bakal calon Kepala Pemerintah Negeri yang berhak mengikuti pemilihan. Pengajuan bakal calon yang diajukan oleh Soa Parentah menjadi bukti bahwa peran Soa Parentah didalam penyelenggaraan pemilihan Kepala Pemerintah Negeri. Hal ini merupakan ketentuan hukum adat yang sudah berlaku sejak negeri itu ada.

Kepala Pemerintah Negeri yang telah menjalani masa pemerintahan pada prinsipnya secara langsung akan masuk didalam Soa Parentah dan tentunya mempunyai hak didalam menentukan bakal calon yang akan mengikuti pemilihan Kepala Pemerintah Negeri setelah lolos dari seleksi atau pembahasan di tingkat Saniri Negeri.

Diakui bahwa hukum adat sampai saat ini masih hidup dan berkembang di Maluku. Artinya masyarakat masih mengakui dan menghargai hukum adat sebagai hukum yang mengatur tatanan kehidupan mereka, walaupun patut diakui telah menjadi perubahan atau telah mengalami pergeseran akibat arus globalisasi dan modernisasi. Sebutan terhadap desa-desa adat di Maluku adalah Negeri dan sebutan untuk Kepala Pemerintah Negeri adalah Raja atau disebut dengan nama lain sesuai adat istiadat, hukum adat dan budaya setempat. Kepala Pemerintah Negeri dibantu oleh perangkat Pemerintah Negeri lainnya seperti Juru Tulis/Sekretaris Negeri dan Kepala Soa sebagai unsur penyelenggaraan Pemerintahan Negeri.

Seorang Kepala Pemrerintahan Negeri (Raja) hampir dipastikan berasal dari garis keturunan Raja pula. Tradisi ini dimulai dari zaman kolonial Belanda, bahkan mungkin di jaman-jaman sebelumnya. Sistem keturunan tersebut berlanjut walaupun Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1975 (Pemerintahan Desa) berlaku di masa orde lama. Sekarang ini dalam pemilihan kepala pemerintah negeri, masyarakat umumnya masih mendukung calon dari keturunan keluarga Raja. Fenomena ini adalah karena faktor tradisi dan adat yang masih cukup dihormati oleh masyarakat.

Untuk menjamin kepastian hukum, prinsip demokratisasi yang disesuaikan dengan nilai-nilai hukum adat, tradisi dan budaya yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat maka, Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 03 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pencalonan, Pemilihan dan Pelantikan Kepala Pemerintah Negeri dan Peraturan Daerah Nomor 07 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pemilihan, Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Negeri.

Sistem pemilihan Kepala Pemerintah Negeri di Kabupaten Maluku Tengah menggunakan mekanisme dipilih secara langsung oleh penduduk negeri terhadap calon yang telah memenuhi persyaratan (Pasal 6 ayat 1 Perda Nomor 03 Taun 2006) Pemilihan kepala pemerintah negeri bersifat langsung, umum, bebas, rahasia dan adil (Pasal 6 ayat 2). Pemilihan Kepala Pemerintah Negeri dilaksanakan melalui beberapa tahap yaitu, penjaringan, penyaringan, penetapan calon, penetapan tanda gambar, kampanye, pemilihan/pemungutan suara dan penetapan calon terpilih (Pasal 7). Ini berarti bahwa sistem pemilihan yang diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 03 Tahun 2006 telah memenuhi unsur-unsur dan prinsip-prinsip demokrasi di Indonesia.

Untuk menyelenggarakan pemilihan kepala pemerintah negeri, Badan Saniri Negeri membentuk Panitia Pemilihan. Saniri Negeri adalah Lembaga/Badan yang merupakan perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negeri dan sebagai unsur penyelenggara pemerintah negeri, berfungsi sebagai badan legislatif yang bersama-sama kepala pemerintahan negeri membentuk peraturan negeri, mengawasi pelaksanaan tugas dari kepala pemerintah negeri serta merupakan badan yang mendampingi kepala pemerinta negeri dalam memimpin negeri sesuai tugas dan wewenang yang dimilikinya.

Jabatan Kepala Pemerintah Negeri merupakan hak dari matarumah/keturunan tertentu untuk menentukan berdasarkan musyawarah matarumah/keturunan. Kekhususan berdasarkan adat istiadat dan hukum adat dimana hak untuk menjadi Kepala Pemerintah Negeri merupakan hak dari matarumah/keturunan tertentu yang harus dijunjung tinggi dalam kaitan dengan pengakuan eksistensi Masyarakat Hukum Adat sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UUD 1945 maupun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Akan tetapi realita dalam masyarakat hukum adat di Kabupaten Maluku Tengah menunjukan adanya pengakuan matarumah/keturunan yang berhak menjadi Kepala Pemerintah Negeri Lebih dari satu. Oleh karena itu khusus pada negeri yang dimana matarumah/keturunan yang berhak menjadi Kepala Pemerintah Negeri itu tunggal (hanya satu) maka hasil musyawarah matarumah/keturunan dapat ditetapkan menjadi Kepala Pemerintah Negeri oleh Saniri Negeri.

