Profesionalisme KPUD dan Bawaslu Daerah Dalam Mewujudkan Pemilukada yang berkualitas

Hukum Tata Negara / Hukum Administrasi Negara

Profesionalisme KPUD dan Bawaslu Daerah Dalam

Mewujudkan Pemilukada yang berkualitas[1]

 

Jantje Tjiptabudy

Fakultas Hukum Univ. Pattimura-Ambon

 

A.    Pendahuluan.

Pemilihan umum secara langsung oleh rakyat merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan Negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Thn 1945. Didalam UUD NRI Thn 1945 pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa  “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”penyelenggaraan pemilihan umum secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dapat terwujud apabila dilaksanakan oleh penyelenggara pemilihan umum yang mempunyai integritas, profesionalisme dan akuntabilitas.

 Akuntabilitas berarti setiap pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan pemilu harus dipertanggungjawabkan pelaksanaan tugas dan kewenangannya kepada public baik secara politik maupun secara hukum. Bertanggungjawab secara politik berarti setiap unsur yang terlibat dalam penyelenggaraan Pemilu mempunyai kewajiban menjelaskan kepada masyarakat fungsinya dan alasan tindakan yang diambil. Bertanggungjawab secara hukum berarti setiap pihak yang diduga melakukan pelanggaran hukum perihal asas-asas pemilu yang demokratis wajib tunduk pada proses penegakan hukum (ADAB, 2003 : 8-9). Pertanggungjawaban secara politik maupun secara hukum dapat terlaksana dengan baik apabila penyelenggara pemilu memiliki komitment yang kuat atas integritas dan profesionalisme dalam melaksanakan tugasnya.

Oleh karena itu salah satu prasyarat penting dalam penyelenggaraan Pemilu di Negara demokrasi adalah bahwa penyelenggaraan Pemilu dilaksanakan oleh lembaga yang mandiri dari pemerintah (Ahmad Nadir, 2005 : 156). Hal tersebut tertuang dalam Pasal 22 ayat (5) UUD NRI Thn 1945 yang menggariskan bahwa “pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri”

Amanat konstitusi tersebut untuyk memenuhi tuntutan perkembangan kehidupan politik, dinamika masyarakat dan perkembangan demokrasi menuntut penyelenggara pemilu yang prfesional dan memiliki kredibilitas yang dapat dipertanggungjawabkan, sehingga dapat menjadi tolak ukur pelaksanaan demokrasi sebagaimana dikatakan oleh Rannay (dalam Muhammad Asfar, 2006 :7) “No free election, no democracy

Khusus berkaitan dengan pelaksanaan Pemilu di daerah yang sering disebut dengan Pemilukada sejak era reformasi sekarang ini menunjukkan banyak persoalan.  Salah satu masalah yang mengemuka dalam pelaksanaan Pemilukada adalah keterlibatan penyelenggara pemilukada yang berpihak pada salah satu calon, hal ini menuai kritik dari berbagai pihak bahkan dari berbagai putusan DKPP menunjukkan bahwa keterlibatan penyelenggara pemilukada sehingga melahirkan putusan pemecatan penyelenggara pemilukada baik itu KPU daerah maupun Panwas daerah. Hal ini diakui sendiri oleh KPU  yang disampaikan oleh  Komisioner KPU Ferry Kurnia Rizkiyansyah, yang menegaskan, hingga saat ini independensi komisoner KPU di daerah masih menunjukkan keberpihakan terhadap beberapa kandidat, ketiga moment Pilkada akan bergulir. Sekitar 90 persen komisioner belum menunjukkan perilaku sebagai lembaga penyelenggara yang bekerja tanpa kritikan juga sorotan dari berbagai pihak (Harian Ambon Ekspres, Rabu tanggal 31 Juli 2013).

Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar mengapa seleksi untuk menjadi komisioner KPU daerah maupun Bawaslu Daerah dengan tingkat kompetitif yang sangat tinggi, yang tentunya diharapkan menghasilkan KPU dan Bawaslu Daerah yang professional dalam menjalankan tugasnya, tetapi dalam kenyataannya  hampir 90 % pelaksanaan Pemilukada di Indonesia bermasalah, KPU Daerah maupun Bawaslu daerah tiba-tiba menjadi sangat tidak professional dalam menyelenggarakan Pemilukada yang berakibat terhadap rendahnya kualitas Pemilukada.

 

B.     Metode

Untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan dalam pengkajian ini, digunakan tipe pengkajian hukum normatif, dengan menggunakan 2 (dua) pendekatan yaitu pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep.

Cara pengumpulan bahan hukum dalam pengkajian ini dilakukan dengan inventarisasi dokumen melalui studi pustaka. Studi pustaka adalah  cara mencari bahan hukum atau data dengan mengkaji dokumen hukum, berupa buku-buku hukum, jurnal hukum dan ketentuan hukum, perundang-undangan serta peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait yang meliputi : (a) bahan hukum primer, (b) bahan hukum sekunder dan (c) bahan hukum tersier.

Metode yang digunakan dalam analisis adalah metode kualitatif.  Dengan metode kualitatif dilakukan analisis atau contempt of analisys, terhadap isi suatu ketentuan hukum yang berkaitan dengan profesionalisme KPU dan Bawaslu Daerah dalam mewujudkan Pemilukada yang berkualitas.

 

C.    Hasil dan Pembahasan

 

C.1. Pemilihan Kepala Daerah Dalam Sistem Demokrasi Era Reformasi

            Pemilukada merupakan sistem baru dalam episode perjalanan politik bangsa Indonesia seiring dengan pergantian rezim dari Orde Baru ke Orde Reformasi. Dalam era Reformasi semua kepala daerah baik itu untuk Gubernur maupun untuk bupati/walikota dilakukan pemilihan secara langsung atau yang sering disebut dengan demokrasi langsung. Praktek pemilihan secara langsung diyakini akan mampu mewujudkan pemerintahan yang lebih demokratis, serta terjadinya peningkatan percepatan kesejahteraan rakyat. Pemilihan secara langsung memberi ruang bagi masyarakat untuk menentukan sendiri pilihannya, sehingga akuntabilitas kandidat terpilih lebih mampu dipertanggungjawabkan. Disamping itu, Pemilukada langsung menjamin terjadinya sirkulasi elit-elit lokal sehingga potensi konflik anta relit dan abuse of power dapat diminimlisir.

            Smith (dalam Gregorius Sahdan (2008 : 51) menegaskan bahwa pemilihan secara langsung bagi kepala daerah dan DPRD merupakan syarat utama terwujudnya pemerintahan daerah yang akutabel dan responsive, serta terbangunnya political equality di tingkat lokal. Meskipun dalam realitasnya tidak semua kepala daerah yang dipilih secara langsung akan lebih akuntabel dan responsive pada permasalahan rakyat bila dibandingkan dengan kepala daerah yang dipilih oleh DPRD, namun secara procedural pemilihan kepala daerah secara langsung akan lebih baik dari sistem tidak langsung (indirect elected).

            Dalam konteks ini akan muncul implikasi yaitu ketika Pemilukada langsung hanya dilihat sebagai bentuk pemenuhan dan tuntutan regulasi dimana prosedur-prosedur demokrasi menjadi lebih penting dibandingkan substansi demokrasi itu sendiri, maka akan sangat terbuka kemungkinan Pemilukada diwarnai oleh kompetisi antar elit dan tawar menawar kepentingan. Sehingga kekuatan-kekuatan politik informal akan memainkan peranan penting tidak daja dalam penentuan kandidat di internal partai politik maupun juga pada proses pemilihan. 

