PENGELOLAAN LINGKUNGAN DALAM TRADISI MASYARAKAT DI KEPULAUAN LEASE

Pemerintahan Dan Hukum Adat

PENGELOLAAN LINGKUNGAN DALAM TRADISI MASYARAKAT

DI KEPULAUAN LEASE[1]

 

Merlien Irene Matitaputty

                          

Pendahuluan

Pengelolaan lingkukngan dapat diartikan sebagai suatu usaha secara sadar untuk memelihara dan atau memperbaiki mutu lingkungan agar kebutuhan dasar kita dapat terpenuhi dengan sebaik-baiknya. Untuk mendapatkan mutu lingkungan yang baik, usaha kita ialah memperbesar manfaat lingkungan dan atau memperkecil resiko lingkungan. Ini bukanlah hal yang mudah.

Pengelolaan lingkungan bukanlah suatu hal yang baru. Sejak manusia ada ia telah mulai melakukan pengelolaan lingkungan.Manusia pemburu harus mencari dan mengejar hewan buruannya. Hasilnya tidak dap dipastikan, kadang-kadang banyak dan kadang sedikit. Jenis hewan yang tertangkap pun tidak dapat dipastikan.Untuk dapat lebih memastikan atau memperbesar kementakan hasilnya, baik dalam jumlah maupun jenis hewan yang dapat ditangkapnya, manusia menjinakkan dan memelihara hewan tertentu sebagai ternak. Ia membuat dan memelihara padang perumputan. Ia menjaga pula ternaknya terhadap serangan hewan buas. Dengan perkembangan peternakan itu manfaat lingkungan dapat diperbesar dan resiko lingkungan diperkecil, sehingga kemungkinan terpenuhinya kebutuhan dasarnya dapat lebih terjamin. Hal serupa juga didapatkan dalam pertanian, perikanan dan perhutanan. Domestikasi, yaitu penjinakan dan pemeliharaan, tumbuhan dan hewan liar merupakan usaha pengelolaan yang dimulai sangat awal dalam kebudayaan manusia.

Manusia hidup dibumi tidak sendirian, melainkan bersmaan dengan makluk lain , yaitu tumbuhan, hewan dan jasad renik. Mahluk hidup yang lainnya itu bukanlah sekedar kawan hidup yang hidup bersama secara netral atau pasif terhadap manusia, melainkan hidup manusia itu terkait erat pada mereka. Tanpa mereka manusia tidaklah dapat hidup.Kenyataan ini dapat dengan mudah kita lihat dengan mengandaikan dibumi ini tidak ada tumbuhan dan hewan.Darimanakah kita mendapatkan oksigen dan makanan? Sebaliknya seandainya tidak ada manusia, tumbuhan,hewan dan jasad renik akan dapat melangsunhkan kehidupannya, seperti terlihat dari sejarah bumi sebelum ada manusia. Karena itu anggapan bahwa manusia adalah mahluk yang paling berkuasa sebenarnya tidaklah betul. Seyogyanya kita harus menyadari bahwa kitalah yang membutuhkan makluh hidup yang lain untuk kelangsungan hidup kita dan bukannya mereka yang membutuhkan kita untuk kelangsungan hidup mereka. Karena itu sepantasnyalah kita bersikap lebih merendahkan diri, sebab factor penentu kelangsungan hidup kita tidaklah ada ditangan kita, sehingga kehidupan kita sebenarnya amat rentan. Hubungan antara manusia dengan lingkungan hidupnya adalah sirkuler sehingga perubahan pada lingkungan sekecil apapun itu pada gilirannya akan mempengaruhi manusia.(O. Soemarwoto, 1991; 73).  

Kekayaan sumberdaya alam Indonesia yang besar merupakan karunia Tuhan Yang Maha Kuasa yang patut disyukuri sehingga pelaksanaan pengelolaannya haruslah dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat dan dijaga kelestariannya. Dengan demikian maka pengelolaan semberdaya alam harus dilakukan secara optimal dan berkelanjutan dengan tidak melampaui daya dukung wilayah, sehingga tidak mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup, dan pemanfaatannya dapat diselenggarakan dalam jangka panjang.

