URGENSI PERATURAN DAERAH DALAM PENATAAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN NEGERI DI MALUKU

Pemerintahan Dan Hukum Adat

URGENSI PERATURAN DAERAH DALAM PENATAAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN NEGERI DI MALUKU[1]

Victor Juzuf Sedubun

 

 

Pendahuluan

Persekutuan masyarakat hukum adat di Maluku sejak dahulu eksistensinya sangat berpengaruh dalam berbagai aspek, baik pemerintahan, ekonomi, pengelolaan dan pengendalian sumber daya alam dan sebagainya. Secara khusus untuk wilayah-wilayah pemerintahan tertentu dikenal beberapa istilah untuk penyebutan desa, negeri dikenal di Maluku Tengah, Ohoi dikenal di Kepulauan Kei dan istilah-isitilah lainnya yang dikenal di berbagai daerah di Maluku.

Kata desa berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu deca, seperti dusun, negara, negari, nagaro, negory (nagarom), yang berarti tanah air, tanah asal atau tanah kelahiran, tanah leluhur yang merujuk pada satu kesatuan hidup dengan satu kesatuan norma serta memiliki batas yang jelas.[2] Desa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah: (1) sekelompok rumah di luar kota yang merupakan kesatuan kampong, dusun; (2) udik atau dusun, dalam arti daerah pedalaman sebagai lawan dari kota; (3) tempat, tanah, daerah.[3] Menurut penulis, dalam pendekatan perundang-undangan, penamaan negeri, ohoi dan sebutan lainnya untuk pemerintahan tingkat dalam kesatuan masyarakat terkecil di Maluku dapat diartikan sama dengan pengetian desa. Hal ini sesuai dengan Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disngkat UU Nomor 32 Tahun 2004).

Dalam pendekatan geografi, desa dimaknai sebagai tempat atau daerah dimana penduduk berkumpul dan hidup bersama dan mereka dapat mengunakan lingkungan setempat untuk memenuhi kebutuhan mereka. Dalam perspektif historis, desa merupakan embrio bagi terbentuknya masyarakat politik dan pemeritnahan suatu negara. Jauh sebelum negara-bangsa modern terbentuk, entitas sosial sejenis desa atau masyarakat adat dan lain sebagainya telah menjadi institusi sosial yang memiliki posisi penting. Desa-desa yang beragam di seluruh Indonesia sejak dulu merupakan basis penghidupan masyarakat setempat, yang mempunyai otonomi dalam mengelola tatakuasa dan tatakelola atas penduduk, pranata lokal dan sumber daya ekonomi.[4]

Desa (negeri, ohoi, dan sebagainya yang dikenal di Maluku) memiliki susunan pemerintahan sendiri. Penataan pemerintahan negeri di Maluku tidak dapat dilepaspisahkan dari dasar hukum yang menjadi acuan penataan pemerintahan negeri itu sendiri. Penyelenggaraan pemerintahan Negeri (untuk penulisan ini, penulis menggunakan istilah negeri untuk tingkat pemerintahan setingkat desa di Maluku) peranan pengaturan oleh peraturan perundang-undangan sangat diperlukan, mengingat Negeri sebagai sub sistem pemerintahan nasional.

Untuk itu perlu mengkaji urgensi peran peraturan perundang-undangan (yang dalam penulisan ini lebih dikhususkan pada bentuk produk hukum Peraturan Daerah) dalam menata penyelenggaraan pemerintahan Negeri di Maluku.

 

Pengaturan Negeri Dalam Perundang-undangan

Pemerintahan Negeri sebagai sub sistem pemerintahan nasional dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang memiliki wewenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya. Pengaturan tentang desa terdapat dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desapraja (selanjutnya disingkat UU Nomor 19 Tahun 1965) menyebutkan bahwa “Yang dimaksud dengan Desapraja dalam Undang-undang ini adalah kesatuan masyarakat hukum yang tertentu batas-batas daerahnya, berhak mengurus rumah tangganya sendiri, memilih penguasanya dan mempunyai harta benda sendiri.”

Pasal 1 huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa (selanjutnya disngkat UU Nomor 5 Tahun 1979) menyatakan bahwa:

“Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia”

Menurut penulis, konsep desa menurut UU Nomor 5 Tahun 1979 telah menghilangkan konsep negeri untuk kesatuan masyarakat hukum di Maluku. UU Nomor 5 Tahun 1979 tidak mengenal adanya penyebutan lain terhadap desa, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 35 ayat (1) Ketentuan Peralihan yang menyebutkan bahwa: “desa atau yang disebut dengan nama lainnya yang setingkat dengan Desa yang sudah ada pada saat mulai berlakunya undang-undang ini dinyatakan sebagai Desa menurut Pasal 1 huruf a”.