            Proses demokrasi yang sedang berjalan masih banyak dipandang sebagai tatanan aturan dan mekanisme semata, tetapi belum sepenuhnya mewujudkan pemerintahan yangbenar-benar aspiratif dan membuka ruang partisipasi rakyat secara luas. Oleh karena itu, demokrasi yang telah berhasil diwujudkan itu sering disebut sekadar demokrasi mekanis, belum mencapai demokrasi substantif (Janedjri M. Gaffar, 2012 : 43). Lebih lanjut menurut Gaffar (2012 :35) pada saat demokrasi dilihat hanya sebagai cara, maka demokrasi hanya dilihat sebagai mekanisme semata. Ia terlepas dari nilai dan prinsip dasar yang melandasi lahir dan berkembangnya konsep dan praktik demokrasi. Akibatnya, praktik demokrasi yang tersisa menjadi sekedar mekanisme untuk mendapatkan legitimasi kekuasaan, yang dilakkukan dengan menghalalkan segala cara, termasuk perbuatan yang bertentangan dengan nilai dan prinsip demokrasi.

            Demokrasi mekanis  disebut Dahl sebagai ‘demokrasi poliarkal’ (polyarchal democracy). Dengan kata lain demokrasi ditemtukan oleh keberadaan proses-proses tersebut. Namun kualitas dari proses tersebut tidak disebut oleh Dahl. Padahal dimensi kualitas itu boleh jadi justru menjadi penentu dan pembanding apakah suatu Negara lebih demokratis daripada Negara lain (Yudi Latif, 2011 : 456).

            Oleh karena itu, demokrasi memerlukan lebih dari sekedar proses institusional, yakni tersedia apa yang disebut Alexis de Tocquaville sebagai ‘kesetaraan kondisi’ demokrasi sejatinya memerlukan kondisi politik, sosial, dan ekonomi demi kelangsungannya.    Alexis de Tocquaville menegaskan bahwa demokrasi merupakan suatu subyek multidimensional, yang meliputi aspek-aspek politik, moral, sosiologis, ekonomis, antropologis dan psikologis (Yudi Latif, 2011 : 456).

            Hanya saja, dikebanyakan Negara berkembang (termasuk Indonesia) Pemilukada seringkali bukanlah parameter yang akurat untuk mengukur demokratis tidaknya suatu sistem politik. Artinya ada dan tidaknya Pemilukada di suatu Negara tidak`secara otomatis menggambarkan ada dan tidaknya kehidupan demokrasi politik di Negara tersebut. Dalam konteks semacam ini, keberadaan Pemilukada sebagai parameter demokrasi bukanlah terletak pada ada dan tidaknya Pemilukada, namun lebih pada tingkat pelaksanaan Pemilukadanya. Artinya, semakin Pemilukada itu dijalankan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi seperti dijalankan secara free and fair maka semakin demokratis suatu Negara.

            Ada beberapa alasan mengapa Pemilukada yang free and fair sangat penting bagi kehidupan demokrasi di suatu Negara, khususnya di Indonesia.  Pertama, melalui Pemilukada yang free and fair memungkinkan adanya suatu transfer kekuasaan secara damai. Kedua, melalui Pemilukada yang free and fair ditemukan cara bagaimana konflik-konflik tersebut, khususnya yang berkaitan dengan konflik mempertahankan dan memperebutkan kekuasaan.

            Dalam konteks ini pertanyaan yang perlu kita jawab adalah parameter apa yang digunakan untuk mengukur Pemilukada yang free and fair atau kompetitif. Pada dasarnya tidak ada kriteria standar yang berlaku secara universal untuk mengukur atau mengidentifikasi apakah suatu Pemilukada itu telah benar-benar free and fair. Tetapi secara umum ada beberapa kondisi minimal yang harus dipenuhi untuk dapat menentukan suatu Pemilukada itu telah berlangsung dengan free and fair. Menurut Ozbudun ada tiga kriteria untama untuk mengukur apakah proses Pemilukada berjalan dengan free,  fair   and and competitive. Ketiga kriteria tersebut adalah :