Ruang demokrasi dimana rakyat berhak menentukan Kepala Pemerintah Negerinya terbuka melalui pemilihan, apabila matarumah/keturunan yang berhak menjadi Kepala Pemerintah Negeri merupakan matarumah/keturunan yang lebih dari satu berdasarkan hasil musyawarah matarumah/keturunan sesuai Peraturan yang berlaku. Prosesi pelantikan Kepala Pemerintah Negeri menjadi urgen dalam konteks menghidupkan adat istiadat dari Negeri maupun dalam konteks pendidikan, pewarisan nilai-nilai adat istiadat dan hukum adat serta pariwisata, maka prosesi pelantikan kepala pemerintah negeri itu dilakukan. Oleh karena itu, musyawarah matarumah/keturunan dan pemilihan kepala Pemerintah Negeri perlu dilakukan dan perlu ditetapkan dalam Peraturan Negeri.

Sistem pemilihan kepala pemerintah negeri secara langsung merupakan langkah politik yang sangat strategis untuk mendapatkan legitimasi politik dari rakyat dalam kerangka kepemimpinan kepala pemerintahan negeri. Legitimasi adalah komitmen untuk mewujudkan nilai-nilai dan nerma-norma yang berdimensi hukum, moral dan sosial. Jelasnya, seorang kepala pemerintah negeri yang terpilih dengan prosedur dan tata cara yang sesuai dengan peraturan yang berlaku dengan tetap memperhatikan kekhasan dari masing-masing daerah, melalui preses kampanye  dan pemilihan yang bebas, fair dan adil sesuai dengan norma-norma sosial dan etika politik, didukung oleh suara terbanyak dari seluruh pemilih secara objektif, dan menjalankan tugas dan fungsi kepala pemerintahan negeri sesuai dengan komitmen dalam proses kampanye dan pemilihan.

 

Penutup

Kekhususan berdasarkan adat istiadat dan hukum adat dimana hak untuk menjadi Kepala Pemerintah Negeri merupakan hak dari matarumah/keturunan tertentu yang harus dijunjung tinggi dalam kaitan dengan pengakuan eksistensi Masyarakat Hukum Adat sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UUD 1945 maupun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Ruang demokrasi dimana rakyat berhak menentukan Kepala Pemerintah Negerinya terbuka melalui pemilihan, apabila matarumah/keturunan yang berhak menjadi Kepala Pemerintah Negeri merupakan matarumah/keturunan yang lebih dari satu berdasarkan hasil musyawarah matarumah/keturunan sesuai Peraturan yang berlaku.

Dengan sistem pemilihan secara langsung oleh masyarakat negeri maka, masyarakat memiliki kesempatan dan kedaulatan untuk menentukan Kepala Pemerintah Negeri berdasarkan peraturan yang berlaku, sebagaimana rakyat memilih presiden dan wakil presiden, dan anggota DPD, DPR dan DPRD. Pemilihan kepala pemerintah negeri secara langsung juga merupakan jawaban atas tuntutan aspirasi masyarakat negeri di Kabupaten Maluku Tengah.

 

 

Daftar Bacaan

 

Endang Sudardja, Politik Kenegaraan, Karunika, Jakarta, 1986

Mochtar Mas’oed, Negara, Kapital dan Demokrasi, cetakan kedua, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999

Mahfud MD, Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, Gama Media, Yogyakarta, 1999

Ruslan Abdulgani, Beberapa Catatan tentang Pengamalan Pancasila dengan Penekanan kepada Tinjauan Sila ke-4 yaitu Demokrasi Pancasila, dalam Demokrasi Indonesia Tinjauan Politik, Sejarah, Ekonomi-Koperasi dan Kebudayaan, Yayasan Widya Patria, Yogkarta, 1995

Ubaidillah U , Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, IAIN Jakarta Press, Jakarta, 2000

Ziwar Effendi, Hukum Adat Ambon-Lease, Pradnya Paramita, Jakarta, 1987

 


[1] Tulisan ini diterbitkan dalam sebuah buku KOMPILASI PEMIKIRAN TENTANG DINAMIKA HUKUM DALAM MASYARAKAT (Memperingati Dies Natalis ke -50 Universitas Pattimura Tahun 2013), 2013

[2] Mochtar Mas’oed, Negara, Kapital dan Demokrasi, cetakan kedua, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999, hlm 6.

[3] Endang Sudardja, Politik Kenegaraan, Karunika, Jakarta, 1986,  hlm: 19

[4] Ruslan Abdulgani, Beberapa Catatan tentang Pengamalan Pancasila dengan Penekanan kepada Tinjauan Sila ke-4 yaitu Demokrasi Pancasila, dalam Demokrasi Indonesia Tinjauan Politik, Sejarah, Ekonomi-Koperasi dan Kebudayaan, Yayasan Widya Patria, Yogkarta, 1995, hlm:1

[5] Moh Mahfud MD, Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, Gama Media, Yogyakarta, 1999, hlm: 8

[6] U. Ubaidillah, , Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, IAIN Jakarta Press, Jakarta, 2000, hlm:166-169

[7] Ziwar Effendi, Hukum Adat Ambon-Lease, Pradnya Paramita, Jakarta, 1987, hal. 40

 

Tinggalkan Balasan