Hal ini berarti bahwa setelah berlakunya UU Nomor 5 Tahun 1979, maka semua kesatuan masyarakat hukum yang setingkat dengan Desa diubah namanya menjadi Desa. Selain itu struktur kelembagaan kesatuan masyarakat hukum yang telah ada juga mengalami perubahan. Kondisi ini berlaku sampai dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disingkat UU Nomor 22 Tahun 1999).

UU Nomor 22 Tahun 1999 memberikan pengertian baru tentang desa. Ketentuan Umum, Pasal 1 huruf o UU Nomor 22 Tahun 1999 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 (selanjutnya disingkat PP Nomor 52 Tahun 2000), menyatakan:

“Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten.”

Sedangkan pengertian pemerintahan desa menurut PP Nomor 52 Tahun 2000 adalah “penyelenggara pemerintahan di desa yang terdiri dri Kepala Desa dan Perangkat Desa”. Ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disingkat UU Nomor 32 Tahun 2004) yang menggantikan UU Nomor 22 Tahun 1999, Pasal 1 angka 12, juncto Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2005 tentang Desa (selanjutnya disingkat PP Nomor 75 Tahun 2005) menyatakan:

“Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-asul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Sedangkan pemerintahan Desa menurut PP Nomor 72 Tahun 2005 adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ketentuan di atas bermakna bahwa penamaan desa dalam konteks adat istiadat di Maluku, yang dikenal dengan sebutan negeri, ohoi dan sebagainya telah diakui dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 32 Tahun 2004. Eksistensi pemerintahan desa juga diatur dalam Pasal 202 sampai dengan Pasal 216 UU Nomor 32 Tahun 2004. Pasal-pasal tersebut secara umum mengatur tentang penataan pemerintahan desa yang meliputi tugas dan wewenang kepala desa, tugas dan wewenang badan permusyawaratan desa, keuangan desa, pembentukan badan usaha milik desa, dan tugas pembantuan.

Sehingga berbicara mengenai desa, secara yuridis dan politis dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat dua konsep tentang desa, yaitu: pertama, desa yang diakui, yakni masyarakat hukum adat yang disebut dengan nama-nama setempat dan; kedua, yakni desa yang dibentuk oleh pemerintah berdasarkan ketentuan perundang-undangan. Dengan demikian penulis merasa keliru jika terhadap penamaan negeri harus menggunakan kata “kembali” seperti judul Peraturan Daerah Provinsi Maluku Nomor 14 Tahun 2005 tentang Penetapan Kembali Negeri Sebagai Kesatuan Mayarakat Hukum Adat Dalam Wilayah Pemerintahan Provinsi Maluku (selanjutnya disngkat Perda Provinsi Maluku Nomor 14 Tahun 2005). Lebih tepat jika kata ”kembali” dihilangkan sehingga menjadi ”Peraturan Daerah Provinsi Maluku Nomor 14 Tahun 2005 tentang Penetapan Negeri Sebagai Penamaan Kesatuan Mayarakat Hukum Adat Dalam Wilayah Pemerintahan Provinsi Maluku”, karena kata ”kembali” dalam judul Perda diatas bermakna bahwa negeri itu pernah hilang atau mati. Negeri tidak pernah hilang atau mati, karena walaupun penamaan Negeri diubah menjadi Desa, tetapi dalam praktek kehidupan keseharian masyarakat hukum di Maluku, praktek adat istiadat masih tetap hidup.

Pengaturan di atas juga mengandung arti bahwa pengakuan, penghormatan, eksistensi dan penyelenggaraan pemerintahan desa, tidak dapat dipisahkan dari peraturan perundang-undangan lebih tinggi yang mengatur dan mengesahkan wewenang yang berkaitan dengan pemerintahan desa. Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tentunya mengacu pada jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disingkat UU Nomor 12 Tahun 2011).

 

Urgensi Peraturan Daerah Dalam Penataan Pemerintahan Negeri

Peraturan Daerah (selanjutnya disingkat Perda) sebagai bagian integral dari peraturan perundang-undangan (hukum tertulis), pada tataran proses pembentukan terikat pada azas legalitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 sampai dengan Pasal 147 UU Nomor 32 Tahun 2004, tetapi juga perlu mencermati nilai-nilai hukum adat di daerah bersangkutan.[5] Selain itu pula pembentukan produk hukum di daerah tetap harus mengacu kepada jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 10 Tahun 2004 joncto UU Nomor 12 Tahun 2011.