            Pertama, adanya hak pilih universal bagi orang dewasa (universal adult suffrage). Artinya, setiap warga Negara dewasa mempunyai hak pilih yang sama tanpa membedakan jenis kelamin, agama, suku, etnis, faham, keturunan, kekayaan dan semacamnya, kecuali mereka dicabut haknya berdasarkan undang-undang; hak pilih universal ini pada umumnya dapat difungsikan untuk dua pemilihan : (1) pemilihan para pejabat eksekutif, baik di pusat maupun di daerah; dan (2) pemilihan para wakil untuk lembaga perwakilan rakyat atau legislative (Sigit Putranto, 1981).

            Kedua, adanya proses pemilihan yang adil (fairness of voting). Untuk mengukur apakah suatu Pemilukada dijalankan secara fair atau tidak, dapat diamati melalui beberapa instrument berikut : (1) adanya jaminan kerahasiaan dalam proses pemilihan atau pencoblosan (secret ballot), yang harus diejawantahkan dalam undang-undang Pemilukada; (2) adanya jaminan bahwa prosedur penghitungan suara dilakukan secara terbuka (open counting), dimana semua warga Negara mempunyai akses dan berhak menyaksikan prosesnya; (3) tidak ada kecurangan-kecurangan dalam pemilihan atau tahapan pemilihan, baik ditahapan penaftaran, kampanye, pencoblosan sampai pada tahapan perhitungan suara (absence of electrol fround); (4) tidak ada kekerasan, baik kekerasan politik yang dilakukan oleh aparat keamanan/pemerintah, kandidat peserta pemilukada, maupun para pemilih (absence of violence); dan (5) tidak adanya intimidasi, khususnya dalam proses pemberian suara atau pencoblosan (absence of intimidations).

            Ketiga, adanya hak khusus bagi partai politik untuk mengorganisasi dan mengajukan para kandidat, sehingga para pemilih mempunyai banyak pilihan untuk memilih diantara para calon yang berbeda baik secara kelompok maupun program-programnya. Pelaksanaan Pemilukada yang free and fair bukan hanya dapat menjamin legitimasi politik dan kredibilitas pemerintahan hasil Pemilukada, tetapi juga dapat menumbuhkan kesadaran politik warga, yang pada akhirnya mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap sistem politik yang sedang berjalan.  

 

 

C.3. Profesionalisme KPUD dan Bawaslu Daerah Dalam Menyelenggarakan Pemilukanda

            Menurut Gregorius Sahdan (2008 : 14-15), untuk mengukur kapasitas KPUD dan Bawaslu Daerah sebagai penyelenggara, dapat dilakukan dengan menggunakan tiga kuadran utama yaitu, (1) kapasitas regulative; (2) implementatif dan (3) administratif.

            Kapasitas regulative dilihat dari kemampuan anggota KPUD dan Bawaslu Daerah dalam menerjemahkan dan dalam memahami undang-undang dan peraturan lainnya yang berhubungan dengan Pemilukada. Kesalahan dan kekeliruan dalam menerjemahkan dan memahami regulasi, menimbulkan akibat yang sangat fatal, tidak hanya bagi KPUD maupun Bawaslu Daerah, tetapi terhadap seluruh komponen Pemilukada seperti partai politik, kandidat kepala daerah, pemilih/massa.

            Kapasitas implementatif, diukur dengan melihat sejauhmana kemampuan KPUD dalam menjalankan Pilkada serta Bawaslu Daerah dalam melakukan pengawasan, mulai dari masa persiapan dan penetapan pemilih, sampai dengan masa pelantikan calon terpilih. Termasuk dalam kapasitas implementasi adalah bagaimana KPUD mendistribusikan logistik Pemilukada secara cepat, akurat dan sesuai dengan waktu yang butuhkan.