Pasal 33 UUD 1945 sebagai dasar hak penguasaan Negara untuk mengatur tentang dasar-dasar sistem perekonomian  Negara, dengan tujuan untuk kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. Pasal  ini bukan sebagai justifikasi atas tindakan sewenang-wenang Negara untuk mengambil alih semua hak masyarakat untuk dikelola sendiri menurut kehendak pemerintah, namun pemerintah hadir untuk mengatur dan memberikan perlindungan bagi warga Negara untuk menjalankan hak dan kewajibannya secara berimbang. Negara seharusnya hadir bagi rakyatnya sebagai penjamin hak, agar masyarakat menjadi terlindungi, sehingga tidak menimbulkan konflik dengan setiap peraturan dan kebijakan yang dibuat. Namun dalam perjalananan sistem pemerintahan Negara Indonesia telah terjadi banyak konflik yang tidak sedikit diakibatkan oleh Negara. Perebutan pengelolaan sumberdaya alam antara Negara dan masyarakat telah menjadi catatan panjang, teristimewa bagi masyarakat adat. Masyarakat adat sendiri menghendaki agar mereka diakui keberadaannya oleh pemerintah bukan karena mereka merupakan kelompok rentan yang harus di perhatikan tetapi karena mereka juga merupakan pilar dari terbentuknya Negara ini, karena jauh sebelum Indonesia menjadi sebuah Negara masyarakat adat sudah ada dan melakukan segala aktifitasnya, dan pengakuan terhadap masyarakat adat bukan merupakan pengakuan setengah hati seperti tertuang dalam Amandemen kedua UUD 1945 pasal 18 B namun harus merupakan pengakuan tulus oleh Negara, terhadap masyarakat adat dengan seluruh eksistensinya.

Jika dikaji, pengelolaan sumberdaya alam yang dilakukan oleh masyarakat adat tidak pernah mengakibatkan degradasi lingkungan malah sebaliknya terjadi kesinambungan, karena meskipun dengan pemikiran yang sederhana namun masyarakat adat bisa memiliki kearifan untuk tidak mengekspliotasi sumberdaya alam secara berlebihan ataupun mereka telah menentukan batas-batas wilayah mana yang boleh dieksploitasi dan mana yang tidak boleh dieksploitasi sebelum waktunya tiba. Di propinsi Maluku yang terkenal dengan kearifan local budayanya dalam pengelolaan sumberdaya alam baik di darat maupun di laut, masyarakat adatnya telah memiliki batas-batas wilayah dalam pengelolaan sumberdaya alamnya. Seperti pada wilayah laut dan pesisir. Berbicara mengenai wilayah dalam kaitannya dengan hak ulayat laut (marine tenure) di Maluku, maka hal tersebut tidak bisa dilepaskan dengan konsep pemilikan (Wahyono, 2000 : 54), disamping pengertian wilayah laut berkaitan dengan konsep batas (boundaries) yang jelas.

Selama ini jika kita berbicara tentang penataan ruang, maka pikiran kita akan mengarah pada penataan ruang wilayah darat, namun yang harus dipahami ialah jika berbicara mengenai tata ruang maka kita tidak saja berbicara mengenai tata ruang wilayah daratan saja namun kita juga akan berbiacara mengenai tata ruang wilayah laut dan pesisir, dan hal itu juga ada di Propinsi Maluku pada wilayah-wilayahnya terutama yang dikelola oleh masyarakat adatnya. Hal ini mutlak dilakukan mengingat 2/3 dari wilayah Indonesia adalah lautan tidak terkecuali Propinsi Maluku yang hampir 90 persen wilayahnya terdiri dari lautan, sehingga sangat tidak mungkin membuat perencanaan tata ruang wilayah laut yang disesuaikan dengan tata ruang pada wilayah darat.

 

Tata Ruang Pengelolaan Sumber Daya Alam Masyarakat Adat di Maluku

Tata ruang yang dipahami masyarakat selama ini adalah tata ruang wilayah daratan guna pembangunan sentra-setra ekonomi, sentra pendidikan berupa gedung-gedung dan sarana prasarana fisik lainnya di darat. Sedangkan tidak pernah dipahami bahwa pembangunan sentra-sentra tersebut juga harus dilakukan di wilayah lautan dan pesisir. Selama ini sebagai masyarakat modern kita menganggap bahwa masyarakat adatadalah masyarakat terbelakgan dan primitive sehingga akan sangat tidak mungkin jika dapat mengelola sumberdaya alamnya dengan baik. Tanpa kita sadari ternyata masyarakat adat justru memiliki pemikiran lebih maju dibandingkan dengan kita sebagai masyarakat modern dimana dalam mengelola sumberdaya alam yang nyatanya tetap berkesinambungan demi kelangsungan hidup.