Sebelum berlakunya UU Nomor 12 Tahun 2011, jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 2004. Pasal 7 UU Nomor 10 Tahun 2004 menyatakan:

(1)   Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut :

a.    Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b.   Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

c.    Peraturan Pemerintah;

d.   Peraturan Presiden;

e.    Peraturan Daerah.

(2)   Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi:

a.    Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur;

b.   Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota;

c.    Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.

(3)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan Peraturan Desa/peraturan yang setingkat diatur dengan Perataran Daerah kabupaten/kota yang bersangkutan

Sebelum lahirnya UU Nomor 10 Tahun 2004, terdapat berbagai macam ketentuan yang berkaitan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan termasuk teknik penyusunan peraturan perundang-undangan yang diatur secara tumpang tindih baik peraturan dari masa kolonial maupun yang dibuat setelah Indonesia merdeka. UU Nomor 10 Tahun 2004 merupakan amanat dari Pasal 22A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 6 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, dimana dimaksudkan untuk membentuk  suatu ketentuan yang baku mengenai tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan.

UU Nomor 10 Tahun 2004 kemudian diganti dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 yang memberikan nuansa baru dalam pembentukan produk hukum, baik produk hukum yang wewenang pembentukannya berada di kelembagaan negara pada tingkat pusat maupun yang wewenang pembentukannya berada pada kelembagan negara di daerah. Mengapa? Karena dengan kehadirannya telah memberikan landasan yuridis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan baik di tingkat pusat maupun daerah, sekaligus mengatur secara lengkap dan terpadu baik mengenai sistem, asas, jenis dan materi muatan peraturan perundang-undangan, persiapan, pembahasan dan pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan maupun partisipasi masyarakat.

Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 menyebutkan bahwa jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan, yaitu:

a)        Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b)        Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c)        Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

d)       Peraturan Pemerintah;

e)        Peraturan Presiden;

f)         Peraturan Daerah Provinsi; dan

g)        Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan Negeri, maka Perda memiliki peranan yang sangat urgen. Hal ini terlihat dalam ketentuan Pasal 203, Pasal 208 dan Pasal 216 UU Nomor 32 Tahun yang secara umum menyatakan bahwa penyelenggaraan pemerintahan negeri harus diatur dalam suatu Perda yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan di atasnya.

Pasal 203 mengatur tentang pelaksanaan pemilihan kelapa desa atau Raja yang harus diatur dalam Perda yang berpedoman pada Peraturan Pemerintah. Ketentuan ini dinyatakan dalam ayat (1) dan ayat (3) yang menyatakan bahwa:

(1)     Kepala desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 ayat (1) dipilih langsung oleh dan dari penduduk desa warga negara Repablik Indonesia yang syarat selanjutnya dan tata cara pemilihannya diatur dengan Perda yang berpedoman kepada Peraturan Pemerintah.

(3)     Pemilihan kepala desa  dalam kesatuan masyarakat  hukum  adat   beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan yang diakui keberadaannya berlaku ketentuan hukum adat setempat yang ditetapkan dalam Perda dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah.

Pasal 208 mengatur tentang tugas dan kewajiban kepala desa atau Raja. Pasal 208 menyatakan bahwa: “Tugas dan kewajiban kepala desa  dalam memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa diatur lebih lanjut dengan Perda berdasarkan Peraturan Pemerintah.”

Peranan Perda sebagai dasar penyelenggaraan pemeritnahan Negeri di Maluku sangat jelas diatur dalam Pasal 216. Pasal 216 menyatakan bahwa:

(1)   Pengaturan lebih lanjut mengenai desa ditetapkan da1am  Perda   dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah.

(2)   Perda, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib mengakui dan menghormati hak, asal-usul, dan adat istiadat desa

Terhadap eksistensi produk hukum yang dihasilkan oleh Pemerintah Negeri, maka ketentuan Pasal 8 UU Nomor 12 Tahun 2011 dapat menjadi dasar hukum kekuatan produk hukum tersebut. Pasal 8 UU Nomor 12 Tahun 2011 menyatakan bahwa:

(1)   Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

(2)   Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

Pengaturan di atas bermakna  bahwa keberadaan jenis peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (1) diakui keberadaannya apabila diperintahkan pembentukkannya oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Pemerintah Daerah (selanjutnya Pemda) dalam membentuk Perda tentang penyelenggaraan pemerintahan Negeri, harus dapat mengakomodasi kepentingan masyarakat Negeri. Pemda menyediakan bagi rakyat daerahnya sesuai dengan kebutuhan dan kondisi khusus di daerah, sepanjang masih dapat dipertanggungjawabkan oleh Pemda. Hal ini sesuai dengan pendapat Andrew Arden bahwa:

Local government does not exist in a vacuum. Its purpose is to provide for the peoples of their areas that which is or may not be provided by others, whether the private sector or indeed other organs of government (central and appointed bodies with central or local governmental functions). Accordingly, local government is an essential part of the organisation of the state as a whole and, as such, is both regulated by, and accountable to, central government, with which and with other bodies its functions co-exist”.[6]

Hal ini berarti bahwa Peraturan Negeri (selanjutnya disingkat Perneg) diakui eksistensinya apabila pembentukannya diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Di sisi lain, materi muatan Perneg tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan masyarakat negeri.

 

Penutup

Pengakuan terhadap eksistensi desa atau sebutan lainnya tercantum dan UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 32 Tahun 2004, sedangkan pengakuan terhadap eksistensi Peraturan Negeri sebagai produk hukum yang ada dalam jenis dan hierarkis peraturan perundang-undangan diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011. Namun keabsahan penyelenggaraan pemerintahan Negeri dan Peraturan Negeri harus diatur dalam Perda. Perda Provinsi Maluku Nomor 14 Tahun 2005 merupakan payung hukum penyelenggaraan pemerintahan Negeri di Maluku. Dengan adanya Perda Provinsi Maluku Nomor 14 Tahun 2005, semua Kabupaten/Kota dapat membentuk Perda masing-masing untuk mengakomodir penyebutan kesatuan masyarakat hukum setingkat desa pada wilayah masing-masing. Dengan demikian, Perda memiliki peranan yang sangat urgen dalam penyelenggaraan pemerintahan Negeri dan pembentukan Peraturan Negeri.

 

 

DAFTAR BACAAN

Arden, Andrew. 2008. Local Government Constitutional Law and Administrative Law, Thompson Sweet&Maxwell. London.

Geertz, Clifford. 2000. The Theater State in Nineteeth –Century Bali, yang diterjemahkan sebagai Negara Teater, Kerajaan-Kerajaan di Bali Abad Kesembilan Belas. dalam Suhartono. 2000. Politik Lokal. Lapera Pustaka Utama. Yogyakarta.

Kurnia, Mahendra Putra, dkk. 2007. Pedoman Naskah Akademik Perda Partisipatif. Kreasi Total Media. Yogyakarta.

Sukriono, Didik. 2010. Pembaharuan Hukum Pemerintah Desa, Politik Hukum Pemerintahan Desa di Indonesia. Setara Press, Pusat Kajian Konstitusi Universitas Kanjuruhan. Malang.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi III. Cet. I. Balai Pustaka. Jakarta.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desapraja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 84; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2779).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2779).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4455).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).

Peraturan Daerah Provinsi Maluku Nomor 14 Tahun 2005 tentang Penetapan Kembali Negeri Sebagai Kesatuan Mayarakat Hukum Adat Dalam Wilayah Pemerintahan Provinsi Maluku (Lembaran Daerah Provinsi Maluku Tahun 2005 Nomor 14).

 


[1] Tulisan ini diterbitkan dalam sebuah buku KOMPILASI PEMIKIRAN TENTANG DINAMIKA HUKUM DALAM MASYARAKAT (Memperingati Dies Natalis ke -50 Universitas Pattimura Tahun 2013), 2013

[2]Clifford Geertz.The Theater State in Nineteeth –Century Bali, yang diterjemahkan sebagai Negara Teater, Kerajaan-Kerajaan di Bali Abad Kesembilan Belas. dalam Suhartono. 2000. Politik Lokal. Lapera Pustaka Utama. Yogyakarta. h. 10.

[3]Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi III. Cet. i. Balai Pustaka. Jakarta. h. 66.

[4]Didik Sukriono. 2010. Pembaharuan Hukum Pemerintah Desa, Politik Hukum Pemerintahan Desa di Indonesia. Setara Press, Pusat Kajian Konstitusi Universitas Kanjuruhan. Malang. h. 63.

[5] Mahendra Putra Kurnia, dkk. 2007. Pedoman Naskah Akademik Perda Partisipatif. Kreasi Total Media. Yogyakarta. h. 21.

[6] Andrew Arden. Local Government Constitutional Law and Administrative Law, Thompson Sweet&Maxwell, London, 2008. p. 84

 

Tinggalkan Balasan