            Kapasitas administratif diukur dari kemampuan KPUD dalam memutakhirkan data pemilih, mengecek akurasi data kandidat kepala daerah, dan dalam menghitung perolehan suara dari masing-masing kandidat kepala daerah dalam Pemilukada. Dilain pihak Bawaslu Daerah dalam kapasitas administratif diukur dari kemampuannya melakukan pengawasan dalam pemutahiran data pemilih, pengawasan atas akurasi data kandidat kepala daerah, dan pengawasan dalam pemungutan suara sampai dengan penetapan hasil penghitungan suara masing-masing kandidat kepala daerah.

            Kalau kita melihat pada indikator tersebut terlihat bahwa kapasitas atau profesionalisme  KPU Daerah dan Bawaslu Daerah dalam melaksanakan tugasnya cukup professional bila berkaitan dengan pelaksanaan Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden tetapi jika yang dilaksanakan adalah Pemilukada maka KPU Daerah maupun Bawaslu Daerah seperti menjadi orang yang baru belajar menyelenggarakan Pemilu, keprofesionalismenya melorot pada titik yang paling rendah.

            Penyelenggaraan dan pelaksanaan Pemilukada yang prakteknya sarat dengan berbagai pelanggaran baik itu tindak pidana Pemilukada, pelanggaran administrasi, maupun kesalahan penetapan hasil penghitungan suara dengan motif penggelembungan suara atau kesalahan penghitungan suara menunjukkan bahwa KPU Daerah maupun Bawaslu Daerah kurang professional dalam penyelenggaraan Pemilukada. hal ini berakibat pada kepala daerah yang terpilih sering diragukan legitimasinya.

            Menurut pengkajian penulis banyaknya masalah dalam penyelenggaraan Pemilukada disebabkan oleh beberapa hal yaitu :

Pertama, Pada Pemilukada posisi KPU Provinsi atau Kabupaten/kota maupun Bawaslu daerah sebagai penyelenggara sementara KPU hanya berfungsi untuk melakukan supervisi. Dengan demikian maka tugas KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/kota maupun Bawaslu daerah menjadi benar-benar berat. Dengan demikian, pada pemilukada bupati/walikota, maka KPU Kabupaten/kota yang memiliki kewenangan penuh untuk membuat aturan main tata pelaksanaan Pemilukada, sementara fungsi supervisi diberikan kepada KPU Provinsi. Untuk Pemilukada Gubernur, KPU provinsi yang menyelenggarakan dengan supervisi dari KPU Pusat. Ketentuan KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota sebagai penyelenggara Pemilukada ini telah diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 pasal 57 ayat (1) yang menyebutkan “pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah diselenggarakan oleh KPUD…” . Persoalan disini bukan berkaitan dengan kapasitas  tetapi sudah masuk dalam ranah integritas karena sebagaimana kita ketahui bahwa kandidat calon kepala daerah sebagaian besar adalah incumbentatau pejabat yang berpengaruh yang tentu saja sangat berpengaruh terhadap kenetralan KPU Daerah maupun Bawaslu Daerah, apalagi ada hubungan baik yang terjalin sebelum menjadi calon kepala daerah.  

            Kedua, standar kinerja KPU yang meliputi recruitment sampai evaluasi. Disini persoalan yang paling mengemuka adalah sistem recruitment yang selama ini hanya melihat kepada kapasitas seseorang tampa melihat dengan baik rekam jejak terutama berkaitan dengan sikap moral calon komisioner KPU maupun Bawaslu Daerah seperti misalnya apakah yang bersangkutan selama ini selalu konsisten, apakah selama ini yang bersangkutan jujur dalam melakukan pekerjaan sebelumnya, apakah motivasi dalam hidupnya adalah mengejar kekayaan saja dan lain-lain sebagainya. Lemahnya integritas moral mempunyai pengaruh besar terhadap kehancuran sistem demokrasi kita.  Lihat saja bagaimana lembaga terhormat yang menjadi rumah dan dapurnya proses pemilhan kepala daerah ini, dibanyak tempat amblas secara memalukan dikarenakan dipecat karena pelanggaran kode etik oleh DKPP.