Hal ini terbukti  bahwa dalam pengelolaan sumberdaya alamnya,  masyarakat adat memiliki konsep sendiri bahkan terhadap konsep yang telah mereka lakukan telah tmembentuk sebuah tata ruang dan ini telah menjadi justifikasi bagi masyarakat adat tersebut dalam pengelolaan sumberdaya alamnya berdasarkan tradisi yang telah mereka lakukan turun temurun,diwilayah yang mereka kuasai untuk diekspliotasi khususnya pada wilayah laut dan pesisir. Uraian diatas terhadap batas wilayah dalam konsep hak ulayat laut merupakan bukti bahwa masyarakat adat telah mengenal  pola penataan ruang. Hal tersebut tergambar dalam konsep management pengelolaan sumberdaya alam laut dan pesisir  menurut tradisi leluhur merekaa secara turun- temurun dalam konsep management pengelolaan sumberdaya alam di wilayah laut dan pesisir.

Melalui pendekatan emik yang digunakan dalam mengkaji hak ulayat laut di Maluku ditemukan adanya konsep petuanan dan sasi. Petuanan mengacu pada eksklusivitas wilayah darat (petuanan darat) maupun wilayah laut (petuanan laut atau labuhan). Konsep sasi berhubungan dengan hak ulayat laut karena merupakan suatu pranata yang mengatur system eksploitasi atas sumber daya yang ada di wilayah laut (petuanan laut). Konsep sasi juga menjelaskan bagaimana wujud model hal ulayat laut.

Di daerah-daerah di Maluku  pada umumnya dan khususnya pada kabupaten Maluku Tengah di negeri-negeri di Pulau Haruku dan Saparua, Kabupaten Maluku Tenggara  di di Kei Besar dan Kei Kecil serta di Maluku Utara pada Kabupaten Halmahera Utara  ditemukan konsep kepemilikan atas wilayah baik di darat maupun di laut. Konsep kepemilikan atas wilayah wilayah ini tercermin dalam wilayah petuanan (istilah di Maluku) atau ulayat (di Halmahera Utara Provinsi Maluku Utara).

Desa-desa di Maluku dan Maluku Utara yang letaknya di pesisir pantai juga memiliki wilayah laut yang menjadi bagian dari petuanan atau ulayat yaitu merupakan perluasan wilayah desa di lautan. Ini tampak jelas dengan adanya batas wilayah petuanan/ulayat  laut yang ditarik dari batas wilayah desa di daratan. Wilayah laut ini disebut dengan petuanan laut atau di Kabupaten Maluku Tengah disebut dengan Labuhan.

Batas petuanan laut atau batas labuhan adalah garis imajiner yang ditarik dari batas petuanan darat lurus ke arah laut. Sedangkan mengenai batas antara petuanan laut desa (laut milik desa) dengan laut milik umum (public property) atau laut milik bersama (common property) yang oleh masyarakat Maluku disebut laut bebas adalah garis imajiner yang berada antara laut dangkal (di Maluku tengah dan Maluku Tenggara disebut laut putih atau juga disebut tohor) dan laut dalam yang di Maluku Tengah disebut laut biru sedangkan di Maluku Tenggara (kepulauan Kei) disebut disebut Latetan atau Tahait ngametan  (laut biru/hitam).  Di Maluku Tenggara (Kepulauan Kei) Bila terdapat dua desa yang berdekatan, yang dipisahkan dengan laut, maka batas wilayah petuanan masing-masing ditentukan dengan memperkirakan batas tengah di antara kedua desa tersebut.

Tohor di Kabupaten Maluku Tengah sering dikatakan sebagai batas petuanan laut desa dengan laut bebas. Sedangkan di Kei  Kabupaten Maluku Tenggara, batas petuanan laut desa disebut meti atau metin. Kata meti atau metin sebenarnya mempunyai dua arti yaitu pertama, berarti keadaan ketika permukaan air surut (pasang surut), kedua, berarti suatu tempat yang dangkal di tengah laut. Dengan demikian wilayah petuanan laut di Kei (Kabupaten Maluku Tenggara) selain pada wilayah meti di pantai yang mengacu pada pengertian pertama juga mengacu pada pengertian kedua yaitu yaitu tempat-tempat dangkal yang berada di laut dalam (laut bebas) sepanjang masih berada dalam garis batas wilayah laut milik Ratschaaf (satu Ratchaaf memiliki beberapa desa).

Di Pulau Saparua pada desa Nolloth dikenal adanya labuhan sasi, yaitu wilayah yang sangat eksklusif yang pada saat tertentu tertutup bagi siapapun, termasuk bagi anggota masyarakat dari desa tersebut. Labuhan tersebut disasi karena adanya satu sumberdaya laut yang diatur eksploitasinya oleh pemerintah desa, yaitu bia-lala (trochus niloticus) dan beberapa sumberdaya sejenisnya. Oleh karena itu sasi terhadap sumberdaya laut tersebut disebut sasi bia-lala. Bia-lola dan beberapa sumberdaya sejenisnya ini boleh dieksploitasi oleh masyarakat Nolloth hanya pada saat-saat tertentu saja, yaitu jika pemerintah desa menyatakan bahwa sasi dibuka.

Bia-lola ini disasi (diatur waktu penangkapannya) oleh pemerintah desa agar mempunyai kesempatan yang cukup untuk berkembang biak, karena sumberdaya tersebut tergolong langka. Disamping itu juga agar bisa diperoleh hasil yang optimal karena nilai ekonominya yang tinggi.

Menurut catatan yang dibuat Kepala Desa Nolloth. Panjang wilayah  sasi sampai saat ini sudah  beberapa kali mengalami perkembangan. Sampai tahun 1977 hanya sepanjang 1 km sejajar dengan garis pantai, kemudian pada tahun 1978 meningkat menjadi 2 km dan tahun 1990 sampai 1993 menjadi 2,5 km. penambahan luas wilayah itu karena perkembangbiakan bia-lala, sehingga populasinya menjadi banyak dan lokasinya lebih menyebar. Wilayah perairan labuhan sasi ini kearah laut mulai dari batas pasang tertinggi sampai dengan laut pada kedalaman 25 meter. Pada batas kedalaman 25 meter, orang tidak dapat lagi menyelam untuk mengambil bia-lola. Dengan panjang 2,5 km tersebut, maka diperkirakan bahwa luas wilayah labuhan sasi sekarang ini sekitar 46,5 ha. Luas tersebut meningkat dua kali lipat dari luas wilayah labuhan sasi pada tahun 1978 yang hanya 22,5 ha.

Di wilayah petuanan laut/labuhan desa Haruku (Pulau Haruku) juga terdapat wilayah yang pada waktu tertentu ditutup atau dilarang dieksploitasi sumberdayanya, meskipun oleh masyarakat desa tersebut, kecuali dengan alat tertentu dan jenis sumberdaya tertentu. Labuhan sasi di desa Haruku terbagi menjadi dua bagian, yaitu labuhan pertama adalah labuhan sasi laut dan labuhan kedua adalah sasi ikan lompa.

Batas-batas sasi laut adalah mulai dari sudut Balai Desa bagian utara, 200 meter ke laut arah barat dan ke selatan sampai ke Tanjung Wairusi.

Batas sasi untuk ikan Lompa di laut; mulai dari labuhan vector, 200 meter ke laut arah barat dank e selatan sampai ke Tanjung Hi-i.

Dengan ditutupnya wilayah labuhan sasi laut tersebut, masyarakat dilarang mengeksploitasi sumberdaya yang ada didalamnya kecuali dengan alat tangkap jala dan tampa menggunakan perahu. Ikan yang boleh ditangkap adalah ikan yang ada pada kedalaman sebatas pinggang orang dewasa. Daerah labuhan bebas adalah mulai dari sudut Balai Desa bagian utara sampai ke Tanjung Waimaru. Pada daerah labuhan bebas ini, orang boleh menangkap ikan dengan jaring, tetapi tidak boleh bersengketa. Jika ternyata ada yang bersengketa, maka labuhan bebas akan di sasi juga.

Selain itu di Pulau Ambon dan Pulau-pulau Lease juga memiliki hak petuanan wilayah laut. H.Hattu mengungkapkan bahwa, umumnya semua Negeri di pulau Ambon dan Kepulauan Laese mengakui mereka memiliki hak petuanan atas wilayah laut sebagai suatu konsep pemilikan, tetapi dari aspek batas wilayah ditemukan beberapa pandangan sebagai berikut :

a.       Batas petuanan laut antar Negeri.

 

Batas wilayah petuanan laut  tersebut umumnya ditetapkan dengan menarik garis lurus dari batas wilayah darat antar kedua Negeri kearah laut hingga ke batas antara air putih dan air biru.

b.        Batas petuanan laut antara Negeri dan laut bebas. 

Konsep ini berkaitan dengan pemahaman bahwa batas wilayah petuanan laut Negeri kearah laut lepas ditentukan pada batas antara air putih dan air biru. Dengan kata lain laut biru adalah merupakan laut bebas yang dapat dimanfaatkan oleh siapa saja.

Menurut R.V. Rugebregt, bahwa pengelolaan sumberdaya alam pada wilayah laut dan pesisir pada masyarakat adat di wilayah petuanan mereka dengan sendirinya telah membentuk sebuah pola tata ruang, dimana masyarakat adat tersebut mengetahui bahwa ada aturan yang jelas meskipun tidak secara tertulis namun ditaati karena merupakan kesepakatan bersama yang telah dijalankan secara turun temurun. Namun hadirnya pemerintah dengan berbagai kebijakannya menimbulkan konflik di masyarakat. Baik itu dengan dikeluarkannya undang-undang Penataan Ruang maupun Undang-undang Pengelolaan wilayah Laut dan Pesisir yang juga menimbulkan konflik baru. Karena dalam implementasinya akan sangat merugikan masyarakat adat.