            Di Maluku dalam kasus pemilihan Gubernur 2013-2018 tercatat 5 (lima) anggota KPU Kabupaten, dan 3 (tiga) anggota Panwaslu Kabupaten dipecat serta 2 (dua) anggota KPU Provinsi mendapat teguran keras dari DKPP. Dilain pihak Mahkamah Konstitusi dengan Keputusan Nomor No. 92/PHPU.D – VII/2013 Mahkamah konstitusi (MK) mengabulkan sebagian besar permohonan yang diajukan oleh pasangan Herman Koedoebun – Daud Sangadji :

Pokok putusan MK :

          Pemungutan suara ulang diseluruh TPS yang ada di Kabupaten Seram Bagian Timur;

          Membatalkan berita acara rekapitulasi hasil penghitungan suara pemilihan yang tertuang dalam Keputusan KPU Provinsi Maluku Nomor 23/Kpts/KPU-Prov-028/VII/2013 tentang Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara tertanggal 4 Juli 2013;

          Membatalkan Keputusan KPU nomor 24 Kpts/KPU-Prov-028/VII/2013 tentang penetapan pemenang pertama dan kedua pemilihan umum gubernur dan wakil gubernur provinsi Maluku tahun 2013, tertanggal 4 Juli 2013

MK juga berpendapat sebagai penyelenggara pemilu KPU SBT dituntut bekerja secara professional dengan bersikap hati-hati, jujur dan netral dalam penyelenggaraan pemilihan umum.

Dalam fakta yang terungkap dalam persidangan, MK berkeyakinan bahwa banyak pelanggaran yang dibiarkan dan tidak terselesaikan dalam pelaksanaan pemungutan dan rekapitulasi suara di SBT. Bahkan sampai pada tingkat rekapitulasi oleh Termohon (KPU Provinsi Maluku) permasalahan tersebut nyata terjadi seperti terlihat dalam catatan-catatan kejadian khusus yang dituangkan dalam Berita Acara Rekapitulasi di Tingkat Provinsi (Model DC-KWK.KPU) dan risalah Rapat Dengan Pendapat antara DPRD Provinsi Maluku, KPU Provinsi Maluku, Bawaslu Maluku, dan kepolisian Daerah Provinsi Maluku tanggal 12 Juli 2013.

Menurut MK, hal tersebut membuktikan bahwa terdapat pelanggaran dan pengabaian atas prinsip-prinsip penyelenggaraan Pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil yang terjadi dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Maluku 2013 khususnya di Kabupaten SBT.

            Menurut penulis ini merupakan suatu tragedi kemanusiaan yang sangat ironi. Mengapa bisa terjadi demikian ?  lagi-lagi sumberdaya manusia kita yang rapuh. Rapuh dari semangat perjuangan dan idealisme. Apakah idealisme, etika dan moral berbangsa kita telah berada pada titik nadir terendah ? adalah persoalan yang perlu kita jawab bersama, tetapi dalam konteks kepercayaan masyarakat terhadap profesionalisme KPU Daerah dan Bawaslu Daerah dalam menyelenggarakan pemilihan kepala daerah benar-benar berada pada titik terendah. Sekretaris DPD Aliansi Indonesia Maluku (AIM) Ridwan Sangadji mengungkapkan bahwa saya hanya mengajak kita semua untuk melihat dan menilai dengan menentukan sebuah jawaban ‘ya’ bahwa pemilihan kepala daerah di Maluku dicederai oleh pihak penyelenggara, selanjutnya Sangaji mengeluarkan pernyataan yang ditujukan kepada penyelenggara Pemilukada sebagai berikut “anda beragama tapi tidak bertaqwa, anda berTuhan tapi tidak beriman. Sehingga betapa mudahnya anda menggadaikan kepercayaan yang telah diamanatkan oleh Tuhan, Negara dan rakyat dipundak anda semua” (Harian Rakyat Maluku Selasa 23 Juli 2013).

            Ketiga, belum adanya sistem reward and punish yang baku dan baik. Sistem penggajian anggota KPU Daerah maupun Bawaslu Daerah yang belum memadai jika dikaitkan dengan tanggung jawab yang begitu berat. Dikatakan berat karena dipundak mereka dipercayakan untuk menyelenggarakan pemilihan kepala daerah. Oleh karena harusnya ada reward yang pantas diterima oleh seorang anggota KPUD Daerah maupun Bawaslu Daerah. Disamping itu pula perlu ada punish yang jelas dan terukur pula sehingga perlu dirancang aturan mainnya  bagi anggota KPU Daerah maupun Bawaslu Daerah yang bermasalah sebelum masuk ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) perlu di punishment lebih dahulu.

  

D.    Kesimpulan dan Referensi

Penyelenggaraan Pemilukada yang sekaligus juga dilaksanakan oleh KPU Daerah dan Bawaslu Daerah selama ini dianggap kurang berkualitas yang disebabkan oleh banyaknya pelanggaran yang tidak terselesaikan. Hal ini disebebabkan karena penyelenggara Pemilu dalam melaksanakan Pemilukada kurang professional.

Kurang profesionalnya penyelenggaraan Pemilukada disebabkan oleh beberapa factor yaitu : (1) keterlibatan Komisioner KPU Daerah maupun Bawaslu Daerah yang ikut bermain untuk memenangkan salah satu calon Kepala Daerah; (2) sistem rekruitment   KPU daerah maupun Bawaslu daerah kurang memperhitungkan rekam jejak terutama berkaitan dengan sikap moral calon komisioner KPU maupun Bawaslu Daerah; (3) belum adanya sistem  reward and punish yang baku dan baik.

Untuk menjamin agar Pemilukada itu dapat diselenggarakan secara berkualitas maka perlu sistem rekruitment KPU Daerah dan Bawaslu daerah menjadikan standar moral sebagai salah satu kriteria utama bagi calon anggota KPU Daerah dan Bawaslu Daerah. Disamping itu pula perlu ditetapkan standar reward dan punish sehingga orang yang bekerja dengan sungguh-sungguh sesuai prinsip-prinsip pemilu dihargai sebagaimana mestinya dan sebaliknya yang salah haruslah dihukum.

  

Daftar Pustaka

 

Ahamd Nadir, 2005, Pilkada Langsung dan Masa Depan Demokrasi di Indonesia, Averroes Press, Malang.

ADAB, Buku-3, 2003, Lokakarya Nasional Bagi Fasilitator Lokal NTT, Maluku dan Papua Dalam Program Pendidikan Pemilih Menyongsong Pemilu 2004, Hotel Santika Bali, 4-8 Desember 2003.

Gregorius Sahdan dkk, 2008, Negara Dalam Pilkada-dari collapse state ke weak state, IPD Press, Yogyakarta.

Janedjri M. Gaffar, 2012,  Demokrasi Konstitusional – praktek ketatanegaraan Indonesia setelah perubahan UUD 1945, Konstitusi Pres, Jakarta.

————————- , 2012, Politik Hukum Pemilu, Konstitusi Pres, Jakarta.

Muhammad Asfar, 2006, Mendesain Manajemen Pilkada, Pustaka eureka – PusDeHam, Surabaya.

Yudi Latif, 2011, Negara Paripurna, Historis, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Sigit Putranto dan Kusumowidagdo, 1981, Sistem Pemilihan Umum Universal dan Parohial, Prisma (9).



[1] Disampaikan dalam Kegiatan Simposium Internasional Konstitusi dan Anti Korupsi 2013, 7-8 Oktober 2013, Pusat Studi Konstitusi dan Anti Korupsi (PUSAKA) Universitas Pelita Harapan – Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Tinggalkan Balasan