    

Kebijakan Pemerintah Dalam Pemetaan Ruang Wilayah LAut Terhadap Pengelolaan Sumber Daya Alam Masyarakat Adat.

Kebijakan pemerintah dalam rangka mengakui eksistensi hak-hak masyarakat adat, sebenarnya merupakan bagian dari upaya untuk mensejahterakan masyarakat pada umumnya yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dihadapan hokum dan pemerintahan.

Jika dikaji dengan cermat substansi berbagai peraturan-perundang undangan nasional di Indonesia, maka tidak ditemukan satupun peraturan perundangan- undangan nasional yang mengatur secara rinci tentang perlindungan hukum atas  hak petuanan laut masyarakat hukum adat.  Kalaupun ada, peraturan perundang- undangan tersebut hanya mengatur hal-hal yang bersifat umum yang kemudian dalam pelaksanaannya sepanjang hal itu berkepentingan dengan masyarakat hukum adat, sering para birokrat menggunakan penafsiran dari ketentuan perundang-undangan yang bersifat umum tersebut sesuai seleranya

Terkait dengan Pengelolaan Sumberdaya alam masyarakat adat itu, dari hasil penelitian terungkap bahwa implementasi berbagai peraturan-perundangan yang mengatur pengelolaan wilayah pesisir, dihadapkan pada sistem tradisional yang cenderung semakin terkikis akibat berbagai kebijakan pemerintah. Padahal sistem hukum adat yang mengatur wilayah petuanan laut juga mengatur zona zona penangkapan secara teratur, dan dikelola secara arif walaupun dalam kondisi yang kurang menguntungkan, karena tidak ditunjang dengan adanya perangkat hukum yang memberi penguatan terhadap esksistensi masyarakat adat sebagai suatu entitas yang mempunyai posisi dan peran yang sangat penting. Kebijakan pemerintah Pusat yang masih menimbulkan polemic dalam implementasinya adalah kehadiran Undang-undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Perairan Pesisir dan pulau-pulau Kecil. Rencana Implementasi Undang-undang nomor 27 tahun 2007 diatas, masih sangat kabur dan sulit di lakukan. Hal ini di sebabkan karena :

Syarat  Harus ada mapping Zone/ atlas Pesisir, mengisyaratkan bahwa    areal laut harus di tetapkan batas-batas, guna pelaksanaan dan implementasi undang-undang di maksud. Permasalahannya adalah apakah memang harus ada pemetaan di wilayah laut. Bagaimana menentukannya,? dan apakah nantinya tidak menumbulkan masalah baru dalam masyarakat ?. UU nomor 32 tahun 2004 yang telah menetapkan batas – batas kewenangan Pemerintah Pusat, propinsi serta Kabupaten/kota saja menimbulkan konflik, apalagi pembuatan dan penetapan batas-batas wilayah di laut. Apakah laut dapat di tentukan batasnya. Bagaimana dengan wilayah kepemilikan masyarakat adat. Bagaimana pula dengan sumberdaya alam hayati di laut seperti ikan dan makluk hidup lainnya yang bersifat mobil ( bergerak). Dan bagaimana menentukan kewenangan di laut jika jarak pulau satu dengan yang lainnya saling berdekatan? Semua akan menimbulkan berbagai konflik baru di masyarakat. Padahal masyarakat adat hanya mau mereka diakui keberadaannya beserta dengan segala esistensinya. Dalam artian bukan cuma diakui keberadaan mereka dengan kebudayaannya seperti tarian, dll, namun kearifan local mereka dalam mengelola sumberdaya alam mereka dengan praktek-praktek yang selama ini mereka jalankan dalam masyarakat mereka. Kenapa ? karena terbukti selama berpuluh tahun masyarakat adat yang mempertahankan tradisi mereka mampu menjaga kelestarian lingkungan alam, dan segala sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya. Jepang yang merupakan sebuah Negara industry modern pun telah mengakui keunggulan masyarakat lokalnya dalam  mengelola sumberdaya alamnya. Justru kehadiran peerintah dengan berbagai kebijakannya menjadikan pola menagemen tata ruang masyarakat adat menjadi rusak dan hilang. Berbagai kebijakan pemerintah yang

            Sedangkan Negara kita Indonesia, sampai dengan saat ini belum menemukan satu pola management pengelolaan sumberdaya alam di wilayah laut dan pesisir. Indonesia cendrung mengikuti trend yang ada di wilayah maju seperti Amerika, Canada dan Australia yang belum tentu sama dengan kondisi wilayah laut dan pesisir kita. Ditambah lagi dengan sumberdaya manusia yang tidak memadai ataupun penempatan sumberdaya manusia yang tidak sesuai dengan skill dan kemampuannya berdasarkan profesionalismenya.  Juga teknologi dan informasi kita yang masih jauh tertinggal. Hal ini membuat semuanya semakin sulit.

 

Pengakuan Kearfian Lokal Masyarakat Adat Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam      

Sebenarnya Negara atau pemerintah bukan sekedar meminta persetujuan atau kesepakatan, tetapi lebih dari itu harus memberikan akses yang luas kepada masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam proyek pembangunan sehingga meraka tidak termarjinalisasi dalam proses pembangunan. Selama ini akibat kebijakan pemerintah yang keliru maka konsep hak menguasai dari Negara dipraktekkan menyimpang dari makna seseungguhnya, yang pada akhirnya masyarakat adat menjadi tidak berdaya pada wilayah-wilayah petuanan atau ulayat yang kaya (potensial). Kearifan lokal dari masyarakat adat untuk mengelola sumber daya alam termasuk tanah, serta sruktur-sruktur social menjadi tidak bermakna dalam hubungan antara lingkungan alam dengan manusia sebagai pengelolanya.

Masyarakat adat sebagai bagian dari sruktur pemerintahan Negara pada umumnya harus diposisikan sebagai bagian integral dalam proses pembangunan. Artinya partisipasi aktif masyarakat harus direspons secara positif oleh pemerintah sebagai pengambil kebijakan dan keputusan-keputusan politik maupun hukum. Masyarakat adat jangan dibangun berdasarkan kemauan pemerintah semata-mata, tetapi harus diberikan kebebasan untuk berkreasi sesuai potensi yang dimiliki, sehingga ada keseimbangan. Kebijakan pembangunan harus integrated dengan tetap berbasis pada masyarakat.(R. Souhaly, 2006 ; 82)  

Uraian pada bagian-bagian terdahulu memberikan pemahaman mengenai anutan dari paradigma pembangunan nasional yang semata-mata diorientasikan mengejar pertumbuhan ekonomi untuk peningkatan pendapatan /devisa Negara, dan implikasinya terhadap pembangunan hukum di bidang pengelolaan sumber daya alam. Anutan ideologi sentralisme hukum (legal centralism) cenderung memarjinalisasi modal sosial (social capital), yakni citra dan etika lingkungan, sistem religi, asas-asas dan norma hukum adat yang mencerminkan kearifan lingkungan (ecological wisdom) masyarakat lokal. Selain itu, pembangunan nasional juga mendegradasikan modal sumber daya alam (ecological capital) akibat kegiatan pembangunan yang bercorak eksploitatif.

Oleh karena itu, dalam rangka mewujudkan tata pembuatan hukum yang pemerintah dan legislatif adalah : Melakukan kaji-ulang (review) terhadap seluruh produk hukum yang tidak mencerminkan keadilan, demokrasi, dan keberlanjutan. Negara harus memberikan pengakuan terhadap masyarakat adat beserta seluruh eksistensinya berdasarkan amanat konstitusi, serta membuat berbagai peraturan dan kebijakan yang memihak kepada masarakat hukum adat tersebut. Telah terbkti bahwa konsep pengelolan sumberdaya alam berdasarkan kearrifan local telah menjaga kelestarian lingkungan dan keberlangsungan sumberdaya alam yang ada.

 

Pengelolaan Lingkungan Dalam Tradisi Masyarakat Di Kepulauan Leasa

Pulau-pulau Lease adalah pulau di luar pulau Ambon di Sebelah Timur berbaris dari Barat sampai ke Timur mulai dari pulau Haruku, pulau Saparua dengan pulau kecil Maulana dan pulau Nusalaut.(Ziwar Effendi : 1987)

Sejak abad XVI di Maluku Tengah, Khususnya di kepulauan Lease telah dikenal sistim hokum adat kelautan atau yang lebih dikenal dengan “ Hukum Sasi Laut” yakni seperangkat hukum yang memuat aturan-aturan hokum maupun tatacara pengelolaan dan pemanfataan fungsi lingkungan laut dan pesisir bagi kepentingan anak-anak negeri atau masyarakat adat pesisir beserta kelembagaan hokum yang medukungnya. Sistem hokum ini memang merupakan salah satu penata hukum yang hingga kini masih dikenal dan dipertahankan sebagai bagian dari kehidupan adat istiadat dan tradisi masyarakat adat di kepulauan lease Maluku Tengah.

Tradisi sasi laut ini digerakkan oleh seperangkat aturan hokum dimana selain dikenal aturan-aturan yang berkaitan dengan perlindungan, pengelolaan dan pemanfaatan fungsi lingkungan laut dan pesisir, juga terhadap fungsi lingkungan darat.Karena itu pada lingkungan masyarakat adat di kepulauan Lease Maluku Tengah selain dikenal tradisi sasi laut juga dikenal sasi darat, sehingga didalam konsep hokum sasi, objek perlindungan, pengelolaan dan pemanfaatan lingkungan tidak saja ditujukan pada wilayah pesisir di lautan, tetapi juga wilayah daratan yang merupakan bagian dari hak petuanan (hak ulayat) dari suatu negeri yang diakui selala ini.

Hak adat kelauatan yang merupakan milik persekutuan masyarakat adat antara lain meliputi : (a) hak atas wilayah petuanan, termasuk hak melindunginya, (b) hak mengelola; dan (c) hak memanfaatkan hasil laut. Selanjutnya hak adat kelautan yang merupakan wewenang atau yang hanya dimiliki oleh raja selaku kepala persekutuan masyarakat adat antara lain terdiri dari : (a) hak mengatur penggunaan petuanan laut atau labuhan; (b) hak menikmati hasil laut; (c) hak menebar jala, jarring, pada acara buka sasi; dan (d) hak penentuan tatacara sasi babaliang, sejenis sasi laut yang diperuntukan bagi mereka yang ingin menggunakan laut bagi usaha. Sedangkan hak adat kelautan yang merupakan kewenagan atau yang dimiliki oleh lembaga-lembaga adat, seperti saniri negeri dan kewang meliputi : (a) hak penentuan waktu dan acara buka sasi; (b) hak menentukan jenis alat tangkap; (c) hak penegakkan aturan hokum sasi / polisinila; (d) hak lelang babaliang; (e) hak penentuan batas wilayah sasi laut; (f) hak pemberian ijin usaha di dalam wilayah petuanan laut; dan (g) hak penyelesaian sengketa atas pelanggaran wilayah petuanan.

Untuk menindaklanjuti hal dimaksud maka dikenal beberapa aturan hokum sasi dan kewang seperti :

1.        Peraturan Sasi Aman Akui dan Lembaga Kewang negeri Haruku

2.        Peraturan sasi Lola dan Taripang di negeri Noloth

3.        Peraturan sasi negeri Paperu

4.        Peraturan sasi negeri Ihamahu

5.        Peraturan sasi dan kewang negeri Itawaka

6.        Peraturan sasi negeri Amahai

7.        Peraturan sasi laut dan kewang negeri haria

8.        Peraturan kewang negeri Tulehu Nomor 1 Tahun 1980

9.        Lain-lain peraturan sasi dan kewang pada beberapa negeri di kepulauan Lease Maluku Tengah.

Salah satu negeri adat yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai adat istiadat warisan nenek moyang adalah neg negeri Haruku yang berupaya untuk tetap melestarikan kearifan local tersebut ditengah perubahan yang terjadi seiring dengan pesatnya Ilmu pengetahuan dan teknologi. Salah satu bentuk kearifan local dalam rangka pengelolaan sumber daya alam dan konservasi lingkungan yang masih ada dan tetap menjalankan fungsinya adalah “lembaga kewang” (penjaga lingkungan)

Lembaga Kewang Haruku  telah ada sejak 1600, dan sudah sampai pada generasi ke-6 (1979 – Sekarang). Dalam melaksanakan perannya, lembaga kewang dipimpin oleh seorang kepala kewang yang disebut Latukeang atau Latukewano. Kepala kewang membawahi beberapa pengurus dan anggota kewang.

Perngatian system pemerintahan di Negara serta diberlakukannya berbagai produk perundang-undangan yang berkaitan dengan sumber daya alam, baik di darat maupun di laut, tidak merubah stuktur maupun tujuan dari kewenangan kewang. Kewang tetap konsisten melaksanakan langkah-langkah untuk melindungi sumber daya alam walaupun secara Konstitusi Negara tidak setuju dengan hal tersebut. Yang pasti bahwa eksistensi kewang yang berkaitan dengan tugas dan kewenangannya, tidak terngantung pada perubahan kebijakan dari pemerintah Republik Indonesia, tetapi terhadap keputusan saniri besar negeri Haruku.

Walaupun murni sebagai organisasi adat, lembaga kewang Haruku tetap membangun hubungan dengan pemerintah (Desa, Kecamatan, Kabupaten, Propinsi dan Pusat) maupun pihak lain dalam maupun luar negeri dalam konteks pengelolaan sumber daya alam dan konservasi lingkungan. (Eliza Kissya; Kepala Kewang Negeri Haruku).

Hak- hak adat sebagaimana di kemukakan diatas merupakan hak komunal  atau hak persekutuan yang hingga kini masih dikenal dan dipertahankan keberadaannya bahkan secara filosofis, hak-hak tersebut merupakan gambaran dari pengakuan terhadap lingkungan adat, yang intinya mengatur bagaimana laut dan pesisir beserta lingkungan alam yang ada diperlakukan secara arif untuk kepentingan bersama dan kepentingan masa depan generasi berikutnya.

 Pengakuan dan pelaksanaan hukum adat kelautan di Kepulauan Lease Maluku Tengah selama ini masih bersifat local dan lebih didasarkan pada kepentingan untuk menjaga ketertiban dan keamanan serta penghormatan terhadap nilai-nilai adat yang diakui dalam masyarakat dengan mengutamakan kearifan hukum adat itu sendiri, walaupun disadari bahwa secara perlahan-lahan hokum adat dan kelembangaannya semakin pudar eksistensinya teristimewa sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa. Karena itu, dengan tetap menjaga kearifan system hukum adat, aturan-aturan hukum adat, baik yang sifatnya tertulis maupun yang masih dalam bentuk kebiasaan (tidak tertulis), wajib untuk tetap diberlakukan sepanjang untuk kepentingan suatu negeri demi  pelestarian sumber daya alam dan lingkungan itu sendiri.    

 

Penutup

Pengelolaan sumberdaya alam pesisir pasti akan selalu menimbulkan konflik antar pihak pihak yang berkepentingan, baik itu pemerintah beserta instansi-instansi terkait, swasta, individu dan masyarakat adat. Di satu sisi pemerintah berusaha agar dalam pengelolaan wilayah pesisir tidak ada pihak yang dirugikan namun di lain sisi kebijakan pemerintah selalu bertabrakan dengan hak masyarakat adat dalam pengelolaan wilayah pesisir. Terutama jika pengelolaan tersebut telah melewati batas wilayah petuanan mereka. ataupun kebijakan pemerintah yang dengan serta merta hadir tanpa memperhatikan kearifan local masyarakat adat tersebut, dimana dalam pengelolaannya terutama pada wilayah laut ada aturan yang merupakan kesepakan bersama yang tidak boleh dilanggar.  Dengan kata lain ialah masyarakat adat sudah memiliki sistem hukum sendiri dan kearifan lokalnya sendiri dalam pengelolaan sumberdaya alam, dan sudah tentu kebijakan pemerintah akan sangat berpengaruh terhadap pola penataan ruang  

Untuk itu, di butuhkan kearifan oleh pemerintah dalam membuat kebijakan dan pengaturan hukum, yang mengakomodir segala hal menyangkut kepentingan masyarakat banyak.  Pemerintah Pusat harus membuat Undang-undang baru yang terpadu dalam hal ini mengakomodir kearifan local masyarakat adat sebagai bentuk pengakuan Negara terhadap otoritasnya dalam pengeloaan wilayah pesisir sedangkan bagi Pemerintah daerah termasuk Pemerintah daerah Propinsi Maluku harus membuat Peraturan daerah yang mengakui hak dan otoritas masyarakat adat dalam penguasaan dan pengelolaan wilayah pesisir dan laut..

           

DAFTAR BACAAN

 

H.Hattu, Pemberian Wewenang Pengelolaan Wilayah Laut Kepada Daerah Otonom Terhadap Hak Petuanan Masyarakat Adat di Pulau Ambon dan Kepulauan Lease, 2003

R.V. Rugebregt, Pengaruh Kebijakan Pemerintah dalam Penataan Ruang Terhadap Pengelolaan Sumberdaya Alam oleh Masyarakat Adat.

R.Souhaly,  Hukum dan Pengelolaan Sumberdaya Alam

O. Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan

Departemen Kelautan & Perikanan, 2001, Pedoman Umum Pengelolaan Pulau-pulau kecil yang berkelanjutan dan Berbasis masyarakat, Jakarta.

Ziwar Effendy, 1987, Hukum Adat Ambon – Lease.

Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group

Philipus M. Hadjon, 1997, Tentang Wewenang, YURIDIKA, Nomor 5 dan 6 Tahun XII, September – Desember 1997, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya

Wahyono A., 2000. Hak Ulayat Laut di Kawasan Timur Indonesia, Media Pressindo, Jakarta

 


[1] Tulisan ini diterbitkan dalam sebuah buku KOMPILASI PEMIKIRAN TENTANG DINAMIKA HUKUM DALAM MASYARAKAT (Memperingati Dies Natalis ke -50 Universitas Pattimura Tahun 2013), 2013

 

Tinggalkan Balasan